Jumat, 27 Maret 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 8)


Begitu bertemu dengan Doddy, kamipun mulai berjalan-jalan keliling pusat kota untuk melihat daerah di sekitar situ. Saya cukup kagum dengan kombinasi bangunan klasik dan modern yang bisa dipadukan dengan sempurna disini. Ada banyak juga bangunan klasik yang didaur ulang untuk fungsi yang baru. Contohnya bioskop Picadilly yang teater utamanya sekarang menjadi area lorong perbelanjaan (walaupun diatasnya masih ada bioskop kecil). 


Bagian muka bioskop Piccadilly di jalan Hay Street Mall.

Doddy juga membawa kita melihat jalan Hay Street Mall. Seperti halnya Murray Street, jalan ini juga sudah ditutup permanen dari lalu lintas kendaraan dan sekarang menjadi areal pejalan kaki. Tempatnya sangat sibuk dan dikelilingi dengan toko-toko ternama disini.


Pojok timur Murray Street Mall, yang menyeberang jalan Barract Street.

Dia juga membawa kita melihat “London Court”, sebuah lorong yang dikelilingi bangunan berarsitektur klasik Tudor khas Inggris. Disini banyak toko-toko yang menjual souvenir, kamera, alat elektronik, dan majalah.


Berfoto bersama bapak saya di London Court.

Kami mampir ke salah satu toko souvenir. Barang yang dijual cukup mengagumkan. Selain barang-barang cinderamata biasa seperti kartu pos, magnit kulkas, kaos, topi koboy, dan Boomerang; mereka juga menjual barang-barang aneh seperti dendeng dan cakar Kanguru. Ada juga beberapa kartu pos dengan gambar perempuan sexy bertelanjang dada di pantai. Saya juga membeli satu sweater dengan logo Koala di depannya. Hingga kini saya masih punya sweater ini dan kondisinya masih sebagus sewaktu masih baru di tahun 1997 silam.
Dari toko souvenir, kami mampir ke satu kios majalah dimana bapak dan kakak saya membeli bahan bacaan. Saya melihat-lihat banyak majalah yang di toko buku di Indonesia biasanya ditaruh di bagian import dan dibungkus plastic vakum yang rapat, tapi disini tidak dibungkus sehingga saya bisa membacanya sebelum membeli.
Sebagai penggemar penerbangan waktu itu, saya benar-benar girang bisa lihat-lihat banyak majalah penerbangan top disitu. Rasanya seperti surga betul! Dan tidak hanya penerbangan, bagi peminat bidang lain seperti kereta api, pertamanan, kuliner, dan lain lain semua majalahnya ada.
Tapi kalau mau jujur, kebanyakan majalah penerbangannya sebenarnya diimpor. Mayoritas dari Inggris, tapi ada juga yang dari Amerika. Majalah dari Australia sendiri tidak terlalu banyak. Saya kemudian membeli satu buku yang mengulas pembom Avro Vulcan, B-45, dan B-52.


Sampul depan buku yang saya beli hari itu.

Selain majalah-majalah tadi, ada juga beberapa majalah atau bahan bacaan yang menarik perhatian karena mustahil dijual bebas di Indonesia: majalah dewasa! Di rak diatas, saya menemui banyak majalah dewasa terkenal seperti Playboy, Penthouse, dan lain-lain yang isinya vulgar. Yang penting, nggak satupun dibungkus plastic rapat! Saya membukanya dan WOW! Benar juga isinya memang “panas-panas”. Namun yang majalah Playboy sebenarnya bukan majalah porno karena isinya juga mengulas topik-topik aktual tapi diselingi beberapa gambar cewek-cewek sexy yang telanjang bulat. Padanannya di Indonesia mungkin majalah Popular, hanya ini lebih vulgar. Karena waktu itu saya sudah berumur 19 tahun, nggak masalah lah saya baca begituan. Tapi berhubung saya waktu itu “anak alim” saya memutuskan tidak membelinya dulu. Apalagi kalau dilihat bapak dan kakak saya, nggak enak tentunya.
Satu lagi barang di kios majalah yang kalau di Indonesia dilarang adalah “Lotto” atau Lotere. Ada yang format "Scratch & Win". Bentuknya seperti sehelai kertas karton ukuran A6 atau A7 yang diatasnya ada nomor-nomor tertutup dan harus digosok pakai koin. Kalau kombinasi nomornya tepat, si pembeli bisa memenangkan hadiah tertentu yang umumnya berbentuk uang jumlah tertentu (dan besar). Ada lagi yang model formulir yang harus diisi pembeli dan kemudian formulirnya diberikan ke penjual koran untuk dikrimkan ke pusat. Nanti setiap minggu di TV setelah berita sore akan ada pengumuman nomor yang memenangkan lotere. Dan pemenang utama bisa mendapatkan hadiah uang yang nilainya milyaran rupiah. Program ini diadakan secara resmi oleh pemerintah Australia dan hanya warga Australia yang boleh mendapatkan hadiahnya kalau menang. Program ini mirip dengan toto, Porkas, dan SDSB yang dulu pernah popular di Indonesia. 


Penjual "Lotto" di Australia memegang kartu "Scratch&Win" sementara counter  di kanan berisi formulir nomor keberuntungan.

Kami juga membeli kartu telepon “Unidial”. Fungsi kartunya mirip dengan kartu telepon biasa, hanya bukannya dimasukkan ke telepon umum, kita mengikuti arahan yang tertulis di bagian belakang kartu, dan kemudian memasukkan nomor kode yang harus digesek koin dulu biar kelihatan. Kartu ini cocok sekali buat telepon internasional dengan harga murah, di jaman dimana internet murah, Wifi, smartphone, Whatsapp atau moda komunikasi internasional praktis dan murah belum ditermukan. Setiap kartu punya nominal tersendiri, dan setiap kali kita menggunakannya kreditnya makin lama akan makin berkurang.  


Bagian depan kartu "Unidial".


Bagian belakang kartu "Unidial". Nomor kardu saat baru biasanya tertutup strip aluminium yang harus digesek agar ketahuan nomornya.

Dari London Court, Doddy mengajak kita melihat St. Georges Terrace. Jalan ini adalah jalan utama di pusat bisnis kota Perth, dimana banyak kantor-kantor perusahaan besar berada. Disini juga gedung-gedung pencakar langit di Perth berada. Karena hari itu hari Sabtu, maka suasananya tidak terlalu sibuk. Saya sudah melihat pemandangan serupa sebelumnya di Singapore, hanya hawa dingin dan sejumlah besar orang bule membuat suasananya beda.


Suasana jalan St. Georges Terrace di saat jam sibuk.

Kami juga mengunjungi lapangan Esplanade Reserve dan dermaga Barrack Street Jetty, dimana kita bisa melihat pemandangan kota secara utuh, serta sungai Swan. Pemandangannya dari sini benar-benar luar biasa!


Berfoto bersama kakak saya di taman Esplanade Reserve di tahun 1997 silam.

Kita tidak menyadari bahwa beberapa tahun kemudian, lapangan Esplanade Reserve dibongkar dan digali untuk dijadikan teluk buatan tempat berlabuh kapal-kapal layar pesiar kecil, bernama Elizabeth Quay.


Kota Perth dilihat dari taman Esplanade Reserve.

Doddy berkata kalau konsulat Indonesia terletak di jalan Adelaide Terrace yang merupakan terusannya St. Georges Terrace. Kita bisa menjangkau tempat itu dengan berjalan kaki. Kitapun menuju kesana, dan ternyata jaraknya jauh juga. Tapi karena hawanya dingin sekali, kami tidak berkeringat sama sekali.


Konsulat Indonesia di Perth. Foto Google Street view ini diambil tahun 2017, dan model bangunannya tidak berbeda jauh dibandingkan tahun 1997.

Sesampainya di konsulat, kita langsung berusaha membuka pagar. Rupanya dikunci. Doddy berkata kalau kita harus tekan tombol bel dulu sebelum masuk. Kita tidak bisa nyelonong masuk begitu saja karena tempat ini adalah wilayah teritori Indonesia di luar negeri.  Memasuki konsulat tidak ubahnya seperti kembali ke Indonesia lagi.
Setelah menekan tombol, terdengar suara di intercom yang menanyakan siapa dan maksud kita berkunjung. Kami berkata kalau kami berniat melaporkan kehadiran saya disini. Mereka pun membukakan pagar secara remote dan kami masuk ke gedung utama menuju ke kounter pelaporan yang ada di bagian belakang gedung konsulat.
Sewaktu kami menyerahkan passport dan visa saya, petugas di situ berkata kalau kita harus juga menyertakan fotokopinya. Karena mereka tidak punya mesin fotokopi untuk pengunjung, mereka menyarankan kita pergi ke hotel Hyatt untuk memfotokopi passport saya. Di Indonesia hal seperti itu mudah diselesaikan karena tempat fotokopian banyak. Tapi di Australia bisnis jasa fotokopi itu tidak ada. Jadi kita harus keluar dulu untuk mencari tempat fotokopi.
Begitu keluar, kami mencari-cari tempat fotokopi. Karena hotel Hyatt itu jauh dari konsulat, kami mencoba toko-toko di sekitaran konsulat. Walaupun awalnya kita banyak ditolak, akhirnya kita menemukan peruntungan kita di sebuah tempat persewaan mobil dimana mereka mau memfotokopi passport saya secara gratis.
Setelah itu kamipun kembali lagi ke konsulat untuk mengurusi urusan administrasi disini. Kali ini permohonan kita diterima dan surat-suratnya pun diproses.
Sewaktu saya menunggu passport saya diproses, tiba-tiba saya menyadari kalau mereka sebenarnya punya mesin fotokopi. Nggak hanya satu tapi ada beberapa. Walaupun saat itu kita cuma satu-satunya yang datang, kenapa kok kita tidak diberi keringanan untuk menggunakan fotokopi mereka? Sangat mengecewakan bahwa mereka pelit mesin fotokopi sehingga kami harus bersusah payah mencari diluar.
Tapi waktu itu memang pelayanan publik di Indonesia memang terkenal buruk. Birokrasi di Indonesia waktu itu terkenal bobrok. Seringkali pegawai pemerintahan akan melakukan apapun untuk membuat urusan yang aslinya mudah jadi susah, dan seringkali meminta “uang pelicin”. Mottonya “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” Dan sangat memalukan sekali kalau mentalitas seperti itu dibawa ke negara maju seperti ke Australia ini. Pelayanan buruk ini kontras sekali dengan birokrasi negara maju di Australia yang praktis dan sederhana dibanding Indonesia.
Selesai urusan kita di konsulat, kitapun kembali jalan-jalan keliling pusat kota Perth. Kali ini kami pergi makan siang di Carillon City Food Court yang terletak di bawah tanah antara Hay Street dan Murray Street. Food court ini persis seperti yang saya temui di mall-mall di Indonesia. Tapi yang berbeda jelas menu makanannya. Beberapa makanan ada yang belum pernah saya temui sebelumnya, seperti Kebab, Fish & Chips, dan Gelato.  
Berhubung saya tidak terlalu tertarik dengan menu yang asing, saya beli nasi goreng di salah satu counter makanan Chinese disitu. Nasi gorengnya mirip dengan yang biasanya saya makan di Indonesia. Rasanya sama. Hanya yang beda adalah porsinya 2 atau mungkin 3 kali dari porsi nasi goreng di Indonesia. Karena waktu itu saya kurus, saya nggak kepikiran ketambahan bobot badan.
Kakak saya mencoba kebab. Waktu pertama melihatnya, kok bentuknya aneh? Mirip seperti lumpia, tapi ukurannya besar banget. Hampir sebesar tangan saya! Kakak saya menawarkan saya untuk mencobanya. Sewaktu saya makan rasanya agak aneh, tapi lumayan enak. Sayapun akhirnya pesan satu buat saya.


Outlet kebabnya kelihatan menarik. Di balik counter ada 3 alat bakaran berputar dimana daging ayam, sapi, dan domba dibakar di tusukan yang dipasang vertical dan berputar-putar di depan api agar dagingnya matang merata. Di bagian depan counter ada pilihan isi untuk kebabnya, seperti berbagai jenis keju, zaitun, sayuran, telur, dan berbagai jenis saus yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Saya pesan kebab ayam dengan keju cheddar, lettuce, bawang bombay, dengan saus BBQ dan keju. Rasanya enak sekali!
Begitu selesai makan, kitapun melanjutkan perjalanan keliling kota.


Bersantai sejenak setelah makan di hall di dalam Carillon City Mall.

Tujuan pertama kita adalah museum Art Gallery of Western Australia. Museum seni ini punya berbagai jenis koleksi, termasuk artefak langka. Walaupun merupakan salah satu museum terpenting dan terbesar di kota Perth, saya kaget karena masuknya gratis! Di museum seni lainnya, biasanya kita harus bayar tiket masuk.


Foto bareng di depan patung "De Rufer" di dalam Art Gallery of Western Australia.

Setelah lihat-lihat museum, kamipun kembali lagi ke Hay Street untuk duduk-duduk dan ngobrol-ngobrol.


Duduk bareng di Hay Street Mall.

Saya tidak ingat apa yang waktu itu diobrolin. Kalau tidak salah bapak saya tanya-tanya ke Doddy tentang apa yang dia lakukan disini dan juga tentang keluarganya.
Setelah duduk-duduk, kita jalan lagi. Kali ini Doddy juga mengasih lihat bagaimana caranya kalau mau kembali ke rumahnya Siraj, yaitu dengan naik bis dari jalan Barrack Street. Walaupun bukan terminal bis, tapi semua bis kota yang mengarah ke utara Perth akan berhenti di Barrack Street untuk mengambil penumpang karena lokasinya yang pas di pusat bisnis. Ini mengingat terminal bis aslinya lokasinya agak jauh dari pusat kota.


Jalan Barrack Street, menghadap ke selatan. Deretan halte bis tampak di sebelah kanan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar