Senin, 23 Maret 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 6)

Walaupun sudah larut malam, terminal bandara Perth masih cukup sibuk dengan berbagai macam aktivitas dari penumpang yang datang. 



Suasana bandar udara Perth saat tengah malam.

Kami baru saja menyelesaikan semua perkara administrasi dan mengambil barang bawaan dan bagasi kami tanpa masalah sama sekali. Doddy dan teman Australianya membantu kita membawa barang kami ke minibus yang menunggu di luar.  
Begitu keluar dari bangunan terminal bandara, saya langsung disambut oleh hawa dingin sekali diluar. Saking dinginnya sampai uap air keluar dari mulut dan hidung saya kalau menghela nafas. Saya bilang ke temannya Doddy yang orang Australia kalau ini hawa terdingin yang pernah saya rasakan. Saya nggak pernah merasakan hawa sedingin ini sebelumnya. Saya nggak tersiksa, malah merasa asyik.
Begitu sopir minibus kami yang bernama Hans* selesai mengunggah semua barang kami, kamipun berpisah dengan Doddy dan kawannya. Setelah kami semua duduk di dalam minibus dan memasang sabuk pengaman, Hans* membawa kami ke tujuan kita: tempat tinggal saya dan hotel tempat bapak dan kakak saya menginap.
Waktu itu benar-benar sudah larut malam, dan daerah perkotaan Perth sudah sepi sekali. Kami berjalan melewati jalan-jalan utama di kota Perth yang umumnya sepi. Ini pertama kalinya saya datang ke negara barat sungguhan, bukan negara Asia yang didandani ala negara barat seperti Singapore. Pemandangan yang saya lihat mengingatkan saya dengan apa yang saya lihat di film-film Hollywood, hanya saja kali ini saya melihatnya langsung! Toko-toko, restaurant, dan juga dealer mobil yang kami lewati semuanya mirip seperti yang saya lihat di film!


Suasana tengah kota Perth di malam hari.

Terkadang mobil kami meliwati perlintasan kereta api. Walaupun di tahun 1990an minat saya di dunia kereta api lagi surut, saya tetap penasaran seperti apa kereta api di kota Perth. Saya ingat waktu itu kita melintasi satu perlintasan berpalang pintu dengan kabel diatas rel. Beberapa waktu kemudian saya sadar kalau jalur ini bagian dari layanan KA komuter di Perth, yaitu jalur Armadale.  
Begitu kita mendekati pusat kota di jalan bebas hambatan (bukan jalan tol karena masuknya gratis nggak bayar), rumah-rumah dan pertokoan kecil berganti menjadi daerah perkantoran. Di Perth juga ada gedung-gedung tinggi, walaupun tidak semegah seperti yang saya lihat di Singapore. Menurut saya, kota Perth itu sangat modern, tapi malam itu benar-benar kosong melompong.
Sopir kita, Hans*, memperkenalkan dirinya sebagai imigran dari Jerman yang sudah tinggal di Australia sejak 20 tahun yang lalu. Walaupun dia sudah lama tinggal di Australia, aksen Jerman kentalnya masih kedengaran. Dia dulu bekerja sebagai pelaut, dan sering berlayar ke berbagai penjuru dunia. Tapi di Australialah dia akhinya bertemu dengan jodohnya, yang sekarang bekerja di kampus saya. Setelah dia menikahi istrinya yang orang Australia, dia memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan menjadi warga Australia. Selama beberapa tahun setelah pindah ke Australia, dia masih bekerja di industry pelayaran. Tapi dia kemudian pensiun dan pindah kerja di daratan agar bisa dekat dengan istri dan anak-anaknya.
Selama perjalanan, dia juga merangkap sebagai pemandu yang menjelaskan beberapa tempat penting yang kita lewati selama perjalanan (atau yang ada di dekat situ), seperti sungai Swan, tempat judi Burswood casino (yang konon waktu itu sering dikunjungi pejabat korup dan orang terdekat Suharto yang suka berjudi), kampus Bentley dari Curtin University, pusat kota, stasiun kereta api Perth, dan tentunya kampus saya.



Burswood Casino di malam hari. Konon dulu Tommy Suharto atau kakaknya, Sigit, sering datang kesini untuk berjudi.

Setelah sekitar setengah jam perjalanan, kami akhirnya sampai di rumah saya di Perth, yang beralamat di 170 Grosvenor Road, di daerah North Perth. Tempatnya adalah daerah perumahan kelas menengah, dimana banyak penghuninya adalah kelas pekerja atau pensiunan. Mungkin karena kurangnya garasi, atau demi kepraktisan, banyak dari mereka yang memarkir mobilnya di rerumputan antara jalan raya dan tapak pejalan kaki.


Rumah di jalan 170 Grosvenor Road, di North Perth. Pintu utama di tengah, sementara pintu ke kamar Shahjehan ada di sebelah kiri.

Banyak rumah disini, termasuk rumah saya, punya langgam arsitek model tahun 1960an atau lebih tua lagi! Bahkan rumah yang saya tinggali punya model arsitek ala 1950an. Halaman depannya sudah disemen. Anehnya, pagar depannya pendek (yang bisa membuat rumah rawan dirampok) padahal lokasinya dekat dengan pusat kota dan jalan besar.
Walaupun lampu di teras menyala, jendela-jendelanya tampak gelap. Apa mungkin semua sudah pada tidur? Hans* mengetuk pintu depan, dan tak lama kemudian pemilik rumah membuka pintunya. Mereka menyambut saya dan bapak serta kakak saya dengan ramah. Sang pemilik rumah bernama Siraj Haniffa, sementara istrinya bernama Feroza. Mereka tinggal dengan 2 anak yang masih kecil, yang lelaki yang tertua berumur 3 tahun bernama Suhail , sementara adik perempuannya yang masih berumur beberapa bulan bernama Shimla. Mereka adalah imigran Muslim dari Sri Lanka yang sudah tinggal di Australia sejak pernikahan mereka di tahun 1994 silam. Mereka sungguh ramah dan bersahabat, sehingga saya langsung merasa nyaman disini.
Saya bukan satu-satunya mahasiswa asing yang tinggal dengan mereka. Ada juga 2 mahasiswa Indonesia lain, dari Jakarta, yang juga tinggal disini. Mereka adalah Dani* dan Erick*. Dani* tengah menempuh kuliah Manajemen Perhotelan, dan saat ini sedang kerja praktek di salah satu hotel di Perth. Sementara Erick* adalah mahasiswa Teknik Informatika di Curtin University. Kontras dengan sambutan hangat dari pemilik rumah, mereka terkesan agak cuek menerima saya. Walaupun awalnya mereka cukup bersahabat, lama-kelamaan mereka jadi dingin dan terkadang memusuhi saya. Saya dianggap kaya orang buangan sama mereka. Detailnya akan saya jelaskan di bagian-bagian cerita berikutnya.
Selain anak-anak Indonesia sombong itu, sebenarnya ada satu lagi mahasiswa yang tinggal di rumah ini. Namanya Shahjehan, dan dia juga seorang Muslim dari Sri Lanka. Sebenarnya, dia adalah adik kandung dari Feroza. Dia tengah menempuh kuliah Teknik Informatika di Edith Cowan University. Walaupun dia tinggal di rumah ini, anehnya kamar tidurnya terisolasi dari ruangan-ruangan lain di rumah ini, dan hanya bisa dimasuki dari teras depan.
Setelah saya menaruh semua barang bawaan di kamar tidur saya, bapak dan kakak saya pamit mau lanjut ke hotel mereka diantar Hans*.
Wah, ini pertama kalinya saya berada di lingkungan dimana mayoritas orang-orangnya tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan saya! Walaupun begitu, paling tidak mereka orang Asia dan beragama Islam. Shiraj memperlihatkan kamar-kamar di dalam agar saya mengerti dengan keadaan di rumah, serta daerah di sekelilingnya. Dia menunjukkan dimana dapurnya, bagaimana cara memakai panggangan microwave, tempat cuci baju, kamar mandi dan toilet. Saya agak heran karena kamar wandi dan WC terpisah! Dia juga menjelaskan kalau kampus saya lokasinya cukup dekat rumah, dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Untuk belanja, dia menyarankan supermarket Coles yang lokasinya beberapa ratus meter di utara.
Karena dia tahu saya juga Muslim, dia bilang kalau mau Jumatan, saya bisa pulang ke rumah dan berangkat ke Masjid Perth bersama dia dan Shahjehan. Dia bilang pihak kampus umumnya mengijinkan pelajar untuk pulang awal di hari Jumat buat sholat di Masjid.
Selain itu, Shiraj juga memberikan saya alat seperti kipas angin berbentuk kotak kecil berwarna kusam, hanya diatasnya ada pengatur temperatur.  Shiraj bilang “ini alat pemanas ruangan”. Berhubung saya belum pernah tinggal di negara sub-tropis yang dingin sebelumnya, saya nggak ngerti buat apa alat ini. Karena itu tidak heran di malam pertama di Perth saya tidak memakai alat itu, biarpun hawanya lumayan membeku.



Contoh kipas angin pemanas ruangan portable.

Oke, malam sudah cukup larut dan saya memutuskan untuk mengucapkan selamat malam ke semua dan masuk ke kamar tidur dan rebahan. Hawanya malam itu sangat dingin sekali. Saya langsung memakai selimut 2 lapis dan tetap berpakaian rangkap. Biar nggak kebosanan, saya menyalakan Walkman saya. Karena walkmannya ada alat penangkap sinyal radio, saya penasaran seperti apa program stasiun-stasiun radio di Australia. Kebetulan beberapa stasiun masih mengudara tengah malam itu. Kebanyakan menyiarkan talk show atau lagu-lagu ala Australia yang kurang enak buat didengar kalau sudah mengantuk.
Tapi ada satu yang memutar lagu “Silly Love Songs” dari Paul McCartney yang memberikan aura klasik di malam pertama saya di Perth.  Kayaknya lagu ini cukup menghibur saya, sebelum saya akhirnya tertidur.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar