Pendahuluan
Semenjak dibukanya jalan tol yang
menghubungkan kota Jakarta dan Bandung, tiba-tiba saja KA Parahyangan dan Argo
Gede berubah dari primadona menjadi pecundang.
Layanan KA yang tadinya ada setiap jam,
tiba-tiba berkurang menjadi hanya beberapa gelintir sehari. Rangkaian KA yang
tadinya bisa mencapai belasan gerbong, akhirnya berkurang menjadi hanya 5 gerbong
saja.
Beberapa langkah untuk membuat KA populer lagi
sempat dilakukan. Seperti mengurangi harga tiket KA bisnis menjadi Rp 30.000,-.
Memang langkah tersebut membuat KA menjadi populer lagi, walaupun tidak dengan
skala yang sama dengan jaman sebelum ada jalan tol. Tetapi rupanya langkah
tersebut cukup membebani kondisi keuangan perusahaan. Dan penurunan harga
tersebut tidak cukup membantu, karena kualitas pelayanan diatas KA tidak pernah
membaik. Termasuk ketepatan waktu perjalanan masih tidak terjaga.
Kemudian datanglah pak Ingatius Jonan, yang
mantan orang perbankan, menempati posisi Direktur Utama PT KA. Sebagai orang
perbankan yang dituntut untuk membuat perusahaan menghasilkan keuntungan,
beliau membuat banyak langkah radikal di PT KA. Pada prinsipnya langkahnya
adalah mengurangi kerugian dan meningkatkan profit.
Akibatnya banyak KA yang tidak menguntungkan
ditiadakan, dan layanan KA yang dianggap menguntungkan atau potensi ditekan
agar performanya bagus. Hasil yang saya lihat KA makin bersih, ketepatan waktu
makin terjamin, tetapi di sisi lain fasilitas KA jauh lebih restriktif, layanan
KA tertentu cenderung berkurang frekuensinya, tiket yang dijual tidak sebanyak
dulu (karena tiket berdiri dihapus total), tiket KA tidak ada yang murah, bahkan
makanan tuslah diatas KA hilang.
Bahkan tiket murah diganti dengan tiket promo yang hanya bisa didapat kalau anda beruntung. Sementara armada gerbong kelas2/bisnis dikurangi. Sementara tarif KA eksekutif bisa menapai Rp 80.000,-!
Di sisi lain, layanan bis travel dari awal
booming hingga sekarang tidak ada perubahan. Malah ada sedikit penurunan, yaitu
ditiadakannya layanan “door to door” di mayoritas perusahaan travel tersebut.
Jadi sekarang dalih layanan travel adalah layanan door to door itu sudah tidak
benar lagi. Dan ini menempatkan layanan bis travel hampir menyerupai KA yang
juga sama-sama bukan layanan door to door.
Lalu bagaimana jika layanan travel dan KA
dibandingkan pada saat ini? Untuk jelasnya silahkan baca trip report saya.
Pra-Perjalanan
Tanggal 12 Juni 2012 saya mendapat panggilan
dinas ke Jakarta. Awalnya pertemuan akan diadakan di bandara Cengkareng.
Secara logika, paling praktis dari Bandung
menuju ke Cengkareng menggunakan bis travel, karena dari Bandung saya akan bisa
langsung menuju ke bandara.
Tetapi setelah saya hitung, ternyata cukup
mahal juga. Rata-rata tarif bus travel dari Bandung menuju Cengkareng adalah Rp
120.000,- hingga Rp 150.000,-. Termurah adalah Xtrans yang tarifnya Rp
100.000,-.
Namun itu masih lebih mahal daripada kombinasi
tiket kereta api dan bis Damri yang kalau ditotal Rp 85.000,- (KA Rp 60.000,-
eksekutif, dan bis Damri AC Rp 25.000,-).
Karena ingin berhemat, akhirnya saya memilih
untuk naik kereta api saja, setelah lama tidak naik KA.
Dan rupanya pilihan saya untuk naik KA tepat,
karena di tengah perjalanan tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa tempat pertemuan
dirubah dari bandara Cengkareng menuju ke Mal Taman Anggrek.
Perjalanan Kereta Api
Setelah mandi dan bersiap-siap saya langsung
bertolak menuju ke stasiun Bandung menggunakan angkot. Berhubung lokasi rumah
yang agak jauh dari terminal angkot, saya terpaksa jalan kaki menuju ke
terminal Gunung Batu.
Sesampainya di stasiun, saya membeli tiket dan
langsung masuk menuju peron. Tidak seperti di jaman dulu, sekarang KA
menerapkan sistem boarding, dimana penumpang baru boleh masuk ke peron kalau
kereta sudah siap.
Selain itu pintu masuk dan keluar dipisah
jauh.
Suasana pelataran stasiun Bandung yang sepi.
Saat akan masuk KA, tiba-tiba saya melihat ada
gerbong wisata “Bali” yang tengah dilangsir. Siapa yang mencharternya ya?
Ah...kereta saya. Lengkap dengan praminya yang
“geulis”. Rupanya penampilan prami mulai diperhatikan kembali.
Suasana di dalam gerbong saya. Okupansi KA
saat itu hanya sekitar 70% saja, karena ada satu gerbong yang sepi penumpang.
Tepat pukul 14.30, kereta api saya berangkat
meninggalkan Bandung. Tak seperti perjalanan dulu, kali ini KA tidak berhenti
di Cimahi.
Selama perjalanan, krew restorasi tak
henti-hentinya menawarkan produk makanan yang dijual.
Yang saya suka dengan perjalanan KA
dibandingkan dengan naik mobil lewat tol adalah, anda lebih dekat dengan alam.
Tidak ada yang menghalangi pemandangan anda ke alam terbuka di pinggir rel.
Ruang kaki super lega. Di pesawat, anda tidak
akan dapat space kaki selega ini.
Di daerah Cilame saya melihat pemandangan
unik, dimana anda bisa melihat jalur KA yang memutari lembah. Dan anda bisa
melihat jalur KA yang akan dan sudah dilewati.
Jembatan Cikubang. Jembatan kereta api yang
kita lewati sebenarnya kelihatan lebih spektakuler daripada jembatan tol ini.
Saya juga menemui pemandangan mirip padang
rumput di daerah Maswati, daerah selepas terowongan Sasaksaat kalau dari arah
Bandung.
Salah satu highlight perjalanan ini adalah
kereta melewati jembatan yang mungkin merupakan jembatan tertinggi di
Indonesia: jembatan Cisomang. Jembatan ini memiliki tinggi dari dasar jurang
hingga permukaan rel sekitar 100 meter.
Tampak pemandangan lembah sungai Cisomang dari
atas KA.
Selepas Cisomang jalur kereta api mulai berada
di daerah dataran. Tetapi pemandangan pegunungan masih mendominasi.
Selepas Cikampek, kereta api melewati daerah
persawahan yang sangat luas di daerah Karawang.
Di jaman Belanda dan sebelumnya (jaman
Fatahilah), Karawang adalah “Lumbung Padi Nasional” karena produksi padinya
yang berlimpah dan areal pertaniannya yang sangat luas, didukung dengan kondisi
tanahnya yang subur.
Tetapi semenjak pertengahan dekade 1980an,
merasa sudah cukup dengan kesuksesan dunia pertanian Indonesia di tahun 1984,
pemerintah mengijinkan pembangunan pabrik-pabrik dan industri yang tak ada
sangkut pautnya dengan dunia pangan di Karawang.
Akibatnya semenjak itu reputasi Karawang
sebagai lumbung padi nasional perlahan-lahan terkikis. Banyak lahan pertanian
beralih fungsi menjadi areal industri, areal urban slum, dan perumahan kumuh.
Beberapa persawahan yang terletak dekat dengan
daerah-daerah yang saya sebut diatas sudah sangat tercemar.
Tetapi sore itu saya masih melihat sedikit
sisa-sisa kejayaan Karawang sebagai lumbung padi nasional.
Kereta saya juga melewati Pelabuhan Darat
Cikarang (Cikarang Dry Port) yang dibangun untuk menunjang angkutan industri di
Karawang dengan menggunakan jalur KA.
Tetapi hingga saat ini saya tidak melihat ada
kegiatan di sini.
Menjelang maghrib, kereta api saya mulai
memasuki kota Jakarta.
Jika saya perhatikan, kereta api kita berjalan
cukup tepat waktu. Karena masih jam 5 lebih, kereta sudah masuk Jakarta
(jadwalnya 5.30 sore).
Memang perbaikan ketepatan waktu dibawah
manajemen yang baru sudah kelihatan. Dulu biasanya kereta dari Bandung selalu
berjalan tepat waktu antara Bandung-Bekasi, tetapi antara Bekasi-Jakarta sering
tertahan-tahan oleh KRL.
Sekarang sudah tidak ada lagi (dan KA tidak
berhenti di Bekasi lagi). Apakah karena hal ini rute KRL dirubah?
Sesampainya di stasiun Gambir, saya langsung
memotret suasan di peron stasiun Gambir yang ramai dengan penumpang tujuan Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Tampak jam di TV display menunjukkan jam
17.31.
Lokomotif CC204 24 siap menarik KA Gajayana
tujuan Malang.
Ereksi terakhir Bung Karno, a.k.a Monumen
Nasional.
Suasana KRL Komuter Line. Yang ini gerbong
khusus wanita.
Suasana Gambir selepas KA Gajayanan berangkat.
Lokomotif KA saya tadi, tapi kali ini posisi
lokomotifnya sudah ditukar.
Puas memotret peron, saya langsung berjalan
keluar menuju ke bawah.
Di Jakarta
Begitu turun ke bawah, saya melihat bahwa
sekarang di stasiun Gambir sudah mulai dipasangi barrier tiket.
Seingat saya tiket barrier tersebut sudah lama
dipasang, tetapi hingga saat ini masih belum dipakai. Malah dipakai mainan oleh
anak kecil.
Rencana awalnya saya dari stasiun Gambir
berniat untuk pergi ke bandara Cengkareng. Tetapi karena tempat pertemuan
dipindah ke hotel Mega Anggrek (dekat Mall Taman Anggrek).
Saya sayup-sayup teringat dengan nama hotel
ini, karena 5 tahun silam pernah menginap di hotel ini.
Awalnya saya berniat pergi ke hotel ini
menggunakan taxi seperti saran saya. Tetapi karena iseng, saya memilih naik
busway.
Setelah tanya sana-sini saya akhirnya dapat
busway yang bisa membawa saya ke Mall Taman Anggrek.
Tampak ekspresi seorang penumpang yang
menunggu busway.
Bagi anda yang belum pernah ke Jakarta, saya
cuman mengingatkan anda bahwa jika anda bertanya jalan di sana, jawaban satu
orang dengan yang lainnya bisa berbeda jauh.
Setelah bergelut dengan kemacetan (walaupun
digadang sebagai angkutan massal bebas macet, kenyataannya busway tetap kena
macet), akhirnya saya sampai ke halte Mall Taman Anggrek.
Dari Mall Taman Anggrek ke hotel Mega Anggrek
seingat saya tidaklah jauh. Tetapi karena saya lupa jalan, saya menyewa ojek
seharga 15 ribu rupiah (belakangan saya merasa dirugikan karena taxi dari hotel
ke mall Central Park di sebelahnya yang lebih jauh cuman 10 ribu!). Itupun
termasuk kejadian dengkul saya menghantam pembatas jalan!
Balik ke Bandung
Acara pertemuan bisnis di hotel Mega Anggrek
berlangsung lancar. Dan setelah acara selesai, saya akhirnya pulang kembali ke
Bandung.
Karena waktu sudah menunjukkan 20.30, maka
saya memutuskan untuk naik bus travel saja. Awalnya saya memesan travel
Cipaganti. Tetapi rupanya sudah habis! Setelah menghubungi beberapa perusahaan
travel, akhirnya dapat Cititrans yang berangkatnya dari mall Central Park yang
terletak cukup dekat dengan hotel Mega Anggrek.
Dari hotel ke Central Park saya naik taxi Blue
Bird yang ada di hotel tersebut. Taxi ini jelas lebih nyaman daripada ojek yang
tadi saya naiki. Dan yang membuat saya cukup terkejut: lebih murah!
Saya didrop di lobby plaza ini, dimana halte
travel terletak di depan tempat itu.
Tampak bus travel yang akan mengantar saya
kembali ke Bandung.
Karena sudah malam, saya merasa bahwa saya
tidak boleh makan berat. Oleh karena itu saya memilih beli roti di Carrefour di
dekat situ.
Suasana lobby Central Park.
Memang jika dibandingkan dengan KA, travel
berangkat di tempat yang lebih mewah daripada stasiun Gambir. Tetapi
perjalanannya tidak senyaman naik KA.
Menjelang pukul 10 malam, saya masuk ke dalam
travel. Tampak space kaki di tempat duduk saya.
Tempat duduknya memang cukup nyaman, tetapi
sayangnya saya tidak bisa bersandar lebih jauh karena tempat duduk saya paling
belakang.
Keberangkatan bis travel terlambat hampir 20
menit, sehingga akhirnya travel kami berangkat pukul 22.19.
Dan kalau itu kurang, di tengah jalan (masih
di Jakarta) dia berhenti agak lama di sebuah check point.
Saya tidak memotret sisa perjalanan karena
sudah gelap dan saya sudah letih. Tidak seperti Cipaganti, travel ini berjalan
non-stop dari Jakarta menuju Bandung tanpa berhenti di satupun rest area.
Walaupun sebelum berangkat saya minum agak
banyak, herannya saya tidak merasa ingin kencing sepanjang perjalanan.
Saya berusaha tidur, tetapi susah sekali
menutup mata sepanjang perjalanan.
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari
perjalanan ini, karena memang terasa seperti naik mobil biasa saja. Yang unik,
walaupun kita berangkat terlambat dari Jakarta, tetapi sampai di Bandung tepat
pukul 1 malam!
Seperti perjanjian saya dengan sopit sebelum
berangkat, saya minta didrop di depan BTC, dan sayapun didrop di situ agar dari
BTC saya bisa menaiki angkutan umum ke rumah.
Tetapi saya cukup terkejut karena sesampainya
di BTC sudah tidak ada satupun angkot yang kelihatan. Bahkan BTC tampak gelap
gulita.
Beruntung saya rupanya di dekat tempat saya
berhenti ada taxi Blue Bird yang sedang mangkal. Sayapun naik taxi itu hingga
ke rumah saya di Cimindi, dan akhirnya berakhirlah sudah perjalanan saya.
Perbandingan
Bagaimana saya membandingkan kedua moda
transportasi yang merupakan rival di koridor Jakarta-Bandung ini? Mana yang
lebih baik?
Pertama-tama saya mau mengatakan bahwa
kelebihan moda transportasi bus travel yang mengatakan bahwa mereka mempunyai
layanan antar jemput itu tidak sepenuhnya benar. Tidak semua layanan travel
punya layanan itu, dan kebetulan yang saya naiki tidak punya.
Kalau sudah begini, travel berada pada posisi
yang sama dengan KA, dimana penumpang harus menuju ke pool/stasiun mereka untuk
naik.
Perkara ketepatan waktu, travel kalah tertib
dengan KA. Dia berangkat terlambat, walaupun di jalan berusaha mengurangi
keterlambatan dengan ngebut agar sampai tepat waktu di Bandung.
Tetapi saat itu kita cukup beruntung karena
lalu lintas di Jakarta sedang longgar sehingga kita bisa cepat.
Sopir travel berkata bahwa terkadang jika
jalanan di Jakarta macet, travel bisa terlambat hingga dua jam dari jadwal. Hal
itu menunjukkan kelemahan moda transportasi darat.
Sekarang KA sudah mulai jauh lebih bersih
daripada dulu. Praminya mulai cakep lagi. Dan yang cukup penting: ketepatan
waktunya bisa dipegang.
Jadi bagaimana skoring mereka?
KECEPATAN:
KA : ***
Travel : ****
KENYAMANAN KABIN:
KA : *****
Travel : ***
PELAYANAN DIATAS:
KA: ****
Travel : (Tidak ada).
KETEPATAN WAKTU:
KA: *****
Travel: ***
AKSESIBILITAS:
KA: ***
Travel : ****
Kesimpulan
Menurut saya di perjalanan kali ini KA
berhasil menghidupkan reputasinya sebagai angkutan yang cepat, nyaman, dan
(lebih) murah.
Di sisi lain, angkutan travel terbukti sebagai
angkutan yang cepat, bahkan terlalu cepat, dan bisa menjangkau titik-titik yang
lebih dekat dengan tujuan.
Tapi bagi saya highlight perjalanan kali ini adalah kembalinya prami "geulis" di KA yang berangkat dari Bandung :-)
Mantab, Gan! Dan salam kenal.
BalasHapusKalau boleh saya tambahkan saya pernah coba satu moda transportasi lagi untuk Jakarta - Bandung: PESAWAT!^^
Saya pernah pakai pesawat Merpati HLP-BDO tapi sayangnya sekarang sudah tidak ada. Harganya Rp. 92.500,00 sekali jalan.
KECEPATAN:
Pesawat:*****
(no doubt, cuma 30 menit terbang)
KENYAMANAN KABIN:
Pesawat:*****
(pas berangkat "nyarter" pesawat alias penumpang tunggal^^)
PELAYANAN DIATAS:
Pesawat:****
(lumayan dikasih snack, prami eh pramugarinya ramah sekali)
KETEPATAN WAKTU:
Pesawat:*****/***
(tergantung cuaca, pas berangkat cuaca cerah jadi tepat waktu, pas pulang hujan jadi delay 2 jam)
AKSESIBILITAS:
Pesawat: ***
(dari rumah ke bandara malah lebih lama dari terbangnya sendiri >_<)
Yahahaha.... Kalau sekarang sudah good bye saja, karena Merpati sudah menghapus flight Bandung-Jakarta.
BalasHapussalam kenal bang, ulasannya bagus banget, kebetulan lagi pengen ke bandung dengan kereta, sayangnya sepertinya kami kehabisan tiket utk 2hari kedepan, akhirnya cari alternatif travel.. eh ketemunya blog ini :).. terimakasih ya, foto-fotonya bagus
BalasHapusWaah.. lengkap banget ulasannya Mas.. pas buat sy yg pingin nyoba naik KA Jakarta-Bandung PP. Selama ini ke Bandung bbrp kali dg tembak langsung by plane from MEDAN to Bandung. Tp kali ini ada urusan dulu ke Jakarta.. and nnti balik ke Medan jg dari Jakarta lagi. So setelah baca ulasan mas ini kayaknya sy pakai train aja lah PP. Hehe.. Thank you so much...
BalasHapus