Selasa, 21 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 30)

Hari terakhir saya di Australia akhirnya tiba. Setelah berbulan-bulan saya bersenang-senang di Perth, saatnya mengucapkan selamat tinggal ke tempat yang indah ini.
Saya bangun pagi di tanggal 9 Desember 1997, dengan perasaan berat. Saya merasa tidak mau berpisah dan berharap andai bisa tinggal lebih lama lagi. Tapi masalahnya, semua yang membuat hari-hari saya indah di Australia sudah nggak ada. Jadi mau tidak mau saya harus pulang. Lagipula visa pelajar saya akan habis di akhir tahun ini.
Setelah bangun, saya sarapan dan kemudian mandi. Sewaktu bersiap-siap, saya ketemu Feroza lagi. Dia sudah pulih, tapi expresi wajahnya loyo sekali. Saya bertanya bagaimana keadaannya sekarang dan apa dia sudah agak baikan. Biasanya dia selalu menjawab pertanyaan dengan nyaring dan ceria, tapi kali ini dia menjawab “Ya” dengan nada pelan dan lemas. Jalannya juga agak terhuyung-huyung. Anehnya, Siraj juga sudah pulang dan berlaku seperti tidak ada kejadian apa-apa tadi malam. Karena kejadian semalam cukup sensitif, saya memilih untuk tidak membahasnya dengan dia.
Begitu saya sudah berpakaian dan siap jalan, orang tua saya datang menjemput saya. Mereka disambut oleh Siraj dan anak-anak. Wahyu* dan Shahjehan juga menyambut mereka, sementara Feroza tidak seperti biasanya kelihatan malu-malu. Orang tua saya, sewaktu melihat kondisi Feroza yang agak sakit-sakitan bertanya apa dia baik-baik saja. Feroza menjawab kalau dia baik-baik saja. Tetap saja orang tua saya tidak yakin karena penampilannya kontras sekali dengan sewaktu bertemu dengan orang tua saya sebelum-sebelumnya.
Setelah mengunggah semua barang saya ke taxi, saya bersalaman dengan semuanya. Siraj dan Shahjehan memeluk saya dan berkata kalau mereka akan kehilangan saya. Siraj juga bilang kalau saya adalah anak paling baik yang pernah tinggal di rumahnya. Feroza, masih terguncang oleh kejadian semalam, mengucapkan selamat jalan dengan pandangan kosong. Kalau saja dia dalam kondisi sehat, mungkin dia akan mengucapkannya dengan lebih hangat. Wahyu* juga mengucapkan selamat jalan. “Wah sekarang saya jadi anak tunggalnya Siraj dong” kata dia sambil nyengir.
Sayapun naik ke taxi dengan perasaan berat. Sekarang saya meninggalkan kota yang pernah saya anggap sebagai “rumah di perantauan”. Perth adalah tempat yang sangat sepi tapi damai dan menyenangkan buat saya. Saya sudah mengalami momen-momen membahagiakan disini, dan saya merasa tidak mau berpisah dengannya. Saya sudah bertemu dengan orang-orang paling menyenangkan, merasakan saat-saat paling membahagiakan, dan belajar hal-hal baru dengan cara menyenangkan di Perth. Susah buat saya secara emosional untuk meninggalkan ini semua.



Kota Perth di tahun 1997 silam, dilihat dari King's Park.

Kami berkendara melewati jalanan Perth yang sepi di pagi hari. Walaupun hari itu adalah hari kerja, lalu lintas komuter pekerja dan pelajar yang berangkat tidak banyak kelihatan, paling tidak seingat saya begitu. Mungkin karena waktu itu kita melewati daerah-daerah yang tidak banyak sekolah atau perkantoran, jadi tidak kita tidak melihat banyak lalu lintas.
Begitu taxi kita memasuki jalan Horrie Miller Drive, yang merupakan jalan utama menuju bandara, saya merasa tegang tapi juga seperti senang.



Jalan Horrie Miller Drive yang dulu merupakan jalan akses utama ke terminal internasional bandar udara Perth.

Kita sudah dekat bandara Perth, dan jelas waktu saya di Perth dan Australia tinggal menghitung jam-jam terakhirnya. Begitu kita sampai di terminal bandara, bapak saya membayar taxi dan kita turun serta menurunkan barang kita. Saya mengambil trolley dan menaruh semua barang bawaan kita sebelum masuk ke kounter chek in.


Deretan trolley di depan terminal bandara Perth. Saya tidak ingat dulu trolleynya gratis atau berbayar.

Kami memasukkan semua barang bagasi kita dan memilih kursi masing-masing. Begitu mendapatkan boarding pass, kami langsung menuju ke ruang tunggu keberangkatan. Bandara Perth adalah bandara kecil dengan sedikit yang bisa dilihat, jadi maklum kalau kita langsung menuju ke ruang tunggu keberangkatan. Pemeriksaan passport berjalan lancar semua, dan tidak lama kemudian kita sudah duduk di ruang tunggu keberangkatan.



Ruang tunggu keberangkatan internasional di terminal bandara Perth di tahun 1998. Di tahun 1997 modelnya masih persis seperti ini.

Ini pertama dan satu-satunya saya ke airport Perth saat hari terang benderang. Di kunjungan-kunjungan sebelumnya (saat datang, dan juga menjemput orang tua), saya biasanya datang saat hari sudah gelap. Jadi untuk pertama kalinya saya bisa melihat airport dengan jelas.
Di landasan ada banyak pesawat terbang yang diparkir. Mayoritas punya Qantas dan Ansett. Tapi ada satu pesawat Boeing 747-200 milik Garuda Indonesia.



Pesawat Boeing 747-200 Garuda Indonesia di bandar udara Zurich.

Kalau saja saya memilih terbang dengan Garuda, saya mungkin bakal naik pesawat ini. Tapi karena waktu itu saya penasaran pingin merasakan naik maskapai penerbangannya Australia, saya nggak keberatan. Bahkan waktu itu saya memandang rendah pesawatnya Garuda karena kelihatan tua, kusam, dan agak berkarat. Apalagi karena waktu itu jadwalnya Garuda hanya beberapa menit setelah Qantas, saya mendengar pengumuman kalau jadwalnya ditunda karena masalah teknis. Saya bisa melihat ekspresi muka para penumpang Garuda yang jelas kecewa.
Walaupun belakangan saya juga menyesali keputusan untuk tidak terbang dengan Garuda hari itu. Seandainya waktu waktu itu saya memilih naik Garuda, mungkin itu bakal jadi penerbangan pertama dan satu-satunya naik pesawat Boeing 747 Garuda. Sesuatu yang sudah saya idam-idamkan sejak kecil, tapi tak pernah terealisasi sama sekali!
Untuk pertama kalinya, saya bisa melihat landasan bandara Perth di siang hari. Dan sekarang saya mendapat jawaban jelas dari keheranan saya waktu pertama mendarat di Perth beberapa bulan lalu. Waktu itu saya bingung melihat ada pohon di sebelah landasan pacu. Rupanya ada banyak tanaman tinggi di sebelah landasan. Ini memberikan pemandangan yang unik buat yang pertama mendarat disini. Saya tidak pernah melihat pemandangan serupa di Indonesia, karena tanaman di sekitaran landasan tidak boleh lebih tinggi dari ½ meter. 



Pemandangan landasan parkir bandara Perth, lengkap dengan pesawat Boeing 777-200ER milik Singapore Airlines di latar depan. Semak-semak dan pepohonan tinggi tampak di latar belakang, sementara terminal domestik tampak di kejauhan.

Di seberang landasan pacu, rupanya ada terminal bandara lagi. Landasan parkirnya didominasi airline seperti Qantas, Ansett, serta maskapai-maskapai lokalan. Terminal tersebut adalah bangunan terminal pertama bandara Perth. Dulu semua penerbangan (termasuk internasional) datang dan berangkat dari sana. Tapi semenjak pembukaan terminal baru, terminal lama dipakai untuk penerbangan domestik saja. Yang membuat saya awalnya heran adalah kedua terminal ini dipisah landasan pacu. Ini pertama kalinya saya melihat bandara yang kedua terminalnya dipisah landasan pacu. Transfer dari satu terminal ke terminal lain mungkin bakal repot karena jaraknya jauh dan jadwal bis transfer jarang-jarang.
Tapi yang luar biasa dari semuanya adalah pemandangan gedung-gedung pencakar langit di pusat kota Perth yang tidak hanya kelihatan jelas, tapi seperti dekat. Padahal jarak dari bandara ke pusat kota lumayan jauh. Mungkin karena efek visual akibat tidak adanya bangunan diantara kedua tempat, pusat kota bisa kelihatan dekat dengan bandara. Pemandangan ini membuat daerah bandara kelihatan urban, padahal daerah sekelilingnya adalah daerah pedesaan.



Gedung-gedung pencakar langit di tengah kota Perth tampak dengan jelas dari bandara.

Dan terakhir, akhirnya saya melihat pesawat yang akan membawa saya pulang kembali ke Indonesia sudah siap di gate keberangkatan. Pesawat itu adalah Boeing 767-300 milik Qantas. Badan pesawat berwarna putih dengan ekor merah dan tulisan “QANTAS” di bagian atas.



Pesawat Boeing 767-300 Qantas yang akan membawa saya kembali ke Indonesia.

Dibanding dengan pesawat Boeing 747 Garuda tadi, pesawat ini lebih bersih, segar, dan berkilau di pagi hari.
Saya sudah sering melihat pesawat Qantas kalau mereka singgah di bandara internasional besar di Indonesia, seperti Jakarta atau Bali. Setiap melihat mereka, saya membayangkan kapan bisa naik. Hari ini impian saya itu jadi kenyataan.
Setelah beberapa menit menunggu, panggilan untuk naik pesawat diumumkan. Para penumpang mengantri di gate untuk masuk ke pesawat. Saya merasa senang sekali! Begitu boarding pass kami diperiksa kami lalu berjalan turun melalui garbarata untuk masuk ke pesawat. Saya bisa merasakan adrenaline dan rasa bahagia yang membara. Saya benar-benar senang sekali pagi itu.
Begitu kita masuk pesawat, para penumpang disambut oleh awak kabin yang berseragam ala orang kantoran. Mereka memakai jas biru tua dan baju hem putih, dikombinasikan dengan dasi kemerahan. Ini pertama kalinya saya naik pesawat yang awak kabinnya orang bule. Dan kontras dengan awak kabin Indonesia, mereka lebih ekspresif dan berbicara dengan nada agak tinggi. Ini bukan karena mereka kasar, tapi karena memang itu budaya mereka.



Contoh seragam awak kabin Qantas di tahun 1997.

Saya juga perhatikan satu fitur aneh di pesawat ini. Walaupun ukurannya mirip Airbus A300, pesawat ini tidak punya pintu masuk deret tengah. Beberapa operator Boeing 767-300 ada yang memilih 3 deret pintu masuk, tapi Qantas hanya memilih 2 (depan dan belakang). Berarti semua penumpang masuk (dan keluar) pesawat lewat pintu depan. Saya tidak tahu kenapa begini tapi ini membuat pergerakan penumpang agak repot. Saya duduk di jendela sebelah kanan, melihat bagian belakang sayap. Saya duduk di sebelah ibu saya. Karena kelas ekonomi Boeing 767 punya konfigurasi kursi 2-3-2, bapak saya duduk di deretan tengah.
Sewaktu proses boarding, saya perhatikan ada satu bapak-bapak orang Australia yang bisa bahasa Indonesia, dan terus mengomel-ngomel dalam bahasa Indonesia ke istrinya yang orang Indonesia. Selama di Australia, saya tidak pernah sekalipun ketemu orang bule Australia yang bisa bahasa asli saya. Jadi melihat orang Australia fasih bahasa Indonesia adalah pemandangan unik.
Sementara menunggu pesawat berangkat, saya melihat segala aktivitas diluar jendela. Para petugas pengatur bagasi sibuk memuat barang penumpang. Di sebelah pesawat saya ada pesawat Boeing 747 milik Garuda tadi. Dari kursi saya, saya bisa melihat beberapa mekanik berusaha memperbaiki pesawat itu sebelum dia bisa terbang. Hingga saat pesawat saya siap berangkat, sepertinya pekerjaan mekanik itu jauh dari selesai.
Begitu semua penumpang duduk, dan semua bagasi selesai diunggah ke dalam pesawat, akhirnya pesawat kami siap berangkat. Kapten pilot mengumumkan melalui pengeras suara agar pintu pesawat ditutup, dan setelah itu pesawat didorong ke belakang menuju taxiway. Begitu ijin diberikan, pesawat saya perlahan-lahan bergerak menuju landasan pacu. Sementara pesawat berjalan menuju landasan pacu, para awak kabin melaksanakan peragaan keselamatan penerbangan. Sejujurnya saya lebih tertarik melihat keluar karena saya ingin melihat pemandangan menit-menit terakhir saya di Australia.
Pesawat kami bergerak perlahan menuju ke landasan pacu sebelum berhenti di titik penungguan di utara airport. Begitu clearance diberikan, pilot membuka gas lebar-lebar, dan pesawat kita melaju dengan kecepatan tinggi di landasan pacu. Beberapa detik kemudian, pesawat mengangkasa dengan mulus dan kita sudah lepas landas! Selamat tinggal Australia! Sampai jumpa lagi! Semoga bisa kembali lagi untuk melanjutkan studi seperti rencana saya.
(Catatan: video dibawah ini bukan punya saya, dan saya taruh untuk ilustrasi. Pesawat di video berangkat dari arah yang berlawanan dengan saya, tapi type dan airportnya sama).


Daratan dibawah makin lama tampak makin jauh setelah pesawat makin tinggi mengangkasa. Dari jendela pesawat saya bisa melihat bahwa biarpun tadi sepanjang perjalanan ke bandara suasana daerahnya seperti pedesaan, ternyata bandara Perth dikelilingi kompleks industry dan pelataran kereta api barang. Dan dari atas saya juga bisa memastikan kalau pusat kota benar-benar jauh dari bandara. Cukup aneh juga bisa kelihatan dekat kalau dilihat dari terminal bandara.
Tak lama kemudian pesawat berputar ke kanan menuju arah utara. Dari jendela pesawat saya bisa melihat seluruh daerah metropolitan Perth. Saya bisa melihat secara keseluruhan kota yang pernah jadi rumah saya selama hampir 6 bulan terakhir, dari udara. Perlahan-lahan kota ini hilang dari pandangan begitu pesawat bergerak makin ke utara. Begitu Perth hilang dari pandangan, pemandangan di bawah digantikan oleh tanah gersang yang cukup luas dengan hamparan tanah berwarna kemerahan.
Terbang di siang hari bisa memberikan kita kesempatan melihat seperti apa benua Australia itu. Walaupun pemandangan di kota Perth dan daerah sekelilingnya tampak kehijauan, daerah di utaranya tampak kering dan gersang. Sepanjang mata memandang, langitnya cerah dan nyaris tanpa awan sama sekali! Tidak heran musim panas di Australia bisa menggigit panasnya.



Pemandangan di luar jendela saya. Bisa dilihat betapa gersangnya daratan di bagian barat daya Australia.

Begitu lampu mengencangkan sabuk pengaman dimatikan, para awak kabin mulai berkeliling untuk membagikan cemilan kacang ke penumpang. Kontras dengan cerita ibu saya tentang awak kabin yang melawak di penerbangan sebelumnya, kali ini mereka tampak lebih serius dan langsung menjalankan tugas mereka. Saya tidak melihat ada hal yang istimewa dari mereka.
Selama penerbangan, mereka memutar film “Conspiracy Theory” yang diperankan Mel Gibson di layar di depan kabin.


Semua penumpang sudah mendapatkan earphone yang ditaruh di bungkusan di kursi depan, jadi kami menonton film sambil menikmati penerbangan. Saya sebenarnya tidak suka filmnya karena tidak ngefans dengan jalan ceritanya. Yang saya ingat, film ini punya sound effect yang lumayan berisik sampai-sampai saya terkejut! Tapi saya tidak punya pilihan lain karena Walkman saya sudah saya taruh di tas di bagasi pesawat.
Makanan disajikan di tengah penerbangan saat penumpang menikmati film. Ada 2 menu makanan yang ditawarkan. Yang satu Asia, sementara yang lainnya barat. Saya memilih makanan barat dengan menu Lasagna. Makanannya rasanya enak dan cocok buat menemani menonton film dan melihat pemandangan. Walaupun saat filmnya tambah seru, saya sempat hampir tersedak makanan. Begitu makanan habis, para awak kabin mengambil kembali semua tray makanan dan kami melipat kembali meja makannya.
Saya kemudian rebahan dan duduk santai. Terkadang saya melepas earphone sambil menikmati pemandangan di luar. Pemandangannya masih didominasi benua Australia yang kering kerontang dengan tanah berwarna kemerahan. Sepanjang penerbangan saya tidak melihat awan sama sekali. Nggak ada satupun sepanjang mata melihat. Jadi melihat pemandangan tanah yang merah dengan langit yang biru benar-benar spektakuler. Sayang saya tidak memotret pemandangan ini.
Setelah berjam-jam terbang diatas Australia, pesawat kita akhirnya meninggalkan wilayah Australia. Saya melihat pantai utara Australia perlahan-lahan menghilang di kejauhan. Sekarang saatnya mengucapkan selamat jalan karena saya sekarang sudah tidak di Australia. Pesawat kita terbang makin jauh ke utara menuju kepulauan tropis Indonesia.
Filmnya akhirnya selesai, dan kebetulan pesawat kita juga hampir sampai tujuan. Setelah film utama selesai, awak kabin memutar film tentang Indonesia yang dibuat oleh rumah produksi Australia. Walaupun sekilas mirip film dokumentasi yang dibuat di Indonesia, sentuhan Australianya kelihatan mencolok sekali.
Film documenter ini menampilkan banyak atraksi wisata di Indonesia, walaupun mayoritas Bali (ya jelaslah karena kita kesana dan Bali adalah tujuan wisata nomor 1). Tapi yang membuatnya berbeda adalah pilihan lagu latarnya (yang mengkombinasikan instrument tradisional Indonesia dan lagu disco barat) dan semua orang Indonesia yang di film itu bisa bicara bahasa Inggris dengan aksen yang sempurna!
(Video dibawah ini contoh video yang biasanya diputar di pesawat Qantas tujuan bali, tapi di tahun-tahun barusan).


Selama saya tinggal di Australia, semua orang Indonesia yang saya kenal kalau bicara bahasa Inggris selalu ada aksen khas yang membedakannya dengan native speaker, tidak peduli semahir apapun mereka menguasai bahasa Inggris. Jadi begitu melihat orang-orang Indonesia, apalagi dari golongan rakyat biasa, bisa bicara bahasa Inggris secara lancar tanpa aksen aneh jelas sangat-sangat mengejutkan!
Pesawat kami perlahan-lahan turun untuk persiapan mendarat. Lampu kenakan sabuk pengaman dan dilarang merokok kemudian dinyalakan. Semua penumpang dan awak kabin harus duduk. Begitu kita mendekati Indonesia, cuacanya berubah drastic. Sementara di Australia langitnya bersih dan cerah, di Indonesia cuacanya mendung pekat dengan sedikit badai. Bahkan saya tidak bisa melihat daratan sama sekali!
Begitu pesawat makin rendah, kita memasuki lapisan awan tebal yang menyebabkan pesawatnya berguncang-guncang. Saya jadi agak ketakutan. Tapi tak lama kemudian kita keluar dari awan dan pulau-pulau menghijau khas Indonesia akhirnya tampak di bawah. Selamat datang di Indonesia!
Rupanya pesawat kita datang dari arah timur bandara, dan akan mendarat menghadap ke barat. Pesawat lalu berbelok ke kiri, dan roda pendarat serta flap dikeluarkan. Saat pesawat makin rendah, pulau-pulau kehijauan dibawah tampak makin dekat. Kalau seandainya cuacanya cerah, kita bisa melihat gunung Agung juga. Pesawat terbang rendah diatas pelabuhan Benoa, kemudian jalan bypass Ngurah Rai, lalu beberapa detik kemudian roda pesawat menyentuh landasan pacu dan kitapun mendarat di Bali. Saya akhirnya kembali ke Indonesia!


(Catatan: walaupun penerbangan di video itu bukan Qantas, tapi pesawat itu mendarat melalui jalur yang sama dengan penerbangan saya. Bahkan cuacanya mirip!)
Saya tiba-tiba merasakan gelora semangat di diri saya. Bukan karena kita akan liburan, tapi karena sebentar lagi saya akan bertemu keluarga dan kawan. Pastinya menyenangkan bisa ketemu keluarga lagi setelah berbulan-bulan tinggal di luar negeri. Dan saya tidak hanya membawa oleh-oleh, tapi juga cerita-cerita menarik juga.
Setelah pesawat melambat, pilot mengarahkan pesawat menuju ke landasan parkir bandara. Seingat saya, para penumpang langsung berdiri dan mengambili barang-barang mereka dari lemari penyimpanan diatas saat pesawat masih berjalan menuju tempat parkir (sekarang ini dilarang dan penumpang harus duduk sampai pesawat berhenti di tempat parkirnya).
Begitu pesawat kami sampai di tempat parkirnya, awak kabin membuka pintu pesawat agar penumpang bisa keluar dari pesawat. Karena kita tidak tergesa-gesa, kami menunggu sampai mayoritas penumpang keluar sebelum kami ikut keluar pesawat. Para pramugari dan pramugara, yang menunggu di dekat pintu mengucapkan selamat jalan ke kita.
Saat diluar pesawat, saya tiba-tiba disambut oleh hawa panas dan lembab ala negara tropis. Karena sudah lama tinggal di tempat beriklim suptropis, badan saya “lupa” bagaimana rasanya di tempat tropis. Otomatis saya langsung berkeringat banyak. Padahal saya keluar dari pesawat lewat garbarata dan tidak memakai jaket.
Terminal bandara Ngurah Rai Bali masih menggunakan bangunan tahun 1960an yang dikembangkan di tahun 1980an dan 1990an (tapi masih kecil dibanding terminal bandara yang sekarang). Dibanding terminal bandara Perth, terminal ini rasanya kalah bagus dalam hal kenyamanan dan kapasitas. Antrian pemeriksaan passport agak panjang karena jumlah meja dan petugas yang ada kurang. Selesai pemeriksaan passport, kami menuju ke tempat pengambilan bagasi. Pemeriksaan pabean berjalan tanpa masalah. Dulu pemeriksaannya tidak seketat sekarang. Kalau jaman sekarang ketat sekali, bahkan barang kita juga ikut diperiksa x-ray saat keluar.



Area pengambilan bagasi di terminal bandara Ngurah Rai yang lama.

Begitu kita keluar dari terminal bandara, kami disambut oleh segerombolan pengemudi taxi yang menawarkan layanan mereka. Mereka terkadang bisa menyebalkan karena teriak-teriak di muka kita dan bahkan mengejar kalau kita menolak. Tapi berkat mantan kawan kuliah bapak saya (yang sudah saya temui sebelum berangkat di bulan Agustus lalu) ada yang menjemput kita dari bandara. Kali ini beliau datang dengan istrinya dan juga sopirnya. Mereka juga akan membawa kita keliling Bali dengan mobil ber AC yang nyaman.
Kami menungu masa transit dengan jalan-jalan di sekeliling Kuta dan Jimbaran. Saya tidak ingat tempat apa saja yang kita kunjungi. Yang saya ingat kita sempat makan siang di pantai Jimbaran, makan ikan bakar sambil menikmati pemandangan pantai serta lalu lintas penerbangan bandara Ngurah Rai di kejauhan.



Pantai Jimbaran terkenal dengan masakan ikan bakarnya.

Saat kita makan siang, teman bapak saya bertanya bagaimana kuliah di Australia. Saya bilang enak sekali dan saya menikmatinya. Dia juga bertanya tentang rencana saya setelah ini, yang saya jawab kalau saya akan kuliah. Beliaupun bercanda “wah setelah tinggal lama di Australia bahasa Inggrismu pasti bagus! Kamu jadi kaya orang Australia sekarang!”
Setelah makan siang, kita pergi ke rumahnya untuk mandi dan ganti baju, karena penerbangan ke Surabaya berangkat menjelang maghrib. Kami juga sempat bersantai dan ngobrol-ngobrol di rumahnya. Hawa lembab, walaupun tidak nyaman buat mereka yang belum pernah ke negara tropis sebelumnya, enak buat tidur siang. Saya juga sempat tiduran sebentar. Hawa tropis membuat tidur siang terasa nyenyak sekali.
Sekitar jam 5 sore, kami kembali lagi ke airport. Kali ini kita diantar ke terminal domestik. Pintu masuknya terletak di sebelah terminal internasional. Setelah kami didrop dan pamit dengan kawan bapak saya, kami masuk ke dalam untuk check in. Kali ini kita akan terbang naik pesawat Merpati Nusantara Airlines dari Denpasar ke Surabaya.
Terminal domestik bandara Ngurah Rai sesak sekali. Waktu itu bangunannya sudah tua dan ketinggalan jaman, serta masih model ala tahun 1960an atau 1970an. Bahkan dia jarang direnovasi dibanding terminal internasional. Suasananya tampak tidak menggairahkan. Para penumpangnya didominasi orang Indonesia, serta beberapa orang asing yang sudah tua. Nggak ada cewek bule cakep lagi yang kelihatan. 



Area check in terminal domestik lama bandara Ngurah Rai Bali.

Setelah check in dan memasukan barang bawaan ke bagasi, kita naik menuju ruang tunggu diatas untuk menunggu penerbangan kami. Tidak seperti penerbangan sebelumnya, kali ini saya tidak begitu bersemangat. Saya tahu saya akan bertemu kembali dengan keluarga dan kawan, tapi juga kembali ke dunia yang tidak sewarna-warni dan bervariasi seperti waktu di Perth.




Ruang tunggu keberangkatan lama yang sederhana dan membosankan di bandara Ngurah Rai Bali.


Saya mengisi waktu menunggu dengan melihat-lihat keluar jendela, melihat landasan bandara. Ruang tunggunya penuh dengan penumpang. Pesawat Boeing 767 Qantas yang membawa saya balik tadi sudah nggak ada. Ada satu Fokker 28 yang akan membawa saya pulang ke Surabaya. Dan ini ternyata penerbangan terakhir saya naik pesawat jenis ini.




Seperti halnya penerbangan ke Australia di bulan Agustus lalu, di penerbangan balik dari Bali ke Surabaya saya juga naik pesawat Fokker 28 milik Merpati.


Sementara menunggu keberangkatan, saya perhatikan bapak saya kelihatan ngobrol serius dengan seorang bule. Saya penasaran dan mendekat. Sewaktu melihat saya mendekat, bapak saya memperkenalkan saya dengan orang bule itu. Rupanya dia adalah seorang professor dari Edith Cowan University yang berpergian dengan istri dan anak-anaknya untuk bertemu kawannya di Malang dan menghadiri resepsi pernikahan disana. Berarti kita akan terbang dengan pesawat yang sama ke Surabaya. Kita sempat ngobrol lama saat menunggu keberangkatan kita.
Tidak lama kemudian pengumuman boarding diumumkan di pengeras suara bandara, dan para penumpang mulai bergerombol untuk naik ke pesawat. Karena pesawat kita tidak menggunakan garbarata, para penumpang harus berjalan di landasan menuju ke pesawat. Beberapa petugas membantu mengarahkan penumpang menuju ke pesawat.
Pesawat kami sudah menunggu di landasan. Kita akan naik pesawat Fokker-28 persis seperti waktu berangkat dulu. Karena pintu masuknya cuma satu, para penumpang harus mengantri diluar saat kelompok penumpang pertama memasukkan barang mereka ke kompartemen bagasi diatas.
Saat kita menunggu giliran naik, tiba-tiba saya mendengar suara gemuruh keras pesawat yang mendarat. Rupanya itu pesawat Boeing 747 Garuda yang tadi saya lihat di Perth! Akhirnya mereka sampai di Bali setelah delay lebih dari 4 jam! Saya tidak bisa membayangkan betapa kesal dan capeknya para penumpang penerbangan itu. Dan buat mereka yang transit ke penerbangan lain (seperti yang saya naiki sekarang), pasti bakal jadi mimpi buruk.
Beberapa menit kemudian antrian di depan berkurang dan kami akhirnya naik keatas pesawat. Diatas, kami disambut beberapa pramugari yang memeriksa tiket kita dan menunjukkan kursi kita. Banyak penumpang sudah duduk, sementara sebagian kecil masih mencari kursi mereka. Kursi kami terletak di depan pesawat. Begitu kita menaruh bagasi diatas, kamipun langsung duduk di kursi kita.
Tapi sewaktu saya duduk, kursi saya kok terasa sempit? Sandaran kursinya terasa rendah sekali sehingga kepala terekspose. Kalau itu kurang, ruang kakinya juga terasa sempit. Sangat tidak nyaman! Seingat saya waktu saya pergi dari Surabaya ke Bali beberapa bulan yang lalu, dengan type pesawat yang sama, kursinya lebih enak dari ini. Apa kursinya sudah ditambah, atau mungkin karena saya tambah gemuk?
Beberapa menit kemudian, pintu pesawat ditutup dan pesawat didorong mundur sebelum mulai berjalan menuju landasan pacu. Suasana di kabin terasa membosankan dibanding pesawat Boeing 767 Qantas tadi. Nggak ada system hiburan video atau music. Dan interiornya kelihatan tua.
Tak lama kemudian pesawat kami sampai di landasan pacu. Semua awak kabin sudah duduk dan lampu pasang sabuk pengaman dinyalakan. Pilot membuka gas lebar-lebar dan pesawat kita pun melaju di landasan pacu sampai mengangkasa. Saya dengan gugup melihat pemandangan di luar. Duduk di kursi kecil ini malah memberikan kesan kalau penerbangan ini kaya naik roller coaster daripada terbang sungguhan.


(Catatan: video diatas hanya untuk ilustrasi karena pesawatnya berangkat dengan arah yang sama dengan pesawat saya. Bahkan pemandangannya mirip).
Begitu pesawat mengangkasa, saya bisa melihat pemandangan diluar. Pesawat kita terbang tinggi diatas Samudera Hindia. Karena saya duduk di kiri, saya tidak bisa melihat pulau Bali. Tapi sebagai gantinya, saya bisa melihat matahari terbenam di kejauhan. Pemandangannya spektakuler sekali. Dan karena pesawat kita menghadap ke barat, matahari terbenamnya jadi terasa lebih lambat karena pesawat kita mengejar matahari.
Sewaktu melihat matahari terbenam, saya mengenang kembali betapa indah dan menyenangkan hari-hari saya di Perth. Walaupun awalnya saya sempat tegang, tapi begitu beradaptasi dengan kehidupan dan perkuliahan disana, semuanya terasa menyenangkan sekali. Apalagi sewaktu saya mulai punya kawan-kawan bule dari Swiss. Dan puncak dari semuanya adalah sewaktu saya jatuh cinta dengan Denise. Bahkan hingga saat terbang pulang, bayang-bayang wajahnya Denise masih terbayang di pikiranku. Andai saya bisa membawanya ke Surabaya....
Saat matahari terbenam, saya bersyukur bahwa tahun ini sudah menjadi tahun yang sangat menyenangkan dan berharap tahun-tahun berikutnya akan menjadi tahun yang lebih menyenangkan lagi.
Sekarang saatnya saya mengakhiri cerita ini, dan semoga anda semua puas dengan cerita yang anda baca selama ini.


Selamat jalan 1997! Kau sudah menjadi tahun terindah di dalam hidupku….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar