Kamis, 16 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 20)

Saat itu sudah di pertengahan bulan Oktober 1997. Perth sudah mulai memasuki musim semi dan hawa udara di kota ini makin hangat. Di saat yang sama program kuliah bahasa Inggrisku sudah melewati titik setengah jalannya. Walaupun awalnya sempat gugup, saya akhirnya benar-benar sudah nyaman dengan hidup di Australia. Bahkan, saya merasa lebih senang daripada di Indonesia.
Dan hari ini saya akan melakukan perjalanan ke jauh di luar kota, menuju ke daerah pedesaan di Australia Barat. Ini pertama, dan ternyata satu-satunya, saya berjalan jauh keluar kota Perth.
Kalau nggak salah keberangkatannya adalah hari Jumat tanggal 17 Oktober 1997. Yang saya ingat, kita berangkat beberapa hari setelah wafatnya penyanyi John Denver. Seperti yang kita setujui sebelumnya, kita akan berangkat dari kampus di Jumat sore.
Setelah mengepak semua pakaian saya di tas punggung saya, saya pamit ke Feroza dan Shahjehan sebelum berjalan menuju ke kampus. Sepertinya ini satu-satunya kesempatan dimana saya jalan ke kampus di sore hari, bukannya pagi. Daerah perumahan di sekitar situ sepi sekali, dan jadi lebih sepi lagi karena semua toko dan sekolah tutup. Setelah berjalan selama beberapa menit dari rumah, akhirnya saya tiba di kampus yang sudah sepi. Heinz, Denise, dan Maria semuanya duduk-duduk di air mancur di halaman kampus.
Walaupun cuacanya masih dingin buat saya, tapi mereka semua mengenakan pakaian yang cocok untuk hawa hangat musim panas. Denise menggunakan kaos putih tanpa lengan dan celana jeans panjang warna hitam, sementara Maria mengenakan kaos oranye tanpa kerah dan celana jeans sedengkul. Heinz bahkan lebih ekstrim lagi karena dia cuma pakai celana pendek dan t-shirt!
Setelah kita semua berkumpul, Heinz pergi mengambil mobilnya. Sementara menunggu Heinz datang, saya pergi sebentar ke Daily Supermarket untuk beli bekal seperti minuman dan daging burger Halal. Saya ingat waktu beli ada insiden lucu yang memalukan. Sebelum pergi ke Daily, saya sebenarnya sempat pergi sebentar ke toilet di kampus, tapi lupa memasang kembali sabuk saya. Nah, pas bayar di kasir supermarket, rupanya petugas kasirnya lihat sabuk saya menggantung terbuka. Otomatis dia ketawa terbahak-bahak. Wah benar-benar memalukan, tapi ya lucu banget.
Beberapa menit kemudian, Heinz datang dengan mobilnya. Mobil yang akan dipakai hari ini adalah Toyota Seca, versi mobil Toyota Corolla tanpa pantat bagasi yang tidak ada di Indonesia. Interiornya lapang dan suspensinya halus. Jalan diatas 100 km/jam dengan mobil ini terasa halus sekali, sampai-sampai kita nggak kerasa kalau berjalan secepat itu.


Kita mengendarai mobil Toyota Seca tahun 1996. Mobil ini adalah versi mobil Toyota Corolla tanpa pantat bagasi untuk pasar Australia.

Setelah kita memasukan semua barang kita di bagasi belakang dan mengencangkan ikat pinggang, kita langsung pergi menuju ke luar kota. Kami berjalan melewati jalanan kota Perth yang sibuk. Hari itu adalah Jumat sore, dan semua orang bersiap-siap untuk akhir minggu. Apalagi hari Jumat toko-toko biasanya buka hingga malam. Walaupun lalu lintasnya padat, kita bisa sampai di jalan bebas hambatan / freeway (mirip jalan tol hanya masuknya tidak bayar) tanpa banyak masalah, dan kita akhirnya jalan menuju ke selatan melewati Kwinana Freeway.
Perjalanannya mulus sekali. Kita melewati Kwinana Freeway ke arah selatan. Ini pertama kalinya saya berpergian keluar daerah metropolitan Perth. Selama perjalanan saya ngobrol dengan Heinz, dan terkadang diselingi oleh Denise yang ikut percakapan kita.
Saya tanya ke Heinz, apa susah beradaptasi dengan lalu lintas di kiri jalan (karena Swiss lalu lintasnya di kanan jalan). Dia bilang dia sudah agak lama terbiasa dengan mengemudi di kiri. Pertama kalinya dia mengemudi di kiri jalan adalah waktu di Inggris, serta waktu pertama kali dia ke Australia beberapa tahun lalu. Jadi buat dia mengemudi di kiri jalan terasa biasa saja.
Selama beberapa kilometer pertama, pemandangannya umumnya bersifat urban, tapi selepas Kwinana daerahnya makin sepi dari perumahan atau bangunan. Walaupun sebenarnya ada beberapa petak kecil daerah perumahan dan komersial di dekat situ, semuanya tidak kelihatan dari jalan. Matahari mulai terbenam selepas Mandurah, sehingga sisa perjalanan berlangsung di kegelapan malam.
Selama perjalanan kita mendengarkan kaset saya yang diputar di tape deck mobil. Heinz menyukai lagi Peter Cetera berjudul “I Wasn’t The One (Who Said Goodbye” yang dinyanyikan bareng dengan penyanyi Swedia mantan personli ABBA, Agnetha Faltskog. 


 Dan setelah 2 jam perjalanan dari Perth, kami akhirnya tiba di tujuan kami: Bunbury.


Kota Bunbury di malam hari.

Heinz berkata kalau kita akan menginap di sebuah “caravan park” (yang belakangan saya ketahui bernama “Bunbury Glade Caravan Parks”). Begitu datang ke tempatnya, kami menemui pagar masuknya ditutup. Saya kaget, apa tempat ini benar-benar buka? Heinz meyakinkan saya kalau ini buka. Pertama-tama kita harus check in dulu. Kita menuju ke tempat resepsionis dimana Heinz mengurusi check in nya. Setelah selesai, kita diberikan kunci ke kamar kita dan pagar depan dibuka.


Pintu depan Bunbury Glade Caravan Parks di siang hari.

Tadinya, begitu saya mendengar “caravan parks”, bayangan saya tempat ini adalah sebuah lahan yang berisi banyak mobil caravan atau versi gandengan mobilnya. Tapi begitu sampai ke kamar kita, ternyata tidak mirip mobil atau gandengannya. Bangunannya hanya berupa kabin satu ruangan yang bahkan tidak punya roda, dan sepertinya terpasang permanen di tanah!


Kabin karavan tempat kita menginap modelnya seperti ini. Perhatikan beranda di depan.

Tapi yang membuatnya beda dengan hotel biasa adalah betapa ringkas kamarnya. Pada dasarnya bangunan ini hanya terdiri dari satu kamar dengan dapur dan tempat makan di tengah, serta tempat tidur di kedua sisinya. Yang satu tempat tidur menggunakan bed besar, sementara yang di sisi lain ada 2 tempat tidur model bertingkat.


Interior kabin karavan Bunbury Glades. Tampak tempat tidur besar tempat Denise dan Maria tidur. Kompor dan meja makan kelihatan di depan.

Ada korden yang berfungsi sebagai dinding pemisah area tempat tidur untuk menambah privasi. Kamar mandi terletak di sebelah tempat tidur tingkat.


Sisi lain interior kabin. Kompor dan meja makan ada di latar depan, lengkap dengan TV diatas. Tampak juga tempat tidur bertumpuk, serta kamar mandi di latar belakang. 
 
Dan di depan pintu masuk ada teras kecil. Tempat caravan park ini juga punya tempat masak-masak barbeque dan juga kolam renang.
Kami menurunkan semua barang bawaan kita dan membawanya ke dalam. Yang cowok tidur di tempat tidur bertingkat, dan kami menaruh barang bawaan kami di tempat tidur atas, sementara yang cewek tidur di tempat tidur besar. Begitu kita sudah settle di kamar, kamipun berganti baju. Seingat saya waktu itu saya pakai kaos t-shirt putih, celana jeans biru gelap, dan jaket tebal (karena hawanya sangat dingin buat saya). Heinz juga mengganti celananya dengan jeans panjang karena hawanya mulai bertambah dingin. Cewek-cewek mengganti pakaian mereka dengan yang pas buat malam ini.
Sekarang saatnya makan malam dan kita harus mempersiapkan makan malam kita. Karena kita tidak membawa bahan makanan dari Perth, Heinz memutuskan untuk pergi belanja ke tengah kota. Walaupun ada daging burger dan nugget ikan beku, ini jelas nggak cukup buat kita semua. Akhirnya Heinz dan Maria memutuskan untuk pergi ke supermarket terdekat. Setelah keduanya pergi,cuman tinggal saya dan Denise saja di kabin.
Wow! Ditinggal sendirian dengan cewek idamanmu benar-benar susah dipercaya! Rasanya luar biasa, susah diungkapkan dengan kata-kata. Dan saya malah jadi gugup sekali.
Kami duduk di sebelah meja sambil menonton TV. Saya melihat ke Denise. Ini pertama kalinya saya bisa melihatnya dengan dekat dan jelas. Saya melihat ke wajahnya yang punya kecantikan khas Jerman, matanya yang berwarna cokelat dan bersorot tajam.Kulitnya putih dan bersih sekali. Jika dibandingkan orang Australia, bisa dibilang warna kulitnya lebih terang. Menurut saya dia punya kecantikan klasik ala Eropa yang mengingatkanku dengan film klasik Eropa, atau lukisan renaissance.  


Saya tidak pernah melihat cewek Eropa dengan kecantikan sesempurna ini sebelumnya. Entah siapapun cowoknya, dia adalah orang yang sangat beruntung sekali. 


Ciri khas kecantikan cewek Jerman. Cewek-cewek ini berasal dari daerah Tyrol di Austria, yang dekat dengan kampung halamannya Denise.

Tapi sayang, karena saya terlalu emosi, saya jadi gugup untuk memulai percakapan dengan dia. Selain itu, sebagai anak introvert susah buat saya untuk memulai percakapan dengan cewek yang saya sukai, apalagi kalau saya merasa tertekan. Sifat ini sudah bawaan dari jaman sekolah.
Untungnya, dia bisa memecah ketegangan saya dengan memulai percakapan dulu. Dia bertanya ke saya tentang keluarga dan rencana kuliah di Australia. Dan perlahan-lahan kita memulai pembicaraan. Saya merasa senang sekali! Namun, hingga saat itu saya kesulitan untuk mengungkapkan perasaan suka saya ke dia. Tapi dia sepertinya juga melihat tanda-tandanya juga, karena dia melihat ke aku dengan gaya penasaran.
Makin lama kita ngobrol kita malah makin lapar. Tapi Heinz dan Maria masih belum datang juga. Denise tiba-tiba berdiri dan bilang akan memasak buat saya. Wow! Saya girangnya minta ampun! Malam ini benar-benar momen terbaik di hidupku. Kapan lagi kamu makan masakan yang dimasak cewek impianmu? Denise memasak beberapa nugget ikan dengan butter.

 
Sementara Denise sibuk memasak makananku, Heinz dan Maria akhirnya tiba kembali dari supermarket. Mereka membeli daging, roti, dan minuman ringan. Heinz agak terkejut melihat Denise memasak makan malam buat ku, dan tersenyum sambil berkata “Wow Bagus, kamu beruntung sekali!” Well, saya benar-benar beruntung malam itu.
Heinz memasak daging yang dia beli di kompor barbeque dekat kabin kita, sementara Maria menyiapkan masakan tambahan. Saya duduk tenang sambil lihat TV. Sebagai anggota termuda di group ini, saya merasa agak ragu untuk membantu mereka. Selain itu, saya takut kalau salah menghandling beberapa bahan makanan yang ada.
Begitu semua masakan selesai dimasak dan siap dimakan, kita duduk bersama di depan meja makan dan menikmati masakan kami. Saya mencicipi masakannya Denise, dan cukup terkejut betapa enaknya masakannya. Butter memberikan aroma wangi ke nugget ikannya. Rasanya seperti masakan di hotel mewah. Saya sangat mengapresiasi kecerdikan Denise dalam membuat masakan. Dia tidak hanya cantik, tapi rupanya pintar memasak.


Foto bareng saat mempersiapkan makan malam. Dari kiri ke kanan: Maria Lüchinger, Heinz Gubler, Denise Loher, dan saya sendiri.

Satu hal yang aneh tentang makan malam ini adalah minumannya. Mereka makan sambil ditemani anggur wine merah. Saya sudah pernah minum wine sebelumnya, dan menurut saya rasanya pahit sekali. Herannya, mereka mengisi gelas minum besar mereka penuh dengan wine! Walaupun banyak minum minuman beralkohol bisa membuat orang mabuk, mereka sepertinya menikmati minum wine tanpa mabuk. Wow!


Selesai makan malam, kami membersihkan piring-piring dan tempat makan kami, sebelum duduk bersama dan ngobrol bareng. Ini adalah kesempatan bagus untuk lebih kenal satu sama lain, karena kita sekarang santai dan tidak ada kegiatan lain setelah ini. Walaupun mayoritas dari kita adalah orang Swiss Jerman, semua percakapan kami malam itu menggunakan bahasa Inggris agar saya merasa lebih nyaman. Benar-benar luar biasa rasa toleransinya orang Swiss.
Heinz memulai percakapan dengan menceritakan kisahnya sebagai mekanik di Swiss. Sebagai tukang reparasi mobil, dia sering mencoba mengemudikan banyak mobil. Dia mengenang pengalamannya mengemudikan beberapa mobil sports. Dia tahu kalau saya juga suka mobil sports, jadi dia menceritakan pengalamannya mengemudikan salah satu mobil Ferrari yang terkenal. Dia bilang walaupun mobilnya punya akselerasi dan kecepatan maksimum yang super kencang, interior mobilnya tidak seberapa nyaman karena berisik sekali.


Dia juga mengenang pengalamannya sewaktu menjalankan wajib militer di negerinya. Ikut wajib militer itu benar-benar seberat dan sekeras yang dibayangkan semua orang, dan akan jadi lebih berat kalau musim dingin tiba. Dia bilang, orang yang paling nggak disukai di barak seringkali dipelonco, terkadang pakai kantung tidurnya dijejali salju!
Heinz juga menceritakan pengalamannya menerbangan gantole. Dia suka melakukannya kalau waktu senggang, karena dia bisa melepas stress sambil menikmati pemandangan indah di sekitaran Swiss. Selain di Swiss, dia juga suka menerbangkan gantole di Austria, Jerman, dan Italia.
Suatu hari dia pernah terjebak masalah sewaktu suhu panas membuatnya kesulitan mendaratkan gantolenya dan menyebabkan dia terbang terlalu lama, sampai-sampai bekalnya hampir kehabisan! Atau pada penerbangan lainnya, dia tiba-tiba terjebak cuaca buruk dan harus mendarat darurat di kandang ternaknya orang.


Denise sepertinya terkagum-kagum dengan ceritanya Heinz, sampai-sampai saya menduga dia kesengsem dengan dia. Padahal Heinz sudah bolak-balik berkata kalau dia sudah punya hubungan serius dengan pacarnya di Swiss. Entah kenapa tiba-tiba saya merasa kaya Heinz jadi sainganku dalam menarik perhatian Denise. Walaupun kalau mau jujur, susah buat saya buat menang karena Heinz jelas punya banyak kelebihan. Memang dia sudah punya pacar, tapi di masyarakat liberal kaya di Swiss, apapun bisa terjadi.
Baik, sekarang giliran saya untuk bercerita. Walaupun saya adalah yang termuda, dan jelas paling sedikit pengalamannya, berhubung saya berasal dari latar belakang negara dan budaya yang berbeda jauh dengan mereka maka cerita saya jadi terdengar sangat menarik buat mereka.
Mereka bertanya tentang latar belakang saya, mengenai keluarga, rumah, dan bahkan agama. Agama sepertinya jadi hal yang menarik, apalagi mengenai aturan makan yang ketat dan terkadang mereka melihat saya Sholat. Waktu itu Islamophobia yang diakibatkan aksi terorisme Al-Qaeda di Amerika dan Eropa belum ada, dan karena mereka berpikiran liberal, mereka ingin tahu tentang agama Islam dari penuturan saya. Saya jelaskan segala hal tentang agama Islam dari sudut pandang saya, tentang bagaimana kita berdoa, konsep Ke Tuhanan , pandangan kita tentang Nasrani, aturan makanan Halal, dan banyak hal. Mereka sepertinya cukup kagum dengan penjelasan saya, sampai-sampai Heinz berseloroh ke Denise “mungkin kamu suatu hari nanti masuk Islam” yang disambut oleh ketawa oleh kita semua.


Sebuah masjid di Olten, Swiss. Waktu itu saya tidak tahu kalau agama Islam banyak penentangnya di negeri ini.

Saya juga menceritakan tentang negara saya, yang membuat rasa nasionalisme dan kebanggaan akan negeri saya membubung tinggi. Seperti halnya orang Eropa pada umumnya waktu itu, pengetahuan mereka tentang Indonesia cuma sebatas Bali. Oleh karena itu saya menjelaskan lebih banyak lagi, khususnya tentang latar belakang saya yang orang Jawa. Saya ceritakan bagaimana budaya dan adat kita, pemandang sawah, serta pegunungan berapi, yang membuat Denise dan Maria tertarik. Mereka tidak pernah lihat pemandangan seperti itu sebelumnya. Saya berjanji ke mereka bahwa kalau mereka datang ke Indonesia, saya akan mengajak mereka keliling melihat pemandangan-pemandangan indahnya (hingga sekarang, saya tidak pernah dengar mereka berencana datang ke Indonesia).


Pemandangan sawah terasering yang jamak dijumpai di Indonesia.

Sekarang giliran Denise untuk berbicara. Dia menceritakan banyak tentang latar belakangnya, umumnya tentang kisahnya besar di desa Montlingen, dekat St. Gallen di timur Swiss. Seperti halnya Heinz, dia juga suka kegiatan outdoor. Kegiatan favoritnya adalah main ski. Setiap musim dingin, dia sering menyebrang perbatasan ke Austria untuk main ski dan selancar salju. Dia juga menceritakan satu pengalaman menakutkan sewaktu dia terjebak badai salju saat main selancar salju.


Denise tampak sedang latihan ski di tahun 2012 atau 2014 silam.

Maria tidak banyak bicara malam itu, sejauh yang saya ingat. Kombinasi bahasa Inggrisnya yang jelek serta tidak percaya diri berarti dia nggak ikut nimbrung ngobrol malam itu.
Malam sudah larut dan saatnya buat kita untuk tidur. Lampu dimatikan dan kitapun langsung menuju ke tempat tidur masing-masing. Saya tiduran mengenakan pakaian yang sama dengan yang saya pakai waktu makan malam tadi. Walaupun jaketnya cukup hangat, tapi bahan jeans di celana seperti jadi konduktor hawa dingin. Selimutnya juga tidak banyak membantu.
Saya penasaran melihat ke Heinz, dan saya terkejut karena ternyata dia tidur telanjang bulat di kantong tidurnya! Walaupun cuacanya malam itu dingin membeku, dia sepertinya nyaman-nyaman saja. Mungkin dia rasa suhunya masih oke buat dia.
Terus saya iseng lihat ke tempat tidurnya cewek-cewek. Walaupun ada korden yang menutup tempat mereka, karena terbuat dari panel-panel yang terpisah, saya bisa samar-samar melihat mereka bersiap untuk tidur. Saya kaget, ternyata Denise tidur telanjang bulat juga! Sebelum dia rebah ke tempat tidur, saya sempat sekilas melihat dia mencopoti semua bajunya. Walaupun lampunya dimatikan, saya bisa samar-samar lihat kalau tubuhnya langsing dan payudaranya lumayan berisi!
Untungnya saya masih bisa menahan nafsu dan tidak ada kejadian apapun malam itu sehingga semuanya bisa tidur dengan tenang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar