Kamis, 26 Maret 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 7)

Pagi hari saya bangun dan langsung disambut dengan hawa yang membeku. Bulan Agustus adalah puncak-puncaknya musim dingin di belahan bumi selatan. Karena saya terbiasa dengan hawa tropis yang hangat, hawa dingin pagi ini terasa menusuk sekali. Butuh waktu buat membiasakan dengan hawa seperti ini. Apalagi saya masih belum tahu fungsi kipas angin pemanas yang dikasih bapak kost saya semalam. Kalau saja saya tahu mungkin tidur semalam lebih enak.
Saya keluar dari kamar tidur saya dan pergi ke teras depan. Dani* ternyata sudah disana dan lagi bersantai menikmati suasana pagi. Saya cukup terkejut melihat minimnya pakaian yang dia pakai. Dia hanya pakai kaos oblong sama celana olahraga panjang. Saya tanya apa dia nggak kedinginan? Dani* menjawab tidak seberapa karena dia sudah terbiasa dengan hawa disini, apalagi dia sudah tinggal lebih dari setahun disini.
Siraj pagi itu masih bekerja mengemudikan taxi, sementara Feroza dan anak-anak masih tertidur. Saya merasa lapar dan pingin makan pagi. Dani* membantu saya mengajari bagaimana menggunakan peralatan di dapur, termasuk panggangan microwave. Menyalakan kompor juga agak sulit dan cenderung berbahaya, karena kita harus menyalakan korek api dulu untuk menghidupkan kompor akibat rusaknya pemantik api di kompor ini.
Dia berkata kalau semua makanan disini disediakan gratis oleh tuan rumah karena sudah termasuk biaya kost yang kita bayar setiap bulan. Saya melihat-lihat makanan di dapur. Umumnya makanan Asia Selatan seperti kare ayam, tapi ada juga makanan seperti bubur yang ternyata adalah kacang dhal. Kacang ini aslinya berwarna kuning, tapi ada yang berwarna oranye. Texturnya agak mirip dengan isi kacang hijau, hanya lebih keras.


Sepanci penuh Dhal. Penampilannya mirip bubur, tapi biasanya dimakan dengan nasi.

Dani* juga bilang kalau kita nggak begitu suka masakan yang ada, kita bisa makan Indomie. Wah, di Australia ternyata ada Indomie! Biasanya mereka menyediakan 1 box Indomie setiap bulannya. Kalau masak Indomie saya ya tahu, jadi saya pikir makan ini saja daripada harus makan makanan yang nggak jelas rasanya.
Tapi sewaktu saya membuka bungkusan Indomienya, saya kaget melihat minyaknya solid membeku di bungkusannya! Baru kali ini saya lihat minyaknya Indomie Mie Goreng bisa beku kaya begini! Di Indonesia biasanya minyaknya cair dengan warna coklat kekuningan. Tapi berhubung hawanya membeku jadi kaya margarine begini. Untuk mencairkannya, kita mencelup bungkusan minyaknya di air rebusan mie yang mendidih sebentar.
Saya juga memasak daging burger kemasan, yang uniknya nggak usah digoreng pakai minyak karena lemak di dagingnya akan meleleh sendiri kalau kena panas sehingga jadi minyak. Dan juga ada keju “Bega” yang kelihatan beda dengan keju Kraft yang biasanya saya makan di Indonesia. Keju ini rasanya tidak sekuat keju di Indonesia, dan teksturnya lebih padat. Sewaktu saya masak dengan telur goreng, kejunya jadi meleleh dan lengket seperti keju mozzarella. 

Satu paket keju Bega. Keju ini sekarang mudah ditemui di supermarket di Indonesia. Tapi dulu sama sekali nggak ada.

Saat saya menikmati sarapan, Feroza dan anak-anaknya terbangun. Ini pertama kalinya saya bertemu dengan anak-anak. Walaupun mereka awalnya malu, makin lama mereka makin dekat dengan saya. Mereka sungguh lucu dan menggemaskan.
Setelah saya selesai sarapan, bapak dan kakak saya datang ke rumah. Mereka disambut oleh Feroza dan anak-anak. Kakak saya bertanya apa tidur semalam pulas, saya menjawab iya. Kakak saya berkata kalau hari ini kita akan jalan-jalan keliling kota dan Fremantle sama Doddy. Tapi sebelumnya kita harus ke tengah kota dulu untuk ketemu dia.
Saat saya tengah mandi. Siraj pulang dari kerja shift malamnya. Dia disambut oleh bapak dan kakak saya. Dani* dan Erick* juga kebetulan ada disana, dan ikut nimbrung percakapan mereka. Mereka ngobrol lumayan lama sementara saya mandi dan berpakaian.
Setelah semalam disini, Siraj berkata bahwa bahasa Inggris saya cukup bagus. Padahal saya pendatang baru disini, dan bahasa Inggris saya waktu itu menurut saya pas-pasan. Apalagi dulu waktu belajar di ILP prestasi saya biasa-biasa saja. Tapi Siraj berkata kalau itu masih bagus kalau dibandingkan sama kemampuan bahasa Inggris seorang pelajar Jepang yang dulu pernah tinggal dirumahnya. Siraj berkata kalau kemampuan bahasa Inggrisnya anak Jepang itu nyaris nihil. Begitu buruknya sampai di beberapa hari pertama dia tinggal di Australia dia harus menggunakan bahasa symbol tangan hanya untuk berkomunikasi dengan Siraj dan keluarganya!
Begitu saya siap, kami pamit ke Siraj dan mulai berangkat menuju ke kota. Dani* menemani kita karena dia juga harus berangkat ke tempat kerjanya. Dia juga membantu kita menunjukkan bagaimana caranya menggunakan fasilitas transportasi umum di Perth, khususnya bus.
Kami berjalan kaki menuju ke jalan Fitzgerald Street yang terletak di barat rumah, dan beberapa meter ke selatan dari pertemuan jalan Grosvenor Road ada halte bis. 


Halte bis Fitzgerald Street dilihat di Google Street View tahun 2014 silam. Di tahun 1997 model struktur bangunan haltenya berbeda. Pertigaan ke Grosvenor Road tampak di kejauhan di sebelah kanan jalan.

Kami akan mencegat bis ke kota dari sini. Dani* berkata bahwa disini kita hanya bisa mencegat bis dari tempat pemberhentian yang ditentukan. Kalau kita mencegat bis diluar tempat resmi, bis nggak akan berhenti dan tetap jalan hingga tempat perhentian resmi terdekat. Ada beberapa jenis perhentian bis disini. Yang paling besar ada atapnya dan papan jadwal bis, sementara yang kecil hanya tiang patok besi kecil berwarna oranye dengan logo Transperth.


Dulu di tahun 1997 model halte bis di daerah perumahan seperti ini. Sementara patok oranye di kanan adalah tanda kalau tempat itu adalah tempat perhentian bis. Terkadang halte bis hanya berupa patok tanpa bangunan halte beratap. 

Transperth adalah perusahaan jasa transportasi umum di kota Perth. Layanannya mencakup segala jenis kendaraan transportasi massal di kota, seperti bis, kereta api, dan bahkan kapal penyeberangan! Jaringan pelayanannya sangat lengkap sekali kalau dibandingkan dengan yang di Surabaya (bahkan hingga hari ini!). Jaringannya Transperth benar-benar mencakup setiap sudut kota Perth, mulai dari perkantoran di pusat kota hingga perumahan di pinggiran. Kalau kita tinggal di dekat halte bis atau stasiun kereta api, sangat mudah sekali kalau mau berpergian kemana-mana.


Salah satu bis gandeng Transperth berhenti di pelabuhan ferry di tepi sungai Swan di tengah kota. Di tahun 1997 warna bis serta logo Transperth adalah seperti yang di foto ini.

Tapi intensitas jadwalnya bervariasi. Kalau jam sibuk, bis-bis dan kereta api akan beroperasi dengan jadwal yang sering, tapi kalau akhir minggu atau hari libur jadwal perjalanannya jadi jarang, bahkan beberapa layanan bis nggak jalan sama sekali!
Dani* memberitahu kita kalau bisnya sudah datang. Saya melihat bisnya tiba-tiba muncul dari balik bukit di utara dan berjalan turun ke halte bis kita. Dani* memberi tanda, dan sopir bis perlahan menghentikan bis dan membuka pintu depan.


Bis yang kita naiki waktu itu modelnya persis seperti yang di foto ini, hanya logo Transperth nya masih yang model lama.

Sewaktu kami masuk bis, Dani* menunjukkan bagaimana caranya membayar karcis bis. Kalau kita bayar tunai, kita cukup tinggal bilang ke sopir tujuan perjalanan kita dan sopir akan mencetak karcis yang ada harganya. Kita tinggal bayar dan sopir memberikan kembalian juga. Kalau waktu jam sibuk, kita harus melakukannya dengan cepat, agar tidak memperlambat orang-orang di belakang kita. Bis di Perth tidak punya kernet, jadi sopir bekerja sendirian merangkap sebagai penjual karcis.
Ada lagi satu cara membayar tiket bis atau transportasi umum di Perth. Yaitu pakai kartu abonemen “Multirider”. Kartu ini terbuat dari kertas yang tebal dengan pita magnetic di belakangnya. Kartu ini bisa dipakai berkali-kali, mulai dari 10 hingga 40 kali, tergantung jenis kartu yang kita beli. Menggunakannya sederhana saja. Cukup masukkan kartunya ke mesin validasi, di belakang sopir. Begitu dimasukkan, mesinnya akan mencetak tanggal dan batas waktu pemakaian dan mengeluarkan kartunya lagi. Dengan begitu kita bisa naik bis. Di kereta api juga sama, hanya kita melakukan proses validasi di mesin di peron stasiun, sebelum naik KA. Kalau ketahuan naik bis atau kereta api (polisi kadang suka melakukan pemeriksaan, khususnya diatas KA) tanpa memvalidasi kartu Multiridermu, kamu bisa didenda.


Tampak depan kartu Multirider. Ini kartu untuk pemakaian 40 kali dan hanya bisa untuk perjalanan 1 zona bagi pemegang konsesi diskon.


Tampak belakang kartu yang sama. Strip hitam di tengah adalah strip magnetik yang berisi data elektronik penggunaan kartu. Di bagian bawah ada keterangan peraturan penggunaan karcis ini.

Di tahun 1997, harga tiket Transperth dibagi jadi 4 zona, makin jauh perjalanan kita makin banyak zona yang harus kita lewati. Dan tentunya makin mahal harga karcisnya. Jadi di tiket itu tertulis zona dan jenisnya. Ada yang untuk umum, dan ada yang tiket konsesi yang harganya lebih miring.
Batas waktu pemakaian kartu adalah 2 jam. Yang saya tahu setiap perjalanan dalam 1 zona biasanya butuh waktu 15 menit dalam kondisi lalu lintas normal. Dan kalau di daerah perumahan, perjalanannya bisa lebih cepat lagi.
Kalau kita berpergian melampaui batas zona yang tertera di tiket, kita akan diminta untuk membayar tarif lagi oleh sopir bus, atau malah diusir. Kalau diatas kereta api, kita bisa ditilang oleh polisi transportasi (kalau di Indonesia semacam polisi khusus kereta api) kalau melanggar batas ini. Peraturan serupa juga berlaku kalau kita melebihi batas waktu pemakaian karcis.
Tapi di tahun 1997, pemeriksaan karcis di atas kereta api anehnya langka sekali, makanya kereta api waktu itu adalah moda transportasi favorit buat mereka yang suka curang dalam membeli tiket (atau mereka yang suka naik gratisan!).


Peta jaringan Transperth di tahun 2012. Di tahun 1997 mereka hanya punya 4 zona, sementara untuk yang mau ke Rockingham dan Mandurah di ujung selatan ada layanan bis khusus Transperth yang menggunakan tarif dan karcis yang berbeda dengan layanan reguler.

Pelajar, pensiunan (warga negara Australia), dan beberapa kelompok masyarakat boleh membeli tiket “Konsesi” yang harganya lebih murah dari tiket regular. Harganya kalau nggak salah bisa lebih murah 20% dibanding harga karcis reguler. Lumayan buat menghemat uang. Konsesi ini juga berlaku untuk mahasiswa asing. Biasanya di balik kartu pelajar ada stiker logo konsesi Transperth yang harus dikasih lihat saat beli tiket di bis atau membeli kartu Multirider. Stiker ini juga harus dikasih lihat kalau ada pemeriksaan karcis diatas kereta api. Tapi kalau kita ketahuan beli karcis konsesi tapi nggak bisa memperlihatkan stiker konsesi, kita bisa ditilang (biasanya terjadi kalau naik kereta api).


Contoh stiker konsesi di belakang kartu pelajar saya, lengkap dengan batas waktu pemakaiannya.

Saya juga memperhatikan sepertinya semua sopir bis punya kemampuan “magis” bisa mengidentifikasi setiap jenis kartu Multirider yang dimasukan ke mesin validasi, biarpun mesinnya ada di belakang dia dan susah kalau mau melihat ke belakang  pas jam sibuk karena sopir juga harus melayani banyak penumpang yang membayar tunai. Herannya sopir selalu tahu jenis tiket apa yang dimasukkan mesin validasi Multirider, dan tidak segan-segan mengusir penumpang yang melampaui zona tiket mereka. Beberapa waktu setelah saya tinggal di Australia, saya pernah melihat sopir menghentikan bis dan meminta penumpang yang melebihi zona tiket mereka untuk keluar dari bis. Bahkan ada kawan yang pernah mengalami bis berhenti mendadak hanya karena sopirnya mengusir penumpang yang melanggar.
Selain tiket berzona tadi, ada juga tiket “All Day” yang bisa dipakai untuk berpergian ke mana saja di zona manapun sepanjang hari hingga jam 12 malam, dan naik semua jenis moda transportasi. Dengan tiket ini kita nggak usah kepikiran mengenai zona tiket atau batas waktu pemakaian dan bisa naik bis atau kereta api sepuas-puasnya! Waktu itu harga tiketnya kalau nggak salah A$2.50.
Ada lagi layanan bis Transperth yang awalnya menurut saya nggak masuk akal karena gratis! Yup, betul kok, kita nggak usah bayar sepeserpun buat naik. Cukup masuk saja dan kita bisa menaiki sepuasnya tanpa bayar! Bis ini namanya CAT atau “City Area Transport” (“Transportasi Area Tengah Kota”). Armada bisnya punya warna perak, lantainya rendah, dan ukuran bisnya cuma ¾ bis normal. Rute mereka ada 2: jalur Merah dan Biru.


Salah satu bis yang digunakan untuk layanan transportasi gratis CAT di dalam kota Perth. Bis di foto melayani rute Merah.

Sesuai namanya, bis ini hanya putar-putar di tengah kota saja, dan menghubungkan beberapa tempat penting di pusat kota. Saya kemudian tahu bahwa kalaupun kita naik bis reguler atau bahkan kereta api di rute tengah kota sebenarnya juga gratis. Kalau kereta api biasanya antara stasiun Perth dengan City West.
Perjalanan menuju pusat kota adalah pengalaman luar biasa buat saya biarpun saya bukan hanya karena saya menikmati naik bis kota untuk pertama kalinya, tapi juga melihat bagaimana daerah di sekitaran sini. Rumah-rumah di dekat tengah kota mayoritas model kuno ala tahun 1960an atau bahkan sebelum itu. Terkadang kita juga melihat apartemen dan pertokoan.
Yang membuat saya heran waktu itu adalah tidak adanya gedung shopping mall besar, seperti yang saya lihat di Indonesia atau Singapore, di tengah kota Perth. Kalaupun yang ada hanya pusat pertokoan Forrest Chase yang nggak besar-besar banget. Yang umumnya ada hanya deretan took-toko yang berjejer di tepi jalan, sehingga pejalan kaki bisa langsung masuk dan lihat-lihat. Mirip sekali dengan model berbelanja di Surabaya di jaman Belanda. Belakangan saya tahu kalau shopping mall itu umumnya ada di pinggir kota, di tengah daerah perumahan.
Sewaktu kita mendekati tengah kota, tempatnya makin lama makin padat dan makin komersial. Rumah-rumah berganti dengan pertokoan. Bis kami naik keatas jembatan yang melengkung bernama “Horsehoe Bridge” atau “Jembatan Tapal Kuda” karena bentuknya melengkung persis tapal kuda. Kami turun di halte diatas jembatan. Jembatan ini persis diatas stasiun kereta api pusat Perth.



Horseshoe Bridge atau Jembatan Tapal Kuda yang lokasinya tepat diatas stasiun kereta api Perth.

Stasiun Perth adalah stasiun yang sibuk sekali dengan banyak peron. Waktu kami datang, stasiunnya cukup ramai dengan kesibukan komuter di tengah hari yang mau berpergian naik kereta api. Dani* mengantar kita turun ke peron menuju ke kantor customer service di sebelah pintu masuk utama stasiun. Di sini Dani* membantu kita membeli karcis Multirider. Karena bapak dan kakak saya hanya disini beeberapa hari saja, dan cuman berpergian di sekitaran North Perth dan pusat kota, kami hanya membeli Multirider yang 2 zona. Kartu ini juga bisa dibeli di kios-kios penjual koran yang tersebar di penjuru kota.


Pemandangan peron dan bangunan utama stasiun Perth. Kantor customer service yang juga merangkap penjualan tiket Multirider adalah kantor dengan papan hijau diatasnya.

Setelah itu kami berpisah dengan Dani* karena dia harus masuk ke kantornya, sementara kita mulai berjalan melihat-lihat kota. Kami menyeberang jalan di depan stasiun, dan sampai di tempat terbuka yang cukup luas bernama Forrest Place. Tempat ini dikelilingi oleh beberapa bangunan, salah satunya kantor pos utama (GPO) yang masih mempertahankan arsitektur kuno, dan pusat perbelanjaan Forrest Chase.  


Forrest Place tanggal 2 Agustus 1997. Pusat perbelanjaan Forrest Chase tampak di kiri gambar.

Gedung kantor pos GPO (General Post Office) memainkan peran yang cukup penting waktu itu karena internet dan e-mail hanya terjangkau bagi mereka yang berduit dan mengerti teknologi (punya duit tapi nggak mengerti teknologi nggak bisa pakai internet), smartphone serta media sosial berbasis internet tidak ada. Jadi saat itu kantor pos selalu ramai dengan lalu lalang orang yang mengirim surat atau kartu pos.


Kantor pos pusat (GPO) di areal Forrest Place. Di latar belakang tampak BankWest Tower.

Forrest Place sendiri cukup ramai dengan lalu lalang orang. Beberapa hanya duduk-duduk sambil menikmati pemandangan atau ngobrol dengan kawan mereka. Sebagian cuman jalan-jalan. Ada juga yang Cuma duduk sendirian sambil melamun atau membaca. Pada umumnya tempat ini nggak ubahnya seperti alun-alun pusat keramaian di pusat kota.


Forrest Place dilihat dari atas. Kantor pos GPO di kiri gambar, sementara stasiun Perth tampak di kejauhan di latar belakang. Di tahun 1997 cafe di kanan lapangan, dan pos penjagaan di kiri bawah tidak ada. 

Kita berjalan sedikit lebih dalam hingga sampai ke jalan Murray Street. Jalan ini dulunya adalah jalan utama di tengah kota yang sangat ramai sekali. Tapi di akhir 1980an atau 1990an ditutup permanen untuk lalu lintas untuk dijadikan areal pejalan kaki. Walaupun kendaraan pribadi dan umum sudah tidak bisa masuk (hanya kendaraan perawatan yang bisa lewat), bisnis toko-toko disini bukannya tambah mati tapi malah makin hidup.


 Berfoto bersama kakak saya di Forrest Place, tanggal 2 Agustus 1997.


Saat menunggu Doddy, tiba-tiba saya kebelet pipis. Sayapun langsung menuju ke toilet umum yang ada di dekat situ. Saat masuk, saya kaget melihat model urinoir nya yang besar dan bisa menampung banyak. Kalau ramai, kencing disini rasanya agak memalukan karena tidak ada privasi. Saya tidak pernah lihat urinoir model seperti ini di WC umum di Indonesia.


Selesai dari WC, sayapun berjalan kembali ke kakak dan bapak saya. Saat berjalan, saya melihat pemandangan yang membuat saya terperangah: ada pasangan bermesraan di tempat umum. Mereka asyiknya berciuman dan saling pegang-pegangan di tempat umum, tanpa menarik perhatian orang lain sama sekali. Wah, ternyata disini bebas juga yah. Kalau di Indonesia mereka bisa ditangkap atau bahkan dihakimi massa.


Pemandangan orang-orang bercumbu mesra di depan umum adalah pemandangan lumrah di Australia. Walaupun tidak banyak, tapi ada. Bahkan terkadang saya suka melihat mahasiswa dan mahasiswi Indonesia melakukan hal yang sama karena di negerinya sendiri tidak bisa.
Tak lama kemudian Doddy datang dan menyambut kita. Dia datang sendirian dari rumahnya di barat Perth. Setelah kita berkumpul, kitapun mulai jalan-jalan keliling kota.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar