Setelah perjalanan yang meletihkan di akhir minggu, sayapun
kembali lagi ke kampus hari Seninnya. Kami semua kembali ke kampus dan di awal
kelas Milo menyapa semua mahasiswa dan bertanya bagaimana akhir minggu kita.
Masing-masing menceritakan kegiatan mereka seperti biasa, mulai dari tinggal di
rumah sampai jalan-jalan ke tempat di sekeliling Perth seperti Fremantle atau
pulau Rottnest.
Nah waktu giliran saya dan Heinz bercerita, suasana kelas
jadi agak menarik. Kami saling bertukar cerita mengenai pengalaman kita
jalan-jalan ke Bunbury, Busselton dan sekitaran Margaret River. Semuanya kagum,
karena ini pertama kalinya ada anak Asia jalan-jalan di akhir minggu dengan
orang Swiss atau orang Eropa di akhir minggu.
Biasanya interaksi antara pelajar Asia dengan Eropa sangat
terbatas, karena rasa kurang percaya diri di mata pelajar Asia dan kesombongan
anak-anak Eropa. Sampai-sampai ini dianggap “pertama kalinya ada seperti ini”.
Memang, ini semua berkat pikiran terbukanya Heinz.
Sekelompok pelajar Asia dari Indonesia dan Jepang menikmati istirahat makan siang di depan kantin. Tampak Hudi duduk bersila sambil memegangi piring.
Insiden pintu terbanting di Dunsborough juga jadi bahan
pembicaraan di kelas. Heinz berkata kalau satu malam dia mendengar “suara benda
terbanting-banting” di belakang kabin, dan semuanya melotot ke saya, mungkin
dipikirnya saya berhubungan sex dengan cewek-cewek Swissnya. Milo bertanya
“Kamu apakan cewek-ceweknya, Bagus?” Saya menjawab “Nggak kok! Saya cuman pergi
ke toilet!” Milo pun menjawab “Oke, oke. Kita percaya kamu kok.” Dan langsung
seisi kelas ketawa terbahak-bahak semua. Sung Ho pun menimpali “Bagus, kamu
gila! Saya iri dengan kamu!”
Perjalanan kami, serta insiden pintu terbanting, rupanya
juga jadi bahan pembicaraan diantara anak-anak Swiss juga. Rupanya beberapa
pelajar Swiss menganggapnya menarik. Mungkin mereka sendiri juga jarang
berinteraksi dengan pelajar Asia, jadi hal itu kelihatan unik. Saya ingat
bagaimana Bruno* ketawa keras-keras akibat kejadian pintu kebanting itu.
Sayangnya, semenjak itu hubungan saya dengan Denise mulai
tidak enak. Saya jadi terobsesi dan agak posesif dengan dia. Ini malah membuat
Denise jadi tidak nyaman. Saya kesulitan mengontrol emosi. Saya sering sesumbar tentang pengalaman saya
dimasakan makan malam sama Denise ke teman-teman anak Indonesia. Walaupun saat
itu terasa keren dan membanggakan buat anak ABG, tapi sebenarnya bukan sesuatu
yang sopan dan Denise bisa marah kalau dia tahu.
Saya harus mengaku bahwa setiap kali saya melihat Denise,
saya jadi emosi. Di dalam hati saya sangat berharap kalau kita bisa jadi lebih
dekat dan intim, tapi kenyataannya dia ya seperti yang sebelum-sebelumnya saja.
Kalau dia menyapaku dengan ramah, saya akan merasa girang sekali.
Tapi masalahnya dia tidak selalu memberikan sapaan hangat. Terkadang dia cuma
bilang “Hi” dengan nada dingin, atau bahkan cuek saya dengan saya. Kalau sudah
begitu hancur betul perasaan saya waktu itu.
Tapi kejutan terbesar dia ke saya terjadi suatu hari Jumat beberapa
minggu kemudian waktu kita ngumpul bareng di The Queens. Semuanya duduk di meja
luar: saya, Heinz, Sung Ho, Woo Jae, Denise, Maria, dan Milo ngumpul bareng.
Milo bertanya ke semua mahasiswanya tentang apa yang akan mereka lakukan
setelah selesai kursus disini. Semuanya memberikan jawaban mereka, mulai dari
meneruskan kuliah di Australia, kembali kerja di negerinya, atau meneruskan
petualangan mereka.
Tapi begitu Denise memberikan jawabannya, ini akan selalu
saya ingat sebagai salah satu kekecewaan terbesar di hidup saya. Denise berkata
“Saya akan kembali ke negaraku, kembali kerja, dan menikahi pacarku!” Saya
terkejut, tercengang, dan langsung agak menunduk lesu begitu mendengar jawaban
itu sambil berusaha untuk menahan emosi agar tetap kelihatan normal. Saya berusaha menahan diri dari mengungkapkan kekesalan saya. Denise, begitu
melihat saya, expresinya seperti kombinasi kecewa, sedih, dan mungkin memandang
saya dengan jijik. Pada dasarnya hubungan kita, sebagai kawan sekalipun,
kandas.
Sejujurnya, semenjak kejadian ini, saya kehilangan semangat
untuk belajar. Kombinasi sifat saya yang posesif terhadap Denise dan
(mungkin) kebosanan, mulai memakan korban. Walaupun Heinz dan Sung-Ho masih
sekelas dengan saya, saya tidak bisa mengendalikan emosi saya (walaupun saya
tidak pernah mengungkapkan ini di kelas). Ini mempengaruhi belajar saya di
kelas karena saya mulai kesulitan memahami apa yang dijelaskan Milo. Setiap
malam di kamar tidur saya sering menangis sambil berusaha untuk menenangkan diri saya.
Tapi pernah sekali, sewaktu Milo mengadakan ujian oral
(speaking) saya akhirnya mengungkapkannya. Milo, selalu berinovasi dan “out of
the box” dalam pendekatannya mengajar bahasa Inggris sering mengadakan ujian
berbicara bahasa Inggris, dimana dia akan menginterview setiap pelajar diluar
depan kelas untuk menguji kemampuan bicara bahasa Inggrisnya. Saya biasanya
bisa menjalani ujian ini dengan mudah.
Namun suatu hari, saya seperti kesulitan dan terbata-bata
dalam melakukan ujian praktek ini. Milo melihat seperti ada masalah dengan saya
dan bertanya ada apa dengan saya. Saya menjawab kalau saya lagi ada masalah dengan cewek dan setiap kali saya merasa
patah hati, sulit bagi saya untuk bicara bahasa asing. Milo berusaha
menenangkan saya dengan mengatakan kalau segalanya akan baik-baik saja dan
pasti akan ada jalan keluarnya. Dia juga menasihati saya dengan pepatah Inggris
kuno: “Ada banyak ikan di laut” yang artinya ada banyak cewek di luar sana yang
bisa menggantikan Denise.
Hubungan saya dengan Denise rupanya juga jadi perhatian
anak-anak Indonesia. Ada yang berusaha menenangkan saya (seperti Alvin), tapi
Hudi malah menjadikannya bahan olok-olokan dan sering menggoda saya apalagi
kalau lagi dekat-dekat Denise. Dia pada dasarnya berusaha memanasi suasana.
Tapi anehnya, terkadang Hudi bisa membuat pendapat yang
serius mengenai masalah saya dengan Denise, dan juga mengenai cewek Swiss pada
umumnya. Ini terutama dibandingkan dengan cewek Jepang yang dia senangi. Dia
bilang cewek Jepang mudah sekali didekati, sementara cewek Swiss susah.
Walaupun orang Swiss Jerman lebih halus dari orang Australia, kami sering
menemui mereka cenderung mengekslusifkan diri. Hudi menasehati saya agar tidak
terlalu serius mendekati cewek-cewek Swiss.
Disaat perasaan saya lagi gundah gulana karena hubungan saya
dengan Denise lagi tidak baik, suatu hari saya melihat pemandangan yang tidak
akan pernah saya lupakan. Hari itu, setelah selesainya kegiatan kelas, cuacanya
cerah dan panas. Beberapa anak bersantai di halaman kampus, sementara yang
lainnya pulang.
Saya melihat Denise dan Maria tiba-tiba lari ke kolam renang
di belakang kampus. Mereka begitu senang sekali, sampai-sampai Denise
tiba-tiba mencopotinya semua bajunya hingga pakaian dalamnya (pakaian dalamnya
sebenarnya pakaian renang model bikini) sebelum terjun ke kolam renang. Maria
pun ikut melakukan hal yang sama.
Benar-benar terpana saya dengan apa yang saya lihat.
Bahkan ada beberapa anak Jepang yang lagi jalan di luar pagar juga terperangah
dengan pemandangan tadi. Benar-benar mukjizat bisa lihat “striptease gratisan”
di kampus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar