Walaupun sudah larut malam, terminal bandara Perth masih
cukup sibuk dengan berbagai macam aktivitas dari penumpang yang datang.
Suasana bandar udara Perth saat tengah malam.
Kami baru saja menyelesaikan semua perkara administrasi dan
mengambil barang bawaan dan bagasi kami tanpa masalah sama sekali. Doddy dan
teman Australianya membantu kita membawa barang kami ke minibus yang menunggu
di luar.
Begitu keluar dari bangunan terminal bandara, saya langsung
disambut oleh hawa dingin sekali diluar. Saking dinginnya sampai uap air keluar
dari mulut dan hidung saya kalau menghela nafas. Saya bilang ke temannya Doddy
yang orang Australia kalau ini hawa terdingin yang pernah saya rasakan. Saya
nggak pernah merasakan hawa sedingin ini sebelumnya. Saya nggak tersiksa, malah
merasa asyik.
Begitu sopir minibus kami yang bernama Hans* selesai
mengunggah semua barang kami, kamipun berpisah dengan Doddy dan kawannya.
Setelah kami semua duduk di dalam minibus dan memasang sabuk pengaman, Hans*
membawa kami ke tujuan kita: tempat tinggal saya dan hotel tempat bapak dan
kakak saya menginap.
Waktu itu benar-benar sudah larut malam, dan daerah
perkotaan Perth sudah sepi sekali. Kami berjalan melewati jalan-jalan utama di
kota Perth yang umumnya sepi. Ini pertama kalinya saya datang ke negara barat
sungguhan, bukan negara Asia yang didandani ala negara barat seperti Singapore.
Pemandangan yang saya lihat mengingatkan saya dengan apa yang saya lihat di
film-film Hollywood, hanya saja kali ini saya melihatnya langsung! Toko-toko,
restaurant, dan juga dealer mobil yang kami lewati semuanya mirip seperti yang
saya lihat di film!
Suasana tengah kota Perth di malam hari.
Terkadang mobil kami meliwati perlintasan kereta api.
Walaupun di tahun 1990an minat saya di dunia kereta api lagi surut, saya tetap
penasaran seperti apa kereta api di kota Perth. Saya ingat waktu itu kita
melintasi satu perlintasan berpalang pintu dengan kabel diatas rel. Beberapa
waktu kemudian saya sadar kalau jalur ini bagian dari layanan KA komuter di
Perth, yaitu jalur Armadale.
Begitu kita mendekati pusat kota di jalan bebas hambatan
(bukan jalan tol karena masuknya gratis nggak bayar), rumah-rumah dan pertokoan
kecil berganti menjadi daerah perkantoran. Di Perth juga ada gedung-gedung
tinggi, walaupun tidak semegah seperti yang saya lihat di Singapore. Menurut saya,
kota Perth itu sangat modern, tapi malam itu benar-benar kosong melompong.
Sopir kita, Hans*, memperkenalkan dirinya sebagai imigran
dari Jerman yang sudah tinggal di Australia sejak 20 tahun yang lalu. Walaupun
dia sudah lama tinggal di Australia, aksen Jerman kentalnya masih kedengaran.
Dia dulu bekerja sebagai pelaut, dan sering berlayar ke berbagai penjuru dunia.
Tapi di Australialah dia akhinya bertemu dengan jodohnya, yang sekarang bekerja
di kampus saya. Setelah dia menikahi istrinya yang orang Australia, dia
memutuskan untuk berpindah kewarganegaraan menjadi warga Australia. Selama
beberapa tahun setelah pindah ke Australia, dia masih bekerja di industry pelayaran.
Tapi dia kemudian pensiun dan pindah kerja di daratan agar bisa dekat dengan
istri dan anak-anaknya.
Selama perjalanan, dia juga merangkap sebagai pemandu yang
menjelaskan beberapa tempat penting yang kita lewati selama perjalanan (atau
yang ada di dekat situ), seperti sungai Swan, tempat judi Burswood casino (yang
konon waktu itu sering dikunjungi pejabat korup dan orang terdekat Suharto yang
suka berjudi), kampus Bentley dari Curtin University, pusat kota, stasiun
kereta api Perth, dan tentunya kampus saya.
Burswood Casino di malam hari. Konon dulu Tommy Suharto atau kakaknya, Sigit, sering datang kesini untuk berjudi.
Setelah sekitar setengah jam perjalanan, kami akhirnya
sampai di rumah saya di Perth, yang beralamat di 170 Grosvenor Road, di daerah
North Perth. Tempatnya adalah daerah perumahan kelas menengah, dimana banyak
penghuninya adalah kelas pekerja atau pensiunan. Mungkin karena kurangnya garasi,
atau demi kepraktisan, banyak dari mereka yang memarkir mobilnya di rerumputan
antara jalan raya dan tapak pejalan kaki.
Rumah di jalan 170 Grosvenor Road, di North Perth. Pintu utama di tengah, sementara pintu ke kamar Shahjehan ada di sebelah kiri.
Banyak rumah disini, termasuk rumah saya, punya langgam
arsitek model tahun 1960an atau lebih tua lagi! Bahkan rumah yang saya tinggali
punya model arsitek ala 1950an. Halaman depannya sudah disemen. Anehnya, pagar
depannya pendek (yang bisa membuat rumah rawan dirampok) padahal lokasinya
dekat dengan pusat kota dan jalan besar.
Walaupun lampu di teras menyala, jendela-jendelanya tampak
gelap. Apa mungkin semua sudah pada tidur? Hans* mengetuk pintu depan, dan tak
lama kemudian pemilik rumah membuka pintunya. Mereka menyambut saya dan bapak
serta kakak saya dengan ramah. Sang pemilik rumah bernama Siraj Haniffa,
sementara istrinya bernama Feroza. Mereka tinggal dengan 2 anak yang masih
kecil, yang lelaki yang tertua berumur 3 tahun bernama Suhail , sementara adik
perempuannya yang masih berumur beberapa bulan bernama Shimla. Mereka adalah
imigran Muslim dari Sri Lanka yang sudah tinggal di Australia sejak pernikahan
mereka di tahun 1994 silam. Mereka sungguh ramah dan bersahabat, sehingga saya
langsung merasa nyaman disini.
Saya bukan satu-satunya mahasiswa asing yang tinggal dengan
mereka. Ada juga 2 mahasiswa Indonesia lain, dari Jakarta, yang juga tinggal
disini. Mereka adalah Dani* dan Erick*. Dani* tengah menempuh kuliah Manajemen
Perhotelan, dan saat ini sedang kerja praktek di salah satu hotel di Perth.
Sementara Erick* adalah mahasiswa Teknik Informatika di Curtin University.
Kontras dengan sambutan hangat dari pemilik rumah, mereka terkesan agak cuek
menerima saya. Walaupun awalnya mereka cukup bersahabat, lama-kelamaan mereka
jadi dingin dan terkadang memusuhi saya. Saya dianggap kaya orang buangan sama
mereka. Detailnya akan saya jelaskan di bagian-bagian cerita berikutnya.
Selain anak-anak Indonesia sombong itu, sebenarnya ada satu
lagi mahasiswa yang tinggal di rumah ini. Namanya Shahjehan, dan dia juga
seorang Muslim dari Sri Lanka. Sebenarnya, dia adalah adik kandung dari Feroza.
Dia tengah menempuh kuliah Teknik Informatika di Edith Cowan University.
Walaupun dia tinggal di rumah ini, anehnya kamar tidurnya terisolasi dari
ruangan-ruangan lain di rumah ini, dan hanya bisa dimasuki dari teras depan.
Setelah saya menaruh semua barang bawaan di kamar tidur
saya, bapak dan kakak saya pamit mau lanjut ke hotel mereka diantar Hans*.
Wah, ini pertama kalinya saya berada di lingkungan dimana
mayoritas orang-orangnya tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan saya!
Walaupun begitu, paling tidak mereka orang Asia dan beragama Islam. Shiraj
memperlihatkan kamar-kamar di dalam agar saya mengerti dengan keadaan di rumah,
serta daerah di sekelilingnya. Dia menunjukkan dimana dapurnya, bagaimana cara
memakai panggangan microwave, tempat cuci baju, kamar mandi dan toilet. Saya
agak heran karena kamar wandi dan WC terpisah! Dia juga menjelaskan kalau
kampus saya lokasinya cukup dekat rumah, dan bisa dijangkau dengan berjalan
kaki. Untuk belanja, dia menyarankan supermarket Coles yang lokasinya beberapa
ratus meter di utara.
Karena dia tahu saya juga Muslim, dia bilang kalau mau
Jumatan, saya bisa pulang ke rumah dan berangkat ke Masjid Perth bersama dia dan
Shahjehan. Dia bilang pihak kampus umumnya mengijinkan pelajar untuk pulang
awal di hari Jumat buat sholat di Masjid.
Selain itu, Shiraj juga memberikan saya alat seperti kipas angin berbentuk kotak kecil berwarna kusam,
hanya diatasnya ada pengatur temperatur. Shiraj bilang “ini alat pemanas ruangan”.
Berhubung saya belum pernah tinggal di negara sub-tropis yang dingin
sebelumnya, saya nggak ngerti buat apa alat ini. Karena itu tidak heran di
malam pertama di Perth saya tidak memakai alat itu, biarpun hawanya lumayan
membeku.
Contoh kipas angin pemanas ruangan portable.
Oke, malam sudah cukup larut dan saya memutuskan untuk
mengucapkan selamat malam ke semua dan masuk ke kamar tidur dan rebahan.
Hawanya malam itu sangat dingin sekali. Saya langsung memakai selimut 2 lapis
dan tetap berpakaian rangkap. Biar nggak kebosanan, saya menyalakan Walkman saya.
Karena walkmannya ada alat penangkap sinyal radio, saya penasaran seperti apa
program stasiun-stasiun radio di Australia. Kebetulan beberapa stasiun masih
mengudara tengah malam itu. Kebanyakan menyiarkan talk show atau lagu-lagu ala
Australia yang kurang enak buat didengar kalau sudah mengantuk.
Tapi ada satu yang memutar lagu “Silly Love Songs” dari Paul
McCartney yang memberikan aura klasik di malam pertama saya di Perth. Kayaknya lagu ini cukup menghibur saya,
sebelum saya akhirnya tertidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar