Jumat, 27 Maret 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 8)


Begitu bertemu dengan Doddy, kamipun mulai berjalan-jalan keliling pusat kota untuk melihat daerah di sekitar situ. Saya cukup kagum dengan kombinasi bangunan klasik dan modern yang bisa dipadukan dengan sempurna disini. Ada banyak juga bangunan klasik yang didaur ulang untuk fungsi yang baru. Contohnya bioskop Picadilly yang teater utamanya sekarang menjadi area lorong perbelanjaan (walaupun diatasnya masih ada bioskop kecil). 


Bagian muka bioskop Piccadilly di jalan Hay Street Mall.

Doddy juga membawa kita melihat jalan Hay Street Mall. Seperti halnya Murray Street, jalan ini juga sudah ditutup permanen dari lalu lintas kendaraan dan sekarang menjadi areal pejalan kaki. Tempatnya sangat sibuk dan dikelilingi dengan toko-toko ternama disini.


Pojok timur Murray Street Mall, yang menyeberang jalan Barract Street.

Dia juga membawa kita melihat “London Court”, sebuah lorong yang dikelilingi bangunan berarsitektur klasik Tudor khas Inggris. Disini banyak toko-toko yang menjual souvenir, kamera, alat elektronik, dan majalah.


Berfoto bersama bapak saya di London Court.

Kami mampir ke salah satu toko souvenir. Barang yang dijual cukup mengagumkan. Selain barang-barang cinderamata biasa seperti kartu pos, magnit kulkas, kaos, topi koboy, dan Boomerang; mereka juga menjual barang-barang aneh seperti dendeng dan cakar Kanguru. Ada juga beberapa kartu pos dengan gambar perempuan sexy bertelanjang dada di pantai. Saya juga membeli satu sweater dengan logo Koala di depannya. Hingga kini saya masih punya sweater ini dan kondisinya masih sebagus sewaktu masih baru di tahun 1997 silam.
Dari toko souvenir, kami mampir ke satu kios majalah dimana bapak dan kakak saya membeli bahan bacaan. Saya melihat-lihat banyak majalah yang di toko buku di Indonesia biasanya ditaruh di bagian import dan dibungkus plastic vakum yang rapat, tapi disini tidak dibungkus sehingga saya bisa membacanya sebelum membeli.
Sebagai penggemar penerbangan waktu itu, saya benar-benar girang bisa lihat-lihat banyak majalah penerbangan top disitu. Rasanya seperti surga betul! Dan tidak hanya penerbangan, bagi peminat bidang lain seperti kereta api, pertamanan, kuliner, dan lain lain semua majalahnya ada.
Tapi kalau mau jujur, kebanyakan majalah penerbangannya sebenarnya diimpor. Mayoritas dari Inggris, tapi ada juga yang dari Amerika. Majalah dari Australia sendiri tidak terlalu banyak. Saya kemudian membeli satu buku yang mengulas pembom Avro Vulcan, B-45, dan B-52.


Sampul depan buku yang saya beli hari itu.

Selain majalah-majalah tadi, ada juga beberapa majalah atau bahan bacaan yang menarik perhatian karena mustahil dijual bebas di Indonesia: majalah dewasa! Di rak diatas, saya menemui banyak majalah dewasa terkenal seperti Playboy, Penthouse, dan lain-lain yang isinya vulgar. Yang penting, nggak satupun dibungkus plastic rapat! Saya membukanya dan WOW! Benar juga isinya memang “panas-panas”. Namun yang majalah Playboy sebenarnya bukan majalah porno karena isinya juga mengulas topik-topik aktual tapi diselingi beberapa gambar cewek-cewek sexy yang telanjang bulat. Padanannya di Indonesia mungkin majalah Popular, hanya ini lebih vulgar. Karena waktu itu saya sudah berumur 19 tahun, nggak masalah lah saya baca begituan. Tapi berhubung saya waktu itu “anak alim” saya memutuskan tidak membelinya dulu. Apalagi kalau dilihat bapak dan kakak saya, nggak enak tentunya.
Satu lagi barang di kios majalah yang kalau di Indonesia dilarang adalah “Lotto” atau Lotere. Ada yang format "Scratch & Win". Bentuknya seperti sehelai kertas karton ukuran A6 atau A7 yang diatasnya ada nomor-nomor tertutup dan harus digosok pakai koin. Kalau kombinasi nomornya tepat, si pembeli bisa memenangkan hadiah tertentu yang umumnya berbentuk uang jumlah tertentu (dan besar). Ada lagi yang model formulir yang harus diisi pembeli dan kemudian formulirnya diberikan ke penjual koran untuk dikrimkan ke pusat. Nanti setiap minggu di TV setelah berita sore akan ada pengumuman nomor yang memenangkan lotere. Dan pemenang utama bisa mendapatkan hadiah uang yang nilainya milyaran rupiah. Program ini diadakan secara resmi oleh pemerintah Australia dan hanya warga Australia yang boleh mendapatkan hadiahnya kalau menang. Program ini mirip dengan toto, Porkas, dan SDSB yang dulu pernah popular di Indonesia. 


Penjual "Lotto" di Australia memegang kartu "Scratch&Win" sementara counter  di kanan berisi formulir nomor keberuntungan.

Kami juga membeli kartu telepon “Unidial”. Fungsi kartunya mirip dengan kartu telepon biasa, hanya bukannya dimasukkan ke telepon umum, kita mengikuti arahan yang tertulis di bagian belakang kartu, dan kemudian memasukkan nomor kode yang harus digesek koin dulu biar kelihatan. Kartu ini cocok sekali buat telepon internasional dengan harga murah, di jaman dimana internet murah, Wifi, smartphone, Whatsapp atau moda komunikasi internasional praktis dan murah belum ditermukan. Setiap kartu punya nominal tersendiri, dan setiap kali kita menggunakannya kreditnya makin lama akan makin berkurang.  


Bagian depan kartu "Unidial".


Bagian belakang kartu "Unidial". Nomor kardu saat baru biasanya tertutup strip aluminium yang harus digesek agar ketahuan nomornya.

Dari London Court, Doddy mengajak kita melihat St. Georges Terrace. Jalan ini adalah jalan utama di pusat bisnis kota Perth, dimana banyak kantor-kantor perusahaan besar berada. Disini juga gedung-gedung pencakar langit di Perth berada. Karena hari itu hari Sabtu, maka suasananya tidak terlalu sibuk. Saya sudah melihat pemandangan serupa sebelumnya di Singapore, hanya hawa dingin dan sejumlah besar orang bule membuat suasananya beda.


Suasana jalan St. Georges Terrace di saat jam sibuk.

Kami juga mengunjungi lapangan Esplanade Reserve dan dermaga Barrack Street Jetty, dimana kita bisa melihat pemandangan kota secara utuh, serta sungai Swan. Pemandangannya dari sini benar-benar luar biasa!


Berfoto bersama kakak saya di taman Esplanade Reserve di tahun 1997 silam.

Kita tidak menyadari bahwa beberapa tahun kemudian, lapangan Esplanade Reserve dibongkar dan digali untuk dijadikan teluk buatan tempat berlabuh kapal-kapal layar pesiar kecil, bernama Elizabeth Quay.


Kota Perth dilihat dari taman Esplanade Reserve.

Doddy berkata kalau konsulat Indonesia terletak di jalan Adelaide Terrace yang merupakan terusannya St. Georges Terrace. Kita bisa menjangkau tempat itu dengan berjalan kaki. Kitapun menuju kesana, dan ternyata jaraknya jauh juga. Tapi karena hawanya dingin sekali, kami tidak berkeringat sama sekali.


Konsulat Indonesia di Perth. Foto Google Street view ini diambil tahun 2017, dan model bangunannya tidak berbeda jauh dibandingkan tahun 1997.

Sesampainya di konsulat, kita langsung berusaha membuka pagar. Rupanya dikunci. Doddy berkata kalau kita harus tekan tombol bel dulu sebelum masuk. Kita tidak bisa nyelonong masuk begitu saja karena tempat ini adalah wilayah teritori Indonesia di luar negeri.  Memasuki konsulat tidak ubahnya seperti kembali ke Indonesia lagi.
Setelah menekan tombol, terdengar suara di intercom yang menanyakan siapa dan maksud kita berkunjung. Kami berkata kalau kami berniat melaporkan kehadiran saya disini. Mereka pun membukakan pagar secara remote dan kami masuk ke gedung utama menuju ke kounter pelaporan yang ada di bagian belakang gedung konsulat.
Sewaktu kami menyerahkan passport dan visa saya, petugas di situ berkata kalau kita harus juga menyertakan fotokopinya. Karena mereka tidak punya mesin fotokopi untuk pengunjung, mereka menyarankan kita pergi ke hotel Hyatt untuk memfotokopi passport saya. Di Indonesia hal seperti itu mudah diselesaikan karena tempat fotokopian banyak. Tapi di Australia bisnis jasa fotokopi itu tidak ada. Jadi kita harus keluar dulu untuk mencari tempat fotokopi.
Begitu keluar, kami mencari-cari tempat fotokopi. Karena hotel Hyatt itu jauh dari konsulat, kami mencoba toko-toko di sekitaran konsulat. Walaupun awalnya kita banyak ditolak, akhirnya kita menemukan peruntungan kita di sebuah tempat persewaan mobil dimana mereka mau memfotokopi passport saya secara gratis.
Setelah itu kamipun kembali lagi ke konsulat untuk mengurusi urusan administrasi disini. Kali ini permohonan kita diterima dan surat-suratnya pun diproses.
Sewaktu saya menunggu passport saya diproses, tiba-tiba saya menyadari kalau mereka sebenarnya punya mesin fotokopi. Nggak hanya satu tapi ada beberapa. Walaupun saat itu kita cuma satu-satunya yang datang, kenapa kok kita tidak diberi keringanan untuk menggunakan fotokopi mereka? Sangat mengecewakan bahwa mereka pelit mesin fotokopi sehingga kami harus bersusah payah mencari diluar.
Tapi waktu itu memang pelayanan publik di Indonesia memang terkenal buruk. Birokrasi di Indonesia waktu itu terkenal bobrok. Seringkali pegawai pemerintahan akan melakukan apapun untuk membuat urusan yang aslinya mudah jadi susah, dan seringkali meminta “uang pelicin”. Mottonya “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” Dan sangat memalukan sekali kalau mentalitas seperti itu dibawa ke negara maju seperti ke Australia ini. Pelayanan buruk ini kontras sekali dengan birokrasi negara maju di Australia yang praktis dan sederhana dibanding Indonesia.
Selesai urusan kita di konsulat, kitapun kembali jalan-jalan keliling pusat kota Perth. Kali ini kami pergi makan siang di Carillon City Food Court yang terletak di bawah tanah antara Hay Street dan Murray Street. Food court ini persis seperti yang saya temui di mall-mall di Indonesia. Tapi yang berbeda jelas menu makanannya. Beberapa makanan ada yang belum pernah saya temui sebelumnya, seperti Kebab, Fish & Chips, dan Gelato.  
Berhubung saya tidak terlalu tertarik dengan menu yang asing, saya beli nasi goreng di salah satu counter makanan Chinese disitu. Nasi gorengnya mirip dengan yang biasanya saya makan di Indonesia. Rasanya sama. Hanya yang beda adalah porsinya 2 atau mungkin 3 kali dari porsi nasi goreng di Indonesia. Karena waktu itu saya kurus, saya nggak kepikiran ketambahan bobot badan.
Kakak saya mencoba kebab. Waktu pertama melihatnya, kok bentuknya aneh? Mirip seperti lumpia, tapi ukurannya besar banget. Hampir sebesar tangan saya! Kakak saya menawarkan saya untuk mencobanya. Sewaktu saya makan rasanya agak aneh, tapi lumayan enak. Sayapun akhirnya pesan satu buat saya.


Outlet kebabnya kelihatan menarik. Di balik counter ada 3 alat bakaran berputar dimana daging ayam, sapi, dan domba dibakar di tusukan yang dipasang vertical dan berputar-putar di depan api agar dagingnya matang merata. Di bagian depan counter ada pilihan isi untuk kebabnya, seperti berbagai jenis keju, zaitun, sayuran, telur, dan berbagai jenis saus yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya pesan kebab ayam dengan keju cheddar, lettuce, bawang bombay, dengan saus BBQ dan keju. Rasanya enak sekali!
Begitu selesai makan, kitapun melanjutkan perjalanan keliling kota.


Bersantai sejenak setelah makan di hall di dalam Carillon City Mall.

Tujuan pertama kita adalah museum Art Gallery of Western Australia. Museum seni ini punya berbagai jenis koleksi, termasuk artefak langka. Walaupun merupakan salah satu museum terpenting dan terbesar di kota Perth, saya kaget karena masuknya gratis! Di museum seni lainnya, biasanya kita harus bayar tiket masuk.


Foto bareng di depan patung "De Rufer" di dalam Art Gallery of Western Australia.

Setelah lihat-lihat museum, kamipun kembali lagi ke Hay Street untuk duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol.


Duduk bareng di Hay Street Mall.

Saya tidak ingat apa yang waktu itu diobrolin. Kalau tidak salah bapak saya tanya-tanya ke Doddy tentang apa yang dia lakukan disini dan juga tentang keluarganya.
Setelah duduk-duduk, kita jalan lagi. Kali ini Doddy juga mengasih lihat bagaimana caranya kalau mau kembali ke rumahnya Siraj, yaitu dengan naik bis dari jalan Barrack Street. Walaupun bukan terminal bis, tapi semua bis kota yang mengarah ke utara Perth akan berhenti di Barrack Street untuk mengambil penumpang karena lokasinya yang pas di pusat bisnis. Ini mengingat terminal bis aslinya lokasinya agak jauh dari pusat kota.


Jalan Barrack Street, menghadap ke selatan. Deretan halte bis tampak di sebelah kanan.


Kamis, 26 Maret 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 7)

Pagi hari saya bangun dan langsung disambut dengan hawa yang membeku. Bulan Agustus adalah puncak-puncaknya musim dingin di belahan bumi selatan. Karena saya terbiasa dengan hawa tropis yang hangat, hawa dingin pagi ini terasa menusuk sekali. Butuh waktu buat membiasakan dengan hawa seperti ini. Apalagi saya masih belum tahu fungsi kipas angin pemanas yang dikasih bapak kost saya semalam. Kalau saja saya tahu mungkin tidur semalam lebih enak.
Saya keluar dari kamar tidur saya dan pergi ke teras depan. Dani* ternyata sudah disana dan lagi bersantai menikmati suasana pagi. Saya cukup terkejut melihat minimnya pakaian yang dia pakai. Dia hanya pakai kaos oblong sama celana olahraga panjang. Saya tanya apa dia nggak kedinginan? Dani* menjawab tidak seberapa karena dia sudah terbiasa dengan hawa disini, apalagi dia sudah tinggal lebih dari setahun disini.
Siraj pagi itu masih bekerja mengemudikan taxi, sementara Feroza dan anak-anak masih tertidur. Saya merasa lapar dan pingin makan pagi. Dani* membantu saya mengajari bagaimana menggunakan peralatan di dapur, termasuk panggangan microwave. Menyalakan kompor juga agak sulit dan cenderung berbahaya, karena kita harus menyalakan korek api dulu untuk menghidupkan kompor akibat rusaknya pemantik api di kompor ini.
Dia berkata kalau semua makanan disini disediakan gratis oleh tuan rumah karena sudah termasuk biaya kost yang kita bayar setiap bulan. Saya melihat-lihat makanan di dapur. Umumnya makanan Asia Selatan seperti kare ayam, tapi ada juga makanan seperti bubur yang ternyata adalah kacang dhal. Kacang ini aslinya berwarna kuning, tapi ada yang berwarna oranye. Texturnya agak mirip dengan isi kacang hijau, hanya lebih keras.


Sepanci penuh Dhal. Penampilannya mirip bubur, tapi biasanya dimakan dengan nasi.

Dani* juga bilang kalau kita nggak begitu suka masakan yang ada, kita bisa makan Indomie. Wah, di Australia ternyata ada Indomie! Biasanya mereka menyediakan 1 box Indomie setiap bulannya. Kalau masak Indomie saya ya tahu, jadi saya pikir makan ini saja daripada harus makan makanan yang nggak jelas rasanya.
Tapi sewaktu saya membuka bungkusan Indomienya, saya kaget melihat minyaknya solid membeku di bungkusannya! Baru kali ini saya lihat minyaknya Indomie Mie Goreng bisa beku kaya begini! Di Indonesia biasanya minyaknya cair dengan warna coklat kekuningan. Tapi berhubung hawanya membeku jadi kaya margarine begini. Untuk mencairkannya, kita mencelup bungkusan minyaknya di air rebusan mie yang mendidih sebentar.
Saya juga memasak daging burger kemasan, yang uniknya nggak usah digoreng pakai minyak karena lemak di dagingnya akan meleleh sendiri kalau kena panas sehingga jadi minyak. Dan juga ada keju “Bega” yang kelihatan beda dengan keju Kraft yang biasanya saya makan di Indonesia. Keju ini rasanya tidak sekuat keju di Indonesia, dan teksturnya lebih padat. Sewaktu saya masak dengan telur goreng, kejunya jadi meleleh dan lengket seperti keju mozzarella. 

Satu paket keju Bega. Keju ini sekarang mudah ditemui di supermarket di Indonesia. Tapi dulu sama sekali nggak ada.

Saat saya menikmati sarapan, Feroza dan anak-anaknya terbangun. Ini pertama kalinya saya bertemu dengan anak-anak. Walaupun mereka awalnya malu, makin lama mereka makin dekat dengan saya. Mereka sungguh lucu dan menggemaskan.
Setelah saya selesai sarapan, bapak dan kakak saya datang ke rumah. Mereka disambut oleh Feroza dan anak-anak. Kakak saya bertanya apa tidur semalam pulas, saya menjawab iya. Kakak saya berkata kalau hari ini kita akan jalan-jalan keliling kota dan Fremantle sama Doddy. Tapi sebelumnya kita harus ke tengah kota dulu untuk ketemu dia.
Saat saya tengah mandi. Siraj pulang dari kerja shift malamnya. Dia disambut oleh bapak dan kakak saya. Dani* dan Erick* juga kebetulan ada disana, dan ikut nimbrung percakapan mereka. Mereka ngobrol lumayan lama sementara saya mandi dan berpakaian.
Setelah semalam disini, Siraj berkata bahwa bahasa Inggris saya cukup bagus. Padahal saya pendatang baru disini, dan bahasa Inggris saya waktu itu menurut saya pas-pasan. Apalagi dulu waktu belajar di ILP prestasi saya biasa-biasa saja. Tapi Siraj berkata kalau itu masih bagus kalau dibandingkan sama kemampuan bahasa Inggris seorang pelajar Jepang yang dulu pernah tinggal dirumahnya. Siraj berkata kalau kemampuan bahasa Inggrisnya anak Jepang itu nyaris nihil. Begitu buruknya sampai di beberapa hari pertama dia tinggal di Australia dia harus menggunakan bahasa symbol tangan hanya untuk berkomunikasi dengan Siraj dan keluarganya!
Begitu saya siap, kami pamit ke Siraj dan mulai berangkat menuju ke kota. Dani* menemani kita karena dia juga harus berangkat ke tempat kerjanya. Dia juga membantu kita menunjukkan bagaimana caranya menggunakan fasilitas transportasi umum di Perth, khususnya bus.
Kami berjalan kaki menuju ke jalan Fitzgerald Street yang terletak di barat rumah, dan beberapa meter ke selatan dari pertemuan jalan Grosvenor Road ada halte bis. 


Halte bis Fitzgerald Street dilihat di Google Street View tahun 2014 silam. Di tahun 1997 model struktur bangunan haltenya berbeda. Pertigaan ke Grosvenor Road tampak di kejauhan di sebelah kanan jalan.

Kami akan mencegat bis ke kota dari sini. Dani* berkata bahwa disini kita hanya bisa mencegat bis dari tempat pemberhentian yang ditentukan. Kalau kita mencegat bis diluar tempat resmi, bis nggak akan berhenti dan tetap jalan hingga tempat perhentian resmi terdekat. Ada beberapa jenis perhentian bis disini. Yang paling besar ada atapnya dan papan jadwal bis, sementara yang kecil hanya tiang patok besi kecil berwarna oranye dengan logo Transperth.


Dulu di tahun 1997 model halte bis di daerah perumahan seperti ini. Sementara patok oranye di kanan adalah tanda kalau tempat itu adalah tempat perhentian bis. Terkadang halte bis hanya berupa patok tanpa bangunan halte beratap. 

Transperth adalah perusahaan jasa transportasi umum di kota Perth. Layanannya mencakup segala jenis kendaraan transportasi massal di kota, seperti bis, kereta api, dan bahkan kapal penyeberangan! Jaringan pelayanannya sangat lengkap sekali kalau dibandingkan dengan yang di Surabaya (bahkan hingga hari ini!). Jaringannya Transperth benar-benar mencakup setiap sudut kota Perth, mulai dari perkantoran di pusat kota hingga perumahan di pinggiran. Kalau kita tinggal di dekat halte bis atau stasiun kereta api, sangat mudah sekali kalau mau berpergian kemana-mana.


Salah satu bis gandeng Transperth berhenti di pelabuhan ferry di tepi sungai Swan di tengah kota. Di tahun 1997 warna bis serta logo Transperth adalah seperti yang di foto ini.

Tapi intensitas jadwalnya bervariasi. Kalau jam sibuk, bis-bis dan kereta api akan beroperasi dengan jadwal yang sering, tapi kalau akhir minggu atau hari libur jadwal perjalanannya jadi jarang, bahkan beberapa layanan bis nggak jalan sama sekali!
Dani* memberitahu kita kalau bisnya sudah datang. Saya melihat bisnya tiba-tiba muncul dari balik bukit di utara dan berjalan turun ke halte bis kita. Dani* memberi tanda, dan sopir bis perlahan menghentikan bis dan membuka pintu depan.


Bis yang kita naiki waktu itu modelnya persis seperti yang di foto ini, hanya logo Transperth nya masih yang model lama.

Sewaktu kami masuk bis, Dani* menunjukkan bagaimana caranya membayar karcis bis. Kalau kita bayar tunai, kita cukup tinggal bilang ke sopir tujuan perjalanan kita dan sopir akan mencetak karcis yang ada harganya. Kita tinggal bayar dan sopir memberikan kembalian juga. Kalau waktu jam sibuk, kita harus melakukannya dengan cepat, agar tidak memperlambat orang-orang di belakang kita. Bis di Perth tidak punya kernet, jadi sopir bekerja sendirian merangkap sebagai penjual karcis.
Ada lagi satu cara membayar tiket bis atau transportasi umum di Perth. Yaitu pakai kartu abonemen “Multirider”. Kartu ini terbuat dari kertas yang tebal dengan pita magnetic di belakangnya. Kartu ini bisa dipakai berkali-kali, mulai dari 10 hingga 40 kali, tergantung jenis kartu yang kita beli. Menggunakannya sederhana saja. Cukup masukkan kartunya ke mesin validasi, di belakang sopir. Begitu dimasukkan, mesinnya akan mencetak tanggal dan batas waktu pemakaian dan mengeluarkan kartunya lagi. Dengan begitu kita bisa naik bis. Di kereta api juga sama, hanya kita melakukan proses validasi di mesin di peron stasiun, sebelum naik KA. Kalau ketahuan naik bis atau kereta api (polisi kadang suka melakukan pemeriksaan, khususnya diatas KA) tanpa memvalidasi kartu Multiridermu, kamu bisa didenda.


Tampak depan kartu Multirider. Ini kartu untuk pemakaian 40 kali dan hanya bisa untuk perjalanan 1 zona bagi pemegang konsesi diskon.


Tampak belakang kartu yang sama. Strip hitam di tengah adalah strip magnetik yang berisi data elektronik penggunaan kartu. Di bagian bawah ada keterangan peraturan penggunaan karcis ini.

Di tahun 1997, harga tiket Transperth dibagi jadi 4 zona, makin jauh perjalanan kita makin banyak zona yang harus kita lewati. Dan tentunya makin mahal harga karcisnya. Jadi di tiket itu tertulis zona dan jenisnya. Ada yang untuk umum, dan ada yang tiket konsesi yang harganya lebih miring.
Batas waktu pemakaian kartu adalah 2 jam. Yang saya tahu setiap perjalanan dalam 1 zona biasanya butuh waktu 15 menit dalam kondisi lalu lintas normal. Dan kalau di daerah perumahan, perjalanannya bisa lebih cepat lagi.
Kalau kita berpergian melampaui batas zona yang tertera di tiket, kita akan diminta untuk membayar tarif lagi oleh sopir bus, atau malah diusir. Kalau diatas kereta api, kita bisa ditilang oleh polisi transportasi (kalau di Indonesia semacam polisi khusus kereta api) kalau melanggar batas ini. Peraturan serupa juga berlaku kalau kita melebihi batas waktu pemakaian karcis.
Tapi di tahun 1997, pemeriksaan karcis di atas kereta api anehnya langka sekali, makanya kereta api waktu itu adalah moda transportasi favorit buat mereka yang suka curang dalam membeli tiket (atau mereka yang suka naik gratisan!).


Peta jaringan Transperth di tahun 2012. Di tahun 1997 mereka hanya punya 4 zona, sementara untuk yang mau ke Rockingham dan Mandurah di ujung selatan ada layanan bis khusus Transperth yang menggunakan tarif dan karcis yang berbeda dengan layanan reguler.

Pelajar, pensiunan (warga negara Australia), dan beberapa kelompok masyarakat boleh membeli tiket “Konsesi” yang harganya lebih murah dari tiket regular. Harganya kalau nggak salah bisa lebih murah 20% dibanding harga karcis reguler. Lumayan buat menghemat uang. Konsesi ini juga berlaku untuk mahasiswa asing. Biasanya di balik kartu pelajar ada stiker logo konsesi Transperth yang harus dikasih lihat saat beli tiket di bis atau membeli kartu Multirider. Stiker ini juga harus dikasih lihat kalau ada pemeriksaan karcis diatas kereta api. Tapi kalau kita ketahuan beli karcis konsesi tapi nggak bisa memperlihatkan stiker konsesi, kita bisa ditilang (biasanya terjadi kalau naik kereta api).


Contoh stiker konsesi di belakang kartu pelajar saya, lengkap dengan batas waktu pemakaiannya.

Saya juga memperhatikan sepertinya semua sopir bis punya kemampuan “magis” bisa mengidentifikasi setiap jenis kartu Multirider yang dimasukan ke mesin validasi, biarpun mesinnya ada di belakang dia dan susah kalau mau melihat ke belakang  pas jam sibuk karena sopir juga harus melayani banyak penumpang yang membayar tunai. Herannya sopir selalu tahu jenis tiket apa yang dimasukkan mesin validasi Multirider, dan tidak segan-segan mengusir penumpang yang melampaui zona tiket mereka. Beberapa waktu setelah saya tinggal di Australia, saya pernah melihat sopir menghentikan bis dan meminta penumpang yang melebihi zona tiket mereka untuk keluar dari bis. Bahkan ada kawan yang pernah mengalami bis berhenti mendadak hanya karena sopirnya mengusir penumpang yang melanggar.
Selain tiket berzona tadi, ada juga tiket “All Day” yang bisa dipakai untuk berpergian ke mana saja di zona manapun sepanjang hari hingga jam 12 malam, dan naik semua jenis moda transportasi. Dengan tiket ini kita nggak usah kepikiran mengenai zona tiket atau batas waktu pemakaian dan bisa naik bis atau kereta api sepuas-puasnya! Waktu itu harga tiketnya kalau nggak salah A$2.50.
Ada lagi layanan bis Transperth yang awalnya menurut saya nggak masuk akal karena gratis! Yup, betul kok, kita nggak usah bayar sepeserpun buat naik. Cukup masuk saja dan kita bisa menaiki sepuasnya tanpa bayar! Bis ini namanya CAT atau “City Area Transport” (“Transportasi Area Tengah Kota”). Armada bisnya punya warna perak, lantainya rendah, dan ukuran bisnya cuma ¾ bis normal. Rute mereka ada 2: jalur Merah dan Biru.


Salah satu bis yang digunakan untuk layanan transportasi gratis CAT di dalam kota Perth. Bis di foto melayani rute Merah.

Sesuai namanya, bis ini hanya putar-putar di tengah kota saja, dan menghubungkan beberapa tempat penting di pusat kota. Saya kemudian tahu bahwa kalaupun kita naik bis reguler atau bahkan kereta api di rute tengah kota sebenarnya juga gratis. Kalau kereta api biasanya antara stasiun Perth dengan City West.
Perjalanan menuju pusat kota adalah pengalaman luar biasa buat saya biarpun saya bukan hanya karena saya menikmati naik bis kota untuk pertama kalinya, tapi juga melihat bagaimana daerah di sekitaran sini. Rumah-rumah di dekat tengah kota mayoritas model kuno ala tahun 1960an atau bahkan sebelum itu. Terkadang kita juga melihat apartemen dan pertokoan.
Yang membuat saya heran waktu itu adalah tidak adanya gedung shopping mall besar, seperti yang saya lihat di Indonesia atau Singapore, di tengah kota Perth. Kalaupun yang ada hanya pusat pertokoan Forrest Chase yang nggak besar-besar banget. Yang umumnya ada hanya deretan took-toko yang berjejer di tepi jalan, sehingga pejalan kaki bisa langsung masuk dan lihat-lihat. Mirip sekali dengan model berbelanja di Surabaya di jaman Belanda. Belakangan saya tahu kalau shopping mall itu umumnya ada di pinggir kota, di tengah daerah perumahan.
Sewaktu kita mendekati tengah kota, tempatnya makin lama makin padat dan makin komersial. Rumah-rumah berganti dengan pertokoan. Bis kami naik keatas jembatan yang melengkung bernama “Horsehoe Bridge” atau “Jembatan Tapal Kuda” karena bentuknya melengkung persis tapal kuda. Kami turun di halte diatas jembatan. Jembatan ini persis diatas stasiun kereta api pusat Perth.



Horseshoe Bridge atau Jembatan Tapal Kuda yang lokasinya tepat diatas stasiun kereta api Perth.

Stasiun Perth adalah stasiun yang sibuk sekali dengan banyak peron. Waktu kami datang, stasiunnya cukup ramai dengan kesibukan komuter di tengah hari yang mau berpergian naik kereta api. Dani* mengantar kita turun ke peron menuju ke kantor customer service di sebelah pintu masuk utama stasiun. Di sini Dani* membantu kita membeli karcis Multirider. Karena bapak dan kakak saya hanya disini beeberapa hari saja, dan cuman berpergian di sekitaran North Perth dan pusat kota, kami hanya membeli Multirider yang 2 zona. Kartu ini juga bisa dibeli di kios-kios penjual koran yang tersebar di penjuru kota.


Pemandangan peron dan bangunan utama stasiun Perth. Kantor customer service yang juga merangkap penjualan tiket Multirider adalah kantor dengan papan hijau diatasnya.

Setelah itu kami berpisah dengan Dani* karena dia harus masuk ke kantornya, sementara kita mulai berjalan melihat-lihat kota. Kami menyeberang jalan di depan stasiun, dan sampai di tempat terbuka yang cukup luas bernama Forrest Place. Tempat ini dikelilingi oleh beberapa bangunan, salah satunya kantor pos utama (GPO) yang masih mempertahankan arsitektur kuno, dan pusat perbelanjaan Forrest Chase.  


Forrest Place tanggal 2 Agustus 1997. Pusat perbelanjaan Forrest Chase tampak di kiri gambar.

Gedung kantor pos GPO (General Post Office) memainkan peran yang cukup penting waktu itu karena internet dan e-mail hanya terjangkau bagi mereka yang berduit dan mengerti teknologi (punya duit tapi nggak mengerti teknologi nggak bisa pakai internet), smartphone serta media sosial berbasis internet tidak ada. Jadi saat itu kantor pos selalu ramai dengan lalu lalang orang yang mengirim surat atau kartu pos.


Kantor pos pusat (GPO) di areal Forrest Place. Di latar belakang tampak BankWest Tower.

Forrest Place sendiri cukup ramai dengan lalu lalang orang. Beberapa hanya duduk-duduk sambil menikmati pemandangan atau ngobrol dengan kawan mereka. Sebagian cuman jalan-jalan. Ada juga yang Cuma duduk sendirian sambil melamun atau membaca. Pada umumnya tempat ini nggak ubahnya seperti alun-alun pusat keramaian di pusat kota.


Forrest Place dilihat dari atas. Kantor pos GPO di kiri gambar, sementara stasiun Perth tampak di kejauhan di latar belakang. Di tahun 1997 cafe di kanan lapangan, dan pos penjagaan di kiri bawah tidak ada. 

Kita berjalan sedikit lebih dalam hingga sampai ke jalan Murray Street. Jalan ini dulunya adalah jalan utama di tengah kota yang sangat ramai sekali. Tapi di akhir 1980an atau 1990an ditutup permanen untuk lalu lintas untuk dijadikan areal pejalan kaki. Walaupun kendaraan pribadi dan umum sudah tidak bisa masuk (hanya kendaraan perawatan yang bisa lewat), bisnis toko-toko disini bukannya tambah mati tapi malah makin hidup.


 Berfoto bersama kakak saya di Forrest Place, tanggal 2 Agustus 1997.


Saat menunggu Doddy, tiba-tiba saya kebelet pipis. Sayapun langsung menuju ke toilet umum yang ada di dekat situ. Saat masuk, saya kaget melihat model urinoir nya yang besar dan bisa menampung banyak. Kalau ramai, kencing disini rasanya agak memalukan karena tidak ada privasi. Saya tidak pernah lihat urinoir model seperti ini di WC umum di Indonesia.


Selesai dari WC, sayapun berjalan kembali ke kakak dan bapak saya. Saat berjalan, saya melihat pemandangan yang membuat saya terperangah: ada pasangan bermesraan di tempat umum. Mereka asyiknya berciuman dan saling pegang-pegangan di tempat umum, tanpa menarik perhatian orang lain sama sekali. Wah, ternyata disini bebas juga yah. Kalau di Indonesia mereka bisa ditangkap atau bahkan dihakimi massa.


Pemandangan orang-orang bercumbu mesra di depan umum adalah pemandangan lumrah di Australia. Walaupun tidak banyak, tapi ada. Bahkan terkadang saya suka melihat mahasiswa dan mahasiswi Indonesia melakukan hal yang sama karena di negerinya sendiri tidak bisa.
Tak lama kemudian Doddy datang dan menyambut kita. Dia datang sendirian dari rumahnya di barat Perth. Setelah kita berkumpul, kitapun mulai jalan-jalan keliling kota.



Senin, 23 Maret 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 6)

Walaupun sudah larut malam, terminal bandara Perth masih cukup sibuk dengan berbagai macam aktivitas dari penumpang yang datang. 



Suasana bandar udara Perth saat tengah malam.

Kami baru saja menyelesaikan semua perkara administrasi dan mengambil barang bawaan dan bagasi kami tanpa masalah sama sekali. Doddy dan teman Australianya membantu kita membawa barang kami ke minibus yang menunggu di luar.  
Begitu keluar dari bangunan terminal bandara, saya langsung disambut oleh hawa dingin sekali diluar. Saking dinginnya sampai uap air keluar dari mulut dan hidung saya kalau menghela nafas. Saya bilang ke temannya Doddy yang orang Australia kalau ini hawa terdingin yang pernah saya rasakan. Saya nggak pernah merasakan hawa sedingin ini sebelumnya. Saya nggak tersiksa, malah merasa asyik.
Begitu sopir minibus kami yang bernama Hans* selesai mengunggah semua barang kami, kamipun berpisah dengan Doddy dan kawannya. Setelah kami semua duduk di dalam minibus dan memasang sabuk pengaman, Hans* membawa kami ke tujuan kita: tempat tinggal saya dan hotel tempat bapak dan kakak saya menginap.
Waktu itu benar-benar sudah larut malam, dan daerah perkotaan Perth sudah sepi sekali. Kami berjalan melewati jalan-jalan utama di kota Perth yang umumnya sepi. Ini pertama kalinya saya datang ke negara barat sungguhan, bukan negara Asia yang didandani ala negara barat seperti Singapore. Pemandangan yang saya lihat mengingatkan saya dengan apa yang saya lihat di film-film Hollywood, hanya saja kali ini saya melihatnya langsung! Toko-toko, restaurant, dan juga dealer mobil yang kami lewati semuanya mirip seperti yang saya lihat di film!


Suasana tengah kota Perth di malam hari.

Terkadang mobil kami meliwati perlintasan kereta api. Walaupun di tahun 1990an minat saya di dunia kereta api lagi surut, saya tetap penasaran seperti apa kereta api di kota Perth. Saya ingat waktu itu kita melintasi satu perlintasan berpalang pintu dengan kabel diatas rel. Beberapa waktu kemudian saya sadar kalau jalur ini bagian dari layanan KA komuter di Perth, yaitu jalur Armadale.  
Begitu kita mendekati pusat kota di jalan bebas hambatan (bukan jalan tol karena masuknya gratis nggak bayar), rumah-rumah dan pertokoan kecil berganti menjadi daerah perkantoran. Di Perth juga ada gedung-gedung tinggi, walaupun tidak semegah seperti yang saya lihat di Singapore. Menurut saya, kota Perth itu sangat modern, tapi malam itu benar-benar kosong melompong.
Sopir kita, Hans*, memperkenalkan dirinya sebagai imigran dari Jerman yang sudah tinggal di Australia sejak 20 tahun yang lalu. Walaupun dia sudah lama tinggal di Australia, aksen Jerman kentalnya masih kedengaran. Dia dulu bekerja sebagai pelaut, dan sering berlayar ke berbagai penjuru dunia. Tapi di Australialah dia akhinya bertemu dengan jodohnya, yang sekarang bekerja di kampus saya. Setelah dia menikahi istrinya yang orang Australia, dia memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan menjadi warga Australia. Selama beberapa tahun setelah pindah ke Australia, dia masih bekerja di industry pelayaran. Tapi dia kemudian pensiun dan pindah kerja di daratan agar bisa dekat dengan istri dan anak-anaknya.
Selama perjalanan, dia juga merangkap sebagai pemandu yang menjelaskan beberapa tempat penting yang kita lewati selama perjalanan (atau yang ada di dekat situ), seperti sungai Swan, tempat judi Burswood casino (yang konon waktu itu sering dikunjungi pejabat korup dan orang terdekat Suharto yang suka berjudi), kampus Bentley dari Curtin University, pusat kota, stasiun kereta api Perth, dan tentunya kampus saya.



Burswood Casino di malam hari. Konon dulu Tommy Suharto atau kakaknya, Sigit, sering datang kesini untuk berjudi.

Setelah sekitar setengah jam perjalanan, kami akhirnya sampai di rumah saya di Perth, yang beralamat di 170 Grosvenor Road, di daerah North Perth. Tempatnya adalah daerah perumahan kelas menengah, dimana banyak penghuninya adalah kelas pekerja atau pensiunan. Mungkin karena kurangnya garasi, atau demi kepraktisan, banyak dari mereka yang memarkir mobilnya di rerumputan antara jalan raya dan tapak pejalan kaki.


Rumah di jalan 170 Grosvenor Road, di North Perth. Pintu utama di tengah, sementara pintu ke kamar Shahjehan ada di sebelah kiri.

Banyak rumah disini, termasuk rumah saya, punya langgam arsitek model tahun 1960an atau lebih tua lagi! Bahkan rumah yang saya tinggali punya model arsitek ala 1950an. Halaman depannya sudah disemen. Anehnya, pagar depannya pendek (yang bisa membuat rumah rawan dirampok) padahal lokasinya dekat dengan pusat kota dan jalan besar.
Walaupun lampu di teras menyala, jendela-jendelanya tampak gelap. Apa mungkin semua sudah pada tidur? Hans* mengetuk pintu depan, dan tak lama kemudian pemilik rumah membuka pintunya. Mereka menyambut saya dan bapak serta kakak saya dengan ramah. Sang pemilik rumah bernama Siraj Haniffa, sementara istrinya bernama Feroza. Mereka tinggal dengan 2 anak yang masih kecil, yang lelaki yang tertua berumur 3 tahun bernama Suhail , sementara adik perempuannya yang masih berumur beberapa bulan bernama Shimla. Mereka adalah imigran Muslim dari Sri Lanka yang sudah tinggal di Australia sejak pernikahan mereka di tahun 1994 silam. Mereka sungguh ramah dan bersahabat, sehingga saya langsung merasa nyaman disini.
Saya bukan satu-satunya mahasiswa asing yang tinggal dengan mereka. Ada juga 2 mahasiswa Indonesia lain, dari Jakarta, yang juga tinggal disini. Mereka adalah Dani* dan Erick*. Dani* tengah menempuh kuliah Manajemen Perhotelan, dan saat ini sedang kerja praktek di salah satu hotel di Perth. Sementara Erick* adalah mahasiswa Teknik Informatika di Curtin University. Kontras dengan sambutan hangat dari pemilik rumah, mereka terkesan agak cuek menerima saya. Walaupun awalnya mereka cukup bersahabat, lama-kelamaan mereka jadi dingin dan terkadang memusuhi saya. Saya dianggap kaya orang buangan sama mereka. Detailnya akan saya jelaskan di bagian-bagian cerita berikutnya.
Selain anak-anak Indonesia sombong itu, sebenarnya ada satu lagi mahasiswa yang tinggal di rumah ini. Namanya Shahjehan, dan dia juga seorang Muslim dari Sri Lanka. Sebenarnya, dia adalah adik kandung dari Feroza. Dia tengah menempuh kuliah Teknik Informatika di Edith Cowan University. Walaupun dia tinggal di rumah ini, anehnya kamar tidurnya terisolasi dari ruangan-ruangan lain di rumah ini, dan hanya bisa dimasuki dari teras depan.
Setelah saya menaruh semua barang bawaan di kamar tidur saya, bapak dan kakak saya pamit mau lanjut ke hotel mereka diantar Hans*.
Wah, ini pertama kalinya saya berada di lingkungan dimana mayoritas orang-orangnya tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan saya! Walaupun begitu, paling tidak mereka orang Asia dan beragama Islam. Shiraj memperlihatkan kamar-kamar di dalam agar saya mengerti dengan keadaan di rumah, serta daerah di sekelilingnya. Dia menunjukkan dimana dapurnya, bagaimana cara memakai panggangan microwave, tempat cuci baju, kamar mandi dan toilet. Saya agak heran karena kamar wandi dan WC terpisah! Dia juga menjelaskan kalau kampus saya lokasinya cukup dekat rumah, dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Untuk belanja, dia menyarankan supermarket Coles yang lokasinya beberapa ratus meter di utara.
Karena dia tahu saya juga Muslim, dia bilang kalau mau Jumatan, saya bisa pulang ke rumah dan berangkat ke Masjid Perth bersama dia dan Shahjehan. Dia bilang pihak kampus umumnya mengijinkan pelajar untuk pulang awal di hari Jumat buat sholat di Masjid.
Selain itu, Shiraj juga memberikan saya alat seperti kipas angin berbentuk kotak kecil berwarna kusam, hanya diatasnya ada pengatur temperatur.  Shiraj bilang “ini alat pemanas ruangan”. Berhubung saya belum pernah tinggal di negara sub-tropis yang dingin sebelumnya, saya nggak ngerti buat apa alat ini. Karena itu tidak heran di malam pertama di Perth saya tidak memakai alat itu, biarpun hawanya lumayan membeku.



Contoh kipas angin pemanas ruangan portable.

Oke, malam sudah cukup larut dan saya memutuskan untuk mengucapkan selamat malam ke semua dan masuk ke kamar tidur dan rebahan. Hawanya malam itu sangat dingin sekali. Saya langsung memakai selimut 2 lapis dan tetap berpakaian rangkap. Biar nggak kebosanan, saya menyalakan Walkman saya. Karena walkmannya ada alat penangkap sinyal radio, saya penasaran seperti apa program stasiun-stasiun radio di Australia. Kebetulan beberapa stasiun masih mengudara tengah malam itu. Kebanyakan menyiarkan talk show atau lagu-lagu ala Australia yang kurang enak buat didengar kalau sudah mengantuk.
Tapi ada satu yang memutar lagu “Silly Love Songs” dari Paul McCartney yang memberikan aura klasik di malam pertama saya di Perth.  Kayaknya lagu ini cukup menghibur saya, sebelum saya akhirnya tertidur.