Senin, 25 Juni 2012

Komparasi Kereta Api dan Travel di jalur Bandung-Jakarta, di jaman pak Ignasius Jonan


Pendahuluan
Semenjak dibukanya jalan tol yang menghubungkan kota Jakarta dan Bandung, tiba-tiba saja KA Parahyangan dan Argo Gede berubah dari primadona menjadi pecundang.
Layanan KA yang tadinya ada setiap jam, tiba-tiba berkurang menjadi hanya beberapa gelintir sehari. Rangkaian KA yang tadinya bisa mencapai belasan gerbong, akhirnya berkurang menjadi hanya 5 gerbong saja.

Beberapa langkah untuk membuat KA populer lagi sempat dilakukan. Seperti mengurangi harga tiket KA bisnis menjadi Rp 30.000,-. Memang langkah tersebut membuat KA menjadi populer lagi, walaupun tidak dengan skala yang sama dengan jaman sebelum ada jalan tol. Tetapi rupanya langkah tersebut cukup membebani kondisi keuangan perusahaan. Dan penurunan harga tersebut tidak cukup membantu, karena kualitas pelayanan diatas KA tidak pernah membaik. Termasuk ketepatan waktu perjalanan masih tidak terjaga.

Kemudian datanglah pak Ingatius Jonan, yang mantan orang perbankan, menempati posisi Direktur Utama PT KA. Sebagai orang perbankan yang dituntut untuk membuat perusahaan menghasilkan keuntungan, beliau membuat banyak langkah radikal di PT KA. Pada prinsipnya langkahnya adalah mengurangi kerugian dan meningkatkan profit.

Akibatnya banyak KA yang tidak menguntungkan ditiadakan, dan layanan KA yang dianggap menguntungkan atau potensi ditekan agar performanya bagus. Hasil yang saya lihat KA makin bersih, ketepatan waktu makin terjamin, tetapi di sisi lain fasilitas KA jauh lebih restriktif, layanan KA tertentu cenderung berkurang frekuensinya, tiket yang dijual tidak sebanyak dulu (karena tiket berdiri dihapus total), tiket KA tidak ada yang murah, bahkan makanan tuslah diatas KA hilang.

Bahkan tiket murah diganti dengan tiket promo yang hanya bisa didapat kalau anda beruntung. Sementara armada gerbong kelas2/bisnis dikurangi. Sementara tarif KA eksekutif bisa menapai Rp 80.000,-!

Di sisi lain, layanan bis travel dari awal booming hingga sekarang tidak ada perubahan. Malah ada sedikit penurunan, yaitu ditiadakannya layanan “door to door” di mayoritas perusahaan travel tersebut. Jadi sekarang dalih layanan travel adalah layanan door to door itu sudah tidak benar lagi. Dan ini menempatkan layanan bis travel hampir menyerupai KA yang juga sama-sama bukan layanan door to door.

Lalu bagaimana jika layanan travel dan KA dibandingkan pada saat ini? Untuk jelasnya silahkan baca trip report saya.

Pra-Perjalanan
Tanggal 12 Juni 2012 saya mendapat panggilan dinas ke Jakarta. Awalnya pertemuan akan diadakan di bandara Cengkareng.
Secara logika, paling praktis dari Bandung menuju ke Cengkareng menggunakan bis travel, karena dari Bandung saya akan bisa langsung menuju ke bandara.
Tetapi setelah saya hitung, ternyata cukup mahal juga. Rata-rata tarif bus travel dari Bandung menuju Cengkareng adalah Rp 120.000,- hingga Rp 150.000,-. Termurah adalah Xtrans yang tarifnya Rp 100.000,-.

Namun itu masih lebih mahal daripada kombinasi tiket kereta api dan bis Damri yang kalau ditotal Rp 85.000,- (KA Rp 60.000,- eksekutif, dan bis Damri AC Rp 25.000,-).
Karena ingin berhemat, akhirnya saya memilih untuk naik kereta api saja, setelah lama tidak naik KA.
Dan rupanya pilihan saya untuk naik KA tepat, karena di tengah perjalanan tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa tempat pertemuan dirubah dari bandara Cengkareng menuju ke Mal Taman Anggrek.

Perjalanan Kereta Api
Setelah mandi dan bersiap-siap saya langsung bertolak menuju ke stasiun Bandung menggunakan angkot. Berhubung lokasi rumah yang agak jauh dari terminal angkot, saya terpaksa jalan kaki menuju ke terminal Gunung Batu.

Sesampainya di stasiun, saya membeli tiket dan langsung masuk menuju peron. Tidak seperti di jaman dulu, sekarang KA menerapkan sistem boarding, dimana penumpang baru boleh masuk ke peron kalau kereta sudah siap.

Selain itu pintu masuk dan keluar dipisah jauh.


Suasana pelataran stasiun Bandung yang sepi.

 
Saat akan masuk KA, tiba-tiba saya melihat ada gerbong wisata “Bali” yang tengah dilangsir. Siapa yang mencharternya ya?


 Ah...kereta saya. Lengkap dengan praminya yang “geulis”. Rupanya penampilan prami mulai diperhatikan kembali.


Suasana di dalam gerbong saya. Okupansi KA saat itu hanya sekitar 70% saja, karena ada satu gerbong yang sepi penumpang.


Tepat pukul 14.30, kereta api saya berangkat meninggalkan Bandung. Tak seperti perjalanan dulu, kali ini KA tidak berhenti di Cimahi.

Selama perjalanan, krew restorasi tak henti-hentinya menawarkan produk makanan yang dijual.


Yang saya suka dengan perjalanan KA dibandingkan dengan naik mobil lewat tol adalah, anda lebih dekat dengan alam. Tidak ada yang menghalangi pemandangan anda ke alam terbuka di pinggir rel.


 
Ruang kaki super lega. Di pesawat, anda tidak akan dapat space kaki selega ini.


Di daerah Cilame saya melihat pemandangan unik, dimana anda bisa melihat jalur KA yang memutari lembah. Dan anda bisa melihat jalur KA yang akan dan sudah dilewati.



Jembatan Cikubang. Jembatan kereta api yang kita lewati sebenarnya kelihatan lebih spektakuler daripada jembatan tol ini.


Saya juga menemui pemandangan mirip padang rumput di daerah Maswati, daerah selepas terowongan Sasaksaat kalau dari arah Bandung.


Salah satu highlight perjalanan ini adalah kereta melewati jembatan yang mungkin merupakan jembatan tertinggi di Indonesia: jembatan Cisomang. Jembatan ini memiliki tinggi dari dasar jurang hingga permukaan rel sekitar 100 meter.

Tampak pemandangan lembah sungai Cisomang dari atas KA.


Selepas Cisomang jalur kereta api mulai berada di daerah dataran. Tetapi pemandangan pegunungan masih mendominasi.



Selepas Cikampek, kereta api melewati daerah persawahan yang sangat luas di daerah Karawang.


Di jaman Belanda dan sebelumnya (jaman Fatahilah), Karawang adalah “Lumbung Padi Nasional” karena produksi padinya yang berlimpah dan areal pertaniannya yang sangat luas, didukung dengan kondisi tanahnya yang subur.

Tetapi semenjak pertengahan dekade 1980an, merasa sudah cukup dengan kesuksesan dunia pertanian Indonesia di tahun 1984, pemerintah mengijinkan pembangunan pabrik-pabrik dan industri yang tak ada sangkut pautnya dengan dunia pangan di Karawang.

Akibatnya semenjak itu reputasi Karawang sebagai lumbung padi nasional perlahan-lahan terkikis. Banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi areal industri, areal urban slum, dan perumahan kumuh.
Beberapa persawahan yang terletak dekat dengan daerah-daerah yang saya sebut diatas sudah sangat tercemar.

Tetapi sore itu saya masih melihat sedikit sisa-sisa kejayaan Karawang sebagai lumbung padi nasional.



 Kereta saya juga melewati Pelabuhan Darat Cikarang (Cikarang Dry Port) yang dibangun untuk menunjang angkutan industri di Karawang dengan menggunakan jalur KA.


Tetapi hingga saat ini saya tidak melihat ada kegiatan di sini.

Menjelang maghrib, kereta api saya mulai memasuki kota Jakarta.


 Jika saya perhatikan, kereta api kita berjalan cukup tepat waktu. Karena masih jam 5 lebih, kereta sudah masuk Jakarta (jadwalnya 5.30 sore).

Memang perbaikan ketepatan waktu dibawah manajemen yang baru sudah kelihatan. Dulu biasanya kereta dari Bandung selalu berjalan tepat waktu antara Bandung-Bekasi, tetapi antara Bekasi-Jakarta sering tertahan-tahan oleh KRL.
Sekarang sudah tidak ada lagi (dan KA tidak berhenti di Bekasi lagi). Apakah karena hal ini rute KRL dirubah?

Sesampainya di stasiun Gambir, saya langsung memotret suasan di peron stasiun Gambir yang ramai dengan penumpang tujuan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tampak jam di TV display menunjukkan jam 17.31.


Lokomotif CC204 24 siap menarik KA Gajayana tujuan Malang.


Ereksi terakhir Bung Karno, a.k.a Monumen Nasional.


Suasana KRL Komuter Line. Yang ini gerbong khusus wanita.


Suasana Gambir selepas KA Gajayanan berangkat.


Lokomotif KA saya tadi, tapi kali ini posisi lokomotifnya sudah ditukar.


Puas memotret peron, saya langsung berjalan keluar menuju ke bawah.

Di Jakarta
Begitu turun ke bawah, saya melihat bahwa sekarang di stasiun Gambir sudah mulai dipasangi barrier tiket.


Seingat saya tiket barrier tersebut sudah lama dipasang, tetapi hingga saat ini masih belum dipakai. Malah dipakai mainan oleh anak kecil.

Rencana awalnya saya dari stasiun Gambir berniat untuk pergi ke bandara Cengkareng. Tetapi karena tempat pertemuan dipindah ke hotel Mega Anggrek (dekat Mall Taman Anggrek).

Saya sayup-sayup teringat dengan nama hotel ini, karena 5 tahun silam pernah menginap di hotel ini.

Awalnya saya berniat pergi ke hotel ini menggunakan taxi seperti saran saya. Tetapi karena iseng, saya memilih naik busway.

Setelah tanya sana-sini saya akhirnya dapat busway yang bisa membawa saya ke Mall Taman Anggrek.

Tampak ekspresi seorang penumpang yang menunggu busway.


Bagi anda yang belum pernah ke Jakarta, saya cuman mengingatkan anda bahwa jika anda bertanya jalan di sana, jawaban satu orang dengan yang lainnya bisa berbeda jauh.

Setelah bergelut dengan kemacetan (walaupun digadang sebagai angkutan massal bebas macet, kenyataannya busway tetap kena macet), akhirnya saya sampai ke halte Mall Taman Anggrek.

Dari Mall Taman Anggrek ke hotel Mega Anggrek seingat saya tidaklah jauh. Tetapi karena saya lupa jalan, saya menyewa ojek seharga 15 ribu rupiah (belakangan saya merasa dirugikan karena taxi dari hotel ke mall Central Park di sebelahnya yang lebih jauh cuman 10 ribu!). Itupun termasuk kejadian dengkul saya menghantam pembatas jalan!


Balik ke Bandung
Acara pertemuan bisnis di hotel Mega Anggrek berlangsung lancar. Dan setelah acara selesai, saya akhirnya pulang kembali ke Bandung.

Karena waktu sudah menunjukkan 20.30, maka saya memutuskan untuk naik bus travel saja. Awalnya saya memesan travel Cipaganti. Tetapi rupanya sudah habis! Setelah menghubungi beberapa perusahaan travel, akhirnya dapat Cititrans yang berangkatnya dari mall Central Park yang terletak cukup dekat dengan hotel Mega Anggrek.

Dari hotel ke Central Park saya naik taxi Blue Bird yang ada di hotel tersebut. Taxi ini jelas lebih nyaman daripada ojek yang tadi saya naiki. Dan yang membuat saya cukup terkejut: lebih murah!

Saya didrop di lobby plaza ini, dimana halte travel terletak di depan tempat itu.

Tampak bus travel yang akan mengantar saya kembali ke Bandung.


Karena sudah malam, saya merasa bahwa saya tidak boleh makan berat. Oleh karena itu saya memilih beli roti di Carrefour di dekat situ.


Suasana lobby Central Park.




 Memang jika dibandingkan dengan KA, travel berangkat di tempat yang lebih mewah daripada stasiun Gambir. Tetapi perjalanannya tidak senyaman naik KA.

Menjelang pukul 10 malam, saya masuk ke dalam travel. Tampak space kaki di tempat duduk saya.


Tempat duduknya memang cukup nyaman, tetapi sayangnya saya tidak bisa bersandar lebih jauh karena tempat duduk saya paling belakang.

Keberangkatan bis travel terlambat hampir 20 menit, sehingga akhirnya travel kami berangkat pukul 22.19.


Dan kalau itu kurang, di tengah jalan (masih di Jakarta) dia berhenti agak lama di sebuah check point.


Saya tidak memotret sisa perjalanan karena sudah gelap dan saya sudah letih. Tidak seperti Cipaganti, travel ini berjalan non-stop dari Jakarta menuju Bandung tanpa berhenti di satupun rest area.

Walaupun sebelum berangkat saya minum agak banyak, herannya saya tidak merasa ingin kencing sepanjang perjalanan.
Saya berusaha tidur, tetapi susah sekali menutup mata sepanjang perjalanan.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari perjalanan ini, karena memang terasa seperti naik mobil biasa saja. Yang unik, walaupun kita berangkat terlambat dari Jakarta, tetapi sampai di Bandung tepat pukul 1 malam!

Seperti perjanjian saya dengan sopit sebelum berangkat, saya minta didrop di depan BTC, dan sayapun didrop di situ agar dari BTC saya bisa menaiki angkutan umum ke rumah.

Tetapi saya cukup terkejut karena sesampainya di BTC sudah tidak ada satupun angkot yang kelihatan. Bahkan BTC tampak gelap gulita.

Beruntung saya rupanya di dekat tempat saya berhenti ada taxi Blue Bird yang sedang mangkal. Sayapun naik taxi itu hingga ke rumah saya di Cimindi, dan akhirnya berakhirlah sudah perjalanan saya.


Perbandingan
Bagaimana saya membandingkan kedua moda transportasi yang merupakan rival di koridor Jakarta-Bandung ini? Mana yang lebih baik?

Pertama-tama saya mau mengatakan bahwa kelebihan moda transportasi bus travel yang mengatakan bahwa mereka mempunyai layanan antar jemput itu tidak sepenuhnya benar. Tidak semua layanan travel punya layanan itu, dan kebetulan yang saya naiki tidak punya.

Kalau sudah begini, travel berada pada posisi yang sama dengan KA, dimana penumpang harus menuju ke pool/stasiun mereka untuk naik.

Perkara ketepatan waktu, travel kalah tertib dengan KA. Dia berangkat terlambat, walaupun di jalan berusaha mengurangi keterlambatan dengan ngebut agar sampai tepat waktu di Bandung.
Tetapi saat itu kita cukup beruntung karena lalu lintas di Jakarta sedang longgar sehingga kita bisa cepat.
Sopir travel berkata bahwa terkadang jika jalanan di Jakarta macet, travel bisa terlambat hingga dua jam dari jadwal. Hal itu menunjukkan kelemahan moda transportasi darat.

Sekarang KA sudah mulai jauh lebih bersih daripada dulu. Praminya mulai cakep lagi. Dan yang cukup penting: ketepatan waktunya bisa dipegang.

Jadi bagaimana skoring mereka?

KECEPATAN:
KA : ***
Travel : ****

KENYAMANAN KABIN:
KA : *****
Travel : ***

PELAYANAN DIATAS:
KA: ****
Travel : (Tidak ada).

KETEPATAN WAKTU:
KA: *****
Travel: ***

AKSESIBILITAS:
KA: ***
Travel : ****

Kesimpulan
Menurut saya di perjalanan kali ini KA berhasil menghidupkan reputasinya sebagai angkutan yang cepat, nyaman, dan (lebih) murah.

Di sisi lain, angkutan travel terbukti sebagai angkutan yang cepat, bahkan terlalu cepat, dan bisa menjangkau titik-titik yang lebih dekat dengan tujuan.

 Tapi bagi saya highlight perjalanan kali ini adalah kembalinya prami "geulis" di KA yang berangkat dari Bandung :-)


Kamis, 16 Februari 2012

Mengintip Kereta Api di Malaysia


Banyak kawan-kawan yang pakar perekereta apian mengatakan bahwa perkereta apian di Malaysia lebih baik dari Indonesia. Benarkah itu?


Jawaban saya ya dan tidak.


Lho kok begitu?

Kawan-kawan saya yang pakar perekereta apian hanya tinggal sebentar saja, dan disuguhi yang bagus-bagus saja selama di Malaysia sehingga mereka dengan mentah-mentah menjawab “lebih bagus”.

Saya yang pernah tinggal lama di Malaysia tentu saja akan langsung menyanggah pendapat mereka karena mereka tidak mempelajari lebih dalam.

Terus seperti apa kereta api di Malaysia?


Pengalaman di Tahun 2004.


Saya tinggal lama di tahun 2004 karena waktu itu saya bekerja di sana. Walaupun dari rumah ke tempat kerja saya tidak pernah menggunakan kereta api (karena tidak dilayani jalur KA jenis apapun), tapi saya tetap mencoba segala jenis kereta api yang ada di Kuala Lumpur.

Seperti monorail.

STAR LRT.

PUTRA LRT.

KTM Kommuter.

Bahkan Monorail di sebuah pusat perbelanjaan di Subang Jaya juga sempat saya icipi.

Walaupun sayangnya, saat itu saya tidak sempat merasakan naik KA antar kotanya karena tidak ada kawannya.

Tapi apa dengan moda transportasi rel itu terus membuat kereta api di Malaysia lebih baik daripada Indonesia?

Begini, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia adalah negara yang cukup sepi. Penduduknya tidak sampai seperempatnya jumlah penduduk Indonesia. Jadi otomatis cukup mudah untuk mengatur masyarakatnya.

Saya melihat bahwa orang Malaysia juga punya kecenderungan untuk berbuat melanggar ketertiban, seperti halnya orang-orang negara lain (termasuk Indonesia).

Tingkat disiplin orang-orang di Kuala Lumpur mengingatkan saya dengan tingkat disiplin orang Indonesia di tahun 1980an awal dimana pada saat itu tingkat disiplin lebih baik dari sekarang, walaupun ada juga pengacau yang suka berbuat tidak tertib.


Pengalaman Tahun 2011.


Di bulan November 2011 saya kembali lagi ke Malaysia, kali ini untuk kunjungan sebentar saja. Walaupun sebentar, tetapi kali ini saya bisa menaiki beberapa KA yang tidak sempat saya naiki di tahun 2004 silam.

Seperti ERL

Yang menghubungkan bandara KLIA Sepang dengan kota Kuala Lumpur.

Dan KA Antar kota.

Naik KA ERL itu bagi saya cukup unik karena pertama kali itu naik KA yang berjalan dengan kecepatan diatas 120 km/jam. ERL berjalan dengan kecepatan 160 km/jam, sehingga perjalanan dari bandara KLIA ke kota Kuala Lumpur yang menghabiskan waktu hampir 2 jam dengan mobil, bisa ditempuh dengan ERL dalam waktu kurang dari setengah jam!

Sementara naik kereta antar kota (waktu itu naik Sinaran Selatan dari Kuala Lumpur menuju Johor Bahru).

Perjalanan naik KA antar kota di Malaysia tidak terasa berbeda dengan naik KA antar kota di Indonesia.

Malah pemandangannya boleh dibilang kalah dengan di Indonesia, khususnya pulau Jawa.

Tapi ada satu plus point yang membuat KA di Malaysia terasa lebih baik dari KA di Indonesia, yaitu keberadaan KA tidur.

Walaupun perjalanannya di siang hari (idealnya malam hari) tapi saya tetap merasa sangat nyaman karena bisa tidur siang.


Lokomotif.


Sebenarnya ada banyak type lokomotif di Malaysia. Ada lebih dari 20 jenis lokomotif di Malaysia saat ini.

Tapi ada beberapa yang menarik perhatian saya. Yaitu:

Class 23.

Lokomotif buatan Hitachi ini menurut saya cukup unik karena bentuknya yang benar-benar kotak malah memberikan kesan seperti gubuk yang berjalan diatas rel!


Class 24.

Lokomotif ini menurut saya bentuknya cukup mengingatkan saya dengan lokomotif BB301 dan BB304 di Indonesia. Walaupun jangan dibandingkan dengan loko Jerman itu, karena ada beberapa perbedaan yang lumayan signifikan.

Pertama, lokomotif ini dibuat di Jepang oleh Toshiba-Kawasaki. Kedua lokomotif ini punya enam gandar penggerak. Ukurannya juga cukup besar, bahkan melebihi lokomotif terbesar di Indonesia: CC202.


Class 26.

Kalau yang ini adalah lokomotif favorit saya di Malaysia. Lokomotif ini merupakan anggota keluarga lokomotif “Blue Tiger” buatan Bombardier di Jerman. Walaupun buatan Jerman, tapi pada dasarnya lokomotif ini mempunyai komponen-komponen utama (seperti mesin, komputer, alat-alat kelistrikan, dll) buatan General Electric di Amerika Serikat.

Sebagai fans GE, saya cukup senang bisa menemui loko GE di negeri seberang yang katanya “satu rumpun” dengan negara saya.


Gerbong dan EMU.


Ada beberapa variasi gerbong di Malaysia yang rata-rata sama saja dengan yang ada di Indonesia.

Yang sempat saya lihat adalah:


AFC

Alias gerbong duduk EXA.


ADNS

Atau gerbong tidur kelas 2. Gerbong seperti inilah yang saya naiki di KA Sinaran Selatan.


EMU atau KRL yang sempat saya lihat ada 2 jenis. Maaf saya tidak tahu kodenya.


Yang ini kalau tidak salah Class 81.

Walaupun penampilannya “buruk rupa” karena mukanya datar, tetapi KRL ini dulu merupakan favorit saya karena interiornya menyerupai interior KA antar kota, sehingga cukup nyaman dipakai berjalan-jalan.


KRL cepat Rawang-Ipoh.

Sayangnya saya hanya naik sekejap dari stasiun Putra ke KL Sentral sewaktu mau berangkat naik KA Sinaran Selatan menuju Johor.

Padahal sewaktu diluncurkan, KA ini berhasil mematahkan rekor kecepatan yang dibuat oleh ERL KLIA Express, biarpun KRL ini beroperasi di rel 1 meter!


Saya juga turut memperhatikan beberapa rolling stock Rapid KL. Perusahaan ini waktu saya tinggal di KL tahun 2004 silam terdiri dari beberapa perusahaan terpisah, yaitu Star LRT, Putra LRT, KL Monorail, dan juga menggabungkan beberapa perusahaan otobus.

Saya tidak tahu kapan mereka diamalgamasikan, tetapi di tahun 2011 saya cukup terkejut melihat perusahaan ini sudah menjadi satu perusahaan, walaupun pada saat itu sistem tiketnya masih terpisah, dan masih dalam tahap integrasi sistem ticketing.


Eks Putra LRT.

Saya cukup suka dengan LRT ini karena tidak ada masinisnya.

Jadi kita bisa melihat segala sesuatu di depan.


Eks Star LRT.

Kalau yang ini konsepnya biasa saja, karena ada masinis di depannya. Tetapi yang unik adalah radius beloknya yang kecil, sehingga memungkinkan untuk “meliuk-liuk” diantara celah-celah sempit diantara gedung-gedung tinggi.


ERL.

Ini adalah jenis kereta api listrik yang menghubungkan kota Kuala Lumpur dengan bandara KLIA Sepang.

Kereta buatan Jerman ini sanggup menempuh kecepatan 160 km/jam. Dia berjalan di rel 1,435mm atau ukuran lebar standard internasional.

Sewaktu baru, dia adalah KA tercepat di Asia tenggara, rekor itu bertahan sekitar sepuluh tahun sebelum digusur oleh ETS KL-Ipoh.

Secara konsep dia tidak ubahnya seperti KA peluru mini, dimana dia bisa berjalana cepat, namun karena jaraknya yang pendek (serta pemberhentiannya yang agak banyak) membuat dia memiliki kecepatan maksimal dibawah 200 km/jam.

Indonesia seharusnya memiliki KA serupa untuk menghubungkan kota dengan bandara, seperti di bandara Cengkareng Jakarta dan Juanda Surabaya. Di Malaysia, dengan KA ini, jarak antara Kuala Lumpur menuju Sepang yang aslinya 40 kilometer lebih, dan bisa memakan waktu lebih dari satu jam dengan kendaraan jalan raya, bisa ditempuh kurang dari 30 menit dengan KA ini, walaupun dia berhenti-berhenti di tengah jalan!

Jika jaringan seperti ini ada di Jakarta (contohnya) anda tidak usah pusing memikirkan kemacetan yang biasanya ada di tol Cengkareng, karena anda langsung melesat dengan KA menuju ke bandara.

Juga saya tertarik untuk mengomentari KA rapid KL (yang merupakan hasil merger semua perusahaan KA di Kuala Lumpur, yaitu Star, Putra, dan KL Monorail). Tidak bisa dipungkiri KA ini mempunyai peran yang penting untuk penglaju/komuter di kota Kuala Lumpur.

Saya perhatikan, kota Kuala Lumpur (walaupun lebih sepi dari Jakarta) tetapi di jam-jam sibuk bisa macet parah seperti Jakarta. Tapi keberadaan jaringan KA Rapid KL inilah yang membuat Kuala Lumpur terlihat lebih baik dari Jakarta.

Dengan jaringan KA komuter ini, kemacetan parah di jalanan Kuala Lumpur itu tidak menjadi halangan untuk anda beraktivitas, karena dengan jaringan KA itu anda bisa menghindari kemacetan parah.

Urusan kebersihan dan ketertiban antara Kuala Lumpur dan kota besar di Indonesia memang bisa dibanding-bandingkan, tetapi maaf urusan transportasi massal KL menang telak.

Ada beberapa kawan saya yang mengatakan bahwa kondisi jalanan di Malaysia “teruk” (parah), dan mengatakan bahwa Indonesia lebih baik. Tapi begitu melihat Jakarta, mereka menarik pernyataan mereka tadi dan menganggap KL atau Malaysia lebih baik.....


Stasiun Kereta Api.


Jangan tertipu dengan kemegahan beberapa stasiun baru di kota-kota besar di Malaysia.

Semenjak tahun 2000, mereka mulai membuat bangunan stasiun KA yang megah dan besar, seperti stasiun KL Sentral yang kalau dilihat sekilas menyerupai Shopping Center atau Plaza. Tapi kalau dilihat lebih teliti, sebenarnya adalah sebuah stasiun terintegrasi yang mengakomodasi empat jenis layanan kereta api (bahkan stasiun ini adalah titik akhir perjalanan ERL dari bandara Sepang).

Tidak banyak yang tahu bahwa sebelumnya, tempat itu adalah sebuah pelataran langsiran yang cukup besar bernama Brickfield, dimana KA-KA barang dari luar kota membongkar barang disitu. Tempat itu dulunya juga merupakan depo tempat parkir KA penumpang di KL, sebelum mereka ditarik ke stasiun Kuala Lumpur (yang kini menjadi bangunan heritage).

Kalau itu kurang, belakangan beberapa stasiun utama di beberapa kota besar di Malaysia juga mulai diupgrade agar tampak lebih megah dan modern, atau malah dibongkar total dan diganti dengan bangunan baru.

Yang pertama adalah stasiun Ipoh yang direnovasi besar-besaran, untuk mengakomodasi layanan KRL cepat KL-Ipoh.

Tidak seperti stasiun KL Sentral yang merupakan bangunan baru, stasiun Ipoh memanfaatkan bangunan era kolonial Inggris yang dimodernisasi tanpa harus merobohkan bangunan utamanya yang bersejarah.

Yang berikutnya adalah stasiun JB Sentral di kota Johor Bahru. Seperti halnya stasiun KL Sentral, stasiun Johor Bahru dibangun di lahan kosong yang terletak di utara stasiun Johor yang lama (kini sedang diredevelop menjadi museum).

Sewaktu saya melihat stasiun JB Sentral, saya cukup terkagum-kagum dengan kemegahan interiornya yang menyerupai sebuah bandar udara. Sangat modern dan futuristik.






Saat saya kesana, ada satu lagi stasiun besar yang sedang dibangun di Butterworth, menggantikan stasiun yang lama.

Sementara stasiun Tanjong Pagar yang notabene stasiun KTM paling selatan tidak pernah di redevelop karena polemik diplomatik, yang tragisnya diselesaikan dengan penutupan jalur KA antara Woodlands-Tanjong Pagar tahun 2011 silam.

Seandainya tidak ada masalah diplomatik antara Malaysia-Singapore, mungkin stasiun inilah yang diredevelop menjadi modern, bukannya Johor Bahru.

Stasiun-stasiun besar itu tidak ubahnya seperti sebuah shopping center, lengkap dengan toko-toko barang branded serta outlet makanan waralaba internasional.


Lha terus bagaimana dengan stasiun-stasiun kecilnya?


Maaf, kalau menurut saya perbedaannya dengan stasiun-stasiun besar yang tadi saya jelaskan bagaikan bumi dan langit!

Saking terbelakangnya sampai-sampai kelihatan kalah maju daripada stasiun kecil di Indonesia.

Kenapa begitu? Karena rata-rata stasiun kecil di Malaysia terletak di desa kecil yang perputaran ekonominya terkesan agak lambat, sehingga terkesan seperti berada di tempat yang terisolit. Jadi jangan harap anda akan menemui toko-toko disana.

Bangunannya rata-rata terbuat dari kayu atau semen saja, dengan bentuk yang “utilitarian” tanpa nuansa artistik.

Kontras dengan bangunan stasiun KA kecil di pedesaan di Indonesia yang rata-rata terbuat dari beton dan berdesain art-deco.

Saya juga agak terkejut melihat stasiun Gemas yang notabene merupakan stasiun utama tempat percabangan jalur KA dari Singapore. Walaupun stasiun penting, tetapi kelihatan lebih kecil dan kalah megah daripada stasiun Cirebon.

Saya jadi teringat oleh nasihat kawan saya, alm mas Pekik, yang pernah berpergian menggunakan KA antar kota KTM dari Singapore menuju KL. Beliau menasehati saya agar membawa bekal (nasehat yang ironisnya saya langgar saat kunjungan di tahun 2011). Hal itu dikarenakan ketiadaan kios-kios makanan di stasiun-stasiun kecil disana.

Dan kalaupun ada letaknya diluar peron, yang jelas cukup merepotkan (ini saya temui di Seremban). Jadi kalau bisa selalu bawa bekal yang mencukupi.

Ini sebenarnya ironis, karena setiap naik KA jarak jauh di Indonesia saya selalu siap perbekalan, tapi sewaktu naik KA Sinaran Selatan, saya hampir tidak bawa perbekalan! Paling hanya membawa sebotol kecil minuman dan beberapa snack. Kontras dengan sewaktu saya naik KA jarak jauh di Indonesia yang selalu siap sedia satu botol air mineral 1,5 liter plus beberapa botol kecil minuman soft drink atau susu. Belum termasuk cemilan-cemilan, atau malah terkadang makanan besar!

Saya terkadang tidak habis pikir, kenapa saat itu saya tidak membawa bekal memadai? Padahal harga makanan di Malaysia itu tergolong murah dibanding Indonesia (contohnya harga paket Big Mac di MacDonald Malaysia sekitar 90-95% harga di Indonesia).


Bagusan mana?

Setelah anda membaca artikel singkat saya, menurut anda lebih bagus perkereta apian dimana? Indonesia atau Malaysia?

Kalau pendapat saya cenderung berimbang. Jadi menurut saya masing-masing negara memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tergantung bagaimana anda menyikapinya.