Kamis, 02 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 9)

Setelah makan siang, kami langsung menuju ke gedung parkir dekat stasiun Perth. Disana kami langsung naik ke mobilnya Doddy sebelum menuju ke Fremantle.
Ini pertama kalinya saya naik mobil di Australia. Sewaktu saya menggunakan sabuk pengaman, saya bisa merasakan betapa rapatnya sabuk ini melingkari tubuh saya. Bandingkan dengan di Indonesia yang waktu itu sabuk pengaman umumnya longgar dan ala kadarnya. Bahkan banyak mobil yang waktu itu tidak ada sabuk pengamannya. Sementara di Australia kewajiban penggunaan sabuk pengaman sudah lama diterapkan sebelum saya kesana.
Perjalanan naik mobil disana juga terasa beda dengan di Indonesia. Rasanya halus sekali dan nyaris tanpa guncangan. Kontras sekali dengan naik mobil di Indonesia di periode yang sama, dimana umumnya perjalanannya berguncang-guncang karena selain banyak jalanan tidak rata, suspensi mobil di Indonesia waktu itu kualitasnya kalah. Jenis mobil di Australia mungkin mirip dengan yang saya temui di Indonesia, tapi kualitas bangunnya jelas jauh lebih baik daripada yang di Indonesia.
Juga, pengemudi di Australia cenderung menyetir cepat. Mereka sepertinya ingin berjalan secepat-cepatnya dari satu sudut jalan ke sudut lainnya. Karena itu kenapa kalau mereka mulai berjalan, sopir langsung ngegas hingga ke batas kecepatan maksimum lalu lintas. Walaupun Doddy orang Indonesia, dia sepertinya sudah membiasakan diri dengan gaya menyetir ala Australia.
Kami berjalan menuju Fremantle, melewati jalan-jalan utama di barat kota Perth. Begitu mendekati Fremantle, pantai-pantai mulai kelihatan. Terkadang kami melewati pelataran langsiran kereta api yang luas di tepi pantai di daerah Leighton. Tak lama kemudian tampak sebuah pelabuhan lengkap dengan kapal-kapal besar yang tengah bersandar. Kita sudah sampai di Fremantle!
Fremantle adalah kota pelabuhan besar di muara sungai Swan. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan terbesar di Australia barat. Dulu sebelum penerbangan terjangkau bagi kebanyakan orang, pelabuhan ini juga merupakan titik keluar masuk utama Australia di sebelah barat.


Tidak seperti Perth, di Fremantle bangunan kunonya jauh lebih banyak. Kebanyakan sudah direnovasi dan masih berfungsi seperti aslinya, sementara sebagian lain hanya direstorasi secara kosmetik dan dipakai sebagai pengenang masa lalu. Kotanya sendiri berfungsi buat kota administrasi pelabuhan dan juga rekreasi buat pelayar yang singgah. 
Dahulu Fremantle aslinya terpisah jauh dari Perth, tapi karena daerah Metropolitan Perth makin lama makin luas, akhirnya Fremantle masuk ke dalam wilayah metropolitan Perth. 


Pelabuhan kapal layar pesiar (Yacht) di tepi kota Fremantle. 

Kami akhirnya menemukan satu tempat parkir di sebuah gedung parkir dekat pasar. Begitu kita memarkir kendaraan dan keluar dari mobil, kami mulai jalan-jalan keliling Fremantle. Karena hari itu adalah akhir minggu, tempatnya cukup ramai orang. Sebagian ada yang belanja, ada yang cuma jalan-jalan keliling, atau ada yang nongkrong di pub, tapi ada juga yang berangkat kerja.
Kami menyusuri jalan South Terrace yang merupakan jalan utama di tengah kota Fremantle. Jalanan ini penuh dengan orang yang lalu lalang berjalan menikmati akhir minggu.
Yang membuat saya agak kaget adalah banyaknya pasangan yang bermesraan di tepi jalan tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Orang-orang yang lewat ya nggak ada yang terganggu dengan pemandangan itu!


Suasana jalanan utama South Terrace di kota Fremantle. Gambar ini tidak saya ambil secara acak, karena aslinya saya ingin mengambil gambar pasangan yang lagi bermesraan di kanan gambar.

Kami cukup menikmati jalan-jalan di sekitaran kota. 


Sudut lain jalan South Terrace, lengkap dengan konvoi penggemar mobil klasik yang lewat.

Kami juga mencoba kartu Unidial kami yang baru untuk menelepon Ibu di rumah di Surabaya. Sewaktu mencobanya saya cukup terkesan dengan kualitas suara dan sambungannya yang jelas dan jernih, padahal kita berada jauh sekali dari sana. Dan dengan kartu ini kita bisa membuat sambungan telepon internasional dengan harga yang lebih murah. Selain itu kartu ini juga bisa dipakai berulang-ulang, asalkan ada kredit tersisa. 



Mencoba kartu Unidial di salah satu telepon umum di sudut Fremantle.

Di depan pasar Fremantle, terkadang  ada juga pertunjukan seniman jalanan. Contohnya seperti yang dilakukan seniman yang melakukan aksi maut ini. Tidak seperti di Indonesia yang “seniman jalanan” cuman pengamen yang cuma minta-minta uang, disini mereka benar-benar memberikan pertunjukan yang luar biasa. Dan penontonpun juga memberikan penghargaan yang sepantasnya sehingga pendapatan dari melakukan pertunjukan di jalanan bisa buat sandaran hidup seniman jalanan.


Salah satu pertunjukan seniman jalanan di depan pasar Fremantle Market. Tampak para penonton bergerombol menikmati aksi menantang maut si seniman jalanan.

Kami juga mampir ke gedung benteng kuno yang diberi nama “The Roundhouse”.


Pemandangan kota Fremantle diambil dari atas "The Roundhouse". Dibawah tampak jalur kereta api yang membelah tepi barat Fremantle. Agak unik juga karena batangan relnya ada 3, bukan 2 seperti yang saya lihat di Indonesia.
 

Berfoto bareng Doddy dan kakak saya di The Roundhouse. Belakangan saya sadar kalau gedung berwarna terang di sebelah kanan adalah bekas garasi trem Fremantle yang berhenti beroperasi tahun 1952 silam.

Dan tidak jauh dari “The Roundhouse”, ada taman yang luas bernama “Fremantle Esplanade”. Taman ini cukup populer bagi masyarakat yang mau berpiknik dan bersantai sambil menikmati pemandangan. Di salah satu sudutnya,  ada monument unik yang dibangun untuk memperingati penjelajah Portugis, Vasco Da Gama.


Monumen Vasco da Gama di sudut taman Fremantle Esplanade. Belakangan monumen ini dipasangi struktur tanduk logam diatasnya.

Kami juga melihat-lihat beberapa toko cinderamata disini, dan juga menikmati makan siang dan ngopi di salah satu café tua disini.


Mencoba lense tele baru saya saat makan siang di Fremantle.

Sewaktu makan, saya perhatikan banyak sekali burung camar disini. Walaupun saya sudah sering lihat fotonya, mungkin ini pertama kalinya saya lihat mereka secara langsung. Mereka mungkin memberikan pemandangan fauna yang unik di kota ini, tapi terkadang mereka bisa jadi hama pengganggu karena mereka akan menyerbu sisa makanan di meja luar, atau kadang makanan yang tidak diawasi. Belum lagi kalau mereka berak.


Segerombolan burung camar diatas atap mobil dekat tempat kita makan. 

Kami juga menyempatkan diri menonton film “Mr. Bean” di salah satu bioskop disini.


Menonton bioskop di Fremantle. Ini difoto saat bioskopnya belum ramai.

Ini pertama kalinya saya lihat film barat tanpa subtitile. Dan saya perhatikan penontonnya tertawa lebih sering daripada penonton Indonesia, karena mereka memahami banyak istilah slang, idiom, atau permainan kata yang tidak dipahami orang Indonesia, bahkan dengan bantuan subtitle sekalipun.


Puas jalan-jalan keliling Fremantle, kami kembali ke mobil kita dan pergi ke selatan menuju ke Rockingham. Doddy akan membawa kita menuju ke taman margasatwa yang terkenal disana.
Saat kita berkendara makin ke selatan, semua bangunan dan rumah klasik berganti menjadi daerah industri begitu memasuki Kwinana. Daerah di sebelah selatan Fremantle ini didominasi pabrik dan fasilitas penyimpanan gandum. Walaupun daerah ini aslinya kawasan industri, herannya masih banyak tanah kosong hijau nan asri disini. Beda dengan kawasan industry di Indonesia yang seringkali padat, penuh polusi, dan kumuh; kawasan industry disini kelihatan rapi dan hijau.
Setelah beberapa menit perjalanan kamipun sampai di Rockingham. Namun kami tidak mampir kesini, tapi hanya lewat saja. Doddy menunjukkan ke kami pantai di Rockingham yang di tepinya ada taman yang asri. Pantai itu sebenarnya kelihatan enak buat berenang. Tapi karena sekarang musim dingin, dan kita nggak bawa baju ganti, rasanya sekarang bukan waktunya berenang di pantai. Walaupun begitu, banyak juga yang duduk-duduk santai di tepi pantai, bahkan ada juga yang berenang. Di laut tampak beberapa kapal layar yacht dan perahu-perahu kecil lainnya berlayar.
Setelah mampir sebentar, kamipun melanjutkan perjalanan ke selatan. Lepas Rockingham, pemandangannya benar-benar asri ala pedesaan di Australia. Banyak padang-padang rumput kosong yang terkadang diselingi rumah-rumah.  Saya cukup kagum dengan begitu ruralnya suasana pedesaan di Australia. Kayaknya tinggal disana enak juga.
Tak lama kemudian kamipun sampai di taman margasatwa Marapana Wildlife World. Walaupun dilabeli taman margasatwa, tempat ini sebenarnya mirip kebun binatang, hanya saja kandang hewannya luas. Rata-rata hewan yang ada disini adalah hewan asli Australia seperti kanguru dan koala, serta banyak hewan lainnya.


Burung Emu (masih satu kerabat dengan burung Kasuari) di dalam kandang.

Kandang hewannya sangat luas sekali sehingga mereka bisa berkeliaran layaknya di alam bebas.



Pengunjung bisa lihat-lihat tempat ini, dan berinteraksi dengan hewan-hewan yang ada. Entah memeluk koala atau memberi makan kanguru.


 Memberi makan kangaru yang lumayan rakus.

Walaupun langitnya gelap dan cuacanya agak gerimis, hal ini tidak mengurangi kenikmatan kita mengunjungi tempat ini. Mungkin yang membuat saya agak takut hanya selera makan hewannya yang lumayan rakus dan agresif, sampai-sampai saya takut kalau tangan saya ikut dimakan! 


Sejujurnya saya agak takut memberi makan kanguru karena mereka lumayan agresif.

Selesai berkunjung ke Marapana, kami kembali ke Perth melalui jalan bebas hambatan utama. Selama perjalanan Doddy mengasih lihat beberapa tempat yang kita lewati, atau yang di dekat situ. Seperti kota Mandurah yang katanya merupakan kota paling selatan di wilayah metropolitan Perth, atau bandar udara Jandakot yang merupakan salah satu sekolah penerbangan terkenal di Australia.

Taman kota di tepi pantai di Mandurah.

Kami kembali ke Perth melalui jalan bebas hambatan Kwinana Freeway. Karena kami tidak berhenti-henti, kamipun sampai kembali ke kota lebih cepat. Bahkan saat kami sampai kembali ke Perth suasananya masih terang benderang. Karena masih terlalu awal untuk pulang, kamipun mengisi waktu dengan melihat-lihat pantai di sekitaran Perth.
Selagi menunggu matahari terbenam, kami mampir ke pantai Cottesloe dan Scarborough yang merupakan pantai ternama di wilayah kota Perth. Biasanya kedua pantai itu ramai dengan pengunjung yang datang untuk berenang atau berjemur. Tapi karena di musim dingin hawanya kurang enak dan langitnya kebanyakan mendung, tidak banyak yang berkunjung ke pantai. Kalaupun ada hanyalah segelintir peselancar yang sudah mahir. Pemandangan pantainya kalau saya perhatikan mirip-mirip dengan pemandangan pantai di Eropa yang saya lihat di majalah atau TV.
Setelah matahari terbenam, kamipun kembali ke rumah saya, dimana sesampainya kami disambut oleh Siraj yang baru pulang kerja. Dia menyambut kami dengan hangat seperti biasanya dan bertanya tentang bagaimana kesan kami di hari pertama kami di Perth. Kami berkata bahwa kami cukup kagum dengan betapa rapi dan teraturnya kota Perth dan sekitarnya.
Siraj mengundang kami untuk makan malam bersama di restoran Sizzler terdekat (saya tidak ingat dimana). Kamipun setuju, dan tak lama kemudian kamipun pergi kesana dengan 2 mobil (mobil Siraj dan Doddy).  Disana kami menikmati menu hidangan yang disajikan disana.
Bagi saya ini cukup unik, walaupun di Indonesia waktu itu ada Sizzler tapi hanya di Jakarta saja. Itupun tak pernah saya kunjungi. Sungguh ironis bahwa seumur-umur saya makan di Sizzler hanya pernah di luar negeri saja.
Seusai makan, Siraj mengajak kami untuk mampir ke King’s Park. Tempat ini adalah taman kota terkenal di kota Perth. Lokasinya cukup unik karena terletak di sebuah bukit di tepi pusat kota. Dari tempat ini kita bisa melihat kota Perth dengan jelas, lengkap dengan pemandangan sekelilingnya. Tamannya sendiri juga cukup cantik pemandangannya karena rimbun dan penuh tanaman local Australia.
Karena waktu itu sudah gelap, kita bisa melihat pemandangan spektakuler kota Perth dibawah sana. Saya iseng mencoba memotret suasana kota dengan kamera saya. Sejujurnya, waktu itu saya belum pernah berhasil memotret di malam hari. Apalagi di jaman kamera film, dimana hasil jepretan baru bisa dilihat beberapa hari setelah foto diambil, ini nggak ubahnya seperti gambling.
Ternyata setelah fotonya jadi, hasilnya seperti ini! Berarti ini pertama kalinya saya berhasil memotret di malam hari.


Foto malam kota Perth diambil dari Kings Park tanggal 2 Agustus 1997, diambil dengan kamera Canon AT-1 dengan film ISO200.

Selesai dari King’s Park, kami menuju ke hotel tempat bapak dan kakak saya menginap. Malam ini rencananya saya akan bermalam dengan mereka di “Pacific Motel” yang terletak persis di sebelah kampus saya.
Hotel ini adalah hotel budget yang sudah cukup tua, model bangunannya mirip dengan bangunan tahun 1970an atau awal 1980an. Fasilitasnya ala kadarnya, tapi hotelnya cukup nyaman dan terawat. Di kamar ada 2 tempat tidur, kamar mandi dengan air hangat, pemanas ruangan dan TV. Hanya kekurangan dari hotel ini adalah pegawainya yang kasar dan tidak ramah. Waktu kita mau minta extra bed, mereka mempersulit kita. Akhirnya malam itu kami membongkar salah satu tempat tidur agar ada 3 kasur.
Setelah semuanya settle, Doddy dan Siraj pamit dan kembali ke rumah mereka masing-masing.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar