Senin, 20 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 27)

Akhirnya hari-H ujian IELTS telah tiba. Ujiannya jatuh hari Sabtu tanggal 6 Desember 1997. Alasan penyelenggara ujian mengadakannya di akhir minggu adalah untuk memastikan bahwa kegiatan kampus tidak bentrok dengan ujian. Selain itu juga agar ada banyak tempat buat ruang ujian, yang menggunakan ruang-ruang kelas dan teater.
Setelah sarapan dan mandi, saya berangkat di pagi yang tidak biasanya dingin menuju ke Bentley. Perjalanan menuju ke tempat ujian terasa biasa-biasa saja. Saya naik bis dari Fitzgerald Street ke stasiun Perth. Dari sana saya naik kereta tujuan Armadale. Selama perjalanan saya membaca-baca materi kuliah yang ditulis di kelas. Sebenarnya ini tidak perlu karena sebelumnya para pengajar sudah menekankan kalau kita dinilai dari kemampuan kita, bukan apa yang kita hafal.
Mungkin ini kebiasaan dari jaman sekolah di Indonesia dimana system pendidikannya menekankan kemampuan pelajar untuk menghafal apa yang diajari di kelas. Apalah, saya melakukan ini mungkin untuk mengurangi kegugupan saya dan mengurangi rasa bersalah karena tidak cukup mempelajari materi yang diajarkan dosen.
Begitu kereta sampai di stasiun Oats Street, saya turun dan kemudian naik bus ke Curtin University di Bentley. Setelah melewati daerah perumahan, bis saya sampai di perhentian bis jalan Hayman Road. Waktu itu tempatnya hanyalah tempat perhentian bis biasa, lengkap dengan jalur memutar untuk bis, tapi sekarang sudah jadi terminal bis.



Halte bis Curtin University di jalan Hayman Road.. Di tahun 1997 tempatnya lebih kecil, atap haltenya model yang sederhana, serta bisnya juga model yang lama.

Saya berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke dalam kampus. Walaupun sudah musim panas tapi pagi itu lumayan dingin. Suasana kampusnya tenang dan hening, diselingi suara burung, semprotan air, dan angin yang berhembus. Terkadang ada juga para pelari jogging dan tukang kebun yang melakukan aktivitas mereka. Tidak susah buat saya mencari tempat ujian, karena saya sudah kesini sebelumnya.



Kampus Curtin University di daerah Bentley di sore hari.

Begitu sampai ke tempat ujian, ternyata sudah banyak orang yang datang untuk ujian. Tidak semuanya pelajar, ada juga orang-orang tua yang ikut ujian. Setelah ngobrol dengan beberapa orang di situ, ternyata mayoritas ikut ujian untuk masuk kuliah. Sebagian kecil ikut ujian untuk kerja atau keperluan imigrasi.
Tapi anehnya ada juga beberapa orang Australia yang juga ikut ujian. Aneh juga karena bahasa Inggris adalah bahasa asli mereka. Saya bertanya ke salah satu dari mereka alasan ikut ujian. Katanya dia ikut untuk masuk program pendidikan guru bahasa Inggris.



Para mahasiswa dan mahasiswi bersantai di kampus Bentley. Di latar belakang adalah gedung fakultas Arsitektur dan Perencanaan Tata Ruang.

Sewaktu saya menunggu waktu ujian dimulai, saya sempat bersosialisasi dengan beberapa peserta. Saya bertemu dengan seorang mahasiswa Jepang bernama Takeshi*. Bahasa Inggrisnya lumayan bagus, mungkin pelajar Jepang dengan bahasa Inggris terbaik yang pernah saya temui di Perth. Dia bilang dia ikut ujian karena mau kuliah di Australia. Walaupun dia belajar bahasa Inggris di Perth, rencananya dia akan kuliah di Sydney.
Saya juga bertemu dengan seorang Somalia bertama Ahmad*. Dia berumur akhir 20an atau awal 30an. Bahasa Inggrisnya patah-patah tapi masih bisa dipahami. Saya tidak ingat apa alasan dia ikut ujian, tapi berhubung waktu itu Somalia sedang dilanda perang, saya menduga dia mau berimigrasi ke Australia. Walaupun awalnya periang dan bersahabat, terkadang saya menangkap kesan kalau dia bisa berubah-ubah sikapnya dan temperamental.
Sewaktu jam menunjukkan pukul 9, guru yang mengawasi ujian meminta peserta masuk ke ruang kelasnya masing-masing untuk memulai ujian. Kalau nggak salah, tempatnya menggunakan ruang-ruang kelas bahasa Inggris Curtin University. Ada juga beberapa peserta yang melakukan ujian di teater kampus di dekat situ.
Saat mengantri masuk dan lagi ngobrol dengan Takeshi* tiba-tiba ada cewek di depan kita berbalik ke arah kita dan bertanya tentang ruang kelas ujian. Dia adalah cewek Australia yang cantik sepantaran dengan saya. Rambutnya hitam, kulitnya putih, matanya hijau, badannya lumayan berisi, dan penampilannya mirip orang Eropa selatan. Dia mengenakan baju tank top warna biru muda dan celana jeans hitam. Dia mengenalkan namanya sebagai Paola Celesti. Dia adalah orang Australia blasteran Italia dan Inggris yang tinggal di utara Perth. Seingat saya wajahnya mirip dengan aktris Italia Alessandra Mastronardi, dengan sedikit tampilan Inggris. Wow, disapa sama cewek cantik benar-benar menambah semangat di pagi hari.


Foto Alessandra Mastronardi yang merupakan seorang artis Italia terkenal. Paola Celesti wajahnya mirip dia hanya orangnya agak gemukan.

Kami diarahkan ke kelas kami masing-masing. Saya masuk ke ruang kelas yang sama dengan Takeshi*, sementara Paola dan Ahmad* ke ruang lain.



Contoh ruang kelas di Curtin University kampus Bentley, yang digunakan untuk ujian IELTS.

Nah sekarang ujiannya dimulai. Bagian pertama adalah “Listening” dimana kita mendengarkan percakapan di pemutar kaset dan kemudian mengisi lembar jawaban dengan informasi di rekaman tadi. Yang ini terasa mudah sekali kalau dibandingkan ujian “Listening” versinya Milo, waktu di kelas. Bahkan sewaktu mereka beralih ke bagian yang paling sulit, dimana percakapannya makin cepat, ucapannya masih terdengar jelas dipahami.
Bagian berikutnya nggak terlalu mudah, dan bahkan makin lama makin susah. Bagian “Reading” itu kompleks dan banyak jebakannya. Jawabannya tidak seperti yang kita kira. Seringkali jawaban yang benar bukan apa yang tertulis di teks tapi kata lain untuk menjelaskannya. Dan bagian “Writing” adalah yang tersusah diantara semuanya. Kita harus membuat artikel pendek untuk menjelaskan gambar diagram serta grafik data di soal ujian. Karena sudah terdesak, akhirnya saya ngasal saja. Saya berharap semoga hasilnya nggak jelek-jelek banget, karena hasil ujian ini bakal penting buat masa depan saya.
Setelah bagian-bagian itu selesai, saatnya istirahat makan siang. Saya nggak ingat apa yang waktu itu saya makan karena semua restoran di kampus Bentley tutup karena libur akhir minggu. Kita mendapat jatah istirahat satu jam sebelum kita memulai ujian “Speaking”. Beberapa mahasiswa mengisi waktu dengan ngobrol. Ada yang ngobrol dengan pelajar dari sesama negaranya, tapi ada yang ngobrol dengan yang dari lain negara. Ada juga yang duduk-duduk sendirian.



Suasana istirahat di kampus Bentley. Seingat saya taman di sekitaran tempat ujian dipenuhi pohon pinus seperti di gambar. Hanya dulu tidak ada kursi-kursi sofa seperti di gambar.

Tiba-tiba saya melihat Paola duduk sendirian di sebelah meja di salah satu sudut ruangan. Dia duduk disitu sambil melamun, dan cuek saja dengan keadaan sekitarnya. Sayapun memberanikan diri mendekati dia. Saya menyapa dia. Tadinya saya pikir dia mungkin cuek saja atau menyambut saya dengan dingin. Tapi saya terkejut sewaktu dia membalas saya dengan hangat! Saya gembira sekali karena dia mau diajak bicara.
Ngobrol-ngobrol dengan Paola sebenarnya bagus untuk persiapan ujian “Speaking”, karena dia orang native speaker. Paling tidak ini membantu saya mengumpulkan kepercayaan diri, dan di sisi lain bisa memperbaiki kemampuan bicara bahasa Inggris saya. Lagipula saya kan tidak sering bisa ngobrol dengan cewek cantik. Saya tanya ke Paola kenapa kok dia ikut ujian ini, karena dia sendiri adalah native speaker yang tidak wajib ikut ujian IELTS buat masuk kuliah. Dia menjawab kalau dia sebenarnya iseng saja ikut ujian. Makin lama kita ngobrol, kok saya rasanya makin tertarik sama dia.
Paola bertanya dari mana saya. Saya menjawab kalau saya dari Indonesia dan datang kesini untuk belajar bahasa Inggris buat masuk kuliah. Dia tertarik dengan jawaban saya dan bertanya bagaimana rasanya kuliah disini. Saya jawab rasanya luar biasa bagus dan bisa membuka mata saya tentang dunia luar. Kemudian dia tanya kemana saya akan pergi setelah ini, sayapun menjawab kalau saya akan melanjutkan kuliah di Australia. Diapun terkagum-kagum dengan jawabanku.
Kemudian Paola menambahkan kalau sebelum ikut ujian ini, dia harus ikut ujian TEE (Tertiary Entrance Exam) untuk lulus SMA dan boleh masuk kuliah. Dia berkata kalau ujiannya sulit. Saya tanya apa TEE itu, dan dia menjawab itu adalah ujian akhir sekolah. Biasanya diberikan kalau masa belajar mau selesai. Dan hasilnya akan dinilai oleh universitas untuk menentukan apa si pelajar bisa masuk.
Sayapun menjawab kalau ujian TEE kontras dengan ujian anak SMA di Indonesia. Di Indonesia ujiannya berlapis-lapis. Ada ujian terakhir SMA, kemudian ujian nasional EBTANAS, dan lalu kalau mau mendaftar kuliah harus ikut ujian nasional lagi bernama UMPTN. Paola pun terkejut dengan betapa susahnya menjadi anak Indonesia, karena mereka harus menjalani banyak ujian untuk masuk kuliah dibandingkan dengan anak Australia yang ujiannya hanya sekali.
Ketika kami sedang mengobrol, saya perhatikan kalau ujian “Speaking” sudah dimulai. Penguji memanggil peserta satu per satu. Setelah beberapa menit akhirnya giliran saya tiba. Sayapun pamit sama Paola dan berjanji akan ketemu lagi kalau ujiannya selesai. Saya kemudian langsung menuju ke ruangan ujian. Saya merasa tegang, rasanya seperti mau disuntik. Tak lama kemudian saya masuk sebuah ruangan kelas, dimana penguji duduk di sebelah meja di depan kelas. Saya duduk di depannya untuk melaksanakan ujian.
Sang penguji adalah perempuan paruh baya berumur 50an, dengan rambut pirang berombak dan memakai kacamata. Dia mungkin salah satu pengajar program bahasa Inggris di Curtin University, atau dimanapun di Perth. Beliau meminta saya untuk duduk sebelum memperkenalkan dirinya. Sebelum ujian dimulai, dia memberikan instruksi tentang ujian yang harus saya jalani serta batas waktu melakukan ujian ini dan ketika kita siap, dia mulai merekam percakapan kita.
Akhirnya ujian “Speaking” dimulai dengan bagian pertama adalah perkenalan diri saya dan penjelasan tentang diri saya serta hal-hal tentang kehidupan saya yang menarik untuk didiskusikan. Setelah itu kita menuju ke bagian berikutnya dimana penguji akan mengutarakan sebuah topik dan saya harus menjelaskan pandangan dan ide mengenai issue tersebut. Tentunya cara saya mempresentasikan yang akan menentukan hasil ujian.
Rupanya ngobrol-ngobrol dengan Paola sebelum ujian bisa meningkatkan kepercayaan diri saya agar bisa melalui ujian “Speaking” ini dengan lebih lancar dan tidak terlalu tegang. 



Contoh ilustrasi sesi ujian "Speaking" saat kegiatan ujian IELTS. Sesi ini menegangkan buat peserta, dan sebenarnya juga buat penguji, karena mereka harus melakukan tugasnya dengan benar.

Seusai ujian, penguji mengucapkan selamat ke saya atas selesainya ujian ini. Dia juga menjelaskan kalau hasilnya akan diumumkan sebulan setelah ujian. Karena saya akan ada di Surabaya waktu itu, saya memberikan alamat pos saya di Surabaya agar hasilnya diposkan ke rumah.
Begitu saya meninggalkan ruangan, ternyata diluar sudah cukup sepi. Tidak banyak peserta yang tersisa. Saya sempat ketemuan dengan Takeshi* sebentar dan bertanya bagaimana ujiannya. Dia berkata kalau ujiannya oke, walaupun sempat gugup dan tegang. Karena dia tergesa-gesa harus balik, kamipun berpamitan dan berpisah sebelum dia pulang. Saya juga sempat ketemu lagi dengan Ahmed*, tapi tidak seperti waktu pertama ketemu dimana ekspresinya riang, kali ini dia tampak sama sekali tidak ramah dan tidak mau didekati. Saya tidak tahu apa masalahnya karena dia terus pergi.
Tapi kekecewaan terbesarsaya adalah Paola tidak ada! Saya menunggu beberapa waktu, berharap mungkin dia akan keluar dari salah satu ruang ujian. Tapi setelah menunggu selama hampir sejam, dia tetap tidak kelihatan. Kampus mulai sepi karena mayoritas peserta ujian sudah pulang. Akhirnya saya memilih untuk pergi dengan perasaan agak patah hati. Kalau seandainya smartphone sudah ada waktu itu kita mungkin sudah bertukar nomor telepon dan/atau alamat e-mail, dan mungkin kita masih berkontak-kontak lebih lama lagi. Bahkan mungkin akan lebih mudah buat saya buat move on dari Denise. Tapi masalahnya waktu itu saya tidak familiar dengan e-mail dan sosmed internet belum ada. Jadi saya akhirnya pulang dengan perasaan agak kecewa.
Saya berjalan kembali ke halte bis. Tempatnya agak ramai karena ada banyak pelajar (mayoritas Jepang dan Korea) yang mau naik bis kembali ke pusat kota. Tidak satupun saya kenal. Mereka sepertinya berasal dari kampus lain. Selama perjalanan balik, saya duduk di bis dan menikmati perjalanan dan pemandangan daerah perumahan, sambil membayangkan tentang Paola. Kalau seandainya saya bisa tetap berkomunikasi dengan dia, mungkin mudah buat saya untuk melupakan Denise.
Sesampainya bis di stasiun Oats Street, saya turun dan kemudian naik kereta api balik ke Perth. Di Perth, saya memilih untuk jalan-jalan keliling sambil menikmati suasana kota untuk bersantai. Kota Perth tengah sibuk dengan kegiatan orang-orang yang lalu lalang. Karena masa terberat ujian sudah lewat, saya memutuskan untuk merayakannya dengan makan kebab di food court dekat situ. Saat toko-toko mulai tutup, saya pulang balik ke rumah Siraj.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar