Kamis, 09 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 13)

Kegiatanku selama masa senggang di rumah atau jalan-jalan pas akhir minggu juga menarik diceritakan.
Tinggal dengan keluarga Siraj memberikan saya pengetahuan tentang bagaimana kehidupan keluarga Muslim di Australia. Selain itu juga memberikan saya pandangan baru tentang mahzab Islam yang nggak pernah saya lihat di Indonesia
Contohnya, mereka sangat ketat tentang makanan. Walaupun makan daging ayam dan sapi itu diijinkan di agama Islam, mereka menekankan sertifikasi Halal di produk daging. Mereka bilang semua daging sapi atau ayam, atau restaurant yang tak punya sertifikat Halal mungkin tidak bisa dikonsumsi orang Muslim. Apa berarti kebab yang kemarin saya makan nggak Halal? Padahal sebelumnya di Indonesia kita ya nggak begitu peduli begituan. Asalkan tidak mengandung babi, kita makan saja.
Walaupun begitu, mereka tidak memaksakan saya untuk sholat berjamaah bersama. Mereka juga tidak keberatan kalau saya bersosialisasi dengan orang barat, atau pergi ke pub (yang jarang saya lakukan).
Mereka juga sangat membantu saya untuk mencari Masjid. Selama saya tinggal disana, saya selalu sholat Jumat di Masjid Perth yang terletak di Northbridge. Masjidnya sendiri adalah bangunan cagar budaya di Perth, dan termasuk salah satu masjid pertama yang dibangun di Australia. Saya selalu kesana setiap untuk sholat Jumat.


Masjid Perth dilihat dari jalan Williams Street. Jalan kecil di sebelah kiri adalah Robinson Avenue.

Ritualnya tidak beda dengan yang saya jalani di Indonesia, hanya saja tidak ada bersalaman setelah selesai sholat. Selama saya di Australia, khutbah Jumat selalu dilakukan oleh orang yang sama: Imam Besar Masjid Perth, yang selalu memberikan khutbah yang pelan dan tenang. Dan di akhir sholat Jumat, biasanya ada seperti pasar kaget di pelataran Masjid. Banyak penjual yang menjual makanan Timur Tengah. Terkadang saya membelinya, dan ikut merasakan enaknya makanan yang dijual.
Ada satu makanan yang mirip pizza, tapi disajikan di roti kering Arab. Saya nggak ingat namanya, tapi rasanya enak banget. Mungkin namanya “Sfiha” karena memang mirip.


Siraj punya dua anak, dan yang tertua bernama Suhail sementara adiknya bernama Shimla. Suhail adalah anak laki 3 tahun yang cukup aktif, sementara Shimla adalah anak perempuan berumur 9 bulan. Mereka lucu-lucu dan uniknya tidak terlalu nakal. Orang tua mereka menanamkan disiplin yang ketat, khususnya ke Suhail. Saya sering bermain dengan mereka. Kadang saya ikut mengajari Shimla berjalan, atau kadang main-main di sekitaran rumah bareng Suhail. 


Suhail Siraj, saat merayakan ulang tahunnya yang ke-3. Dia adalah anak yang berpakaian hijau-biru di sebelah meja.



Shimla adalah anak kecil yang berbaju hitam, tampak tengah bermain dengan kawan-kawannya.

Kadang mereka juga mengundang kawan-kawan mereka dari komunitas Muslim Sri Lanka di Perth ke rumah. Mereka datang entah cuman buat ngobrol bareng Siraj, Feroza, atau Shahjehan, atau kadang makan bersama. Keluarga Siraj jiwa sosialnya tinggi dan egaliter. Selama dia kenal orangnya, dia akan menjamu mereka makan di rumah seperti keluarga sendiri. Jadi karena itu saya bisa kenal dengan beberapa dari mereka.
Salah yang sering datang adalah Kamal*. Dia orang Sri Lanka berumur 30an berkulit gelap, berperawakan pendek dan kurus, dengan rambut agak panjang dan bergelombang, dan punya sorot mata yang tajam ala orang Asia Selatan. Dia mungkin ada hubungan saudara dengan Feroza karena saya sering melihat mereka ngobrol lama kalau mampir. Dia orangnya baik, dan saya terkadang ngobrol panjang dengan dia.
Shahjehan juga sering membawa kawan akrabnya ke rumah. Biasanya yang datang adalah Shan* dan Fairooz. Keduanya sepertinya adalah kawan SMA Shahjehan di Sri Lanka yang juga ikut pindah ke Australia untuk kuliah. Kalau tidak salah keduanya kuliah ekonomi di dua universitas berbeda. Shan* kuliah di Curtin, sementara Fairooz di Murdoch. Dibanding Kamal* keduanya lebih santai dan akrab. Kita sering ngobrol bareng dan bercanda satu sama lain.
Siraj terkadang mengadakan pesta di rumahnya, dan mengundang banyak orang Sri Lanka ke rumahnya. Contohnya waktu Suhail merayakan ulang tahunnya. Kebanyakan yang datang beragama Islam, tapi ada juga yang Kristen atau Buddha. Bagi saya ini cara unik untuk memahami budaya dan tata karma mereka. Saya perhatikan sewaktu pesta semua laki-lakinya berdiri sementara yang duduk hanya yang perempuan.


Shimla yang duduk di pangkuan Feroza memotong kue ulang tahunnya Suhail.



Para tamu laki-laki yang berdiri di koridor saat pesta uang tahunnya Suhail. Saya perhatikan tamu laki dan perempuan tak pernah berkumpul di tempat yang sama.

Feroza juga memasak makanan yang tidak pernah saya temui di luar event ini, seperti pastel kare ikan atau kue cokelat.


Kamar tengah rumah Siraj di 170 Grosvenor Road, North Perth. Pintu di kanan adalah pintu dapur, sementara pintu di tengah menuju ke koridor dan pintu depan. Kamar tidur saya ada di sebelah kiri koridor, sementara Siraj di kanan. Kamarnya Erick* dan Dani* ada di ujung koridor dekat pintu masuk. Tampak Feroza menggendong Shimla di kiri gambar.


Sudut lain kamar tengah. Tampak Feroza menggunakan hijab hitam. Pintu di kanan adalah pintu kamar mandi, sementara pintu di kiri adalah pintu toilet. Cukup aneh karena kedua ruangan terpisah. Pintu di sebelah toilet menuju ke pekarangan belakang.

Selain itu, setiap malam saya biasanya suka menonton TV, dan acaranya sudah pasti beda dengan yang saya lihat di Indonesia pada waktu itu. Ini memberikan saya pandangan yang baru sama sekali. Walaupun model acaranya mirip channel TV Amerika yang biasanya saya lihat di jaringan TV asing di Indonesia, tapi ada beberapa perbedaan mencolok.
Pertama-tama, berkat kebebasan berbicara disana, saya terkadang melihat berita atau dokumenter yang sifatnya kritis ke Indonesia. Pembicaraan politik mengenai Indonesia sering saya temui. Hal ini mustahil dilakukan di Indonesia waktu itu tanpa resiko ditindak aparat, apalagi rejim Orde Baru Suharto masih di puncak kekuasaannya.


Waktu itu kebebasan berpolitik adalah hal yang asing di Indonesia. Suharto masih bercokol erat di tampuk kekuasaanya. Dia adalah diktator yang sangat ditakuti. Tapi di Australia banyak yang mempertanyakan relevansi kepemimpinan otoriternya. Apalagi masih ada yang mendendam terhadap Indonesia pasca tewasnya 5 wartawan Australia di tangan tentara TNI di Balibo, Timor Leste, yang terkenal dengan sebutan "Balibo Five".
Tidak hanya politik, saya terkadang melihat berita yang mengkritik hal-hal yang biasanya dibanggakan di Indonesia, seperti maskapai penerbangan Garuda, militer, dan bahkan turisme. Beberapa guru di kampus saya juga sangat kritis terhadap Indonesia, dan terkadang mengungkapkan opini negatifnya di kelas (di kelas lain, bukan di kelas saya).
Terinspirasi akan hal ini, saya mulai berpikir kritis dan mempertanyakan hal-hal yang dianggap “sakral” di Indonesia. 


Artikel koran The West Australian tanggal 23 Agustus 1997 yang secara keras mengkritik kinerja Garuda Indonesia, maskapai kebanggaan Indonesia. Jaman dulu artikel seperti ini tidak akan ditemui di Indonesia, bahkan di koran berbahasa Inggris sekalipun!

Walaupun sensor ada di Australia, cara kerja mereka berbeda dengan yang ada di Indonesia. Kalau di Indonesia materi yang mengandung sex atau telanjang biasanya disensor total, di Australia kita masih bisa bebas menemui mereka, baik di TV atau media cetak. Jadi bukannya dilarang total, biasanya acara TV begituan ditayangkan di malam hari saat anak-anak sudah tidur. Kalau di media cetak, barang-barang begituan biasanya ditaruh di rak atas yang tidak bisa dijangkau anak kecil. Ini pertama kalinya saya membaca majalah dewasa Playboy lengkap dengan cewek-cewek sexy telanjangnya yang terkenal, atau buku edukasi sex yang pakai model bugil dengan pose erotis.
Oh ya, saya juga pernah sekali ketemu majalah porno yang ditinggalkan oleh penghuni kamar saya yang sebelumnya, diatas lemari saya. Suatu hari saya iseng memeriksa pojok-pojok kamar saya, ketika tiba-tiba saya menemui majalah porno ini. Dibandingkan dengan Playboy, isinya lebih vulgar dan explisit. Bahkan ada foto adegan sex segala. Saya tidak ingat nama majalahnya. Berhubung saya masih lugu, saya tidak menikmati membaca majalah ini.
Rating media di Australia ada tingkatannya. Dimulai dari G (General) untuk masyarakat umum, dimana semua umur bisa melihatnya. Terus ada PG, atau Parental Guide (panduan orang tua) dimana orang tua harus membantu menjelaskan anak yang melihatnya. Lalu diatasnya M (Mature) untuk mereka yang sudah cukup dewasa (sekitar 13 tahun keatas). Biasanya isinya ada unsur kekerasan, kata-kata kasar, materi berbau sex, dan percintaan. Yang teratas yang bisa ditayangkan di TV adalah MA atau Mature Adult. Isinya persis seperti yang M, tapi lebih vulgar. Entah kekerasannya lebih sadis, adegan sex nya lebih jelas dan alat kelaminnya kelihatan, atau ada adegan perilaku merusak. Rating tingkat teratas adalah R atau Restricted (terbatas), dan biasanya hanya boleh ditonton untuk mereka yang berusia diatas 18 tahun. Film-film porno atau yang banyak adegan kekerasan yang mendetail masuk kategori ini, dan biasanya tidak boleh ditayangkan di TV atau bioskop umum.
Biasanya setiap minggu, koran Sunday Times akan menerbitkan buku panduan TV mingguan semua channel TV di Australia Barat. Dan isinya bukan cuma tentang apa saja daftar acaranya, tapi juga rating setiap acara. Dan kalau yang sekelas M atau MA pasti akan dijelaskan detail apa saja “begituan” yang ada di acaranya, seperi “N” untuk adegan bugil, “S” untuk adegan sex atau pernak-pernik sex, “A” untuk adegan dewasa, dan “V” untuk kekerasan. Hal serupa juga berlaku untuk film di bioskop umum.
Karena itu setiap makin ke malam hari, acara TV nya jadi lebih “menarik” karena saya bisa melihat hal-hal yang nggak bisa saya lihat di TV Indonesia, seperti acara tentang sex. Mereka tidak sungkan menyiarkan acara edukasi sex yang berisi pasangan bugil melakukan hubungan sex, atau film Eropa yang banyak adegan sex nya.
Salah satu acara favorit saya yang berunsur begituan adalah “Sex/Life” yang ditayangkan Channel 10 setiap Rabu malam jam setengah sepuluh. Kadang saya juga suka melihat film Perancis dan Spanyol yang banyak mengandung unsur adegan sex dan adegan bugilnya. 


Selain dari acara-acara yang “saru” tadi, saya juga suka melihat acara TV umum seperti music atau dokumentari. Setiap akhir minggu saya biasanya suka melihat acara music yang lagi hit. Seperti RAGE di channel ABC dan Video Hits di Channel 10.
RAGE biasanya dimulai setiap Sabtu tengah malam dan akan berjalan terus hingga jam 9 pagi di hari Minggu. Yang luar biasa, lagunya tidak ada yang diputar ulang karena mereka akan memainkan lagu dari setiap aliran musik barat seperti techno, dance, alternative, punk, techno, RnB, dan pop.


Kalau Video Hits ditayangkan hari minggu pagi dan biasanya hanya menayangkan lagu-lagu top 20. Mereka tidak hanya menayangkan artis Amerika, tapi juga Inggris, Eropa, dan tentu saja talent-talent lokal terutama yang berhasil merajai tangga lagu di Inggris atau Amerika. Mereka juga menayangkan lagu-lagu pop klasik (kebanyakan Australia). Beberapa lagu yang mereka putar kemudian menjadi soundtrack kehidupan saya di sana, dan memberi warna ke kehidupan percintaan saya di kemudian hari. 


Contohnya seperti  “(Something About) The Way You Look Tonight” oleh Elton John. 


Atau lagu “Honey” dari Mariah Carey. 


Lagu  “Together Again” dari Janet Jackson, juga sangat populer. Bahkan penyanyinya sendiri pernah menyanyikan lagu ini live di acara TV lokal “Gong Show” sewaktu dia konser di Australia. 


Tapi lagu yang paling saya sukai adalah “Barbie Girl” dari group music disko Denmark, Aqua. Saya suka lagunya yang rancak dan suara vokalisnya yang lembut dan merdu. Apalagi lagu itu sempat memuncaki tangga lagu di Australia waktu. 


Rupanya kegemaran saya akan lagu ini jadi bahan tertawaan Siraj dan Shahjehan, yang sering mengolok-olok saya kalau lagunya diputar.
Waktu itu saya belum sadar kalau beberapa minggu kemudian saya akan bertemu dengan “Barbie Girl” saya sendiri, yang kulitnya yang putih sekali membuatnya mirip boneka.
Namun di periode yang sama saya juga menyaksikan event yang tidak hanya mengejutkan, tapi juga menggemparkan dunia: meninggalnya Lady Diana, The Princess of Wales.
Saya ingat waktu itu pagi hari di akhir bulan Agustus 1997. Saya sedang asyik menonton Video Hits ketika tiba-tiba ada sekilas berita di bawah layar TV yang mengabarkan kalau Lady Diana dan kekasihnya Dodi Al Fayed, terlibat kecelakaan mobil di Paris. Diberitakan Lady Di dalam kondisi kritis, sementara pacarnya meninggal di tempat.


Tadinya saya pikir untung dia masih bisa selamat. Karena awalnya keadaan kelihatan tidak parah-parah banget, saya pergi mandi dulu. Namun saat saya lagi makan sarapan, makin banyak berita-berita baru yang bemunculan. Rupanya Lady Di dan Dodi Al Fayed sedang berpergian naik mobil Mercedes dari hotel Ritz dan celaka di dalam terowongan Pont D’Alma. Sopir mobil dan Dodi Al Fayed meninggal di tempat kejadian, sementara Lady Di dan bodyguardnya selamat, walaupun dalam kondisi kritis.
Saat berita-berita terus disiarkan, tiba-tiba muncul berita yang paling tragis: Lady Diana, The Princess of Wales, meninggal dunia!


Siaran langsung pemakamannya, lengkap dengan lagu “Candle In The Wind yang direvisi, mendominasi program acara TV saat itu. 


Saya benar-benar tertegun dengan kejadian ini. Walaupun saya bukan penggemar berat beliau, saya selalu terkagum-kagum dengan kecantikannya. Beliau tidak cuma cantik, tapi juga elegan, dan benar-benar berpenampilan anggun, hingga tahun terakhir hidupnya. Beliau adalah symbol kecantikan orang Inggris. Kematiannya seakan memberikan kehilangan yang mendalam buat saya.
Saya tidak sadar waktu itu kalau beberapa minggu kemudian rasa kehilangan itu dikompensasi dengan kehadiran seorang perempuan yang penampilannya nyaris sama elegannya dengan Lady Di.
Selain menonton TV, kegiatan saya setiap akhir minggu adalah pergi keluar dan mengeksporasi kota Perth dan daerah sekitarnya.
Walaupun kawan-kawan Indonesia yang serumah dengan saya suka mengajak jalan bareng di hari-hari pertama saya, di kemudian hari mereka tidak pernah menemani saya kalau akhir minggu. Mereka selalu sibuk dengan urusan mereka sendiri: Dani* kerja di perhotelan jadi dia jarang sekali dapat libur kalau akhir minggu. Dan kebanyakan waktu liburnya seringkali diisi dengan kegiatan dengan pacarnya. Erick* sering kerja paruh waktu kalau akhir minggu, atau sibuk dengan kegiatan gereja Indonesia disana.
Satu-satunya momen dimana kita keluar bareng adalah waktu kita merayakan Tujuh Belas Agustusan. Ini pertama kalinya saya memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia di luar negeri. Dan itu untuk pertama kalinya saya tidak usah berbaris di luar untuk ikut upacara. Waktu itu ada 2 tempat yang merayakan peringatan 17 Agustus di Perth: yamg pertama di Konsulat Indonesia. Acaranya hanya upacara serta makan-makan masakan tradisional Indonesia. Yang satunya lagi adalah acara yang akan kita kunjungi: Peringatan Hari Kemerdekaan yang diorganisir gereja Indonesia.
Kalau tidak salah, kita pergi ke balai pertemuan South Perth Community Centre yang terletak di selatan Perth. Di ruang pertemuan itu, banyak orang Indonesia yang datang. Ada upacara bendera, termasuk pengibaran Sang Saka Merah Putih dan hormat bendera. Tapi karena acaranya jatuh di hari Minggu, mereka juga mengadakan acara misa gereja. Buat yang non-Kristen seperti saya dan beberapa kawan, kita hanya duduk saja selama acaranya berbau keagamaan.
Setelah upacara dan misa selesai, mereka juga mengadakan “Pasar Indonesia” dimana mereka menjual berbagai macam makanan, snack, dan cinderamata Indonesia. Acara ini sangat menghibur buat orang-orang Indonesia yang sudah kangen rumah. Karena saya cuma baru di Perth kurang dari tiga minggu, saya tidak merasa kangen rumah sama sekali dan buat saya acara pasar ini biasa-biasa saja.
Selain kegiatan diatas, mereka juga mengadakan perlombaan seperti acara 17 Agustusan di Indonesia. Ada lomba balap karung, tarik tambang, atau balap bakiak yang dipakai 2-3 orang.


Lomba balap karung saat perayaan HUT Kemerdekaan RI di tahun 1997 di South Perth Community Centre. Erick* adalah anak yang pakai kacamata, nomor dua dari kanan di latar belakang.

Acara perlombaannya diadakan di lapangan di sebelah balai pertemuan. Acaranya benar-benar meriah dan menyenangkan. Semuanya menikmati acara ini. Hal menarik yang saya perhatikan adalah, walaupun kita satu lapangan dengan orang-orang Australia yang lagi asyik main sepak bola Australia di dekat situ, mereka sepertinya mengacuhkan kegiatan kita. Mereka kelihatan memandang rendah kita, kaya kita ras inferior dibanding mereka. Bahkan selama saya di Australia, saya suka ketemu golongan masyarakat yang anti Indonesia, yang memandang kita dengan jijik.


Penonton menyoraki anak-anak yang ikut balapan di lapangan South Perth Community Centre. Di latar belakang tampak orang-orang Australia yang cuek saja dengan event ini.

Namun sayangnya, seiring berjalannya waktu hubungan saya dengan Dani* dan Erick* malah bertambah buruk. Sifat egois dan ambisius mereka sepertinya tidak nyambung dengan sifat saya yang santai dan sederhana. Karena mereka berasal dari Jakarta, mereka memandang anak daerah dari Surabaya seperti saya seperti kasta rendah dibandung anak Ibukota. Menurut saya ini ironis, mengingat pacarnya Dani* adalah orang Surabaya (dia kuliah di Edith Cowan University, dan sering mampir ke rumah).
Erick* mungkin sibuk dengan kegiatan kuliah dan kerja paruh waktunya. Tapi kalau di rumah, dia susah diajak ngobrol. Seringkali dia ngobrol lama di telepon. Kalau tidak sibuk menelepon, dia pasti akan asyik ngobrol dengan kawan-kawannya yang mampir, yang semuanya juga sesama anak orang kaya di Jakarta. Saya kadang berusaha untuk ikut nimbrung, tapi seringkali nggak digubris karena dianggap bukan golongan mereka.


Erick* dan pacarnya Dani* tampak sedang asyik bermain-main dengan Shimla yang tengah digendong Feroza. Siraj tampak tengah memotret Suhail. Foto ini diambil saat ulang tahunnya Shimla. 

Pada dasarnya kita nggak pernah ngobrol akrab. Seringkali, kalau saya mampir ke kamarnya, dia mengacuhkan saya dan asyik memperhatikan komputernya sambil ngobrol lama di telepon. Terkadang Erick* juga asyik menyanyikan lagu gereja keras-keras dengan gitar listrik (padahal dia nggak mahir main gitar). Siraj sampai bengong-bengong lihat ulah Erick*.
Dani* juga sama egoisnya. Walaupun dia bersahabat di awal-awal saya tinggal disini, lama-lama dia jadi dingin dengan saya. Dia mungkin tidak punya computer, atau suka ngobrol lama di telepon. Tapi dia mengacuhkan saya, atau nggak menggubris kalau saya berusaha memulai percakapan dengan dia. Seringkali dia memilih untuk ngobrol dengan Siraj, Feroza, Shahjehan, atau main sama anak-anak. Dia menganggap kaya saya nggak ada.
Kalau itu kurang, pernah dia melecehkan dan memarahi saya dan mengatakan alasan dia tidak suka dengan saya adalah karena saya “kekanakan dan terbelakang”. Ini membuat saya sakit hati dan tersinggung. Saya benar-benar marah atas ucapannya dia, sampai-sampai saya menangis di kamar saya.
Ada beberapa alasan dibalik sifat mereka yang tercela, mulai dari yang kelihatan jelas seperti sifat eksklusifisme karena merasa kasta tinggi dari Jakarta, senioritas, hingga yang bersifat rumor seperti rasisme, atau mereka anggota gereja Indonesia garis keras di Perth dimana mereka mau membalas perlakuan buruk terhadap minoritas Tionghoa Kristen di Indonesia. Mereka ingin saya tunduk kepada mereka, yang mungkin hanya tercapai kalau saya ngobrol dan bertingkah kaya anak Jakarta atau anggota gerja mereka. Pada dasarnya saya tidak cocok dengan mereka.
Karena keberadaan mereka di hidup saya disana jarang-jarang, saya memilih cuek saja dengan mereka dan menjalani kehidupan saya seperti biasa.
Saya kadang jalan sendiri ke pusat kota sendirian untuk menikmati atraksi yang ada di kota.


Jalan-jalan sendirian ke Fremantle. Saya menggunakan tripod untuk memotret foto "selfie" ini (jaman dulu istilah itu belum terkenal).

Dan hawa dingin sepertinya membuat saya bisa memaksa fisik saya melebihi yang biasanya saya lakukan di Surabaya. Saya bisa berjalan lebih jauh dan tidak secapek di daerah tropis. Pernah sekali saya jalan kaki dari rumah ke kota sampai Siraj terbengong-bengong.
Di akhir minggu, biasanya ada suka ada artis jalanan yang manggung di tengah kota. Tidak seperti pengamen di Surabaya yang main music untuk mengemis, mereka benar-benar punya bakat dan memainkan konser musik yang asli bagus. Saya ingat ada seorang pianis yang biasanya mendorong sendiri pianonya ke satu pojok di pusat kota, dan kemudian memainkan lagu-lagu yang rumit tapi enak didengar. Terkadang saya melihat seorang gitaris memainkan lagu klasik, atau komedian yang merangkap sebagai pesulap. Seringkali, masyarakat yang lewat akan menjejali konser mereka dan memberikan uang yang banyak. Seniman jalanan ini seringkali menerima pendapatan yang cukup buat hidup mereka.


Salah seorang seniman jalanan yang memperagakan pantomim dengan berpakaian ala penambang "Paddy Hannan". Kalau kita menaruh koin di mangkuk di depannya, dia akan mengubah pose badannya dengan cara yang lucu.

Dalam kesempatan langka, suka ada event besar yang diadakan di pusat kota. Seperti peragaan busana yang dilakukan di Forrest Place.



Sekali saya cukup beruntung bisa melihat acara podium penutupan World Rally Championship Australia, yang dimenangkan oleh mendiang Collin McRae dengan tim Subaru nya. Saya ingat Forrest Place waktu itu dipagari dan penuh sesak dengan penonton. Di akhir penyerahan piala, biasanya akan ada slalom mobil relly yang dilakukan oleh pemenang. 


Colin McRae (kiri) dan navigatornya, Nicky Grist (kanan) memenangkan event Rally Australia tahun 1997. Tampak mereka merayakan kemenangan mereka di podium di Forrest Place.

Walaupun Perth adalah kota modern yang mirip Singapore, dan jauh lebih baik dari kota-kota besar di Indonesia, tapi begitu toko-toko tutup, kotanya jadi sepi sekali dan agak menyeramkan, dalam hitungan menit. Jam buka toko disini terbatas. Mereka umumnya buka jam 9 pagi, dan tutup jam 5 sore. Kecuali hari Jumat dimana mereka biasanya buka sampai jam 9 malam. Jadi kelihatan aneh sekali melihat kota metropolis seperti ini bisa ditinggalkan orang-orangnya dan berubah jadi kaya kota hantu. Minggu sore adalah saat paling sepi di kota Perth.
Jadi dimanakah tempat yang ramai kalau akhir minggu? Di sore hari, biasanya para orang dewasa akan nongkrong di pub dan bar. Tempat-tempat ini mayoritas berada di Northbridge, sebuah daerah yang terletak persis di utara pusat kota. Daerah ini biasanya adalah tempat tersibuk di sore hari di akhir minggu. Mereka yang nggak suka ke pub atau diskotik (seperti saya) harus puas tinggal di rumah dan menonton TV.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar