Pada satu hari Kamis pagi di bulan September, saya
kaget melihat banyak mahasiswa dan mahasiswi dari Eropa datang ke
kampus. Saya belum pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya.
Sewaktu masuk ke dalam, saya terheran-heran melihat halaman kampus
dipenuhi mereka! Rasanya seperti di Eropa! Setelah melihat-lihat,
ternyata mereka semua orang Swiss. Mereka memenuhi halaman kampus sampai
pelajar-pelajar dari negara lain minggir semua. Bukan karena mereka diusir
anak-anak Swiss, tapi karena mereka tidak percaya diri berada dekat anak-anak
Eropa ini.
Sekelompok besar mahasiswa baru dari Swiss berkumpul di air mancur di pekarangan kampus St. Mark's. Heinz Gubler mengenakan kaos singlet warna hijau gelap di sebelah kanan atas, tengah ngobrol dengan anak baru.Sementara Denise Loher (berambut pendek dan berbaju hijau bercelana jeans) dan Maria Lüchinger (berkaos merah) duduk di sebelah kanan air mancur.
Sewaktu Heinz datang, dia juga terkejut dengan kehadiran
mereka. Dia nggak mengira bakal melihat banyak orang senegaranya menjejali
kampus. Dia sempat ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka, dan bisa
mengkonfirmasi kalau mereka semua orang Swiss Jerman. Beberapa bahkan berasal dari
dekat kampung halamannya Heinz.
Alvin begitu melihat pemandangan ini berkata kalau
akhirnya dia melihat kalau apa yang digambarkan di foto-foto brosur kampus
ternyata benar. Sebelum mereka datang, kita sering mengira kalau keberadaan pelajar
bule di foto brosur cuma sekedar tetek bengek promosi, dimana model Australia
berpose sebagai “mahasiswa asing”.
Reiko, begitu melihat orang Eropa berjumlah besar, usil menggoda
saya dengan berkata “Oooh, ceweknya cakep-cakep ya? Semoga ada yang jadian dengan
kamu.” Sung Ho juga sama-sama terheran-heran. Walaupun tidak begitu tertarik
dengan mereka, dia mengungkapkan kekagumannya tentang kemungkinan kita punya
murid Eropa tambahan di kelas.
Begitu kelas dimulai,
para pelajar baru Swiss ini dibawa ke gedung aula untuk memulai ujian masuk dan
program orientasi. Beberapa jam kemudian, seseorang mengetuk pintu kelas kita,
dan seorang guru memandu dua orang cewek Swiss yang cantik ke kelas kita.
Mereka adalah Denise Loher dan Maria Lüchinger.
Keduanya kawan akrab dan berasal dari Montlingen, dekat St. Gallen, di
sebelah timur Swiss. Keduanya berumur 20 tahun.
Maria adalah guru paruh
waktu yang bekerja di taman kanak-kanak di kotanya. Penampilannya lebih mirip
orang Eropa selatan daripada Jerman. Mukanya agak kaku, matanya hitam dan
bersorot tajam, kulitnya agak kemerahan, dan rambutnya hitam. Bahkan terkadang
beberapa orang Australia mengelirukan dia sebagai orang Italia, padahal dia
orang Swiss Jerman. Kemampuan bahasa Inggrisnya sebenarnya agak rendah, sampai
saya heran kok dia bisa masuk kelas kita?
Denise adalah karyawan
kantor pos di kampung halamannya. Seperti halnya para pelajar Swiss Jerman di
kampus, dia sebenarnya tengah berlibur panjang, dan menggunakan kesempatan ini
untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya. Dibanding Maria, bahasa Inggrisnya Denise
cukup bagus.
Dan kalau mau jujur,
orangnya cukup cantik juga. Dia punya kulit berwarna putih sekali (paling putih
yang pernah saya lihat), dan rambut pendek berwarna kepirangan. Matanya yang
berwarna coklat punya sorotan tajam yang bisa membuat orang penasaran. Dia
sebenarnya punya kecantikan khas orang Jerman. Saya membayangkan dia pasti
kelihatan cantik sekali kalau pakai pakaian tradisional Swiss.
Kulit Denise yang mulus dan wajahnya yang ala baby face
membuatnya kelihatan sangat cantik. Tapi waktu itu saya belum tertarik sama
dia. Fakta bahwa masih ada cewek-cewek Swiss lainnya dikampus membuat saya
penasaran dengan cewek lainnya.
Sewaktu saya bilang tentang keberadaan cewek-cewek Swiss ke
Siraj dan Shahjehan, mereka tertawa terbahak-bahak. Mereka bilang “Oh…Bagus
suka cewek Swiss!”. Fairooz, yang kebetulan ada di rumah bahkan bilang dia ingin
datang sendiri ke kampus untuk berkenalan dengan cewek-cewek Swiss ini.
Belakangan saya sadar kalau dia cuman berkelakar.
Tapi Dani* dan Erick* nggak begitu enthusias dengan berita itu.
Mereka mengingatkan saya bahwa mungkin mereka akan menipu saya agar saya
terjerat kehidupan malam, minum-minum, bahkan narkoba, karena mereka sering
melihat orang Australia melakukan hal itu ke pelajar Indonesia. Dani* bahkan
memarahi dan mengancam saya agar tidak dekat-dekat dengan orang Swiss. Karena
saya benci mereka, saya tidak menggubris ucapan mereka. Erick* bahkan berkata “orang-orang
itu munafik!” yang langsung saya balas “Kamu sendiri juga munafik dan brengsek!”
Di hari Jumat pertama kita dengan anak-anak baru dari Swiss
ini, kita mampir ke pub The Queens. Ini pertama kalinya saya bisa ngobrol
dengan Denise dan Maria. Saya ingat kita duduk di salah satu meja di luar pub,
dan saya duduk persis di depan cewek-cewek ini.
Ini pertama kalinya saya memulai percakapan dengan para
cewek ini. Pertama mereka agak malu-malu. Bahkan Maria kesulitan berbicara
bahasa Inggris. Denise mencoba berbicara perlahan-lahan dan hati-hati,
terkadang dia berhenti dan mencoba memikirkan apa istilah bahasa Inggris yang
cocok untuk menjelaskan apa yang mau dia sampaikan. Walaupun ada kendala
bahasa, kami cukup senang bisa ngobrol dan berkenalan satu sama lain. Saya
cukup senang sekali bisa ngobrol dengan mereka.
Tapi yang membuat saya terkejut adalah betapa tebalnya bulu
badan cewek-cewek Swiss ini. Dari jauh mereka kelihatan biasa saja, tapi begitu
dilihat dari dekat (apalagi mereka pakai kaus lengan pendek karena cuaca hari
itu “hangat” buat orang Swiss) saya perhatikan lengan mereka berbulu tebal!
Sebelumnya saya sering lihat cowok dengan bulu badan tebal, tapi ini pertama
kalinya saya lihat cewek berbulu badan tebal.
Sayangnya, mereka tidak lama di kelas saya. Hari
Senin minggu depannya, mereka memutuskan untuk pindah turun kelas dan masuk ke
ruang kelas lain. Mungkin mereka tidak bisa mengikuti standard perkuliahan di
kelas kami. Dan selain itu juga tujuan mereka kesini murni untuk
bersenang-senang. Mereka tidak mempersiapkan untuk kuliah.
Walaupun mereka hilang dari kelas saya, saya masih sering
ketemu mereka. Saya selalu bertemu dan nongkrong dengan mereka kalau waktu
istirahat. Terkadang Heinz bertindak sebagai “penerjemah” kalau seandainya ada
salah mengerti. Beberapa pelajar Swiss juga ikut nimbrung dengan kita.
Menikmati jam istirahat makan siang sambil duduk-duduk di pancuran di halaman St. Mark's International College. Heinz lagi menyantap makan siangnya, sementara Denise menengok ke kamera. Entah kenapa wajahnya Maria kelihatan kaku.
Setelah beberapa minggu, perasaanku terhadap Denise mulai
berkembang. Setiap pagi saya selalu ketemu Denise (dan Maria) setiap kali
datang ke kampus. Saya tidak pernah lupa untuk menyapa mereka, walaupun
umumnya adalah Denise yang membalas, sementara Maria cuek saja. Awalnya Denise
membalas ucapan selamat pagi saya dengan dingin. Tapi makin lama makin hangat.
Seiring dengan makin tertariknya saya dengan Denise, akhirnya ada satu kejadian yang membuat saya jadi tergila-gila sama
Denise. Suatu hari saya bertemu dengan dia di perpustakaan. Waktu itu kita
sama-sama ada kegiatan kelas perpustakaan. Saya duduk di salah satu meja di
situ, ketika tiba-tiba dia datang dan duduk di sebelah saya. Buat orang yang
tidak pernah punya hubungan intim dengan cewek sebelumnya, saya dalam hati merasa
kegirangan karena ini.
Kalau itu kurang, di sela-sela sesi membaca kita juga
ngobrol. Wah asyik juga akhirnya kita bisa ngobrol berduaan, dan dia sepertinya
santai saja mendekati saya. Saya bertanya apa yang memotivasi Denise untuk
datang jauh-jauh ke Australia untuk kuliah bahasa Inggris. Denise menjawab
kalau dia ingin sekali berkunjung ke negeri yang jauh dari tempatnya, melihat
dunia, dan bertemu dengan orang-orang selain Eropa. Dia juga bilang kalau saya
adalah kawan pertamanya yang bukan orang Eropa yang dia punya. Wow, saya merasa
ge-er nih! Diapun bertanya apa yang istimewa mengenai Indonesia. Saya balas,
Indonesia terkenal karena pemandangan daerah tropisnya yang indah,
masyarakatnya yang ramah, budayanya yang beraneka ragam, dan pantainya yang
keren-keren. Denise tertarik begitu mendengar itu, dan dia bilang kalau suatu
hari nanti pingin datang ke Indonesia. Hati saya makin berbunga-bunga mendengarnya!
Saat ngobrol, saya perhatikan ada ada cincin perak kecil di
jari manisnya. Saya tanya apakah dia sudah punya pacar. Dia jawab sebenarnya
dia sudah punya, walaupun dia mengaku kalau hubungan dia dengan pacarnya “tidak
terlalu serius”.
Waktu itu di telinga kiri saya terpasang earphone
yang tersambung dengan Walkman. Denise yang duduk di kanan saya bertanya apakah
dia boleh ikut nimbrung mendengarkan lagunya. Saya dengan senang hati bilang
iya. Diapun meraih salah satu earphoneku dan memasangnya di telinga kanannya.
Otomatis sayapun ketarik makin dekat dan rapat ke dia. Hatiku pun
berdebar-debar. Saya tidak bisa menggambarkan bagaimana bahagianya saya saat
itu, duduk rapat dengan cewek yang saya sukai dan sama-sama mendengarkan lagu
yang saya pilih. Kalau nggak salah waktu itu kita mendengarkan lagu “Will You
Still Love Me” dari Chicago, dan “Lovefool” dari The Cardigans.
Tiba-tiba saya tertegun sewaktu mendengar lagi kedua. Saya
ingat waktu pertama kali mendengar lagu ini sebelum berangkat ke Australia,
saya merasa seperti ingin jatuh cinta ke cewek yang penampilannya mirip dengan
penyanyi lagu ini. Dan sewaktu saya melihat Denise, yang penampilannya mirip
dengan penyanyi The Cardigans, saya sadar bahwa Denise mungkin adalah cewek itu…..
Kalau itu kurang, sewaktu dia selesai mendengarkan Walkman
saya, dia mencium earphone saya sebelum mengembalikannya ke saya. Walaupun saya
tidak melihat langsung saat dia mencium, saya bisa merasakan dinginnya air liurnya dia sewaktu
saya memasang earphone itu kembali ke telinga saya. Wah jelas, kalau dia
sendiri sebenarnya sangat suka ke saya. Dia mungkin ingin mencium saya, tapi
karena waktu itu lagi banyak orang di perpustakaan, dia menghindari mencium
saya langsung.
Hati saya berdegup kencang karena saya jadi emosi. Saya
jatuh cinta dengannya! Semenjak itu, saya selalu bersemangat untuk pergi ke
kampus karena saya pingin sekali setiap hari ketemu sama Denise. Saya
benar-benar termotivasi untuk datang ke kampus semenjak itu.
Namun karena saya masih anak kecil yang lugu, saya sayangnya
kesulitan untuk mengungkapkan rasa jatuh cinta saya ke dia.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya juga mulai mengenal
anak-anak Swiss yang lainnya. Ada Claudia*, cewek Swiss yang atletis dengan
rambut hitam kecoklatan pendek yang suka main tennis setiap sore setelah kelas
usai. Dan kemudian ada Bruno*, cowok Swiss Jerman yang berambut hitam cepak dan
berkacamata. Dia orangnya aktif berbicara, dan sering jadi pusat perhatian
diantara pelajar Swiss. Dia suka bercanda, dan saya suka membalas candaannya
dengan cerita-cerita lucu dari masa sekolah saya.
Kemudian ada Marcus, seorang lelaki Swiss bertubuh tinggi
dari Luzern. Dia orangnya pendiam dan sederhana, yang sering mengobrol dengan
saya. Dia adalah kawan sekelas Denise dan Maria. Dan tidak seperti kebanyakan
orang Swiss di kampus, dia akrab dengan anak-anak Jepang dan
Korea. Seringkali saya melihat dia ngobrol dengan Sung Ho, Reiko, Nami*, dan
banyak pelajar dari Asia lainnya.
Anak Swiss lain yang cukup dekat dengan pelajar Asia adalah
Klaus*. Orangnya tinggi, berambut pirang
keriting, bertubuh agak kurus, berkacamata, dan agak kutu buku. Saya ingat
waktu awal-awal di kampus dia sering bilang “Bahasa Jerman dialek Swiss itu
bahasa paling susah di dunia”, dan suka pamer peta Switzerland ke mahasiswa
lain. Namun, walaupun awalnya terkesan seperti menyombongkan negaranya, lama
kelamaan dia belajar memahami bahasa Jepang juga. Apalagi dia kemudian jadi
akrab dengan anak-anak dari Jepang.
Tapi ada juga anak Swiss yang benar-benar angkuh. Namanya
Gabriela*. Orangnya penampilannya Aria betul: kulitnya putih, rambutnya pirang
keriting, matanya biru, dan badannya langsing agak tinggi. Anaknya aslinya ramah,
periang, dan suka bersosialisasi. Walaupun saya perhatikan dia cenderung
ngumpul hanya dengan sesama kawan dari Swiss karena dia cenderung merendahkan
orang-orang Asia.
Cewek Swiss bernama Gabriela* (berbaju kuning) tampak tengah duduk di pojok kampus saat jam istirahat.
Tapi bisa dibilang cewek Swiss yang paling cakep diantara
semuanya adalah Maria* (bukan Maria Lüchinger
yang kawan dekatnya Denise). Dia bertubuh tinggi dan langsing, kulitnya putih
banget, berambut pirang dan panjang, serta bermata biru. Wajahnya juga cantik
sekali. Dia benar-benar membuat kagum siapapun baik di dalam maupun diluar
kampus. Bahkan yang luar biasa orangnya bersahabat, ramah, rendah hati, dan
mudah didekati. Orangnya jauh dari kesan sombong dan murah senyum ke
siapapun. Gosipnya dia adalah mantan pramugari atau fotomodel di Swiss.
Wajah Maria* seingat saya mirip sekali dengan wajah aktris Tara Reid sewaktu masih muda. Cuman orangnya tinggi dan langsing.
Yang cukup menarik adalah Maria* fasih berbahasa Thailand!
Kita semua nggak mengira ada orang Swiss Jerman bisa fasih berbahasa salah satu
negara Asia. Setiap jam istirahat, dia sering terlihat nongkrong dan ngobrol
akrab dengan para pelajar Thailand. Karena dia, anak-anak Thailand yang
umumnya pemalu dan agak tertutup jadi lebih terbuka sama orang Eropa. Konon dia
bisa fasih bahasa Thailand karena pernah tinggal lama di Thailand, mungkin
karena ikut program pertukaran pelajar. Ada juga gossip yang mengatakan kalau
dia sedang ada hubungan asmara dengan cowok Thailand, walaupun saya nggak
pernah menemukan buktinya.
Tapi waktu itu karena saya lagi kasmaran dengan Denise, saya tidak pernah tertarik untuk pendekatan dengan Maria*.
Tapi waktu itu karena saya lagi kasmaran dengan Denise, saya tidak pernah tertarik untuk pendekatan dengan Maria*.
Semenjak itu, saya sering menghabiskan waktu istirahat saya
nongkrong bareng dengan anak-anak Swiss. Alasan utama saya melakukan ini adalah
untuk mengatasi kurangnya rasa percaya diri saya kalau berada dengan orang
bule. Dengan bersama mereka, saya merasa seperti sejajar dengan mereka, bukan
bangsa yang inferior. Mereka sendiri kelihatan senang dengan kehadiran saya,
dan bahkan mereka sering penasaran tentang negara saya karena beberapa tidak
pernah ke Asia Tenggara. Setiap saya menceritakan tentang negara saya, ada rasa
kebanggaan menjadi orang Indonesia.
Saya juga melihat orang Swiss bebas mengekspresikan diri
mereka. Kalau mereka suka satu sama lain, mereka tidak ragu memeluk atau
mencium temannya, tidak peduli apakah orangnya sudah menikah atau punya pacar.
Walaupun Heinz sudah punya pacar (bukan menikah, tapi tinggal bersama), dia
tidak ragu-ragu memeluk Denise, sampai saya merasa cemburu karena saya ada
perasaan dengan dia. Saat cuaca mulai hangat di musim semi, orang-orang Swiss
tidak ragu-ragu menggunakan pakaian yang lebih mini daripada orang Asia. Mereka
juga tidak malu-malu mencopoti baju mereka hingga pakaian dalam dan berenang di
kolam renang di belakang kampus.
Saya juga mulai mengikuti beberapa kebiasaan orang Swiss,
umumnya melalui Heinz. Saya belajar bagaimana caranya mereka menerapkan
disiplin tanpa didikan keras. Kuncinya adalah komitmen. Pilih hal apa saja yang
bisa memotivasi kamu (sesuatu yang kamu sukai, bukan takuti) untuk meraih
sesuatu. Inilah kunci bagaimana Swiss bisa jadi negara maju. Semua orang
bekerja sesuai dengan minat mereka, dan mengembangkan bakat dan potensi mereka jadi
sesuatu yang memajukan negeri mereka. Kontras dengan di Indonesia dimana
disiplin diterapkan dengan kekerasan dan hukuman, dan minat serta bakat
seseorang seringkali tidak digubris demi memenuhi ambisi pemerintah.
Satu lagi kebiasaan yang saya tangkap dari Heinz adalah
tulisan tangan blok. Ketika pertama datang ke Australia, tulisan tangan saya
nggak ubahnya seperti coretan yang susah dibaca. Tulisan saya jelek dan kadang
ada yang susah membacanya. Tapi sewaktu saya tahu Denise tertarik dengan Heinz,
saya berusaha meniru beberapa kelebihannya agar bisa “bersaing”. Mulai dari
kebersihan, sikap, dan tentunya cara menulis. Saya mulai berusaha menulis dengan
huruf blok yang serapi mungkin. Awalnya susah bisa menulis seperti dia. Tapi
lama kelamaan saya berhasil menulis dengan model tulisan blok hingga saat ini.
Mungkin tidak serapi tulisan Heinz, tapi paling tidak jauh lebih rapi daripada
tulisan cakar ayam saya dulu.
Beberapa minggu kemudian, kami naik kelas lagi. Kali ini
guru kami adalah seorang bapak-bapak bernama Milo Bogdanovich. Dia adalah orang Australia keturunan
Macedonia (bekas Yugoslavia), dimana kedua orang tuanya pindah ke Australia di
tahun 1960an. Walaupun lahir dan besar di Australia, dia tidak lupa dengan
asal-usulnya. Dia fasih berbicara bahasa Macedonia dan bahkan punya
kewarganegaraan ganda Australia dan Macedonia. Heinz, yang mengerti bahasa
Macedonia sedikit-sedikit, sering bercanda pakai bahasa itu dengan Milo.
Milo adalah guru yang punya pengalaman yang sangat banyak mengajar bahasa Inggris baik di Australia maupun di luar negeri. Beliau pernah tinggal lama di Jepang, bahkan akhirnya menikah dengan seorang perempuan Jepang yang memberinya dua orang anak. Oleh karena itu dia fasih berbahasa Jepang, sehingga anak-anak Jepang tidak berani menyembunyikan sesuatu dalam bahasa mereka karena Milo pasti mengerti apa yang mereka bicarakan.
Bersantai bareng di Queens Pub di Jumat siang seusai jam kelas. Dari kiri ke kanan: Rosalina, Sung Ho Park, Milo Bogdanovich, Hudiono Handoyo, Heinz Gubler, dan Woo Jae Kim.
Kontras dengan guru-guru sebelumnya yang terpaku dengan
materi dari kampus, dia sering melakukan improvisasi dengan menggunakan berita aktual baik di koran atau menggunakan rekaman radio untuk latihan
pelajaran listening. Metode pengajarannya sangat ampuh membantu saya, karena
materinya dia terbukti lebih berat darupada soal IELTS. Dia orangnya santai dan
mudah akrab dengan pelajar. Cara mengajarnya bisa membuat pelajaran yang sulit
jadi terasa mudah.
Cuman usahaku untuk bisa lebih dekat dengan anak-anak Swiss
saat akhir pekan ternyata cukup berat saja. Saat memasuki akhir minggu,
mayoritas langsung hilang total dari sekolah. Saya sering berusaha untuk ketemu
Denise, tapi seringkali dia tidak ada karena kelasnya selesai lebih awal dari
saya. Di akhir minggu mereka biasanya pergi ke pub. Karena saya tidak suka
kesana, saya jadi kurang percaya diri untuk bergabung. Jadi susah sekali mau dekat sama Denise.
Satu kebiasaan Heinz yang susah sekali ditiru adalah kebiasaanya
berpergian di akhir minggu. Orangnya suka petualangan. Sepertinya hampir setiap
akhir minggu dia akan pergi ke tempat yang jauh-jauh (dan melakukan hal-hal
eksotis seperti surfing dan memanjat bukit), di tempat-tempat seperti
Geraldton, Albany, Kalgoorlie, Northam, Wave Rock, dan tempat-tempat exotis
yang tidak bisa saya jangkau karena saya tidak bisa menyetir di Australia dan
tidak punya nyali untuk jalan sendirian.
Seperti biasa, Heinz tidak menyombongkan itu. Bahkan
terkadang dia mengundang saya untuk ikut pergi. Awalnya saya ragu-ragu untuk
ikut kalau cuma berduaan. Saya waktu itu belum tertarik dengan ide berpergian
ke tempat jauh cuma berduaan dengan teman.
Tapi suatu hari di pertengahan bulan Oktober, Heinz mengajak
saya untuk jalan-jalan ke Bunbury, Busselton, dan Margaret River. Dan kali ini
Denise juga ikut! Tadinya saya kira Heinz berbohong biar saya tertarik ikut
(trik ini sering dilakukan teman-teman orang Indonesia), tapi dia tidak
berbohong karena Denise dan Maria mengiyakan untuk ikut. Otomatis saya menerima
ajakannya. Siapa tahu ini kesempatan bagus untuk bisa lebih dekat dengan
Denise?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar