Senin, 06 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 11)

Setelah tidur nyenyak semalam, saya terbangun di pagi yang dingin sekali. Kali ini karena saya sudah mengerti cara menggunakan heater, tidur semalam lebih nyenyak daripada malam pertama karena suhu di kamar lebih nyaman.
Setelah mandi dan sarapan, kakak dan bapak saya datang untuk menjemput saya. Hari ini adalah hari pertama saya masuk kuliah di tempat baru saya. Setelah berpakaian dan membawa perlengkapan sekolah seperti buku dan alat tulis serta kamus di tas punggung saya, saya pamit sama Siraj dan berangkat menuju ke kampus dengan kakak dan bapak saya.


Berfoto bersama kakak saya di depan rumah 170 Grosvenor Road, tanggal 4 Agustus1997.

Jalan kaki dari rumah ke kampus lumayan jauh. Kami berjalan menyusuri jalan Grosvenor Road yang sepi, ke arah timur. Kami menyeberangi beberapa jalanan yang sepi dari satu blok perumahan ke blok lainnya. Bagi saya ini juga kesempatan untuk mengenal daerah perumahan di sekitar rumah saya. Kebanyakan rumah disini kelihatannya dibangun di tahun 1940an hingga 1960an, walaupun ada yang modern juga. Terkadang di salah satu pojok perumahan ada toko dan restoran kecil yang menjual makanan, minuman, atau es krim, yang biasanya dibeli oleh mereka yang terburu-buru berangkat ke tempat kerja mereka. 
 

Peta daerah North Perth lengkap dengan daerah sekelilingnya seperti taman Hyde Park dan juga Highgate. Rute jalan kaki harian saya dari 170 Grosvenor Road hingga ke kampus di Highgate ditandai dengan garis biru.
 
Tidak seperti perumahan di Indonesia, yang bisa merangkap sebagai area komersial, di Australia perumahan ya murni buat perumahan. Tidak boleh untuk fungsi lainnya. Sementara daerah komersial hanya boleh dibangun di daerah tertentu yang terpisah dari perumahan. Penetapan zonasi di Australia cukup ketat sekali, tidak seperti di Indonesia yang dimana asal ada uang rumah bisa jadi tempat industri.
Pemandangannya perlahan-lahan berubah seiring makin dekatnya kita dengan kampus saya. Kami juga berjalan dekat taman Hyde Park dan juga apartemen yang menarik bapak saya kemarin, sebelum kita menyeberangi jalan raya William Street yang ramai. Setelah menyeberang, kita mengarah ke jalan Vincent Street, sebelum berbelok ke Harold Street. Disini kita lewat di depan sebulah sekolah dasar yang cukup ramai, lengkap dengan keriuhan anak-anak yang berolah raga di halaman depannya.
Saat kita berjalan menurun, kampus saya terlihat jelas di seberang jalan Beaufot Street. Tembok papan namanya bisa terlihat di pojok jalanan: “St. Mark’s International College” lengkap dengan logonya. Di belakangnya ada lapangan sepak bola, lapangan tenis, dan tentunya bangunan kampus yang berwarna coklat kegelapan.


Peta satelit St. Mark's International College yang diambil tahun 1995 silam. Di tahun 1997 layoutnya relatif sama. Foto satelit ini tidak tersedia di Google Earth karena database tertua mereka berasal dari tahun 2000, dimana di tahun itu lapangan sepak bola dan tenis sudah hilang dan berganti menjadi apartemen.

Seorang wanita paruh baya yang berpakaian putih menggunakan rompi oranye menyala dengan tulisan “Traffic Warden” di punggungnya menolong kami menyeberangi jalanan. Kita tidak melihat orang seperti beliau di penyeberangan jalanan yang lainnya. Keberadaan orang seperti beliau sangat dibutuhkan karena ada sekolahan di dekat situ, dimana anak-anak membutuhkan bantuan untuk menyeberang jalanan.
Kami masuk ke kampus melewati pintu utamanya, dan langsung menuju ke gedung administrasi. Di depan pintunya ada banyak mahasiswa-mahasiswa baru yang juga akan menjalani ujian masuk dan orientasi. Mereka berasal dari berbagai macam negara Asia Timur, dan ada sekitar 10 orang yang nongkrong di depan.


Berfoto bersama kakak di pintu masuk kampus. Senyum saya kelihatan aneh. Belakangan saya sadar kalau ini gejala Bell's Palsy, yang kumat di tahun 2018 silam.

Pertama-tama kami masuk ke gedung administrasi. Disini kita bertemu lagi dengan orang yang dulu mewakili kampus ini waktu ada pameran di Surabaya. Dialah orang yang menguji saya kalau ada pameran di Surabaya. Setelah bersalaman, dia meminta saya untuk menanda tangani beberapa surat-surat untuk menyelesaikan urusan administrasi di sini.
Selesai urusan administrasi, saya berpisah dengan bapak dan kakak saya lalu bergabung dengan anak-anak baru tadi sebelum masuk ke sebuah ruang kelas untuk memulai ujian masuk. Saya merasa agak gugup. Ini pertama kalinya saya sendirian di sebuah kampus di negara asing, dikelilingi orang-orang yang tidak senegara dengan saya, dan tak memahami bahasa asli saya.
Di dalam kelas, seorang guru perempuan memberikan pengarahan kepada para mahasiswa baru. Dia berkata bahwa program pertama hari ini adalah ujian bahasa Inggris. Hasilnya akan menentukan tingkatan kelas mana si pelajar akan menjalani. Ada beberapa tingkat kelas di kampus ini, mulai dari dasar bagi mereka yang tidak mengerti bahasa Inggris sama sekali, sampai tingkat advance buat mereka yang mau masuk ke universitas di Australia. Walaupun ujian TOEFL dari Amerika sangat populer di Indonesia, di Australia ujian IELTS yang dari Inggris lebih dipilih oleh banyak universitas disini.
Selain kelas bahasa Inggris yang diambil group saya, ada juga “Foundation Program” yang formatnya mirip kelas akhir SMA di Australia. Program ini diperuntukan bagi anak-anak usia sekolah dari luar Australia yang mau beradaptasi dengan standard pendidikan Australia sebelum masuk universitas. Mata pelajaran mereka agak kompleks karena, selain belajar bahasa Inggris, mereka juga mengikuti mata pelajaran akademis.
Ujiannya cukup mudah buat saya. Pertanyaan-pertanyaannya mirip dengna yang saya temui di ILP di Surabaya. Isinya hanya pertanyaan mendasar seperti pilihat berganda, ujian menulis space kosong, dan mendengarkan rekaman untuk mengisi pertanyaan di kertas (yang jawabannya ada di percakapan audio).
Selesai ujian, ibu guru mengumpulkan lembar jawaban kita. Dia kemudian meminta kami untuk berkumpul di halaman di bawah untuk memulai program orientasi. Program orientasi di kampus ini sederhana sekali: hanya tour keliling kampus yang dipandu salah seorang staff senior untuk mengenali semua staff-staff serta berbagai macam fasilitas di kampus. Bukan perpeloncoan dan perundungan yang umumnya dilakukan di program orientasi kampus di Indonesia.


Pekarangan St. Mark's International College, lengkap dengan bagunan gedung kelas. Perhatikan apartemen di kiri gambar, yang berarti foto ini diambil setelah tahun 2000. Dulu di tahun 1997 di tempat itu ada lapangan tenis dan sepak bola.

Sewaktu berjalan ke bawah, saya juga berkenalan dengan anak-anak yang lain. Ini pertama kalinya di dalam hidup saya sekelas dengan anak-anak yang tidak senegara dengan saya. Saya memperkenalkan diri saya ke anak-anak yang lain, dan mereka dengan sopan memperkenalkan diri mereka. Saya tidak ingat nama mayoritas anak-anak di situ. Yang saya ingat hanya seorang mahasiswa Thailand bernama Petchmanee Ake, Namu* dari Jepang, Nami* dan Sung Ho Park dari Korea Selatan. Yang terakhir tadi kemudian menjadi kawan akrab saya selama kuliah disini.
Di halaman, seorang ibu staff kampus memperkenalkan dirinya sebagai ibu Philippa Beckerling.


Beliau adalah staff administrasi senior di kampus ini. Dia akan memandu kita orientasi keliling kampus. Pertama-tama, kami mengunjungi gedung administasi utama yang menggunakan bangunan kuno, dimana beliau memperkenalkan semua staff disini lengkap dengan tugas dan peran mereka.


Pintu ini aslinya adalah pintu masuk resmi kampus. Tapi selama kuliah disini saya hanya sekali saja masuk lewat pintu ini. Biasanya saya masuk lewat pintu di sebelah lapangan tenis, atau pintu seperti gambar sebelumnya yang terletak di sebelah kanan, diluar gambar, di belakang gedung ini.

Kita kemudian pergi ke bagian belakang bagian administrasi dimana ruangan “Student Service” berada. Disini mahasiswa bisa mencari bantuan informasi mengenai tempat tinggal, tempat berlibur, serta lowongan kerja sambilan.

  
Dan di sebelahnya ada laboratorium komputer, dimana mahasiswa belajar mata kuliah yang memerlukan penggunaan computer.


Semua ruangan-ruangan tadi berada di bangunan gedung yang kuno.


Koridor di depan ruangan kelas di bangunan kuno di kampus.

Kemudian kami menuju ke gedung perpustakaan, dimana lantai dasarnya digunakan untuk kantin mahasiswa.


Interior kantin kampus saat sepi. Di tahun 1997 kounter makanannya lebih panjang, dua kali lipat dari yang ada di foto ini.

Beliau juga memperkenalkan kita ke semua karyawan kantin. Semuanya perempuan, dan semua orang Asia. Kepala kantinnya orang keturunan Tionghoa, sementara karyawannya campuran orang-orang China, Filipina, dan Jepang. Kalau waktu makan siang kita bisa beli berbagai macam menu makan siang disini. Ada juga es krim, dan mesin otomat yang menjual minuman ringan. Walaupun minuman di mesin otomat cenderung lebih mahal dari supermarket, saya terkadang beli dari alat ini. Selain karena lebih praktis, saya suka sensasi mengoperasikan alat ini.

Dari kantin kami menuju ke perpustakaan di lantai atas.


Koridor yang menghubungkan antara bangunan kuno (di belakang kamera) dengan gedung perpustakaan.
 
Dia memperkenalkan kami ke staff perpustakaan dan juga memperlihatkan koleksi buku-buku, video, serta fasilitas-fasilitas disini.
Fasilitas yang membuat saya agak girang adalah komputer dengan sambungan internet! Di tahun 1990an, internet termasuk barang mewah karena sambungan dial-up tarifnya mahal. Jadi bisa menggunakannya secara gratis adalah sesuatu yang kita syukuri. Apalagi waktu itu sambungan broadband, smartphone, atau WiFi tidak ada.
Namun belakangan saya dengar di Australia tarif sambungan internet cenderung lebih murah daripada di Indonesia karena kita hanya ditagih persambungan, bukan per jam. Selain itu kecepatan sambungan internet di Australia waktu itu lebih cepat daripada Indonesia. Makanya tidak heran saya sering lihat komputer Erick* di rumah bisa menyala berjam-jam tersambung ke internet.
Dari perpustakaan, kami kembali ke bawah dan menuju ke belakang kampus dimana bu Philipa menunjukan ruang gedung pertemuan besar. Ruang pertemuan ini umumnya dipakai untuk acara orientasi (kalau mahasiswa barunya banyak), pameran, konser, atau kegiatan olahraga. Pelajar program Foundation juga menggunakan tempat ini untuk olahraga indoor seperti basket, badminton, atau volley.
Di sebelah gedung pertemuan ada kolam renang. Wow! Ini pertama kalinya saya belajar di kampus yang ada kolam renangnya. Buat saya kelihatan agak mewah juga ada beginian. Cuma karena saat ini lagi musim dingin, tidak ada yang berenang disini. 


Kolam renang di bagian belakang kampus.

Mereka juga memperlihatkan ruang-ruang kelas yang berada di gedung baru di sebelah gedung administrasi.


Pemandangan pekarangan St. Mark's International College di tahun 1997. Kami berkumpul di sebelah air mancur sewaktu orientasi. Perhatikan di sisi kiri gambar masih ada lapangan tenisnya, tidak seperti foto sebelumnya yang sudah digusur oleh apartemen. Foto ini diambil di bulan-bulan pertengahan saya kuliah karena sudah ada mahasiswa Eropa di foto.

Program Foundation menggunakan ruang-ruang kelas di lantai bawah, sementara program bahasa Inggris menggunakan ruangan kelas di lantai atas. Dan ternyata ruang kelas saya ada di lantai paling atas, dimana kita bisa melihat pemandangan kampus dan bahkan daerah di sekelilingnya.


Pemandangan dari balkon gedung kelas saya. Tampak bangunan kuno di kiri gambar, dan koridor penghubung bangunan kuno dan gedung perpustakaan di  sebelah kanan, lengkap dengan menara jam diatasnya.

Setelah itu, program orientasipun selesai. Benar-benar kegiatan yang enak dan menyenangkan. Program orientasinya langsung tepat mengena sasaran: sebuah kegiatan “pemecah kebekuan” yang bertujuan untuk mengenalkan mahasiswa baru tidak hanya dengan lingkunan kampus namun juga dengan sesame kawan baru. Semua staff di kampus sangat ramah dan bersahabat. Mereka tahu bagaimana caranya membantu pelajar asing untuk beradaptasi dengan kehidupan di Australia. Inilah pertama kalinya dalam hidup saya saya menjalani program orientasi yang sebenarnya.
Kontras dengan program “orientasi kampus” di Indonesia yang pada dasarnya adalah kegiatan seminggu lebih yang berisi perpeloncoan, perundungan, atau kegiatan aneh-aneh yang melelahkan lengkap dengan unjuk kesombongan senior dan feodalisme. Belum lagi kegiatan PR di rumah yang cukup berbelit. 


Seusai program orientasi, pihak kampus membagian kartu pelajar kami. Ada 2 yang diberi. Yang pertama adalah yang dikeluarkan pihak sekolahan, lengkap dengan stiker diskon konsesi Transperth di bagian belakangnya.


Kartu pelajar saya, lengkap dengan stiker konsesi diskon pelajar Transperth di bagian belakang. Karena peraturan legal di Australia mengharuskan saya mencantumkan nama keluarga (padahal saya tidak punya) akhirnya saya menggunakan nama bapak saya di kartu ini.
 
Kartu kedua adalah kartu ISIC. Beda dengan yang pertama, kartu ini memungkinkan mahasiswa untuk membeli tiket pesawat dengan harga diskon pelajar, dan juga tiket bus dan kereta api dengan diskon pelajar.



Kartu pelajar ISIC dengan format penamaan saya yang benar, yang sesuai dengan di passport.

Ada satu hal yang membuat saya agak bingung: di brosur banyak foto-foto mahasiswa bule di kampus ini. Kenyataannya hari itu saya nggak melihat satupun mahasiswa bule. Semuanya orang Asia, dan orang bule hanya staff kampus saja. Mahasiswa bulenya dimana? Apa orang-orang bule di brosur itu cuman model orang Australia yang dipacaki sebagai “mahasiswa asing”? Jawaban dari pertanyaan ini kemudian datang beberapa minggu kemudian.


Di brosur kampus ada banyak foto mahasiswa/mahasiswi bule. Tapi saat pertama masuk, semua mahasiswanya orang Asia.

Selesai urusan di kampus, saya pergi ke hotel untuk menemui bapak dan kakak saya. Rupanya saat saya orientasi, mereka jalan-jalan lagi dengan Doddy. Kali ini mereka berkunjung ke beberapa kampus kenamaan di Perth seperti Murdoch, Curtin, atau Edith Cowan University. Mereka membawakan brosur buat saya untuk dipelajari.
Siang itu kami juga mampir ke bank ANZ terdekat untuk membuka rekening buat saya. Prosesnya mudah sekali. Mereka cuma tanya passport dan kartu pelajar untuk buka rekening. Selain itu bank-bank di Australia sudah tidak mempergunakan buku tabungan lagi. Kartu ATM punya peran yang vital sekali, karena transaksi di counter menggunakan kartu ATM untuk pemrosesan. (Beberapa tahun kemudian, bank ANZ membuka cabang-cabangnya di Indonesia, sesuatu yang tidak kepikiran buat saya di tahun 1997). Selesai itu kami kembali lagi ke hotel untuk beristirahat dan bersantai. Tidak banyak yang dilakukan sepanjang sisa hari itu.
Sore hari saat kami tengah bersantai di kamar hotel, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Saat dibuka, rupanya yang datang adalah pemilik hotel. Dia datang untuk meminta maaf atas pelayanan yang buruk di hotel, dan menyelesaikan beberapa komplain kami seperti perihal extra bed (yang akhirnya dikasih). Sebagai tambahan, dia bahkan memberikan beberapa voucher makan beberapa restoran di kota. Karena bapak saya puas dengan penanganan komplain, kamipun memutuskan untuk tinggal di hotel ini hingga akhir masa tinggal bapak dan kakak saya di Perth.
Malamnya, kami jalan-jalan di sekitar Beaufort Street di dekat hotel dan kampus. Walaupun jalan raya ini ramai sekali kalau siang hari, di malam hari suasananya lumayan sepi. Tempat-tempat yang ramai hanyalah pub atau restoran. Semua toko tutup, kecuali sebuah toko swalayan Asia di pojokan dekat kampus.
Kami melihat-lihat kalau saja ada restoran enak di situ. Waktu itu ada sekitar 2 atau 3 restoran di dekat kampus, satu restoran Italia, satu Vietnam, dan satu yang saya sudah tidak ingat lagi. Semuanya terletak di seberang jalan dari Queens Pub yang ada di sebelah kampus.
Kami akhirnya memilih makan di restoran Italia. Restoran kecil ini dimiliki oleh keluarga imigran dari Italia selatan, dan menjual makanan Italia yang otentik. Kami melihat menunya, dan kami agak bingung dengan menu makanan yang disajikan. Tidak satupun kelihatan familier buat kami. Hanya kakak saya yang kuliah di perhotelan di Swiss mengerti. Akhirnya saya memesan Ravioli, bapak saya pesan Spaghetti, sementara kakak saya pesan Lasagna.

  
Sewaktu menunggu makanan kami datang, sang pemilik restoran yang seorang bapak berumur 50an bertanya dari mana kita, dan bapak saya menjawab kalau kami dari Indonesia. Beliau langsung senang begitu tahu kalau kami dari Indonesia. Dia berkata kalau dia sering sekali berkunjung ke Bali. Sekali atau dua kali setiap tahun beliau sekeluarga selalu pergi berlibur ke Bali. Cuaca tropis hangat, dan keramah tamahan masyarakat local disana membuat mereka kerasan.
Tak lama kemudian makanan kami datang. Sewaktu melihat makanan saya, saya gak bingung. Sejujurnya, saya awalnya tidak suka dengan apa yang saya lihat. Baunya busuk mirip seperti bau muntahan! Tapi penampilannya kelihatan cukup menarik. Sayapun memberanikan diri memakannya, dan ternyata rasanya enak juga! Mereka juga menyediakan semangkuk kecil keju parmesan diatas meja untuk ditambahkan ke makanan kita.
Selesai makan malam, dan membayar tagihan, kamipun kembali ke hotel untuk istirahat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar