Rabu, 15 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 18)

Di pertengahan September, kami naik ke kelas yang lebih tinggi. Sekarang kami pindah ke kelas lain dengan guru yang berbeda. Nama guru kami adalah Beverley Martyn. Orangnya berambut pirang serta santai dan ramah. Dia mengerti bahasa Indonesia sedikit karena dia pernah tinggal lama di Bali. Seperti guru-guru pada umumnya di St. Mark’s dia orangnya enak. Tapi tidak seperti sebelumnya, dia memberi kami kebebasan untuk menyetel kaset lagu kami di kelas, asalkan lagunya pas untuk didengar semua. Dia sepertinya juga suka lagu-lagu dari group Chicago di kaset saya. 


Di periode ini juga saya mulai berkenalan dengan beberapa anak Indonesia.
Yang kemudian jadi kawan akrab saya adalah Alvin Adhitya. Seperti saya, dia baru lulus dari SMA di Jakarta dan datang kesini untuk mengambil kursus bahasa Inggris sebagai persiapan masuk kuliah di Australia. Orangnya baik dan sederhana. Kami sering nongkrong bareng kalau istirahat, atau terkadang di kelas, karena kami dari kelas yang berbeda. Saya juga memperkenalkan dia ke Sung Ho dan Heinz, dan dia bisa akrab dengan mereka.



Anak-anak Indonesia dan Jepang di balkon gedung kelas St. Mark's International College. Alvin Adhitya tampak di kiri gambar, sementara Deddy* tampak nomor 2 dari kiri.

Alvin memberi tahu ke saya juga tentang bagaimana menghemat uang makan siang, tapi di sisi lain juga menikmati menu-menu yang bervariasi. Dia menunjukan beberapa restoran enak di sekitaran kampus yang harganya terjangkau. Dia juga sering mengajak saya ke supermarket Daily yang ada di seberang jalan dari kampus. Disini kita bisa beli berbagai macam bahan makanan dari Asia dan Timur Tengah. Supermarket ini juga menjual beberapa makanan yang siap saji di kounternya, seperti Nasi Lemak, Nasi Ayam Biryani, dan beberapa mie goreng (saya tidak pernah membeli mienya karena mengandung babi).



Daily Supermarket adalah termpat yang sering saya kunjungi kalau jam makan siang, atau kalau pas saya mau beli bahan makanan Halal yang tidak ada di rumah.

Dia juga menunjukkan ke saya beberapa minuman susu di supermarket Daily. Susu ini diproduksi oleh pabrik susu “Brownes”. Tidak seperti susu segar di Indonesia yang rasanya cuma tawar, cokelat, atau strawberry, disini ada rasa Vanilla, Mint, Cappucino, Mawar, Eggnog, dan rasa-rasa unik lain yang saya tidak ingat.  Bagusnya susunya creamy betul sampai kalau dikocok, busa-busa pekat (seperti di milk shake) akan terbentuk diatasnya.

Terkadang kami jalan bareng ke kota di akhir minggu. Dia suka menunjukkan ke saya beberapa restoran Indonesia disana. Yang paling terkenal adalah Matahari yang terletak di ruang bawah tanah dibawah sebuah toko cinderamata di Murray Street. Rasanya enak, walapun tidak terasa seperti makanan di rumah, tapi harganya yang murah dan porsinya yang melegakan membuatnya populer untuk anak-anak Indonesia di Perth.
Kami sering ngobrol tentang berita-berita yang terjadi saat itu, seperti apa yang terjadi di Indonesia saat kita di luar negeri, hubungan Indonesia-Australia, dan kritik kami terhadap pola hidup hedonistik beberapa pelajar Indonesia di Australia. Perbedaan pola hidup yang liberal di Australia dibandingkan hidup penuh kekangan di Indonesia jaman Suharto sering jadi topik pembicaraan kami.
Kami sering mengkritik anak-anak Indonesia di Australia, entah di kampus atau di tempat lain di Australia, yang hidup foya-foya dengan sering mampir ke klub malam, mengunjungi klub tari bugil, dan menghabiskan uang untuk barang-barang mewah. Waktu itu adalah bulan-bulan terakhir sebelum krisis ekonomi tahun 1997, dimana harga-harga di Australia masih terjangkau buat orang Indonesia yang berkunjung. 
Kita juga kadang mencibir mereka yang memilih untuk tinggal dengan tuan rumah yang sesama orang Indonesia. Anak-anak seperti ini adalah anak manja dan malas yang tidak serius untuk belajar buat meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya.
Anak Indonesia lain yang saya kenal (dan juga berasal dari Jakarta) adalah Hudiono Handoyo, atau sering dipanggil Hudi. Kontras dengan Alvin, dia berjiwa pemberontak dan flamboyant. Dia anaknya agak nakal dan suka membully. Dia adalah type anak yang mungkin adalah tukang buat masalah waktu di sekolah di Indonesia, dan sepertinya masih membawa sifat buruknya hingga ke Australia. Hudi sering mampir ke klub malam, ikut lomba minum bir (termasuk dengan Woo Jae, karena keduanya ternyata kawan akrab) dan sering mampir ke klub tari bugil juga. Walaupun dia bilang dia Muslim, saya sering melihat dia makan daging babi asap. Alasannya “Saya bukan anak pesantren!”


Foto bareng di kelas atas. Dari kiri ke kanan: Milo Bogdanovich (guru pengajar saya di tingkat atas), Hudiono Handoyo, saya, dan tiga cewek Jepang yang saya lupa namanya. Cewek Jepang di sebelah saya kemudian jadi pacarnya Hudi.

Dia sering membuat masalah dan kontroversi (tapi tidak secara extrim yang bisa membuat dia dihukum sekolahan atau pemerintah setempat) untuk mencari popularitas. Kalau ada ngumpul anak-anak Indonesia, dia akan selalu berusaha jadi pusat perhatian. Dia sering mengolok-olok atau kadang membully anak Indonesia lainnya.
Hudi berasal dari keluarga yang kaya raya dan sangat berkuasa. Ayahnya adalah seorang Jenderal Angkatan Darat, dan di masa kepemimpinan Suharto perwira tinggi Angkatan Darat sering menikmati banyak keistimewaan. Dulu dia pernah dipaksa masuk ke Angkatan Darat, tapi sifatnya yang suka memberontak menyebabkan dia dikeluarkan dari Akademi Militer. Ayahnya, muak dengan sifatnya yang tidak bisa diatur, memutuskan untuk mengirim dia kuliah di Australia.
Terkadang Hudi berusaha untuk mengolok dan membully saya, tapi kemampuan bahasa Inggris saya yang lebih baik bisa membuat saya menghindar dari dia dan bersosialisasi dengan orang-orang dari negara yang dia tidak suka.
Walaupun sifatnya sangat menyebalkan, saya tidak sepenuhnya memusuhi dia dan anehnya kita terkadang bisa jalan-jalan keluar secara baik-baik dan kadang akrab! Saya terkadang mampir ke apartemennya. Kontras dengan sifatnya yang menjengkelkan di luar, di rumah dia orangnya tenang dan cukup ramah.



Bersantai di perpustakaan dengan beberapa pelajar dari Indonesia, Jepang, dan Indonesia. Alvin Adhitya duduk di belakang saya. Cewek yang pakai baju kotak-kotak merah di kanan adalah pelajar Thailand bernama Nattaporn.

Dan kemudian ada Bahrul. Dia berasal dari Makassar di Sulawesi Selatan, yang datang kesini untuk persiapan kuliah. Penampilan luarnya agak mirip dengan orang Aborigin Australia. Walaupun orangnya sekilas kelihatan keras dan kasar, dia sebenarnya berperanggai lembut, bersahabat, dan cenderung low profile. Walaupun penampilannya kelihatan agak menakutkan buat beberapa anak Indonesia (khususnya yang dari Jakarta atau Jawa Barat), dia ternyata pintar mendekati cewek-cewek Jepang. Rupanya cewek Jepang banyak yang menaksir dia karena penampilannya yang tangguh.
Satu lagi anak Indonesia yang saya kenal adalah Geetha*. Dia adalah orang Indonesia keturunan Tamil-India dari Medan di Sumatera Utara. Dia adalah anak yang langka karena di Indonesia sendiri orang keturunan India jarang sekali. Kalau orang keturunan Tamil banyak ditemui di Malaysia dan Singapore, di Indonesia mereka nyaris tidak kelihatan. Bahkan di Indonesia jumlahnya kalah jauh dengan keturunan Arab, Tionghoa, dan bahkan Indo Eropa. Dan mayoritas keturunan India di Indonesia adalah orang Punjab yang kulitnya agak keputihan, bukan yang berkulit gelap seperti orang Tamil.
Seperti umumnya pelajar Indonesia, Geetha* juga baru lulus SMA dan mau kuliah di Australia. Dia masuk ke kampus sekitar sebulan setelah saya. Saya tidak ingat jurusan apa yang mau diambil, kalau nggak salah tentang ekonomi.
Orangnya juga sebenarnya agak sengak. Dia angkuh, dan berbicara dengan nada menyombong. Dia sering menyombongkan dirinya, dan ini membuat saya muak. Karena saya jarang bersosialisasi dengan dia, saya tidak begitu peduli sama dia. Tapi pernah sekali dia membuat saya marah. Waktu itu saya lagi baca-baca brosur sebuah universitas di perpustakaan, ketika dia tahu-tahu datang dan ngoceh “Hah! Akhirnya kamu mau masuk ke kampus itu!” Dia langsung saya bentak balik “Diam kamu! Dan urusi dirimu sendiri!”
Saya rasa sifatnya yang kaku dan sombong juga menyebabkan dia pernah diusir secara tidak baik dari rumah pertamanya. Sifatnya yang keras kepala dan kaku rupanya tidak disukai tuan rumahnya yang orang Selandia Baru.
Saya juga berkenalan dengan Deddy*, pelajar Indonesia yang berumur 30an tahun. Dia datang kesini untuk persiapan kuliah Pasca Sarjananya di salah satu universitas di Perth. Orangnya ramah sekali dan dewasa. Pandangan dia tentang dunia ya mirip dengan orang Indonesia pada umumnya yang jarang atau tidak pernah ke luar negeri.
Dia datang ke Australia dengan istrinya, Santy*. Istrinya juga mengikuti kursus bahasa Inggris di St. Mark’s. Saya tidak ingat apa dia juga berencana untuk kuliah di Australia, karena kelasnya beda dengan suaminya. Dia adalah perempuan yang baik dan ramah, serta istri yang setia. Kalau mayoritas dari kita makan siangnya beli, dia sudah membawakan makanan yang dimasak dari rumah untuk suaminya dan dia sendiri. Jadi mereka cukup hemat sekali dalam hal urusan makan.
Umumnya mayoritas anak Indonesia cenderung berkumpul dan bersosialisasi dengan orang-orang senegerinya. Sedikit sekali yang nongkrong dengan mahasiswa dari negara lain, apalagi yang Eropa. Mereka sering masih membawa sifat seperti waktu jaman masih sekolah di Indonesia. Dan kalau bergabung dengan anak-anak dari negara lain, khususnya saat kelas campuran, saya bisa melihat betapa kontras dan terbelakang sifat mereka (kecuali orang seperti Alvin dan Bahrul).
Satu contoh yang menarik adalah kalau saya membuat kesalahan di kelas, seperti salah mengeja kata di bahasa Inggris atau menggunakan aksen Jawa saat berbicara, adalah anak-anak Indonesia yang mentertawai saya keras-keras. Yang dari negara lainnya umumnya diam saja karena menghargai usaha saya dan membiarkan saya meneruskan. Dari hal ini saya mengerti kenapa orang Indonesia susah berkompetisi dengan anak-anak dari negara lain, karena mereka mudah membully atau mengejek kawan-kawan senegaranya. Ini bisa mengurangi rasa percaya diri seseorang, mencegahnya untuk berusaha, dan menghalangi progressnya untuk berhasil. Dan alasan inilah kenapa selama saya di Australia saya jarang sekali bersosialisasi dengan anak Indonesia, apalagi kalau kita ingat Erick* dan Dani*.
Anak-anak program Foundation lebih parah lagi. Karena mereka masih umur anak sekolah, mereka sering membawa sifat nakal dan ugal-ugalan mereka ke Australia. Mereka sering teriak-teriak dan menggoda kawan sekelas mereka di tempat umum atau transportasi umum, dan ini membuat pelajar Indonesia yang lebih tua merasa malu dengan ulah mereka.


Sebenarnya ada beberapa cewek Indonesia yang cukup cakep disini.
Ada satu anak perempuan kelas Foundation yang body nya proporsional banget. Badannya langsing tapi payudaranya lumayan besar. Umurnya mungkin di kisaran 16-18 tahun. Entah apa rahasianya kok badannya bisa proporsional begitu. Wajahnya sendiri juga imut-imut lucu. Hudi suka ngiler kalau melihat dia lewat atau lagi nongkrong di halaman kampus.
Selain itu ada juga anak yang berasal dari Jakarta yang katanya adalah pacar dari seorang petarung kickboxer kenamaan. Dia sudah menyandang status Permanent Resident (penduduk tetap) berkat hubungannya dengan pacarnya yang atlit kickboxer tadi. Dia bekerja di salah satu klub malam di Northbridge, dan sering ketemu boss-boss besar beberapa geng kriminal di Perth.
Ada lagi cewek cakep dari Indonesia yang sebenarnya saya sukai, dan dia sendiri tahu ini. Dia lebih tua setahun dari saya, tapi dia nggak keberatan. Alasan saya sempat jatuh cinta dengan dia adalah suatu hari saya bermimpi pacaran dengan penyanyi Indonesia kenamaan, Agnes Monica. Perasaan ini bertahan hingga saya bahun pagi harinya, dan kebetulan dia sendiri mukanya mirip Agnes Monica waktu masih kecil. Oh ya, dia sendiri juga berasal dari Surabaya, dan orang Peranakan atau blasteran Tionghoa dan Jawa.
Tapi hubungan saya tidak berlangsung lama karena apa yang terjadi di keesokan harinya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar