Senin, 23 Maret 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 5)

Di akhir Juli, saya sudah siap untuk berangkat ke Perth di Australia. Semua pakaian sudah dikemas, semua kaset sudah disiapkan, dan saya juga sudah menyiapkan kamera beserta beberapa roll film. Ibu saya bahkan memasukkan beberapa makanan ringan yang dibeli di Pasar Genteng buat bekal selama di Australia, seperti kacang mente dan kripik lorjuk.
Saya bahkan sudah membeli lensa tele baru buat kamera Canon AT-1 saya. Kamera ini aslinya pakai lensa tetap 50mm. Tapi karena saya pingin bisa memotret jarak jauh (seperti memotret pesawat terbang), akhirnya saya membeli lensa tele. Tadinya saya ingin beli yang ukuran 250mm atau bahkan 300mm! Tapi karena keterbatasan dana, akhirnya saya beli lensa Vivitar 18-135mm.
Selain baju, makanan ringan, dan kamera, saya juga membeli Walkman baru merek Aiwa. Waktu itu smartphone, iPod, atau bahkan file Mp3 belum ada. Sarana hiburan mobile yang umum waktu itu adalah mendengarkan Walkman, atau Discman CD player kalau orangnya punya uang extra. Sepengetahuan saya alat pemutar CD portable tidak pernah benar-benar populer karena selain harganya mahal, alat ini cukup ringkih. Sedikit guncangan bisa mengganggu lagu yang didengar, atau bahkan bisa mengulang lagu dari awal CD! 


Aiwa TA363 adalah walkman andalan saya semasa tinggal di Australia tahun 1997 silam.

Akhirnya hari Jumat tanggal 1 Agustus 1997 sayapun berangkat ke Australia untuk memulai kuliah disana. Untuk perjalanan ini saya ditemani ayah dan kakak saya, yang akan mengantar hingga ke Perth dan bertemu dengan pemilik rumah tempat saya nantinya tinggal, dan juga melihat kampus tempat saya akan belajar.
Perasaan saya campur aduk antara gugup, khawatir, dan gembira. Saya waktu itu hanya anak ingusan, jadi tidak heran perasaan saya waktu itu agak kacau balau. 




Kami berangkat dari rumah pukul 05.30 pagi untuk berangkat menggunakan penerbangan pertama ke Bali. Karena penerbangan langsung non-stop dari Surabaya ke Australia tidak ada, kita harus terbang ke Bali dulu sebelum menuju ke Perth. Kalau tidak salah penerbangannya berangkat jam 7 pagi dari bandara Juanda Surabaya menuju Ngurah Rai di Bali.
Pesawat kami adalah Fokker-28 yang dioperasikan Merpati Nusantara Airlines. Merpati waktu itu adalah anak perusahaan Garuda (seperti halnya Citilink di jaman sekarang). Airline ini punya hubungan putus sambung dengan Garuda Indonesia selama hidupnya. Walaupun waktu itu merupakan anak perusahaan Garuda, pada akhir tahun 1997 Merpati lepas dari Garuda dan menjadi perusahaan penerbangan mandiri sebelum masalah keuangan memaksanya tutup di tahun 2014.
Dulu waktu saya masih kecil saya sering sekali terbang naik pesawat Fokker 28, khususnya waktu tinggal di Makassar. Pesawat jenis ini dulu merupakan tulang punggung rute regional di Indonesia. Namun hari itu, pesawatnya masih terasa sebagus dan semegah seperti masa jayanya di tahun 1980an.


Penerbangan berlangsung lancar dan aman. Selama penerbangan saya bisa melihat pemandangan pegunungan di ujung timur Jawa, seperti gunung Ijen dan Raung serta kawah Wurung. Langitnya waktu itu bersih sekali sehingga kita bisa melihat pemandangan dibawah dengan jelas. Penerbangan semi-wisata ini berlangsung kurang dari sejam, dan tak lama kemudian pesawat kami mendarat dengan mulus di bandara Ngurah Rai di Bali.



Interior pesawat Fokker 28 Merpati saat penerbangan dari Surabaya ke Denpasar. Jendelanya ditutup agar tidak ada efek backlight di foto.

Begitu keluar dari pesawat kami langsung mengambil bagasi kami di terminal bandara sebelum dijemput oleh sopir dari kantor cabang bank tempat bapak saya bekerja sebagai General Manager. Ini jelas membantu kami menghindari ribetnya berurusan dengan calo taxi gelap yang banyak sekali di Bali.
Pak sopir membawa kami kearah timur, dimana kita melewati apron tempat parkir pesawat yang dipagari pagar besi. Saya ingat waktu itu ada beberapa pesawat unik yang tidak pernah saya lihat di Surabaya, seperti Illyushin Il-62 milik Aeroflot, atau pesawat regional Jetstream dengan livery British Airways.



Pemandangan apron timur bandara Ngurah Rai Bali tanggal 1 Agustus 1997. Tampak dari kiri ke kanan: Jetstream dengan warna British Airways, Il-62 milik Aeroflot, serta pesawat pribadi Boeing 727.


Jeda antara kedatangan kami dari Surabaya dengan keberangkatan ke Perth sangat lama sekali. Kami datang jam 9 pagi waktu Bali, sementara penerbangan ke Perth berangkat jam 6 sore. Jadi kami mengisi waktu dengan keliling wilayah Denpsar.
Saya ingat waktu itu kita pertama-tama mengunjungi salah satu kantor cabang bank bapak saya dan sempat ngobrol-ngobrol dengan manajernya. Karena hari itu Jumat, kami juga sholat Jumat di salah satu masjid di Denpasar. Kami juga makan siang di pantai Jimbaran yang terkenal itu, dimana kami menikmati ikan bakar di tepi pantai, sambil menikmati pemandangan laut dan juga airport di kejauhan.


Pemandangan pantai Jimbaran. Foto ini diambil saat kita makan siang. Tampak DC-10 milik Garuda Indonesia di kejauhan.

Kami juga mampir ke rumah kawan kuliah bapak saya, yang bekerja sebagai kepala Dishub Provinsi Bali. Kami begitu dekat seakan-akan seperti keluarga saja. Mereka membawa kami jalan-jalan di sekeliling situ. Kami juga sempat tidur siang dan mandi di rumah mereka sebelum melanjutkan perjalanan menuju Australia.
Setelah mengepak ulang barang-barang kami, kami diantar kembali ke bandara untuk naik penerbangan kami menuju Perth. Kali ini kami datang di terminal internasional, yang waktu itu terletak di pojok barat bandara. Terminal ini sekarang jadi terminal domestik, sementara terminal domestik yang lama kemudian dibongkar dan dibangun menjadi terminal internasional yang baru dan megah.


Bandara Internasional Ngurah Rai di tahun 2004. Tahun 1997 bandaranya persis seperti ini.

Kami check in dan mendapatkan boarding pass kami sebelum menuju ke gate kami. Sejujurnya waktu itu saya merasa gugup dan penasaran. Apa kuliah di Australia kali ini bakal berjalan baik, atau bakal jadi mimpi buruk? Saya merasa cukup cemas. Kakak saya, yang sudah pernah menjalani program serupa di Inggris tahun 1994 silam meyakinkan saya kalau kuliah ini bakal menyenangkan. Mengingat saya dulu sering gagal naik tingkat waktu kursus bahasa Inggris di ILP Surabaya, saya punya alasan kuat buat gelisah.
Hari makin senja, matahari mulai terbenam, dan langit makin gelap. Penerbangan Garuda kami berangkat setelah maghrib, dan akan sampai di Perth 3 jam kemudian, atau larut malam. Buat saya jadwal penerbangan ini lumayan tidak nyaman untuk mengunjungi tempat baru yang belum pernah saya kunjungi, apalagi tujuan perjalanan ini untuk kuliah bukan liburan.
Walaupun waktu itu jumlah penerbangan Denpasar-Perth hanya segelintir dibanding yang sekarang, Garuda bukan satu-satunya yang melayani jalur ini. Ada beberapa airline lain seperti Qantas, dan Ansett yang sekarang sudah bubar. Yang lucu, semuanya punya jadwal yang mirip: berangkat setelah maghrib dari Bali dan sampai Perth larut malam, sementara penerbangan sebaliknya berangkat pagi semua dari Perth.
Tapi rasa gugup saya sedikit berkurang sewaktu saya tahu kalau pesawat yang akan membawa saya ke Perth sore itu adalah DC-10! Saya sudah jadi penggemar pesawat DC-10 sejak kecil, dan masih sampai sekarang walaupun pesawatnya sudah lama pensiun. Saya sudah mengimpikan terbang dengan pesawat ini sejak kecil, tapi malam itu impian saya jadi kenyataan. 


 DC-10 Garuda Indonesia di bandara Charles De Gaulle, Paris, Perancis.

Sewaktu pengumuman boarding berbunyi, saya merasa senang sekali bisa naik pesawatnya. Itu bukan pertama kalinya saya naik pesawat badan lebar. Sebelumnya saya sudah sering naik Airbus A300 milik Garuda. Bahkan waktu saya tinggal di Makassar, saya sering lihat DC-10 diparkir di sebelah A300 yang saya naiki dan membayangkan kapan bisa naik DC-10. Malam ini impian itu jadi kenyataan, dan saya sungguh menikmati momen ini.
Kami disambut oleh para pramugari saat memasuki pesawat. Sekilas interiornya mirip dengan A300 walalu kelihatan agak besar. Kalau tidak salah ada tambahan 1 baris kursi kalau dibanding A300. Di depan dinding pemisah di depan kabin ada layar besar untuk menonton film sepanjang perjalanan.


Interior pesawat DC-10 Garuda Indonesia (foto oleh Tony McMahon).

Waktu masuk, mereka menayangkan iklan pariwisata Australia. Dan setelah semua penumpang duduk dan pintu ditutup, mereka ganti menayangkan video instruksi keselamatan penerbangan.
Saya duduk di kursi jendela di sebelah kiri pesawat, persis di sayap. Saya ingat waktu itu ada pesawat DC-10 lain terparkir di sebelah pesawat kita. Pesawat itu punya Japan Air Lines dan berjenis DC-10-40 (pesawat kami versi DC-10-30).


Pemandangan dari jendela kursi saya. Tampak DC-10 milik Japan Air lines dan Boeing 747 milik Garuda Indonesia.

Setelah pintu ditutup dan pesawat mulai bergerak, saya bisa melihat pesawat berjalan sangat pelan sekali. Mungkin taxiing paling pelan yang pernah saya lihat. Terkesan kalau pesawatnya berat sekali. Tapi saat masuk runway dan takeoff, pesawatnya ngebut cepat sekali sebelum lepas landas.
Saat pesawat mendongak keatas, saya tercengang dengan pemandangan yang luar biasa: ujung depan sayap dan bagian atas mesin tertutup oleh uap air yang tebal! Saya sudah pernah melihat uap air keluar dari sayap saat pesawat lepas landas, tapi ini kayaknya yang paling spektakuler yang pernah saya lihat. Bahkan saat pesawat sudah mengangkasa penuh, uap air itu masih ada walaupun perlahan-lahan mengecil. Mereka hilang total saat flap sayap pesawat ditarik penuh.


DC-10 milik Northwest Airlines saat lepas landas. Tampak uap air diatas sayap.

Saat pesawat mencapai ketinggian jelajah, kami bersantai dan menikmati hiburan diatas pesawat. Kakak saya mencoba CD player mininya. Saya terkadang juga memutar Walkman saya karena hiburan diatas pesawat agak membosankan. Selama penerbangan, mereka memutar film “Jerry Maguire” yang uniknya versi tidak disensor! Tentu saja sebelumnya pramugari sudah memberikan earphone agar kita bisa mendengarkan apa yang ditayangkan di layar depan.


Bapak saya melihat film, dan terkadang ngobrol dengan penumpang Australia yang duduk di sebelahnya. Terkadang dia bertanya mengenai kampus dan alamat rumah saya ke mereka. Sepertinya kampus saya tidak begitu dikenal buat orang Australia karena dia tidak tahu alamatnya dimana, tapi dia tahu dimana alamat rumah tinggal saya.
Di tengah penerbangan, pramugari menyajikan makan malam ke penumpang. Saya tak ingat apa menunya, yang pasti waktu itu menu makanan Garuda tidak sebagus di jaman Quantum Leap. Rasanya sih oke, tapi nggak enak-enak banget. Kakakku iseng meminta wine dari pramugari, yang anehnya dikasih! Wine umumnya hanya disajikan untuk penumpang kelas bisnis keatas, tapi pada penerbangan itu kita bisa dapat juga walaupun porsinya nggak banyak. Saya mencoba minum sedikit, dan lumayan kaget karena rasanya pahit sekali.
Saat penerbangan kami mendekati Perth, kami diberikan kartu yang harus diisi.


Contoh kartu imigrasi dan kepabeanan Australia.

Kartu ini harus diisi dan diberikan ke petugas saat pemeriksaan imigrasi dan kepabeanan di bandara Perth. Sementara para penumpang sibuk mengisi kartu, awak kabin memutar video penerangan yang dibuat Dinas Inspeksi Karantina Australia (Australian Quarantine and Insepction Service / AQIS). Ada satu poin yang membuat saya cemas: mereka mengharuskan penumpang untuk mendeklare barang makanan yang dibawa. Sewaktu pengarahan di Surabaya saya sudah diberi tahu kalau Australia, seperti halnya Amerika Serikat, punya undang-undang karantina paling ketat di dunia.


Sementara negara-negara lain umumnya hanya melarang obat-obatan terlarang atau barang-barang yang nggak lazim, kepabeanan Australia lebih ketat lagi karena mereka juga membatasi barang makanan yang boleh dibawa masuk Australia. Mereka melarang bahan mentah dari luar negara, produk makanan mengandung susu kecuali yang berasal dari Australia dan Selandia Baru, makanan laut harus diperiksa ketat (kami membawa sebungkur kripik lorjuk yang merupakan sejenis kerang laut dan ini membuat kami khawatir). Dan yang luar biasa lagi mereka juga melarang alas kaki yang penuh tanah dan lumpur dari luar Australia masuk kesana (harus dibersihkan total sebelum naik pesawat). Alasannya “untuk melindungi alam Australia yang rapuh dari penyakit asing”. Pesan ini juga diputar di layar video pesawat beberapa menit sebelum mendarat. Hal ini cukup menakutkan buat saya.
Penumpang Australia yang duduk di dekat kami meyakinkan kami untuk tidak usah khawatir mengenai pembatasan itu. Dia bilang selama kita bisa menjelaskan ke petugasnya, kita bisa membawa masuk kripik lorjuk tanpa banyak masalah. Kalau kita nggak bisa ngomong jelas, mungkin kita harus membuang makanannya di tong sampah pabean.
Ada anekdot seputar hal ini. Beberapa minggu kemudian setelah saya di Australia, saya mendengar cerita lucu tentang pelajar Indonesia yang membawa sekardus mie instan Indomie masuk Australia buat bekal. Walaupun tidak mengandung bahan terlalrang, karena bahasa Inggrisnya belepotan, petugas karantina mengira isinya bahan berbahaya dan melabeli kardusnya “barang radioaktif berbahaya”!
Setelah kami mengisi kartu tadi, awak kabin mengumumkan kalau mereka akan menyemprot disinfektan ke kabin. Peraturan ini, sekali lagi, disuruh oleh AQIS “untuk mencegah hama atau serangga asing masuk ke Australia”. Saya belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya, dan cukup ngeri melihat awak kabin menyemprot disinfektan saat pesawat masih terbang!


Contoh gambar penyemprotan di kabin pesawat. Cuma yang kami alami waktu itu kabinnya masih penuh penumpang dan pesawatnya masih diatas!

Setelah semua drama berakhir, pilot mengumumkan kalau kita akan mendarat di Bandar udara Perth. Lampu ketatkan ikat pinggang dan dilarang merokok dinyalakan, sementara lampu kabin diredupkan. Saya melihat keluar, dan kelihatan jelas lampu-lampu perkotaan Perth perlahan-lahan muncul dibawah pesawat kita. Lampu-lampu ini dulu pernah menarik perhatian astronot John Glenn saat penerbangan antariksa berawak Amerika pertama di tahun 1962, dimana dia menjuluki Perth sebagai “Kota Cahaya”.
Saya sudah pernah melihat lampu-lampu perkotaan di malam hari dari udara sebelumnya, tapi yang ini kelihatan lebih tertata rapi dibanding yang di Indonesia. Video dibawah ini bukan punya saya, tapi memberikan illustrasi bagaimana pemandangan yang saya lihat waktu itu, karena pesawat ini mendarat dari arah yang sama dengan pesawat saya waktu itu.



Beberapa menit kemudian, pesawat kami makin dekat ke tanah sebelum mendarat di Bandar udara Perth. Penerbangan kami berjalan mulus dan aman dan mungkin bakal lebih berkesan kalau saja terbangnya di pagi atau siang hari, lalu saya tidak kepikiran urusan imigrasi dan karantina, dan kepikiran bagaimana caranya beradaptasi hidup sendirian di negerinya orang bule.
Saat pesawat berjalan pelan di tengah bandara, saya melihat ada pemandangan aneh yang kelihatan jelas di kegelapan: pohon di tepi landasan! Di bandara di Indonesia, tanaman yang boleh tumbuh di sekitaran landasan hanyalah rerumputan. Dan itupun nggak boleh lebih tinggi dari 50cm. Yang ini malah tingginya sekitaran 2 meter dan persis di tepi landasan pacu!
Tidak seperti di Bali, kali ini pesawat kami berjalan taxiing lebih cepat. Dan tidak lama kemudian akhirnya sampai ke tempat parkir di salah satu gate di bandara internasional Perth. Sesaat setelah pesawat berhenti, lampu peringatan kabin dimatikan, dan semua penumpang mulai keluar pesawat. Saat kami meninggalkan kabin,para awak kabin memberi ucapan selamat jalan dan kami berjalan melewati garbarata menuju terminal bandara.
Kami masuk ke dalam terminal bandara Perth yang lapang, melalui koridor luas yang dikelilingi beberapa toko duty free. Buat saya itu pertama kalinya saya datang ke negaranya orang bule. Rasa gugup saya sedikit berkurang waktu melewati koridor. Tapi tetap saja saya masih khawatir bagaimana keadaan nantinya.
Menyelesaikan masalah birokrasi itu wajib buat mereka yang datang dengan penerbangan internasional. Pemeriksaan passport berjalan lancar tanpa masalah, karena passport masih berlaku dan saya punya visa pelajar. Passport kami dicap dan kami secara resmi masuk Australia. Tapi bagian pabean dan karantina berikutnya adalah tantangan terberat kami saat masuk ke negeri ini.


Counter pemeriksaan pabean dan karantina bandara Perth. Dahulu modelnya beda dari yang di foto.

Saat mendekati bagian pabean, kami melihat 2 jenis lajur: jalur hijau buat yang tidak mendeklarasikan barang bawaan, dan jalur merah buat yang harus mendeclare barang bawaan mereka. Jelas kami harus masuk ke jalur merah. Jangan coba-coba masuk jalur hijau kalau ternyata kita bawa barang yang seharusnya di declare, karena tempat itu penuh anjing pelacak. Kalau nggak salah, jika tertangkap bawa barang mecurigakan (maksud saya makanan segar atau barang exotis, bukan hanya obat-obatan terlarang) anda akan dibawa ke kantor mereka untuk pemeriksaan tambahan, yang bakal lebih lama kalau seandainya kita melewati jalur resmi mendeklarasikan barang kita.
Tidak heran jalur hijau kelihatan jauh lebih sepi daripada jalur merah yang sesak penumpang. Hanya 1-2 orang saja yang lewat situ.
Saya merasa khawatir waktu memasuki bagian deklarasi. Tapi karena ditemani bapak dan kakak saya, bebannya kerasa agak ringan. Di bagian ini, ada beberapa jalur lengkap dengan meja panjang di sebelahnya. Setiap jalur bisa ditempati 2 hingga 3 kelompok penumpang. Tidak lama kemudian giliran kami tiba untuk mendeclare barang bawaan kita. Sang petugas meminta kami membuka tas-tas kami, dan menjelaskan barang apa saja yang mau di declare. Bapak saya menjelaskan dengan bahasa Inggris agak patah tentang barang-barang yang kami bawa, termasuk keripik lorjuknya. Mungkin karena barang yang harus di declare sedikit sekali dan hanya untuk konsumsi pribadi, sang petugas memutuskan bahwa kita boleh tetap membawa semua barang makanan kita tanpa harus membuang sama sekali.
Lega banget rasanya!!!!
Akhirnya kami sampai di Perth di Australia! Saat memasuki tempat penjemputan di bangsal utama, kami disambut oleh teman kuliah kakak saya yang sedang kerja praktek di Perth. Namanya Doddy dan dia adalah orang Indonesia dari Yogyakarta yang ,seperti kakak saya, kuliah perhotelan di Swiss. Dia ditemani kawannya yang orang Australia, yang juga membantu kami pergi ke tempat menginap kami.
Walaupun mereka sudah datang dan membantu kami, sebenarnya bukan mereka yang akan mengantar kami ke tempat tinggal di Perth. Melainkan seorang Australia paruh baya keturunan Jerman (yang istrinya kerja di kampus saya) yang akan mengantar kami ke tujuan kami selanjutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar