Di akhir Juli, saya sudah siap untuk berangkat ke Perth di
Australia. Semua pakaian sudah dikemas, semua kaset sudah disiapkan, dan saya
juga sudah menyiapkan kamera beserta beberapa roll film. Ibu saya bahkan
memasukkan beberapa makanan ringan yang dibeli di Pasar Genteng buat bekal
selama di Australia, seperti kacang mente dan kripik lorjuk.
Saya bahkan sudah membeli lensa tele baru buat kamera Canon
AT-1 saya. Kamera ini aslinya pakai lensa tetap 50mm. Tapi karena saya pingin
bisa memotret jarak jauh (seperti memotret pesawat terbang), akhirnya saya
membeli lensa tele. Tadinya saya ingin beli yang ukuran 250mm atau bahkan
300mm! Tapi karena keterbatasan dana, akhirnya saya beli lensa Vivitar
18-135mm.
Selain baju, makanan ringan, dan kamera, saya juga membeli Walkman
baru merek Aiwa. Waktu itu smartphone, iPod, atau bahkan file Mp3 belum ada.
Sarana hiburan mobile yang umum waktu itu adalah mendengarkan Walkman, atau
Discman CD player kalau orangnya punya uang extra. Sepengetahuan saya alat pemutar
CD portable tidak pernah benar-benar populer karena selain harganya mahal, alat
ini cukup ringkih. Sedikit guncangan bisa mengganggu lagu yang didengar,
atau bahkan bisa mengulang lagu dari awal CD!
Aiwa TA363 adalah walkman andalan saya semasa tinggal di Australia tahun 1997 silam.
Akhirnya hari Jumat tanggal 1 Agustus 1997 sayapun berangkat
ke Australia untuk memulai kuliah disana. Untuk perjalanan ini saya ditemani
ayah dan kakak saya, yang akan mengantar hingga ke Perth dan bertemu dengan
pemilik rumah tempat saya nantinya tinggal, dan juga melihat kampus tempat saya
akan belajar.
Perasaan saya campur aduk antara gugup, khawatir, dan
gembira. Saya waktu itu hanya anak ingusan, jadi tidak heran perasaan saya
waktu itu agak kacau balau.
Kami berangkat dari rumah pukul 05.30 pagi untuk berangkat
menggunakan penerbangan pertama ke Bali. Karena penerbangan langsung non-stop
dari Surabaya ke Australia tidak ada, kita harus terbang ke Bali dulu sebelum
menuju ke Perth. Kalau tidak salah penerbangannya berangkat jam 7 pagi dari
bandara Juanda Surabaya menuju Ngurah Rai di Bali.
Pesawat kami adalah Fokker-28 yang dioperasikan Merpati
Nusantara Airlines. Merpati waktu itu adalah anak perusahaan Garuda (seperti
halnya Citilink di jaman sekarang). Airline ini punya hubungan putus sambung
dengan Garuda Indonesia selama hidupnya. Walaupun waktu itu merupakan anak perusahaan
Garuda, pada akhir tahun 1997 Merpati lepas dari Garuda dan menjadi perusahaan
penerbangan mandiri sebelum masalah keuangan memaksanya tutup di tahun 2014.
Dulu waktu saya masih kecil saya sering sekali terbang naik pesawat Fokker 28, khususnya waktu tinggal di Makassar. Pesawat
jenis ini dulu merupakan tulang punggung rute regional di Indonesia. Namun hari
itu, pesawatnya masih terasa sebagus dan semegah seperti masa jayanya di tahun
1980an.
Penerbangan berlangsung lancar dan aman. Selama penerbangan
saya bisa melihat pemandangan pegunungan di ujung timur Jawa, seperti gunung
Ijen dan Raung serta kawah Wurung. Langitnya waktu itu bersih sekali sehingga
kita bisa melihat pemandangan dibawah dengan jelas. Penerbangan semi-wisata ini berlangsung
kurang dari sejam, dan tak lama kemudian pesawat kami mendarat dengan mulus di
bandara Ngurah Rai di Bali.
Interior pesawat Fokker 28 Merpati saat penerbangan dari Surabaya ke Denpasar. Jendelanya ditutup agar tidak ada efek backlight di foto.
Begitu keluar dari pesawat kami langsung mengambil bagasi
kami di terminal bandara sebelum dijemput oleh sopir dari kantor cabang bank tempat
bapak saya bekerja sebagai General Manager. Ini jelas membantu kami menghindari
ribetnya berurusan dengan calo taxi gelap yang banyak sekali di Bali.
Pak sopir membawa kami kearah timur, dimana kita melewati
apron tempat parkir pesawat yang dipagari pagar besi. Saya ingat waktu itu ada
beberapa pesawat unik yang tidak pernah saya lihat di Surabaya, seperti
Illyushin Il-62 milik Aeroflot, atau pesawat regional Jetstream dengan livery
British Airways.
Pemandangan apron timur bandara Ngurah Rai Bali tanggal 1 Agustus 1997. Tampak dari kiri ke kanan: Jetstream dengan warna British Airways, Il-62 milik Aeroflot, serta pesawat pribadi Boeing 727.
Jeda antara kedatangan kami dari Surabaya dengan
keberangkatan ke Perth sangat lama sekali. Kami datang jam 9 pagi waktu Bali,
sementara penerbangan ke Perth berangkat jam 6 sore. Jadi kami mengisi waktu
dengan keliling wilayah Denpsar.
Saya ingat waktu itu kita pertama-tama mengunjungi salah
satu kantor cabang bank bapak saya dan sempat ngobrol-ngobrol dengan
manajernya. Karena hari itu Jumat, kami juga sholat Jumat di salah satu masjid
di Denpasar. Kami juga makan siang di pantai Jimbaran yang terkenal itu, dimana
kami menikmati ikan bakar di tepi pantai, sambil menikmati pemandangan laut dan
juga airport di kejauhan.
Pemandangan pantai Jimbaran. Foto ini diambil saat kita makan siang. Tampak DC-10 milik Garuda Indonesia di kejauhan.
Kami juga mampir ke rumah kawan kuliah bapak saya, yang
bekerja sebagai kepala Dishub Provinsi Bali. Kami begitu dekat seakan-akan
seperti keluarga saja. Mereka membawa kami jalan-jalan di sekeliling situ. Kami
juga sempat tidur siang dan mandi di rumah mereka sebelum melanjutkan
perjalanan menuju Australia.
Setelah mengepak ulang barang-barang kami, kami diantar
kembali ke bandara untuk naik penerbangan kami menuju Perth. Kali ini kami datang
di terminal internasional, yang waktu itu terletak di pojok barat bandara.
Terminal ini sekarang jadi terminal domestik, sementara terminal domestik yang
lama kemudian dibongkar dan dibangun menjadi terminal internasional yang baru
dan megah.
Bandara Internasional Ngurah Rai di tahun 2004. Tahun 1997 bandaranya persis seperti ini.
Kami check in dan mendapatkan boarding pass kami sebelum
menuju ke gate kami. Sejujurnya waktu itu saya merasa gugup dan penasaran. Apa
kuliah di Australia kali ini bakal berjalan baik, atau bakal jadi mimpi buruk?
Saya merasa cukup cemas. Kakak saya, yang sudah pernah menjalani program serupa
di Inggris tahun 1994 silam meyakinkan saya kalau kuliah ini bakal
menyenangkan. Mengingat saya dulu sering gagal naik tingkat waktu kursus bahasa
Inggris di ILP Surabaya, saya punya alasan kuat buat gelisah.
Hari makin senja, matahari mulai terbenam, dan langit makin
gelap. Penerbangan Garuda kami berangkat setelah maghrib, dan akan sampai di
Perth 3 jam kemudian, atau larut malam. Buat saya jadwal penerbangan ini
lumayan tidak nyaman untuk mengunjungi tempat baru yang belum pernah saya
kunjungi, apalagi tujuan perjalanan ini untuk kuliah bukan liburan.
Walaupun waktu itu jumlah penerbangan Denpasar-Perth hanya
segelintir dibanding yang sekarang, Garuda bukan satu-satunya yang melayani
jalur ini. Ada beberapa airline lain seperti Qantas, dan Ansett yang sekarang
sudah bubar. Yang lucu, semuanya punya jadwal yang mirip: berangkat setelah
maghrib dari Bali dan sampai Perth larut malam, sementara penerbangan
sebaliknya berangkat pagi semua dari Perth.
Tapi rasa gugup saya sedikit berkurang sewaktu saya tahu
kalau pesawat yang akan membawa saya ke Perth sore itu adalah DC-10! Saya sudah
jadi penggemar pesawat DC-10 sejak kecil, dan masih sampai sekarang walaupun
pesawatnya sudah lama pensiun. Saya sudah mengimpikan terbang dengan pesawat
ini sejak kecil, tapi malam itu impian saya jadi kenyataan.
DC-10 Garuda Indonesia di bandara Charles De Gaulle, Paris, Perancis.
Sewaktu pengumuman boarding berbunyi, saya merasa senang sekali
bisa naik pesawatnya. Itu bukan pertama kalinya saya naik pesawat badan lebar.
Sebelumnya saya sudah sering naik Airbus A300 milik Garuda. Bahkan waktu saya
tinggal di Makassar, saya sering lihat DC-10 diparkir di sebelah A300 yang saya
naiki dan membayangkan kapan bisa naik DC-10. Malam ini impian itu jadi
kenyataan, dan saya sungguh menikmati momen ini.
Kami disambut oleh para pramugari saat memasuki pesawat.
Sekilas interiornya mirip dengan A300 walalu kelihatan agak besar. Kalau tidak
salah ada tambahan 1 baris kursi kalau dibanding A300. Di depan dinding
pemisah di depan kabin ada layar besar untuk menonton film sepanjang
perjalanan.
Interior pesawat DC-10 Garuda Indonesia (foto oleh Tony McMahon).
Waktu masuk, mereka menayangkan iklan pariwisata Australia. Dan setelah semua penumpang duduk dan pintu ditutup, mereka ganti menayangkan video instruksi keselamatan penerbangan.
Saya duduk di kursi jendela di sebelah kiri pesawat, persis
di sayap. Saya ingat waktu itu ada pesawat DC-10 lain terparkir di
sebelah pesawat kita. Pesawat itu punya Japan Air Lines dan berjenis DC-10-40
(pesawat kami versi DC-10-30).
Pemandangan dari jendela kursi saya. Tampak DC-10 milik Japan Air lines dan Boeing 747 milik Garuda Indonesia.
Setelah pintu ditutup dan pesawat mulai bergerak, saya bisa
melihat pesawat berjalan sangat pelan sekali. Mungkin taxiing paling pelan yang
pernah saya lihat. Terkesan kalau pesawatnya berat sekali. Tapi saat masuk
runway dan takeoff, pesawatnya ngebut cepat sekali sebelum lepas landas.
Saat pesawat mendongak keatas, saya tercengang dengan
pemandangan yang luar biasa: ujung depan sayap dan bagian atas mesin tertutup
oleh uap air yang tebal! Saya sudah pernah melihat uap air keluar dari sayap saat
pesawat lepas landas, tapi ini kayaknya yang paling spektakuler yang pernah saya
lihat. Bahkan saat pesawat sudah mengangkasa penuh, uap air itu masih ada walaupun perlahan-lahan mengecil. Mereka hilang total saat flap sayap pesawat ditarik penuh.
DC-10 milik Northwest Airlines saat lepas landas. Tampak uap air diatas sayap.
Saat pesawat mencapai ketinggian jelajah, kami bersantai dan
menikmati hiburan diatas pesawat. Kakak saya mencoba CD player mininya. Saya
terkadang juga memutar Walkman saya karena hiburan diatas pesawat agak membosankan.
Selama penerbangan, mereka memutar film “Jerry Maguire” yang uniknya versi
tidak disensor! Tentu saja sebelumnya pramugari sudah memberikan earphone agar
kita bisa mendengarkan apa yang ditayangkan di layar depan.
Bapak saya melihat film, dan terkadang ngobrol dengan
penumpang Australia yang duduk di sebelahnya. Terkadang dia bertanya mengenai
kampus dan alamat rumah saya ke mereka. Sepertinya kampus saya tidak begitu
dikenal buat orang Australia karena dia tidak tahu alamatnya dimana, tapi dia
tahu dimana alamat rumah tinggal saya.
Di tengah penerbangan, pramugari menyajikan makan malam ke
penumpang. Saya tak ingat apa menunya, yang pasti waktu itu menu makanan Garuda
tidak sebagus di jaman Quantum Leap. Rasanya sih oke, tapi nggak enak-enak banget.
Kakakku iseng meminta wine dari pramugari, yang anehnya dikasih! Wine umumnya
hanya disajikan untuk penumpang kelas bisnis keatas, tapi pada penerbangan itu kita
bisa dapat juga walaupun porsinya nggak banyak. Saya mencoba minum sedikit, dan lumayan kaget karena rasanya
pahit sekali.
Saat penerbangan kami mendekati Perth, kami diberikan kartu
yang harus diisi.
Contoh kartu imigrasi dan kepabeanan Australia.
Kartu ini harus diisi dan diberikan ke petugas saat
pemeriksaan imigrasi dan kepabeanan di bandara Perth. Sementara para penumpang
sibuk mengisi kartu, awak kabin memutar video penerangan yang dibuat Dinas
Inspeksi Karantina Australia (Australian Quarantine and Insepction Service /
AQIS). Ada satu poin yang membuat saya cemas: mereka mengharuskan penumpang
untuk mendeklare barang makanan yang dibawa. Sewaktu pengarahan di Surabaya
saya sudah diberi tahu kalau Australia, seperti halnya Amerika Serikat, punya
undang-undang karantina paling ketat di dunia.
Sementara negara-negara lain umumnya hanya melarang
obat-obatan terlarang atau barang-barang yang nggak lazim, kepabeanan Australia
lebih ketat lagi karena mereka juga membatasi barang makanan yang boleh dibawa
masuk Australia. Mereka melarang bahan mentah dari luar negara, produk makanan
mengandung susu kecuali yang berasal dari Australia dan Selandia Baru, makanan
laut harus diperiksa ketat (kami membawa sebungkur kripik lorjuk yang merupakan sejenis kerang laut dan ini
membuat kami khawatir). Dan yang luar biasa lagi mereka juga melarang alas kaki
yang penuh tanah dan lumpur dari luar Australia masuk kesana (harus dibersihkan
total sebelum naik pesawat). Alasannya “untuk melindungi alam Australia yang
rapuh dari penyakit asing”. Pesan ini juga diputar di layar video pesawat
beberapa menit sebelum mendarat. Hal ini cukup menakutkan buat saya.
Penumpang Australia yang duduk di dekat kami meyakinkan kami
untuk tidak usah khawatir mengenai pembatasan itu. Dia bilang selama kita bisa
menjelaskan ke petugasnya, kita bisa membawa masuk kripik lorjuk tanpa banyak
masalah. Kalau kita nggak bisa ngomong jelas, mungkin kita harus
membuang makanannya di tong sampah pabean.
Ada anekdot seputar hal ini. Beberapa minggu kemudian
setelah saya di Australia, saya mendengar cerita lucu tentang pelajar Indonesia
yang membawa sekardus mie instan Indomie masuk Australia buat bekal. Walaupun
tidak mengandung bahan terlalrang, karena bahasa Inggrisnya belepotan, petugas
karantina mengira isinya bahan berbahaya dan melabeli kardusnya “barang
radioaktif berbahaya”!
Setelah kami mengisi kartu tadi, awak kabin mengumumkan
kalau mereka akan menyemprot disinfektan ke kabin. Peraturan ini, sekali lagi,
disuruh oleh AQIS “untuk mencegah hama atau serangga asing masuk ke Australia”.
Saya belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya, dan cukup ngeri melihat
awak kabin menyemprot disinfektan saat pesawat masih terbang!
Contoh gambar penyemprotan di kabin pesawat. Cuma yang kami alami waktu itu kabinnya masih penuh penumpang dan pesawatnya masih diatas!
Setelah semua drama berakhir, pilot mengumumkan kalau kita
akan mendarat di Bandar udara Perth. Lampu ketatkan ikat pinggang dan dilarang
merokok dinyalakan, sementara lampu kabin diredupkan. Saya melihat keluar, dan kelihatan jelas lampu-lampu perkotaan Perth perlahan-lahan muncul dibawah
pesawat kita. Lampu-lampu ini dulu pernah menarik perhatian astronot John Glenn
saat penerbangan antariksa berawak Amerika pertama di tahun 1962, dimana dia
menjuluki Perth sebagai “Kota Cahaya”.
Saya sudah pernah melihat lampu-lampu perkotaan di malam
hari dari udara sebelumnya, tapi yang ini kelihatan lebih tertata rapi dibanding
yang di Indonesia. Video dibawah ini bukan punya saya, tapi memberikan
illustrasi bagaimana pemandangan yang saya lihat waktu itu, karena pesawat ini mendarat dari arah yang sama dengan pesawat saya waktu itu.
Beberapa menit kemudian, pesawat kami makin dekat ke tanah
sebelum mendarat di Bandar udara Perth. Penerbangan kami berjalan mulus dan
aman dan mungkin bakal lebih berkesan kalau saja terbangnya di pagi atau siang
hari, lalu saya tidak kepikiran urusan imigrasi dan karantina, dan kepikiran
bagaimana caranya beradaptasi hidup sendirian di negerinya orang bule.
Saat pesawat berjalan pelan di tengah bandara, saya melihat
ada pemandangan aneh yang kelihatan jelas di kegelapan: pohon di tepi landasan!
Di bandara di Indonesia, tanaman yang boleh tumbuh di sekitaran landasan hanyalah
rerumputan. Dan itupun nggak boleh lebih tinggi dari 50cm. Yang ini malah
tingginya sekitaran 2 meter dan persis di tepi landasan pacu!
Tidak seperti di Bali, kali ini pesawat kami berjalan
taxiing lebih cepat. Dan tidak lama kemudian akhirnya sampai ke tempat parkir di
salah satu gate di bandara internasional Perth. Sesaat setelah pesawat
berhenti, lampu peringatan kabin dimatikan, dan semua penumpang mulai keluar
pesawat. Saat kami meninggalkan kabin,para awak kabin memberi ucapan selamat
jalan dan kami berjalan melewati garbarata menuju terminal bandara.
Kami masuk ke dalam terminal bandara Perth yang lapang,
melalui koridor luas yang dikelilingi beberapa toko duty free. Buat saya itu
pertama kalinya saya datang ke negaranya orang bule. Rasa gugup saya sedikit
berkurang waktu melewati koridor. Tapi tetap saja saya masih khawatir bagaimana
keadaan nantinya.
Menyelesaikan masalah birokrasi itu wajib buat mereka yang
datang dengan penerbangan internasional. Pemeriksaan passport berjalan lancar
tanpa masalah, karena passport masih berlaku dan saya punya visa pelajar.
Passport kami dicap dan kami secara resmi masuk Australia. Tapi bagian pabean
dan karantina berikutnya adalah tantangan terberat kami saat masuk ke negeri
ini.
Counter pemeriksaan pabean dan karantina bandara Perth. Dahulu modelnya beda dari yang di foto.
Saat mendekati bagian pabean, kami melihat 2 jenis lajur:
jalur hijau buat yang tidak mendeklarasikan barang bawaan, dan jalur merah buat
yang harus mendeclare barang bawaan mereka. Jelas kami harus masuk ke jalur
merah. Jangan coba-coba masuk jalur hijau kalau ternyata kita bawa barang yang
seharusnya di declare, karena tempat itu penuh anjing pelacak. Kalau nggak
salah, jika tertangkap bawa barang mecurigakan (maksud saya makanan segar atau
barang exotis, bukan hanya obat-obatan terlarang) anda akan dibawa ke kantor
mereka untuk pemeriksaan tambahan, yang bakal lebih lama kalau seandainya kita
melewati jalur resmi mendeklarasikan barang kita.
Tidak heran jalur hijau kelihatan jauh lebih sepi daripada jalur merah yang sesak penumpang. Hanya 1-2 orang saja yang lewat situ.
Tidak heran jalur hijau kelihatan jauh lebih sepi daripada jalur merah yang sesak penumpang. Hanya 1-2 orang saja yang lewat situ.
Saya merasa khawatir waktu memasuki bagian deklarasi. Tapi
karena ditemani bapak dan kakak saya, bebannya kerasa agak ringan. Di bagian
ini, ada beberapa jalur lengkap dengan meja panjang di sebelahnya. Setiap jalur
bisa ditempati 2 hingga 3 kelompok penumpang. Tidak lama kemudian giliran kami
tiba untuk mendeclare barang bawaan kita. Sang petugas meminta kami membuka
tas-tas kami, dan menjelaskan barang apa saja yang mau di declare. Bapak saya
menjelaskan dengan bahasa Inggris agak patah tentang barang-barang yang kami
bawa, termasuk keripik lorjuknya. Mungkin karena barang yang harus di declare
sedikit sekali dan hanya untuk konsumsi pribadi, sang petugas memutuskan bahwa
kita boleh tetap membawa semua barang makanan kita tanpa harus membuang sama
sekali.
Lega banget rasanya!!!!
Akhirnya kami sampai di Perth di Australia! Saat memasuki
tempat penjemputan di bangsal utama, kami disambut oleh teman kuliah kakak saya
yang sedang kerja praktek di Perth. Namanya Doddy dan dia adalah orang
Indonesia dari Yogyakarta yang ,seperti kakak saya, kuliah perhotelan di Swiss.
Dia ditemani kawannya yang orang Australia, yang juga membantu kami pergi ke
tempat menginap kami.
Walaupun mereka sudah datang dan membantu kami, sebenarnya
bukan mereka yang akan mengantar kami ke tempat tinggal di Perth. Melainkan
seorang Australia paruh baya keturunan Jerman (yang istrinya kerja di kampus
saya) yang akan mengantar kami ke tujuan kami selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar