Selasa, 07 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 12)


Setelah menemani saya sejak datang dari Indonesia, kini saatnya bapak dan kakak saya kembali ke Indonesia. Saya berpisah dengan mereka di depan hotel Pacific Motel sebelum mereka pulang kembali ke Indonesia naik penerbangan Garuda hari Selasa pagi dari Perth ke Denpasar. Saya tidak ikut menemani mereka ke airport karena kelas pertama saya dimulai hari ini.
Biasanya waktu kecil kalau saya ditinggal sendirian oleh orang tua di sekolahan, saya suka cengeng. Tapi entah kenapa kok hari itu saya merasa tenang-tenang saja. Mungkin karena saya tahu saya akan bersama dengan orang-orang yang membuat hari saya menyenangkan.
Begitu mereka pergi, saya langsung menuju ke kampus dimana hasil ujian kemarin diumumkan. Para mahasiswa baru diminta untuk berkumpul di kelas yang sama dengan tempat ujian kemarin. Di kelas, guru yang sama juga mengumumkan hasil ujian kemarin. Beliau mengumumkan nama-nama semua mahasiswa beserta kelas yang akan mereka masuki.


Foto close up bangunan kelas di kampus. Lantai dasar untuk toilet dan beberapa kantor administrasi. Lantai kedua untuk program Foundation, sementara kelas saya di lantai teratas.

Sewaktu giliran saya tiba, beliau mengumumkan kalau saya masuk kelas intermediate atas. Di kelas ini saya ditemani oleh Sung Ho, Nami* dan Namu* serta beberapa anak yang saya benar-benar tidak ingat namanya. Sementara Ake dari Thailand masuk ke kelas intermediate bawah. Ada satu anak yang harus masuk kelas dasar, tapi nggak satupun yang langsung masuk kelas atas. Selesai pengumuman, kami langsung menuju ke kelas kami masing-masing. 
Begitu masuk ke kelas saya yang berada di bagian teratas gedung kampus, saya disambut oleh guru bernama Ursula Mahoney. Beliau adalah salah satu pengajar senior disini, dengan pengalaman mengajar bahasa Inggris dan traveling. Beliau berbicara dengan aksen tidak lazim yang kedengaran beda dengan aksen Inggris atau bahkan Australia. Belakangan saya tahu kalau beliau aslinya orang Jerman dan baru pindah ke Australia saat menikahi suaminya yang berasal dari Adelaide. Nama asli beliau adalah Ursula Meckert, dan menjadi yang sekarang setelah menikah.
Walaupun hari itu adalah hari pertama saya di kelas, sebenarnya ada beberapa pelajar lain yang sudah bergabung duluan sejak beberapa bulan sebelum saya datang. Semuanya anak Jepang dan Korea Selatan. Mereka mengambil kursus bahasa Inggris dengan berbagai macam tujuan, dan tidak semuanya untuk meneruskan kuliah di Australia. Ada yang dikirim kantor mereka untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya, ada yang untuk mengisi liburan panjang mereka, ada juga yang buat persiapan kerja di Australia, dan bahkan ada juga yang mengambil kursus ini untuk berimigrasi ke Australia.
Program perkuliahan disini aslinya punya jadwal semester yang tetap, tapi bukan bukan berarti mahasiswa harus mengikutinya dari awal hingga akhir. Mereka bisa gabung pas pertengahan, dan/atau lulus sebelum semester berakhir, namun tetap bisa mendapatkan sertifikat resmi.
Walaupun suasana kelasnya persis dengan di kursus bahasa Inggris di ILP Surabaya, saya menemui bahwa sebenarnya yang disini lebih mudah. Untuk lulus tingkatan cukup mudah. Beberapa materi kuliah sangat mirip dengan yang saya pelajari di ILP dulu. Bahkan, selama masa kuliah saya disini, saya tidak pernah mempelajari materi kuliah kalau dirumah. Saya tinggal santai-santai saja, tapi ya tetap bisa lulus ujian. Saya benar-benar jadi manja, dan masih tetap bisa mengikuti mata kuliah. Ini bukan karena saya sudah menguasai materi, tapi karena mereka mudah dipelajari.


Tapi satu perbedaan mencolok antara kursus di ILP Surabaya dengan yang disini adalah: saya berada di lingkungan masyarakat yang bahasa utamanya Inggris, dan persis di kampung halamannya para guru-gurunya. Saya benar-benar di negara MEREKA, bukan negeri saya. Berarti, tidak seperti di Surabaya dimana pulang dari kursus saya ngobrol dengan bahasa saya, disini saya harus berbicara pakai bahasa Inggris dimanapun. Baik di kelas, di lingkungan kampus, di masyarakat, dan bahkan di rumah!
Bagi saya ini adalah kesempatan bagus untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya. Saya mendapatkan pengalaman langsung mempraktekan bahasa Inggris setiap harinya. Hal ini juga dibantu dengan fakta bahwa di hari-hari pertama saya kuliah saya sama sekali tidak ketemu mahasiswa Indonesia. Bahkan saya tidak tertarik untuk mencari, karena saya bersemangat untuk meninggalkan zona nyaman saya dan belajar dunia yang baru.
Dan ternyata salah satu cara ampuh untuk cepat fasih bahasa Inggris adalah berusaha mengungkapkan perasaan dalam bahasa Inggris.  Saat kita emosi, kita jadi lebih bersemangat untuk buka-buka kamus untuk mencari istilah yang pas buat mengungkapkan perasaan kita. Apalagi kalau saya butuh bantuan, otomatis yang pertama-tama saya temui ya orang-orang Australia juga. Untungnya mereka umumnya sangat bersahabat dan membantu. Selain itu mereka juga tidak akan mentertawakan kita kalau bahasa Inggris kita belepotan. Otomatis saya jadi makin percaya diri untuk mempraktekan bahasa Inggris saya.


Dulu saya sering buka 2 kamus: Kamus Oxford dan kamus bahasa Inggris-Indonesia/Indonesia-Inggris. Sekarang mungkin cuma tinggal buka Google Translator ya?

Makan siang juga merupakan kesempatan yang bagus, tidak hanya untuk mengenali menu, tapi juga untuk bersosialisasi dengan kawan-kawan sekelas lebih mendalam.
Di masa-masa pertama kuliah, saya kalau makan siang di kantin biasanya semeja dengan Sung Ho Park, Petchmanee Ake, dan anak-anak Jepang. Kami biasanya berkomunikasi satu sama lain pakai bahasa Inggris yang masih model pemula. Kami sering bertukar cerita satu sama lain. Dan saya sadar kalau ternyata tak satupun dari mereka berniat untuk meneruskan kuliah di Australia usai program disini. Ake adalah pegawai biro iklan yang datang kesini untuk memperlancar bahasa Inggrisnya, Sung Ho adalah mahasiswa di sebuah universitas di Korea yang tengah mengambil cuti kuliah, dan anak-anak Jepang kursus disini untuk mengisi libur panjang mereka.
Selain dengan mereka, saat makan siang saya juga sering ngobrol akrab dengan pegawai kantin yang perempuan keturunan Jepang bernama Keiko*. Keiko* sudah lama sekali tinggal di Australia. Dia aslinya orang Jepang, tapi sudah tinggal lama sekali di Australia. Saking lamanya bahasa Inggrisnya tidak hanya bagus, tapi juga menggunakan logat Australia yang lumayan kental.
Di kantin kampus kalau saat makan siang banyak menu yang disajikan disini. Saya sering melihat di counter ada nasi goreng, lauk pauk makanan Asia dan Eropa. Ada kue-kue seperti Meat Pie, brownies, dan lain-lain. Beberapa staff tahu kalau saya Muslim dan mereka sering memberi tahu menu mana saja yang mengandung babi.
Menu minumannya juga bervariasi, dan saya juga menemui banyak minuman yang belum pernah saya jumpai sebelumnya di Indonesia. Biasanya saya suka beli susu cair di kulkas. Tapi tidak seperti di Indonesia yang rasanya cuma itu-itu saja, disini ada beberapa rasa yang belum pernah saya jumpai sebelumnya seperti Dark Chocolate, French Vanilla, Mint, Cappuccino, Hazelnut, dan lain-lain. Mereka juga menjual minuman seperti just buah dan air mineral. 


Contoh rasa susu yang tidak ada di Indonesia.


Tapi kalau mau minum air putih, disini kita bisa minum langsung dari keran! Bahkan di beberapa pojok kampus ada banyak keran air minum yang disediakan. Di Australia air keran itu umumnya bisa diminum, sementara di Indonesia nggak bakalan bisa begini tanpa resiko kena sakit perut.
Setiap Jumat, jadwal kelasnya lebih santai. Waktu perkuliahan di kelas cenderung lebih pendek. Dan biasanya sekitar jam 10, guru di kelas akan mengajak kita untuk ngopi di The Queens Pub yang berlokasi di sebelah kampus. Pub ini adalah tempat ngumpul yang terkenal di sekitaran sini. Mereka menjual banyak minuman dan makanan seperti beer, minuman, keras, kopi, susu, dan makanan berat maupun ringat. Favorit saya biasanya Iced Chocolate, minuman yang terbuat dari coklat ditambah gula dan es, terus diatasnya dikasih topping whipped cream atau bahkan es krim. Enak banget!
Acara nongrkong disini bukan sekedar cuma minum, tapi juga biar kita lebih akrab dengan guru dan kawan sekelas.


The Queens Pub yang lokasinya persis di sebelah kampus. Ini tempat nongkrong favorit para mahasiswa kalau hari Jumat.

Biasanya habis makan siang, akan ada kelas “elective” dimana pelajar bisa memilih macam-macam kelas dengan mata pelajaran beda-beda. Biasanya yang dipelajari adalah tentang budaya atau bahasa lain. Kelas ini tidak wajib. Dan sejujurnya saya tak pernah ikut karena biasanya saya pulang awal agar bisa Sholat Jumat di masjid di Perth.
Kurang lebih beginilah aktivitas kampus saya.



Pemandangan halaman kampus St. Mark's International College di bulan Agustus 1997. Foto ini jelas diambil di sore hari setelah jam pelajaran selesai karena hanya ada segelintir anak yang masih berada di kampus. Seingat saya, foto ini saya ambil setelah selesai nongkrong di kantin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar