Hari terakhir saya di Australia akhirnya tiba. Setelah
berbulan-bulan saya bersenang-senang di Perth, saatnya mengucapkan selamat
tinggal ke tempat yang indah ini.
Saya bangun pagi di tanggal 9 Desember 1997, dengan perasaan berat. Saya merasa tidak mau berpisah dan berharap andai bisa tinggal lebih lama lagi. Tapi masalahnya, semua yang membuat hari-hari saya indah di Australia sudah nggak ada. Jadi mau tidak mau saya harus pulang. Lagipula visa pelajar saya akan habis di akhir tahun ini.
Saya bangun pagi di tanggal 9 Desember 1997, dengan perasaan berat. Saya merasa tidak mau berpisah dan berharap andai bisa tinggal lebih lama lagi. Tapi masalahnya, semua yang membuat hari-hari saya indah di Australia sudah nggak ada. Jadi mau tidak mau saya harus pulang. Lagipula visa pelajar saya akan habis di akhir tahun ini.
Setelah bangun, saya sarapan dan kemudian mandi. Sewaktu bersiap-siap,
saya ketemu Feroza lagi. Dia sudah pulih, tapi expresi wajahnya loyo sekali.
Saya bertanya bagaimana keadaannya sekarang dan apa dia sudah agak baikan.
Biasanya dia selalu menjawab pertanyaan dengan nyaring dan ceria, tapi kali ini
dia menjawab “Ya” dengan nada pelan dan lemas. Jalannya juga agak
terhuyung-huyung. Anehnya, Siraj juga sudah pulang dan berlaku seperti tidak
ada kejadian apa-apa tadi malam. Karena kejadian semalam cukup sensitif, saya
memilih untuk tidak membahasnya dengan dia.
Begitu saya sudah berpakaian dan siap jalan, orang tua saya
datang menjemput saya. Mereka disambut oleh Siraj dan anak-anak. Wahyu* dan
Shahjehan juga menyambut mereka, sementara Feroza tidak seperti biasanya
kelihatan malu-malu. Orang tua saya, sewaktu melihat kondisi Feroza yang agak
sakit-sakitan bertanya apa dia baik-baik saja. Feroza menjawab kalau dia
baik-baik saja. Tetap saja orang tua saya tidak yakin karena penampilannya
kontras sekali dengan sewaktu bertemu dengan orang tua saya sebelum-sebelumnya.
Setelah mengunggah semua barang saya ke taxi, saya
bersalaman dengan semuanya. Siraj dan Shahjehan memeluk saya dan berkata kalau
mereka akan kehilangan saya. Siraj juga bilang kalau saya adalah anak paling
baik yang pernah tinggal di rumahnya. Feroza, masih terguncang oleh kejadian
semalam, mengucapkan selamat jalan dengan pandangan kosong. Kalau saja dia
dalam kondisi sehat, mungkin dia akan mengucapkannya dengan lebih hangat.
Wahyu* juga mengucapkan selamat jalan. “Wah sekarang saya jadi anak tunggalnya
Siraj dong” kata dia sambil nyengir.
Sayapun naik ke taxi dengan perasaan berat. Sekarang saya
meninggalkan kota yang pernah saya anggap sebagai “rumah di perantauan”. Perth
adalah tempat yang sangat sepi tapi damai dan menyenangkan buat saya. Saya sudah
mengalami momen-momen membahagiakan disini, dan saya merasa tidak mau berpisah
dengannya. Saya sudah bertemu dengan orang-orang paling menyenangkan, merasakan
saat-saat paling membahagiakan, dan belajar hal-hal baru dengan cara
menyenangkan di Perth. Susah buat saya secara emosional untuk meninggalkan ini
semua.
Kota Perth di tahun 1997 silam, dilihat dari King's Park.
Kami berkendara melewati jalanan Perth yang sepi di pagi
hari. Walaupun hari itu adalah hari kerja, lalu lintas komuter pekerja dan pelajar
yang berangkat tidak banyak kelihatan, paling tidak seingat saya begitu. Mungkin
karena waktu itu kita melewati daerah-daerah yang tidak banyak sekolah atau
perkantoran, jadi tidak kita tidak melihat banyak lalu lintas.
Begitu taxi kita memasuki jalan Horrie Miller Drive, yang
merupakan jalan utama menuju bandara, saya merasa tegang tapi juga seperti senang.
Jalan Horrie Miller Drive yang dulu merupakan jalan akses utama ke terminal internasional bandar udara Perth.
Kita sudah dekat bandara Perth, dan jelas waktu saya di
Perth dan Australia tinggal menghitung jam-jam terakhirnya. Begitu kita sampai
di terminal bandara, bapak saya membayar taxi dan kita turun serta menurunkan
barang kita. Saya mengambil trolley dan menaruh semua barang bawaan kita
sebelum masuk ke kounter chek in.
Deretan trolley di depan terminal bandara Perth. Saya tidak ingat dulu trolleynya gratis atau berbayar.
Kami memasukkan semua barang bagasi kita dan memilih kursi
masing-masing. Begitu mendapatkan boarding pass, kami langsung menuju ke ruang
tunggu keberangkatan. Bandara Perth adalah bandara kecil dengan sedikit yang
bisa dilihat, jadi maklum kalau kita langsung menuju ke ruang tunggu
keberangkatan. Pemeriksaan passport berjalan lancar semua, dan tidak lama
kemudian kita sudah duduk di ruang tunggu keberangkatan.
Ruang tunggu keberangkatan internasional di terminal bandara Perth di tahun 1998. Di tahun 1997 modelnya masih persis seperti ini.
Ini pertama dan satu-satunya saya ke airport Perth saat hari
terang benderang. Di kunjungan-kunjungan sebelumnya (saat datang, dan juga
menjemput orang tua), saya biasanya datang saat hari sudah gelap. Jadi untuk
pertama kalinya saya bisa melihat airport dengan jelas.
Di landasan ada banyak pesawat terbang yang diparkir.
Mayoritas punya Qantas dan Ansett. Tapi ada satu pesawat Boeing 747-200 milik
Garuda Indonesia.
Pesawat Boeing 747-200 Garuda Indonesia di bandar udara Zurich.
Kalau saja saya memilih terbang dengan Garuda, saya mungkin
bakal naik pesawat ini. Tapi karena waktu itu saya penasaran pingin merasakan
naik maskapai penerbangannya Australia, saya nggak keberatan. Bahkan waktu itu
saya memandang rendah pesawatnya Garuda karena kelihatan tua, kusam, dan
agak berkarat. Apalagi karena waktu itu jadwalnya Garuda hanya beberapa menit
setelah Qantas, saya mendengar pengumuman kalau jadwalnya ditunda karena
masalah teknis. Saya bisa melihat ekspresi muka para penumpang Garuda yang
jelas kecewa.
Walaupun belakangan saya juga menyesali
keputusan untuk tidak terbang dengan Garuda hari itu. Seandainya waktu waktu
itu saya memilih naik Garuda, mungkin itu bakal jadi penerbangan pertama dan
satu-satunya naik pesawat Boeing 747 Garuda. Sesuatu yang sudah saya
idam-idamkan sejak kecil, tapi tak pernah terealisasi sama sekali!
Untuk pertama kalinya, saya bisa melihat landasan bandara
Perth di siang hari. Dan sekarang saya mendapat jawaban jelas dari keheranan
saya waktu pertama mendarat di Perth beberapa bulan lalu. Waktu itu saya
bingung melihat ada pohon di sebelah landasan pacu. Rupanya ada banyak tanaman
tinggi di sebelah landasan. Ini memberikan pemandangan yang unik buat yang
pertama mendarat disini. Saya tidak pernah melihat pemandangan serupa di
Indonesia, karena tanaman di sekitaran landasan tidak boleh lebih tinggi dari ½
meter.
Pemandangan landasan parkir bandara Perth, lengkap dengan pesawat Boeing 777-200ER milik Singapore Airlines di latar depan. Semak-semak dan pepohonan tinggi tampak di latar belakang, sementara terminal domestik tampak di kejauhan.
Di seberang landasan pacu, rupanya ada terminal bandara
lagi. Landasan parkirnya didominasi airline seperti Qantas, Ansett, serta maskapai-maskapai
lokalan. Terminal tersebut adalah bangunan terminal pertama bandara Perth. Dulu
semua penerbangan (termasuk internasional) datang dan berangkat dari sana. Tapi
semenjak pembukaan terminal baru, terminal lama dipakai untuk penerbangan domestik
saja. Yang membuat saya awalnya heran adalah kedua terminal ini dipisah
landasan pacu. Ini pertama kalinya saya melihat bandara yang kedua terminalnya
dipisah landasan pacu. Transfer dari satu terminal ke terminal lain mungkin
bakal repot karena jaraknya jauh dan jadwal bis transfer jarang-jarang.
Tapi yang luar biasa dari semuanya adalah pemandangan
gedung-gedung pencakar langit di pusat kota Perth yang tidak hanya kelihatan
jelas, tapi seperti dekat. Padahal jarak dari bandara ke pusat kota lumayan
jauh. Mungkin karena efek visual akibat tidak adanya bangunan diantara kedua
tempat, pusat kota bisa kelihatan dekat dengan bandara. Pemandangan ini
membuat daerah bandara kelihatan urban, padahal daerah sekelilingnya adalah
daerah pedesaan.
Gedung-gedung pencakar langit di tengah kota Perth tampak dengan jelas dari bandara.
Dan terakhir, akhirnya saya melihat pesawat yang akan
membawa saya pulang kembali ke Indonesia sudah siap di gate keberangkatan.
Pesawat itu adalah Boeing 767-300 milik Qantas. Badan pesawat berwarna putih
dengan ekor merah dan tulisan “QANTAS” di bagian atas.
Pesawat Boeing 767-300 Qantas yang akan membawa saya kembali ke Indonesia.
Dibanding dengan pesawat Boeing 747 Garuda tadi, pesawat ini
lebih bersih, segar, dan berkilau di pagi hari.
Saya sudah sering melihat pesawat Qantas kalau mereka
singgah di bandara internasional besar di Indonesia, seperti Jakarta atau Bali.
Setiap melihat mereka, saya membayangkan kapan bisa naik. Hari ini impian saya
itu jadi kenyataan.
Setelah beberapa menit menunggu, panggilan untuk naik
pesawat diumumkan. Para penumpang mengantri di gate untuk masuk ke pesawat. Saya
merasa senang sekali! Begitu boarding pass kami diperiksa kami lalu berjalan
turun melalui garbarata untuk masuk ke pesawat. Saya bisa merasakan adrenaline
dan rasa bahagia yang membara. Saya benar-benar senang sekali pagi itu.
Begitu kita masuk pesawat, para penumpang disambut oleh awak
kabin yang berseragam ala orang kantoran. Mereka memakai jas biru tua dan baju
hem putih, dikombinasikan dengan dasi kemerahan. Ini pertama kalinya saya naik
pesawat yang awak kabinnya orang bule. Dan kontras dengan awak kabin Indonesia,
mereka lebih ekspresif dan berbicara dengan nada agak tinggi. Ini bukan karena
mereka kasar, tapi karena memang itu budaya mereka.
Contoh seragam awak kabin Qantas di tahun 1997.
Saya juga perhatikan satu fitur aneh di pesawat ini.
Walaupun ukurannya mirip Airbus A300, pesawat ini tidak punya pintu masuk deret
tengah. Beberapa operator Boeing 767-300 ada yang memilih 3 deret pintu masuk,
tapi Qantas hanya memilih 2 (depan dan belakang). Berarti semua penumpang masuk
(dan keluar) pesawat lewat pintu depan. Saya tidak tahu kenapa begini tapi ini
membuat pergerakan penumpang agak repot. Saya duduk di jendela sebelah kanan,
melihat bagian belakang sayap. Saya duduk di sebelah ibu saya. Karena kelas
ekonomi Boeing 767 punya konfigurasi kursi 2-3-2, bapak saya duduk di deretan
tengah.
Sewaktu proses boarding, saya perhatikan ada satu
bapak-bapak orang Australia yang bisa bahasa Indonesia, dan terus
mengomel-ngomel dalam bahasa Indonesia ke istrinya yang orang Indonesia. Selama
di Australia, saya tidak pernah sekalipun ketemu orang bule Australia yang bisa
bahasa asli saya. Jadi melihat orang Australia fasih bahasa Indonesia adalah
pemandangan unik.
Sementara menunggu pesawat berangkat, saya melihat segala
aktivitas diluar jendela. Para petugas pengatur bagasi sibuk memuat barang
penumpang. Di sebelah pesawat saya ada pesawat Boeing 747 milik Garuda tadi. Dari kursi
saya, saya bisa melihat beberapa mekanik berusaha memperbaiki pesawat itu sebelum
dia bisa terbang. Hingga saat pesawat saya siap berangkat, sepertinya pekerjaan
mekanik itu jauh dari selesai.
Begitu semua penumpang duduk, dan semua bagasi selesai diunggah ke
dalam pesawat, akhirnya pesawat kami siap berangkat. Kapten pilot mengumumkan
melalui pengeras suara agar pintu pesawat ditutup, dan setelah itu pesawat didorong ke belakang menuju taxiway. Begitu ijin diberikan, pesawat
saya perlahan-lahan bergerak menuju landasan pacu. Sementara pesawat berjalan
menuju landasan pacu, para awak kabin melaksanakan peragaan keselamatan
penerbangan. Sejujurnya saya lebih tertarik melihat keluar karena saya ingin
melihat pemandangan menit-menit terakhir saya di Australia.
Pesawat kami bergerak perlahan menuju ke landasan pacu
sebelum berhenti di titik penungguan di utara airport. Begitu clearance
diberikan, pilot membuka gas lebar-lebar, dan pesawat kita melaju dengan
kecepatan tinggi di landasan pacu. Beberapa detik kemudian, pesawat mengangkasa
dengan mulus dan kita sudah lepas landas! Selamat tinggal Australia! Sampai
jumpa lagi! Semoga bisa kembali lagi untuk melanjutkan studi seperti rencana
saya.
(Catatan: video dibawah ini bukan punya saya, dan saya taruh
untuk ilustrasi. Pesawat di video berangkat dari arah yang berlawanan dengan
saya, tapi type dan airportnya sama).
Daratan dibawah makin lama tampak makin jauh setelah pesawat
makin tinggi mengangkasa. Dari jendela pesawat saya bisa melihat bahwa biarpun
tadi sepanjang perjalanan ke bandara suasana daerahnya seperti pedesaan,
ternyata bandara Perth dikelilingi kompleks industry dan pelataran kereta api
barang. Dan dari atas saya juga bisa memastikan kalau pusat kota benar-benar
jauh dari bandara. Cukup aneh juga bisa kelihatan dekat kalau dilihat dari
terminal bandara.
Tak lama kemudian pesawat berputar ke kanan menuju arah utara.
Dari jendela pesawat saya bisa melihat seluruh daerah metropolitan Perth. Saya
bisa melihat secara keseluruhan kota yang pernah jadi rumah saya selama hampir 6 bulan terakhir,
dari udara. Perlahan-lahan kota ini hilang dari pandangan begitu pesawat
bergerak makin ke utara. Begitu Perth hilang dari pandangan, pemandangan di
bawah digantikan oleh tanah gersang yang cukup luas dengan hamparan tanah
berwarna kemerahan.
Terbang di siang hari bisa memberikan kita kesempatan
melihat seperti apa benua Australia itu. Walaupun pemandangan di kota Perth dan
daerah sekelilingnya tampak kehijauan, daerah di utaranya tampak kering dan gersang. Sepanjang mata memandang, langitnya cerah dan nyaris tanpa awan
sama sekali! Tidak heran musim panas di Australia bisa menggigit panasnya.
Pemandangan di luar jendela saya. Bisa dilihat betapa gersangnya daratan di bagian barat daya Australia.
Begitu lampu mengencangkan sabuk pengaman dimatikan, para
awak kabin mulai berkeliling untuk membagikan cemilan kacang ke
penumpang. Kontras dengan cerita ibu saya tentang awak kabin yang melawak di
penerbangan sebelumnya, kali ini mereka tampak lebih serius dan langsung
menjalankan tugas mereka. Saya tidak melihat ada hal yang istimewa dari mereka.
Selama penerbangan, mereka memutar film “Conspiracy Theory”
yang diperankan Mel Gibson di layar di depan kabin.
Semua penumpang sudah mendapatkan earphone yang ditaruh di
bungkusan di kursi depan, jadi kami menonton film sambil menikmati penerbangan.
Saya sebenarnya tidak suka filmnya karena tidak ngefans dengan jalan ceritanya.
Yang saya ingat, film ini punya sound effect yang lumayan berisik sampai-sampai
saya terkejut! Tapi saya tidak punya pilihan lain karena Walkman saya sudah
saya taruh di tas di bagasi pesawat.
Makanan disajikan di tengah penerbangan saat penumpang
menikmati film. Ada 2 menu makanan yang ditawarkan. Yang satu Asia, sementara
yang lainnya barat. Saya memilih makanan barat dengan menu Lasagna. Makanannya
rasanya enak dan cocok buat menemani menonton film dan melihat pemandangan.
Walaupun saat filmnya tambah seru, saya sempat hampir tersedak makanan. Begitu
makanan habis, para awak kabin mengambil kembali semua tray makanan dan kami
melipat kembali meja makannya.
Saya kemudian rebahan dan duduk santai. Terkadang saya
melepas earphone sambil menikmati pemandangan di luar. Pemandangannya masih
didominasi benua Australia yang kering kerontang dengan tanah berwarna
kemerahan. Sepanjang penerbangan saya tidak melihat awan sama sekali. Nggak ada
satupun sepanjang mata melihat. Jadi melihat pemandangan tanah yang merah
dengan langit yang biru benar-benar spektakuler. Sayang saya tidak memotret
pemandangan ini.
Setelah berjam-jam terbang diatas Australia, pesawat kita
akhirnya meninggalkan wilayah Australia. Saya melihat pantai utara Australia
perlahan-lahan menghilang di kejauhan. Sekarang saatnya mengucapkan selamat
jalan karena saya sekarang sudah tidak di Australia. Pesawat kita terbang makin
jauh ke utara menuju kepulauan tropis Indonesia.
Filmnya akhirnya selesai, dan kebetulan pesawat kita juga
hampir sampai tujuan. Setelah film utama selesai, awak kabin memutar film
tentang Indonesia yang dibuat oleh rumah produksi Australia. Walaupun sekilas
mirip film dokumentasi yang dibuat di Indonesia, sentuhan Australianya
kelihatan mencolok sekali.
Film documenter ini menampilkan banyak atraksi wisata di
Indonesia, walaupun mayoritas Bali (ya jelaslah karena kita kesana dan Bali
adalah tujuan wisata nomor 1). Tapi yang membuatnya berbeda adalah pilihan lagu
latarnya (yang mengkombinasikan instrument tradisional Indonesia dan lagu disco
barat) dan semua orang Indonesia yang di film itu bisa bicara bahasa Inggris
dengan aksen yang sempurna!
(Video dibawah ini contoh video yang biasanya diputar di
pesawat Qantas tujuan bali, tapi di tahun-tahun barusan).
Selama saya tinggal di Australia, semua orang Indonesia yang
saya kenal kalau bicara bahasa Inggris selalu ada aksen khas yang membedakannya
dengan native speaker, tidak peduli semahir apapun mereka menguasai bahasa
Inggris. Jadi begitu melihat orang-orang Indonesia, apalagi dari golongan
rakyat biasa, bisa bicara bahasa Inggris secara lancar tanpa aksen aneh jelas sangat-sangat mengejutkan!
Pesawat kami perlahan-lahan turun untuk persiapan mendarat.
Lampu kenakan sabuk pengaman dan dilarang merokok kemudian dinyalakan. Semua
penumpang dan awak kabin harus duduk. Begitu kita mendekati Indonesia, cuacanya
berubah drastic. Sementara di Australia langitnya bersih dan cerah, di
Indonesia cuacanya mendung pekat dengan sedikit badai. Bahkan saya tidak bisa
melihat daratan sama sekali!
Begitu pesawat makin rendah, kita memasuki lapisan awan
tebal yang menyebabkan pesawatnya berguncang-guncang. Saya jadi agak ketakutan. Tapi tak lama kemudian kita keluar dari awan dan pulau-pulau
menghijau khas Indonesia akhirnya tampak di bawah. Selamat datang di Indonesia!
Rupanya pesawat kita datang dari arah timur bandara, dan
akan mendarat menghadap ke barat. Pesawat lalu berbelok ke kiri, dan roda
pendarat serta flap dikeluarkan. Saat pesawat makin rendah, pulau-pulau kehijauan
dibawah tampak makin dekat. Kalau seandainya cuacanya cerah, kita bisa melihat
gunung Agung juga. Pesawat terbang rendah diatas pelabuhan Benoa, kemudian
jalan bypass Ngurah Rai, lalu beberapa detik kemudian roda pesawat menyentuh
landasan pacu dan kitapun mendarat di Bali. Saya akhirnya kembali ke Indonesia!
(Catatan: walaupun penerbangan di video itu bukan Qantas,
tapi pesawat itu mendarat melalui jalur yang sama dengan penerbangan saya.
Bahkan cuacanya mirip!)
Saya tiba-tiba merasakan gelora semangat di diri saya. Bukan
karena kita akan liburan, tapi karena sebentar lagi saya akan bertemu keluarga
dan kawan. Pastinya menyenangkan bisa ketemu keluarga lagi setelah
berbulan-bulan tinggal di luar negeri. Dan saya tidak hanya membawa oleh-oleh,
tapi juga cerita-cerita menarik juga.
Setelah pesawat melambat, pilot mengarahkan pesawat menuju
ke landasan parkir bandara. Seingat saya, para penumpang langsung berdiri dan
mengambili barang-barang mereka dari lemari penyimpanan diatas saat pesawat
masih berjalan menuju tempat parkir (sekarang ini dilarang dan penumpang harus
duduk sampai pesawat berhenti di tempat parkirnya).
Begitu pesawat kami sampai di tempat parkirnya, awak kabin
membuka pintu pesawat agar penumpang bisa keluar dari pesawat. Karena kita
tidak tergesa-gesa, kami menunggu sampai mayoritas penumpang keluar sebelum
kami ikut keluar pesawat. Para pramugari dan pramugara, yang menunggu di dekat pintu
mengucapkan selamat jalan ke kita.
Saat diluar pesawat, saya tiba-tiba disambut oleh hawa
panas dan lembab ala negara tropis. Karena sudah lama tinggal di tempat
beriklim suptropis, badan saya “lupa” bagaimana rasanya di tempat tropis.
Otomatis saya langsung berkeringat banyak. Padahal saya keluar dari pesawat
lewat garbarata dan tidak memakai jaket.
Terminal bandara Ngurah Rai Bali masih menggunakan bangunan
tahun 1960an yang dikembangkan di tahun 1980an dan 1990an (tapi masih kecil
dibanding terminal bandara yang sekarang). Dibanding terminal bandara Perth,
terminal ini rasanya kalah bagus dalam hal kenyamanan dan kapasitas. Antrian
pemeriksaan passport agak panjang karena jumlah meja dan petugas yang ada
kurang. Selesai pemeriksaan passport, kami menuju ke tempat pengambilan bagasi.
Pemeriksaan pabean berjalan tanpa masalah. Dulu pemeriksaannya tidak seketat
sekarang. Kalau jaman sekarang ketat sekali, bahkan barang kita juga ikut
diperiksa x-ray saat keluar.
Area pengambilan bagasi di terminal bandara Ngurah Rai yang lama.
Begitu kita keluar dari terminal bandara, kami disambut oleh
segerombolan pengemudi taxi yang menawarkan layanan mereka. Mereka terkadang
bisa menyebalkan karena teriak-teriak di muka kita dan bahkan mengejar kalau
kita menolak. Tapi berkat mantan kawan kuliah bapak saya (yang sudah saya temui
sebelum berangkat di bulan Agustus lalu) ada yang menjemput kita dari bandara.
Kali ini beliau datang dengan istrinya dan juga sopirnya. Mereka juga akan
membawa kita keliling Bali dengan mobil ber AC yang nyaman.
Kami menungu masa transit dengan jalan-jalan di sekeliling
Kuta dan Jimbaran. Saya tidak ingat tempat apa saja yang kita kunjungi. Yang
saya ingat kita sempat makan siang di pantai Jimbaran, makan ikan bakar sambil
menikmati pemandangan pantai serta lalu lintas penerbangan bandara Ngurah Rai
di kejauhan.
Pantai Jimbaran terkenal dengan masakan ikan bakarnya.
Saat kita makan siang, teman bapak saya bertanya bagaimana
kuliah di Australia. Saya bilang enak sekali dan saya menikmatinya. Dia juga
bertanya tentang rencana saya setelah ini, yang saya jawab kalau saya akan
kuliah. Beliaupun bercanda “wah setelah tinggal lama di Australia bahasa
Inggrismu pasti bagus! Kamu jadi kaya orang Australia sekarang!”
Setelah makan siang, kita pergi ke rumahnya untuk mandi dan
ganti baju, karena penerbangan ke Surabaya berangkat menjelang maghrib. Kami
juga sempat bersantai dan ngobrol-ngobrol di rumahnya. Hawa lembab, walaupun
tidak nyaman buat mereka yang belum pernah ke negara tropis sebelumnya, enak
buat tidur siang. Saya juga sempat tiduran sebentar. Hawa tropis membuat tidur
siang terasa nyenyak sekali.
Sekitar jam 5 sore, kami kembali lagi ke airport. Kali ini
kita diantar ke terminal domestik. Pintu masuknya terletak di sebelah terminal
internasional. Setelah kami didrop dan pamit dengan kawan bapak saya, kami masuk ke dalam
untuk check in. Kali ini kita akan terbang naik pesawat Merpati Nusantara
Airlines dari Denpasar ke Surabaya.
Terminal domestik bandara Ngurah Rai sesak sekali. Waktu itu
bangunannya sudah tua dan ketinggalan jaman, serta masih model ala tahun 1960an
atau 1970an. Bahkan dia jarang direnovasi dibanding terminal internasional.
Suasananya tampak tidak menggairahkan. Para penumpangnya didominasi orang
Indonesia, serta beberapa orang asing yang sudah tua. Nggak ada cewek bule cakep
lagi yang kelihatan.
Area check in terminal domestik lama bandara Ngurah Rai Bali.
Setelah check in dan memasukan barang bawaan ke bagasi, kita
naik menuju ruang tunggu diatas untuk menunggu penerbangan kami. Tidak seperti
penerbangan sebelumnya, kali ini saya tidak begitu bersemangat. Saya tahu saya
akan bertemu kembali dengan keluarga dan kawan, tapi juga kembali ke dunia yang
tidak sewarna-warni dan bervariasi seperti waktu di Perth.
Ruang tunggu keberangkatan lama yang sederhana dan membosankan di bandara Ngurah Rai Bali.
Saya mengisi waktu menunggu dengan melihat-lihat keluar
jendela, melihat landasan bandara. Ruang tunggunya penuh dengan penumpang.
Pesawat Boeing 767 Qantas yang membawa saya balik tadi sudah nggak ada. Ada
satu Fokker 28 yang akan membawa saya pulang ke Surabaya. Dan ini ternyata
penerbangan terakhir saya naik pesawat jenis ini.
Seperti halnya penerbangan ke Australia di bulan Agustus lalu, di penerbangan balik dari Bali ke Surabaya saya juga naik pesawat Fokker 28 milik Merpati.
Sementara menunggu keberangkatan, saya perhatikan bapak saya
kelihatan ngobrol serius dengan seorang bule. Saya penasaran dan mendekat.
Sewaktu melihat saya mendekat, bapak saya memperkenalkan saya dengan orang bule
itu. Rupanya dia adalah seorang professor dari Edith Cowan University yang
berpergian dengan istri dan anak-anaknya untuk bertemu kawannya di Malang dan
menghadiri resepsi pernikahan disana. Berarti kita akan terbang dengan pesawat
yang sama ke Surabaya. Kita sempat ngobrol lama saat menunggu keberangkatan
kita.
Tidak lama kemudian pengumuman boarding diumumkan di
pengeras suara bandara, dan para penumpang mulai bergerombol untuk naik ke
pesawat. Karena pesawat kita tidak menggunakan garbarata, para penumpang harus
berjalan di landasan menuju ke pesawat. Beberapa petugas membantu mengarahkan
penumpang menuju ke pesawat.
Pesawat kami sudah menunggu di landasan. Kita akan naik
pesawat Fokker-28 persis seperti waktu berangkat dulu. Karena pintu masuknya cuma
satu, para penumpang harus mengantri diluar saat kelompok penumpang pertama
memasukkan barang mereka ke kompartemen bagasi diatas.
Saat kita menunggu giliran naik, tiba-tiba saya
mendengar suara gemuruh keras pesawat yang mendarat. Rupanya itu pesawat Boeing
747 Garuda yang tadi saya lihat di Perth! Akhirnya mereka sampai di Bali
setelah delay lebih dari 4 jam! Saya tidak bisa membayangkan betapa kesal dan capeknya
para penumpang penerbangan itu. Dan buat mereka yang transit ke penerbangan
lain (seperti yang saya naiki sekarang), pasti bakal jadi mimpi buruk.
Beberapa menit kemudian antrian di depan berkurang dan kami
akhirnya naik keatas pesawat. Diatas, kami disambut beberapa pramugari yang
memeriksa tiket kita dan menunjukkan kursi kita. Banyak penumpang sudah duduk,
sementara sebagian kecil masih mencari kursi mereka. Kursi kami terletak di
depan pesawat. Begitu kita menaruh bagasi diatas, kamipun langsung duduk di
kursi kita.
Tapi sewaktu saya duduk, kursi saya kok terasa sempit? Sandaran
kursinya terasa rendah sekali sehingga kepala terekspose. Kalau itu
kurang, ruang kakinya juga terasa sempit. Sangat tidak nyaman! Seingat saya
waktu saya pergi dari Surabaya ke Bali beberapa bulan yang lalu, dengan type
pesawat yang sama, kursinya lebih enak dari ini. Apa kursinya sudah ditambah,
atau mungkin karena saya tambah gemuk?
Beberapa menit kemudian, pintu pesawat ditutup dan pesawat
didorong mundur sebelum mulai berjalan menuju landasan pacu. Suasana di kabin
terasa membosankan dibanding pesawat Boeing 767 Qantas tadi. Nggak ada system hiburan
video atau music. Dan interiornya kelihatan tua.
Tak lama kemudian pesawat kami sampai di landasan pacu.
Semua awak kabin sudah duduk dan lampu pasang sabuk pengaman dinyalakan. Pilot
membuka gas lebar-lebar dan pesawat kita pun melaju di landasan pacu sampai
mengangkasa. Saya dengan gugup melihat pemandangan di luar. Duduk di kursi
kecil ini malah memberikan kesan kalau penerbangan ini kaya naik roller coaster
daripada terbang sungguhan.
(Catatan: video diatas hanya untuk ilustrasi karena
pesawatnya berangkat dengan arah yang sama dengan pesawat saya. Bahkan
pemandangannya mirip).
Begitu pesawat mengangkasa, saya bisa melihat pemandangan
diluar. Pesawat kita terbang tinggi diatas Samudera Hindia. Karena saya duduk
di kiri, saya tidak bisa melihat pulau Bali. Tapi sebagai gantinya, saya bisa
melihat matahari terbenam di kejauhan. Pemandangannya spektakuler sekali. Dan karena
pesawat kita menghadap ke barat, matahari terbenamnya jadi terasa lebih lambat
karena pesawat kita mengejar matahari.
Sewaktu melihat matahari terbenam, saya mengenang kembali
betapa indah dan menyenangkan hari-hari saya di Perth. Walaupun awalnya saya
sempat tegang, tapi begitu beradaptasi dengan kehidupan dan perkuliahan disana,
semuanya terasa menyenangkan sekali. Apalagi sewaktu saya mulai punya
kawan-kawan bule dari Swiss. Dan puncak dari semuanya adalah sewaktu saya jatuh
cinta dengan Denise. Bahkan hingga saat terbang pulang, bayang-bayang wajahnya
Denise masih terbayang di pikiranku. Andai saya bisa membawanya ke Surabaya....
Saat matahari terbenam, saya bersyukur bahwa tahun ini sudah
menjadi tahun yang sangat menyenangkan dan berharap tahun-tahun berikutnya akan
menjadi tahun yang lebih menyenangkan lagi.
Sekarang saatnya saya mengakhiri cerita ini, dan semoga anda
semua puas dengan cerita yang anda baca selama ini.
Selamat jalan 1997! Kau sudah menjadi tahun terindah di
dalam hidupku….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar