Sabtu, 18 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 23)

Setelah perjalanan yang meletihkan di akhir minggu, sayapun kembali lagi ke kampus hari Seninnya. Kami semua kembali ke kampus dan di awal kelas Milo menyapa semua mahasiswa dan bertanya bagaimana akhir minggu kita. Masing-masing menceritakan kegiatan mereka seperti biasa, mulai dari tinggal di rumah sampai jalan-jalan ke tempat di sekeliling Perth seperti Fremantle atau pulau Rottnest.
Nah waktu giliran saya dan Heinz bercerita, suasana kelas jadi agak menarik. Kami saling bertukar cerita mengenai pengalaman kita jalan-jalan ke Bunbury, Busselton dan sekitaran Margaret River. Semuanya kagum, karena ini pertama kalinya ada anak Asia jalan-jalan di akhir minggu dengan orang Swiss atau orang Eropa di akhir minggu.
Biasanya interaksi antara pelajar Asia dengan Eropa sangat terbatas, karena rasa kurang percaya diri di mata pelajar Asia dan kesombongan anak-anak Eropa. Sampai-sampai ini dianggap “pertama kalinya ada seperti ini”. Memang, ini semua berkat pikiran terbukanya Heinz.


Sekelompok pelajar Asia dari Indonesia dan Jepang menikmati istirahat makan siang di depan kantin. Tampak Hudi duduk bersila sambil memegangi piring.

Insiden pintu terbanting di Dunsborough juga jadi bahan pembicaraan di kelas. Heinz berkata kalau satu malam dia mendengar “suara benda terbanting-banting” di belakang kabin, dan semuanya melotot ke saya, mungkin dipikirnya saya berhubungan sex dengan cewek-cewek Swissnya. Milo bertanya “Kamu apakan cewek-ceweknya, Bagus?” Saya menjawab “Nggak kok! Saya cuman pergi ke toilet!” Milo pun menjawab “Oke, oke. Kita percaya kamu kok.” Dan langsung seisi kelas ketawa terbahak-bahak semua. Sung Ho pun menimpali “Bagus, kamu gila! Saya iri dengan kamu!”
Perjalanan kami, serta insiden pintu terbanting, rupanya juga jadi bahan pembicaraan diantara anak-anak Swiss juga. Rupanya beberapa pelajar Swiss menganggapnya menarik. Mungkin mereka sendiri juga jarang berinteraksi dengan pelajar Asia, jadi hal itu kelihatan unik. Saya ingat bagaimana Bruno* ketawa keras-keras akibat kejadian pintu kebanting itu.
Sayangnya, semenjak itu hubungan saya dengan Denise mulai tidak enak. Saya jadi terobsesi dan agak posesif dengan dia. Ini malah membuat Denise jadi tidak nyaman. Saya kesulitan mengontrol emosi. Saya sering sesumbar tentang pengalaman saya dimasakan makan malam sama Denise ke teman-teman anak Indonesia. Walaupun saat itu terasa keren dan membanggakan buat anak ABG, tapi sebenarnya bukan sesuatu yang sopan dan Denise bisa marah kalau dia tahu.
Saya harus mengaku bahwa setiap kali saya melihat Denise, saya jadi emosi. Di dalam hati saya sangat berharap kalau kita bisa jadi lebih dekat dan intim, tapi kenyataannya dia ya seperti yang sebelum-sebelumnya saja. Kalau dia menyapaku dengan ramah, saya akan merasa girang sekali. Tapi masalahnya dia tidak selalu memberikan sapaan hangat. Terkadang dia cuma bilang “Hi” dengan nada dingin, atau bahkan cuek saya dengan saya. Kalau sudah begitu hancur betul perasaan saya waktu itu.
Tapi kejutan terbesar dia ke saya terjadi suatu hari Jumat beberapa minggu kemudian waktu kita ngumpul bareng di The Queens. Semuanya duduk di meja luar: saya, Heinz, Sung Ho, Woo Jae, Denise, Maria, dan Milo ngumpul bareng. Milo bertanya ke semua mahasiswanya tentang apa yang akan mereka lakukan setelah selesai kursus disini. Semuanya memberikan jawaban mereka, mulai dari meneruskan kuliah di Australia, kembali kerja di negerinya, atau meneruskan petualangan mereka.
Tapi begitu Denise memberikan jawabannya, ini akan selalu saya ingat sebagai salah satu kekecewaan terbesar di hidup saya. Denise berkata “Saya akan kembali ke negaraku, kembali kerja, dan menikahi pacarku!” Saya terkejut, tercengang, dan langsung agak menunduk lesu begitu mendengar jawaban itu sambil berusaha untuk menahan emosi agar tetap kelihatan normal. Saya berusaha menahan diri dari mengungkapkan kekesalan saya. Denise, begitu melihat saya, expresinya seperti kombinasi kecewa, sedih, dan mungkin memandang saya dengan jijik. Pada dasarnya hubungan kita, sebagai kawan sekalipun, kandas.


Sejujurnya, semenjak kejadian ini, saya kehilangan semangat untuk belajar. Kombinasi sifat saya yang posesif terhadap Denise dan (mungkin) kebosanan, mulai memakan korban. Walaupun Heinz dan Sung-Ho masih sekelas dengan saya, saya tidak bisa mengendalikan emosi saya (walaupun saya tidak pernah mengungkapkan ini di kelas). Ini mempengaruhi belajar saya di kelas karena saya mulai kesulitan memahami apa yang dijelaskan Milo. Setiap malam di kamar tidur saya sering menangis sambil berusaha untuk menenangkan diri saya.


Tapi pernah sekali, sewaktu Milo mengadakan ujian oral (speaking) saya akhirnya mengungkapkannya. Milo, selalu berinovasi dan “out of the box” dalam pendekatannya mengajar bahasa Inggris sering mengadakan ujian berbicara bahasa Inggris, dimana dia akan menginterview setiap pelajar diluar depan kelas untuk menguji kemampuan bicara bahasa Inggrisnya. Saya biasanya bisa menjalani ujian ini dengan mudah.
Namun suatu hari, saya seperti kesulitan dan terbata-bata dalam melakukan ujian praktek ini. Milo melihat seperti ada masalah dengan saya dan bertanya ada apa dengan saya. Saya menjawab kalau saya lagi ada masalah dengan cewek dan setiap kali saya merasa patah hati, sulit bagi saya untuk bicara bahasa asing. Milo berusaha menenangkan saya dengan mengatakan kalau segalanya akan baik-baik saja dan pasti akan ada jalan keluarnya. Dia juga menasihati saya dengan pepatah Inggris kuno: “Ada banyak ikan di laut” yang artinya ada banyak cewek di luar sana yang bisa menggantikan Denise.
Hubungan saya dengan Denise rupanya juga jadi perhatian anak-anak Indonesia. Ada yang berusaha menenangkan saya (seperti Alvin), tapi Hudi malah menjadikannya bahan olok-olokan dan sering menggoda saya apalagi kalau lagi dekat-dekat Denise. Dia pada dasarnya berusaha memanasi suasana.
Tapi anehnya, terkadang Hudi bisa membuat pendapat yang serius mengenai masalah saya dengan Denise, dan juga mengenai cewek Swiss pada umumnya. Ini terutama dibandingkan dengan cewek Jepang yang dia senangi. Dia bilang cewek Jepang mudah sekali didekati, sementara cewek Swiss susah. Walaupun orang Swiss Jerman lebih halus dari orang Australia, kami sering menemui mereka cenderung mengekslusifkan diri. Hudi menasehati saya agar tidak terlalu serius mendekati cewek-cewek Swiss.
Disaat perasaan saya lagi gundah gulana karena hubungan saya dengan Denise lagi tidak baik, suatu hari saya melihat pemandangan yang tidak akan pernah saya lupakan. Hari itu, setelah selesainya kegiatan kelas, cuacanya cerah dan panas. Beberapa anak bersantai di halaman kampus, sementara yang lainnya pulang.
Saya melihat Denise dan Maria tiba-tiba lari ke kolam renang di belakang kampus. Mereka begitu senang sekali, sampai-sampai Denise tiba-tiba mencopotinya semua bajunya hingga pakaian dalamnya (pakaian dalamnya sebenarnya pakaian renang model bikini) sebelum terjun ke kolam renang. Maria pun ikut melakukan hal yang sama.
Benar-benar terpana saya dengan apa yang saya lihat. Bahkan ada beberapa anak Jepang yang lagi jalan di luar pagar juga terperangah dengan pemandangan tadi. Benar-benar mukjizat bisa lihat “striptease gratisan” di kampus!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar