Kamis, 23 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Catatan Penutup)



Pemandangan bandar udara Juanda di Surabaya, sesaat setelah saya tiba dari Bali dalam penerbangan pulang dari Australia, di tanggal 9 Desember 1997. Tampak pesawat Airbus A330-300 PK-GPE dan Airbus A300 PK-GAD yang keduanya punya Garuda Indonesia. Sebuah pesawat Fokker 100 milik Sempati Air tampak teresembunyi di belakang.

Walaupun saya awalnya sudah memastikan untuk melanjutkan kuliah di Australia, namun akhirnya keadaan tidak berjalan sesuai rencana. Padahal hasil ujian IELTS saya ternyata cukup memuaskan yaitu di angka 6.0.

 
Krisis ekonomi yang tadinya menyebabkan anak-anak Thailand keluar lebih awal dari St. Mark’s rupanya juga mempengaruhi saya juga, bahkan lebih parah lagi! Di akhir tahun 1997, krisis ekonomi Asia sangat parah mempengaruhi Indonesia. Tidak hanya menyebabkan ekonomi babak belur, tapi juga menyebabkan krisis politik di tahun berikutnya yang berujung kerusuhan, serangan teroris, kekacauan sosial, bahkan tumbangnya presiden!


Suasana pengumuman pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Indonesia di tahun 1998. BJ Habibie yang berdiri di sebelahnya kemudian dilantik jadi presiden pengganti.

Ini kontras sekali dengan awal-awal tahun 1997 dimana semuanya kelihatan bagus, ekonomi kuat, dan Indonesia adalah negara yang cukup makmur. Di tahun 1998 Indonesia adalah negara yang keadaannya paling terpuruk di Asia Tenggara. Akibatnya, banyak negara memandang rendah Indonesia.. Hal ini membuat mendaftar visa ke Australia jadi jauh lebih sulit dibanding awal tahun 1997.Belum lagi karena nilai tukar Rupiah jatuhnya parah sekali, sehingga biaya kuliah kesana jadi 3-4 kali lebih mahal dari sebelumnya.
Dengan keadaan seperti ini, mustahil buat saya untuk kembali melanjutkan kuliah ke Australia. Bahkan berpergian ke luar kota saja adalah hal yang menakutkan karena banyaknya kerusuhan, maraknya pembunuhan, serta pengeroyokan massal.
Pada akhirnya, saya tidak punya pilihan selain kuliah di Indonesia. Dan ini malah jadi gegar budaya buat saya. Karena setelah sebelumnya kuliah di negara maju, dengan kualitas pendidikan yang sangat baik, saya harus puas beradaptasi dengan lingkungan yang tertinggal. Bahkan sempat mengalami kegiatan perpeloncoan yang saya benci. Benar-benar sangat menyakitkan buat saya.
Untungnya krisis ekonomi dan sosial akhirnya berakhir, dan Indonesia jadi negara yang stabil dan aman lagi. Walaupun Indonesia sekarang jadi negara demokrasi, bukan negara otoriter seperti dulu. Tapi ini tercapainya lama setelah saya lulus kuliah di Indonesia di pertengahan tahun 2000an. Pada saat itu kesempatan untuk kuliah Sarjana di Australia sudah menguap sama sekali.
Dan saya kecewa sekali karena tidak pernah kuliah Multimedia sama sekali, karena jurusan ini tidak ada di “universitas papan atas di Indonesia”. Tadinya saya sempat kuliah di sebuah universitas swasta di Surabaya, tapi jurusan Tehnik Informatika. Walaupun masih tentang komputer, saya kecewa sekali karena tidak menikmatinya.
Akhirnya saya meninggalkan kuliah ini, dan pindah ke Bandung di awal tahun 2000an untuk kuliah di tempat lain. Kali ini saya kuliah di perhotelan. Alasan saya mengambil kuliah ini adalah karena saya mencari program kuliah yang gampang, dengan kesempatan kerja yang besar. Walaupun akhirnya saya lulus kuliah disini, program kuliahnya beda jauh dengan bidang Multimedia yang dulu saya idam-idamkan.


Foto saya saat wisuda kelulusan kuliah di tahun 2006 silam. Tampak saya berfoto dengan mantan pacar saya yang penampilannya agak-agak mirip dengan Denise dari segi sorot mata hingga kulitnya yang putih bersih. 

St. Mark’s International College
Saya tidak pernah melihat kampusnya lagi sejak meninggalkan Australia.
Di awal tahun 2000an, ada kawan saya yang juga masuk kuliah disini. Dia bilang kalau tempatnya sudah banyak berubah. Lapangan sepak bola dan tenis sudah dibongkar, dan sekarang di situ dibangun apartemen. Mayoritas pengajar dan staff dari jaman saya dulu sudah banyak yang keluar saat kawan saya kuliah disana.
Kampus ini sempat beroperasi selama beberapa tahun kemudian sebelum tiba-tiba tutup tanggal 29 Januari 2010.  St. Mark's International College tutup karena masalah keuangan perusahaan induknya, GEOS, yang terpaksa harus menutup semua cabang usaha mereka di Australia.  Beberapa bulan kemudian di April 2010 perusahaan itu sendiri bangkrut. Gara-gara penutupan mendadak ini semua pelajar yang sudah terlanjur kuliah disana sempat tidak jelas statusnya. Tapi untungnya mereka kemudian ditampung di kampus-kampus lainnya.


Klipping berita tentang penutupan mendadak kampus St. Mark's International College di tanggal 29 Januari 2010. Tak lama kemudian perusahaan induknya, GEOS, ikut bangkrut.

Kampusnya sendiri kemudian dibongkar di tahun 2011. Namun tidak semua gedungnya dibongkar. Gedung kuno bekas tempat kantor administrasi dan kelas komputer, yang menghadap ke jalan Stirling Street, dipertahankan karena statusnya yang cagar budaya. Gedung ini sekarang dipakai oleh lembaga pendidikan lain bernama “Kingston International College”.


Bekas gedung kantor administrasi dan sebagian ruang kelas St. Mark's yang kini dipakai untuk Kingston International College.

Tapi bekas gedung kelas saya, halaman dengan air mancur dimana dulu saya suka nongkrong dengan Heinz dan Sung Ho, kantin tempat saya suka ngobrol dengan Keiko* setelah pulang kuliah, gedung olahraga, gedung perpustakaan tempat saya suka browsing internet gratisan, dan dimana Denise “mencium” saya, serta kolam renang tempat Denise melakukan “striptease”, semua sayangnya sudah tidak ada. Di tempatnya sekarang didirikan apartemen, yang kebetulan juga dinamai “St. Mark’s Apartments”.
Oh ya, Pacific Motel yang terletak di seberang jalan dari kampus juga sudah dibongkar dan diganti kompleks apartemen. Hotelnya sendiri tutup beberapa tahun sebelum St. Mark’s International College, dan sempat mangkrak bertahun-tahun sebelum dibongkar tak lama setelah kampus St. Mark’s.

Sung Ho-Park
Jauh sebelum K-Pop populer di Indonesia dan anak-anak tergila-gila dengan artis Korea serta pernak-pernik pop culture Korea, saya sudah punya kawan akrab orang Korea duluan!
Selama beberapa tahun setelah kita terakhir bertemu di Australia, saya masih sering kontak-kontakan dengan dia. Kami sering bertukar surat, dan saling berbagi kisah serta pengalaman kita masing-masing. Dari semua kawan saya dulu di Australia, dialah yang paling entusias untuk berkomunikasi dengan saya. Dari yang saya baca di suratnya, dia kelihatan senang sekali mendengar kabar dari saya.


Salah satu surat yang dikirim Sung Ho Park ke saya.

Kalau itu kurang, dia juga pernah mengirim satu box teh ginseng ke saya! Ginseng adalah bahan minuman herbal yang populer di Korea, jadi tidak heran kalau mereka bangga dengannya. Ceritanya begini, suatu hari bukannya menerima surat dari Sung Ho, saya malah menerima surat dari kantor pos yang berisi panggilan untuk mengambil barang dari Korea Selatan. Awalnya saya heran. Biasanya dia mengirim surat ke saya, tapi kok kali ini beda? Sayapun pergi ke kantor pos yang ditulis di surat untuk mengambil barang itu. Sesampainya disana dan menyerahkan surat, petugas kantor pos memberikan saya sekotak ukuran sedang ke saya. Sesampainya di rumah, saya buka kotak itu dan terkejut. Ternyata isinya teh ginseng beserta suratnya Sung Ho! Inilah barang paling istimewa yang pernah saya terima dari dia. Terima kasih Sung Ho!
Dengan makin populernya e-mail, kamipun beralih cara komunikasi menggunakan teknologi baru ini. Kitapun bisa berhemat uang dan waktu banyak sekali.
Namun sayangnya, sewaktu saya pindah ke Bandung di awal tahun 2000an, saya kesulitan untuk berkomunikasi ke dia. Akses internet susah sekali waktu itu. Dan karena jadwal kuliah yang padat, jeda waktu antara mengakses internet bisa lebih dari sebulan. Akibatnya akun e-mail saya dihapus oleh Hotmail, dan sayapun otomatis putus kontak dengan Sung Ho Park.
Andai saja waktu itu ada sebangsanya smartphone atau Wifi mungkin saya bisa lebih mudah untuk mengakses internet.
Sekarang saya kadang-kadang suka iseng browsing di sosmed atau Google, mencari-cari siapa tahu ada dia. Sayangnya, hasilnya nihil. Ada banyak orang Korea yang bernama “Sung Ho Park”, termasuk beberapa orang terkenal dan bahkan artis. Tapi sayangnya tidak satupun mirip dia.

Heinz Gubler
Seperti halnya Sung Ho, saya juga tetap menjalin komunikasi dengan Heinz setelah kita selesai kuliah. Awalnya melalui surat dan kemudian lewat e-mail. Sebagai kawan pertama saya yang orang Eropa, suratnya selalu terasa spesial.


Berfoto bersama Heinz Gubler di air mancur di halaman kampus St. Mark's International College.

Kontras dengan Sung Ho, isi suratnya Heinz lebih berwarna.



Lembar pertama surat Heinz yang bercerita tentang pengalamannya berpetualang ke Australia lagi, kali ini dengan pacarnya. 



Halaman kedua suratnya yang berisi sambungan cerita petualangannya di Australia, serta masa-masa penganggurannya, dan kekagumannya berteman dengan orang Asia untuk pertama kalinya.  


Halaman ketiga suratnya berisi kritikan Heinz terhadap watak isolasionisme orang Swiss, dan usulannya agar kita berpergian bareng lagi dengan kelompok yang lebih besar (yang sayangnya tidak pernah terealisir).

Dia bilang kalau dia sering sibuk ikut satu petualangan dan petualangan lainnya, disela-sela pekerjaannya sebagai mekanik. Dia berkunjung ke tempat-tempat eksotik di berbagai penjuru dunia. Dia terkadang menjelaskan kisahnya berkunjung ke Afrika, Amerika, atau mendaki dan main ski di pegunungan di Eropa.


Heinz Gubler saat berkunjung ke San Fransisco, Amerika Serikat, tahun 2005 silam.

Tidak seperti Sung Ho, waktu yang dibutuhkan untuk membalas surat saya lebih panjang. Ini karena dia hanya membalas surat saya kalau sudah balik ke rumahnya di Swiss.
Dan seperti halnya Sung Ho, sayangnya komunikasi kita terputus sewaktu saya pindah ke Bandung dan saya sering offline. Usaha saya untuk mencari dia di sosmed gagal terus. Saya sering ketemu orang Swiss yang namanya mirip dia, tapi wajahnya beda sekali.
Namun usaha saya mencari dia lewat Google beberapa tahun kemudian membuahkan hasil! Sewaktu melihat foto orang-orang bernama “Heinz Gubler” di Google tahun 2015 silam, saya tidak sengaja ketemu fotonya yang diambil tahun 2007 silam. Wajahnya tidak banyak berbeda dibanding terakhir saya lihat 10 tahun sebelumnya. Walaupun dia masih memegang kewarganegaraan Swiss, saya menduga dia mungkin pernah tinggal lama di Amerika.
Sayapun berusaha untuk mengontak dia, awalnya lewat atasan tempat dia bekerja, tapi kemudian lewat satu komunitas yang dia ikuti. Ketua komunitasnya rupanya kenal baik dengan Heinz dan membantu saya mencari dia, walaupun dia sendiri mengaku kalau sudah nggak kontak dengan Heinz sejak tahun 2014. Usaha ini membuahkan hasil karena akhirnya saya bisa menyambung komunikasi lagi dengan dia di tahun 2018 silam, setelah hampir 2 dekade tidak saling bertukar kabar.
Kamipun senang sekali bisa berkomunikasi kembali melalui e-mail (dan Whatsapp sejak tahun 2020). Saya beryukur bahwa dia masih sehat-sehat seperti dulu, dan sering berpetualang walaupun tidak sesering waktu dia masih muda. Sayapun juga terkejut rupanya dia masih berkomunikasi dengan Milo, mantan guru kita di St. Mark’s dulu.
Walaupun tidak terang-terangan bilang, saya dengar dia juga sudah pindah dari rumahnya yang lama di Winznau sejak pisah dengan pacarnya yang terdahulu.

Alvin Adhitya
Alvin adalah kawan orang Indonesia yang paling akrab dengan saya sewaktu di St. Mark’s dulu. Dan saya tetap berkontak-kontak dengan dia selepas kuliah di Australia. Tidak seperti saya, dia lebih beruntung karena bisa melanjutkan kuliahnya di Australia walaupun ada krisis ekonomi. Alvin akhirnya mengambil jurusan Marketing di Murdoch University.


Surat dari Alvin. Kalau nggak salah ini dikirim saat kuliahnya mau berakhir.

Walaupun dia bisa lanjut kuliah di Australia, imbas krisis ekonomi Asia sangat dirasakan sama dia. Dia bilang di surat-suratnya kalau jumlah mahasiswa Asia, terutama dari negara yang paling parah terimbas seperti Thailand atau Indonesia, makin berkurang seiring berjalannya waktu kuliah. Dia bahkan pindah dari kost di perumahan ke apartemen sharing di tempat kelas menengah kebawah di Perth untuk menghemat biaya.
Ironisnya, walaupun banyak mahasiswa Indonesia kesulitan ekonomi karena krisis ekonomi Asia, Alvin juga melihat perilaku tidak senonoh dan absurd yang dilakukan segelintir anak Indonesia yang memamerkan kekayaan mereka seperti mengendarai mobil mewah ke kampus atau pamer barang mewah lainnya. Anak-anak ini sering juga tidak masuk kelas dan tidak lulus semester. Mereka jelas menghambur-hamburkan uang orang tua mereka. Kadang kita mikir kok bisa mereka bisa begitu padahal di Indonesia semuanya lagi menderita? Apa mungkin mereka punya koneksi dengan keluarga Cendana?
Kerusuhan dan jatuhnya Suharto juga diliput dengan cara yang beda oleh media Australia dibanding Indonesia (yang hingga tumbangnya Suharto dikontrol sangat ketat). Alvin sering mengirim ke saya klipping koran Australia yang meliput gejolak politik di Indonesia dengan cara yang lebih vulgar daripada yang di koran Indonesia.


Karikatur di koran Sunday Times yang memuji Frank Sinatra dan mencemooh Suharto. Frank Sinatra meninggal dunia di saat yang sama dengan jatuhnya presiden Suharto.

Seperti halnya Sung Ho dan Heinz, saya putus kontak dengan Alvin sewaktu pindah dari Surabaya di awal tahun 2000an. Kita tidak pernah berkomunikasi lewat e-mail, jadi saya kehilangan kontak dengan dia. Saya menduga dia mungkin lulus dari Murdoch sekitar tahun 2004 atau 2005 dan mungkin bekerja di Indonesia.
Saya berusaha mencari dia di internet, entah lewat sosmed seperti Facebook, LinkedIn, Instagram, dan lain lain; atau browsing di Google. Tapi ya tidak ada hasilnya. Seperti halnya Sung Ho, semua orang bernama “Alvin Adhitya” di internet tidak satupun menyerupai dia.
Pernah saya menemukan satu profil orang bernama “Alvin Adhitya” di Facebook yang kuliah di Murdoch University. Tapi orangnya jauh lebih muda, dan lulusnya barusan (tahun 2018). Jelas orang ini bukan Alvin kawan saya.

Keluarga Siraj
Saya tidak pernah berkomunikasi dengan mereka sejak pulang dari Australia. Selama bertahun-tahun saya tidak pernah dengar kabar dari mereka. Tapi sekitar awal tahun 2000an, sewaktu berlibur di Bali, saya kebetulan ketemu mereka sedang berlibur disana (termasuk dengan Shahjehan). Baik Suhail dan Shimla sudah besar, bahkan Feroza baru saja melahirkan anak ketiga. Shahjehan sudah lulus dari Edith Cowan University, dan mau pindah ke pantai timur Australia untuk bekerja. Tapi saya tidak bertanya ke Siraj apa dia sudah dapat pekerjaan lebih baik.
Inilah terakhir kalinya saya ketemu mereka. Saya tidak pernah berhubungan dengan mereka setelah itu.

Kawan Indonesia Lainnya
Pada dasarnya saya tidak menjalin hubungan dengan anak-anak Indonesia selain Alvin setelah lulus dari St. Mark’s. Tapi kawan saya yang kuliah di St. Mark’s di awal tahun 2000an bilang kalau dia pernah ketemu Hudi. Hudi masih tinggal di Perth, dengan seorang cewek Jepang yang katanya pernah jadi kawan sekelas saya. Apa yang dia lakukan waktu itu tidak pernah dijelaskan.
Beberapa dekade kemudian di sebuah group Facebook, saya mendengar kabar tentang beberapa mantan kawan orang Indonesia di St. Mark’s. Cukup mengejutkan melihat mereka sudah tua semua. Saya bisa mengenali sebagian dari mereka, tapi ada yang pangling juga. Namun saya perhatikan ada satu profil dengan nama dan foto palsu yang saya duga adalah Hudi, karena dia selalu berusaha jadi pusat perhatian di group itu (seperti yang dia sering lakukan dulu di St. Mark’s). Nama profilnya “Hoodie Hood”. Fakta bahwa dia menggunakan nama palsu menimbulkan pertanyaan apakah dia tinggal di Australia secara illegal (mungkin untuk menghindari aparat penegak hukum menangkap dia) atau mungkin terlibat dunia kriminal….

Kawan Asia Lainnya
Seperti mayoritas kawan-kawan di St. Mark’s di Perth, Australia Barat, saya tidak berusaha untuk menyambung komunikasi dengan mereka setelah lulus. Saya kehilangan kontak dengan kebanyakan dari mereka.
Satu pengecualiannya adalah Reiko Matsui. Selama beberapa waktu setelah kembali ke Indonesia, kita sering bertukar surat dan kartu pos. Dia sering menceritakan kisahnya dan juga bertanya bagaimana keadaan saya. Sayangnya, seperti halnya kawan-kawan St. Mark’s lainnya, kami putus kontak sewaktu saya pindah ke Bandung di awal tahun 2000an.


Sebuah kartu pos yang dikirim Reiko Matsui.Wajahnya kelihatan samar-samar di stiker gambar di pojok kiri bawah kartu pos.

Seiring dengan munculnya sosmed internet di jaman sekarang, saya berusaha untuk berhubungan lagi dengan mereka, walaupun umumnya sia-sia. Pernah sekali saya ketemu profil kawan saya yang orang Thailand, Ake, di Facebook. Saya berusaha meng-add dia, tapi sepertinya ditolak. Mungkin dia sudah lupa saya, karena kita sudah lama sekali tidak berhubungan satu sama lain.

Kawan Eropa Lainnya
Walaupun saya sering ngumpul dengan kawan-kawan orang Swiss waktu istirahat, saya tidak meneruskan komunikasi dengan mayoritas dari mereka setelah pulang ke Indonesia. Walaupun saya pernah punya alamat kawan-kawan orang Swiss Perancis, saya tidak pernah berkirim surat dengan mereka setelah pulang ke Indonesia. Andai waktu itu kita masih saling berkomunikasi mungkin saya bakal lebih akrab dengan mereka karena mereka lebih ramah dibandingkan dengan yang orang Swiss Jerman.
Kadang saya mikir, kalau seandainya smartphone dan sosmed dulu sudah ada, mungkin saya masih berhubungan dengan mereka. Sayangnya waktu itu satu-satunya cara untuk berkomunikasi jarak jauh dengan ekonomis hanyalah melalui berkirim surat. Telepon sambungan internasional sangat mahal sekali. Dan penggunaan e-mail waktu itu belum umum.
Mungkin satu-satunya orang di kelompok ini yang masih berhubungan dengan saya pasca selesai kuliah adalah Maria LΓΌchinger. Maria adalah kawan akrabnya Denise. Dulu setiap saya ngobrol dengan Denise atau Heinz, Maria selalu ikut nimbrung. Walaupun bahasa Inggrisnya tidak bagus, dan dia agak malu-malu berinteraksi dengan orang asing, ini tidak mencegah kita untuk saling bertukar surat setelah kami pulang dari Australia.
Selama 2-3 tahun setelah selesai kuliah kami sering saling berkirim surat. Suratku ke dia biasanya dikirim bersamaan dengan yang untuk Denise. Tapi surat balasan Maria biasanya datang lebih dulu, dan isinya lebih panjang dari Denise. Padahal bahasa Inggrisnya agak belepotan.
Setiap saya membaca suratnya, saya sering heran dengan seringnya dia berjalan-jalan dalam setahun. Dia pernah bercerita pengalamannya jalan-jalan ke Uluru di Australia Tengah, atau ke tujuan wisata di laut Mediterrania. Dia tidak selalu berpergian dengan Denise, dan terkadang jalan sendirian. Orang Swiss kaya betul! Walaupun dia seumuran dengan saya, dan kerja sebagai buruh di negerinya, dia sering sekali berpergian kalau liburan musim panas.
Sama halnya dengan mantan kawan-kawan St. Mark’s, saya kehilangan kontak dengan dia sewaktu saya pindah kuliah di awal tahun 2000an. Tapi pernah saya sekali ketemu profil Facebooknya di tahun 2013. Mukanya masih sama seperti dulu, walaupun sekarang rambutnya dipotong pendek. Dia sekarang sudah menikah dan punya anak. Usaha saya untuk untuk meng-add dia gagal karena dia tidak membalas permintaan pertemanan saya.

Denise Loher
Denise adalah alasan utama kenapa saya mengenang tahun 1997 dengan indah sekali. Bisa dibilang dialah yang memotivasi saya untuk menulis cerita ini karena dia adalah gadis pertama yang membuat saya tergila-gila. Saya waktu itu benar-benar jatuh cinta dengan dia. Padahal dia sebenarnya sudah punya pacar di Swiss, dan sejujurnya dia terkadang merasa risih dengan saya kalau saya mengungkapkan kesukaan saya ke dia.
Kehadirannya memberikan warna-warna paling indah di hidup saya di Australia. Berkat dia, saya bisa mengatasi rasa malu-malu saya kalau berhubungan sama orang bule. Dan bahkan, saya jadi keranjingan cewek bule dan kepikiran untuk menikahinya supaya punya anak blasteran!
Seperti halnya mantan kawan-kawan dari St. Mark’s saya masih berhubungan dengan dia selama beberapa tahun di akhir dekade 1990an. Saya sering berkirim surat dengan dia, bahkan surat pertama dikirim waktu saya masih di Australia (walaupun waktu itu saya meminta dia untuk membalasnya ke alamat saya di Indonesia). Tadinya saya pikir dia mungkin mengacuhkan surat saya, karena waktu terakhir-akhir kita ketemuan, dia seperti sudah bosan sama saya.
 

Kartu-kartu pos yang dikirim oleh Denise buat saya. Yang diatas adalah kartu pos pertama yang dikirim Denise buat saya, sementara yang dibawah kalau nggak salah yang terakhir. Denise mengirim beberapa kartu pos ke saya, tapi hanya dua ini yang masih saya simpan sampai sekarang.

Tapi diluar dugaan, dia membalas surat saya! Nggak cuman sekali, tapi setiap saya kirim surat pasti dibalas! Walaupun balasannya selalu dalam bentuk kartu pos (balasan yang pelit dibanding surat panjang yang selalu saya kirim ke dia). Tapi setiap saya menerima kartu pos dari dia, rasanya seperti di surga saja. Berasa seperti ketemuan dengan dia lagi. Dan memegang kartu pos dengan tulisan tangannya bagaikan memegang tangannya lagi. Susah untuk diungkapkan betapa bahagianya saya kalau sudah menerima kartu pos dari Denise.
Perasaan baper yang akut ini mungkin berakar dari fakta kalau saya waktu itu terobsesi dengan Denise. Fakta bahwa dia adalah orang pertama yang membuat saya jatuh cinta yang dalam nggak ubahnya seperti membuat saya jadi memiliki ketergantungan emosi dengan Denise.
Walaupun dia selesai kuliah lebih awal dari saya, butuh waktu lama untuk melupakan dan melepaskan ketergantungan emosional dengan dia. Bahkan beberapa tahun setelah kita terakhir bertemu saya masih terobsesi dengan dia. Dia selalu muncul di pikiran saya, dan membuat cewek-cewek lain tidak menarik buat saya.
Saya berusaha keras untuk melupakan dia dengan mengalihkan perhatian ke “cewek mustahil” (seperti aktris atau musisi terkenal). Dulu cewek favorit saya biar saya bisa melupakan Denise adalah aktris Jennifer Love Hewitt.
Namun suatu waktu saya pernah nyaris bertemu dengan dia lagi. Ini terjadi sewaktu saya berkunjung ke Swiss di tahun 1999 silam. Sebelum berangkat, saya sebenarnya sempat memberi tahu dia tentang rencana kedatangan saya. Dan kita berjanji untuk bertemu begitu saya sampai di Swiss, dengan bantuan kakak saya yang tingal disana.
Sayangnya, karena saya berpergian dengan orang tua saya, mereka melarang saya pergi ke tempatnya Denise. Mereka mungkin tidak mengijinkan saya membina hubungan dengan dia. Kegagalan saya untuk ketemuan dengan Denise mungkin membuat dia kesal, dan dia kemudian mengungkapkannya di salah satu kartu pos yang dia kirim sepulangnya saya dari Eropa. Dia melampiaskan kekesalannya karena kita tidak bisa ketemuan, seakan-akan dia ingin sekali bertemu dengan saya lagi.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kitapun beralih cara komunikasi dari surat menyurat ke e-mail. Dengan cara baru ini komunikasi jadi lebih lancar, cepat, dan murah. Bahkan kita bisa lebih ekspresif kalau berkomunikasi karena kita bisa saling berkirim kartu selamat elektronik seperti lewat website Blue Mountain. Saya selalu merasa senang kalau menerima kartu ucapan selamat dari dia.
Tapi semua kebahagiaan itu berakhir sewaktu saya pindah dari Surabaya ke Bandung di awal tahun 2000an. Dan karena sempat lama tidak online, akun e-mail Hotmail saya terhapus dan saya kehilangan kontak dengan Denise. Akibatnya saya tidak bisa berkomunikasi dengan dia untuk waktu yang lama sekali! Bukan beberapa bulan, atau beberapa tahun, ujung-ujungnya saya tidak berkomunikasi dengan Denise selama lebih dari 1 dekade!
Dalam prosesnya, saya akhirnya bisa melupakan Denise dan tidak lagi terobsesi lagi dengan dia. Saya bisa hidup normal lagi walaupun hingga cerita ini ditulis saya masih melajang. Selama di Bandung, saya sempat berpacaran dengan beberapa cewek disana (walaupun sudah putus semua). Anehnya, banyak dari mereka punya ciri-ciri fisik mirip Denise: semuanya berkulit putih bersih, wajah semi Aria (karena banyaknya orang keturunan blasteran Eropa di Bandung), dan babyface. Saya kadang mikir apa saya benar-benar sudah melupakan Denise?
Di awal tahun 2010an, minat saya untuk bertemu lagi dengan Denise muncul lagi. Dengan bantuan sosmed seperti Facebook (atau pendahulunya seperti Friendster), saya mulai mencari-cari cewek dengan nama “Denise Loher”. Mayoritas orang Swiss, tapi ada juga yang dari Amerika, Australia, Brazil, atau bahkan orang Inggris keturunan Jerman. Tapi tidak satupun mirip Denise sama sekali.
Saya mulai mikir: apa Denise masih ada? Apa dia sudah meninggal, mungkin jadi korban kecelakaan atau insiden? Atau mungkin dia sekarang sudah berubah namanya?
Walaupun sempat menemui banyak halangan, saya terus mencari di Google orang yang bernama “Denise Loher” yang tinggal di Montlingen, Swiss. Seperti usaha-usaha terdahulu, saya sempat gagal. Entah cewek yang saya temui terlalu muda, atau mukanya kelihatan beda jauh.
Tapi suatu hari di tahun 2013, sewaktu saya melihat-lihat gambar di Google, saya penasaran dengan sebuah gambar. Waktu itu saya melihat foto sekelompok wanita pengurus sebuah sekolah taman kanak-kanak di Montlingen. Mereka adalah guru-guru dan pengurus sekolahnya. Walaupun gambar orangnya kelihatan kecil, saya bisa melihat dengan jelas kalau seorang diantaranya tampak seperti saya kenal. Walaupun dia kelihatan agak tua, wajahnya seperti wajah khas Jerman yang babyface yang pernah saya lihat sebelumnya.
Itu Denise!!!


Denise (tengah) saat menghadiri acara penerimaan penghargaan di tahun 2000an.

Sayapun cepat-cepat membuka websitenya, dan menemukan kalau Denise sekarang kerja di sekolah itu. Dugaan saya dia adalah kepala sekolah itu.  Dan  ternyata namanya sekarang menjadi Denise Hutter! Sayapun coba mencari nama “Denise Hutter dari Montlingen” di Google dan, voila! Rupanya disinilah dia. Akhirnya sayapun menemukan foto-foto terbaru Denise.


Denise (dua dari kiri) befoto bersama rekan-rekan kerjanya. Dia tampak agak gemukan dan kelihatan beda sekali dengan di tahun 1997.

Denise sekarang sudah lebih tua. Dia juga makin gemuk, dan wajahnya agak berkeriput. Tidak semulus sewaktu dulu saya masih ketemu sama dia. Dia juga sudah mengecat rambutnya dengan warna gelap (dulu di tahun 1997 rambutnya berwarna coklat kepirangan), dan rambutnya jadi agak lebih panjang. Walaupun sudah banyak berubah, wajahnya pada dasarnya sama seperti dulu.


Foto close up Denise sambil menggendong anaknya di tahun 2011 atau 2012 silam.

Kemudian saya mencari-cari di Facebook, dan surprise! Dia rupanya punya akun FB! Sayapun langsung meng-add dia, berharap semoga saja diterima. Beberapa hari kemudian, saya menerima notofikasi yang memberitahukan kalau saya diterima sebagai kawan Facebooknya.
Walaupun ada perkembangan positif, awalnya saya malu-malu untuk mengirim message ke dia atau mengomentari fotonya. Mungkin dia sudah lupa saya, atau tidak mau diganggu.
Namun segalanya berubah ketika suatu hari dia sendiri yang memulai chat di messenger FB. Dia bertanya nama saya dan apa saya dulu kuliah di Perth di tahun 1997, yang saya jawab iya. Diapun senang sekali karena kita bisa bertemu lagi. Saya cukup terheran-heran dengan balasannya yang entusias, mengingat dulu waktu terakhir-akhir ketemuan dia seperti sudah bosan sama saya.
Dia bertanya banyak tentang saya: dimana saya sekarang, apa yang saya lakukan, dan lain sebagainya. Kita juga berbincang-bincang tentang kampus kita dulu, serta fakta kalau sekolahnya sudah tutup dan bangunannya dibongkar.
Nah sekarang saatnya untuk mengungkapkan kebenarannya: Denise mengaku kalau dia sekarang sudah menikah dengan pacarnya. Dia adalah cowok yang sama dengan yang dulu membuat saya penasaran, dan frustasi waktu Denise bilang akan menikahinya. Mereka menikah tahun 2000 silam. Denise menambahkan kalau dia sempat kembali lagi ke Australia untuk bulan madu, walaupun kali ini dia pergi ke Sydney untuk perjalanan naik mobil karavan.
Karena nama keluarga suaminya “Hutter”, nama resminya sekarang adalah “Denise Hutter”. Ini untuk mengikuti peraturan di Eropa yang mengharuskan istri mengganti nama keluarganya dengan nama keluarga suami kalau sudah menikah. Selain itu dia juga sudah punya dua anak yang sekarang sudah mulai besar. Anak tertuanya bahkan lebih tua dari keponakan saya.
Kalau dipikir-pikir mungkin ada bagusnya juga bahwa kita sempat kehilangan kontak. Kalau saya waktu itu tahu dia menikah, saya mungkin bakal diliputi kesedihan yang terlalu dalam dan mungkin bisa jadi kaya orang gila! Sekarang sudah jelas bahwa harapan saya dulu bahwa hubungan kita bisa beranjak jadi lebih dari sekedar kawan pupus sudah.
Tapi saya mengikhlaskannya. Dari awal, sebenarnya mustahil untuk menikahi dia. Bukan karena kita berasal dari negara dan budaya yang berbeda, tapi lebih karena umurnya, sifatnya yang berubah-ubah dan fakta bahwa dia sudah menjalin hubungan asmara dengan orang lain. Belum lagi orang tua saya mungkin tidak akan menyetujuinya, halangan bagi saya akan makin banyak. Jadi saya memutuskan untuk mengalah dan mengikhlaskan dia menikah dengan lelaki lain.
Namun, mungkin karena saya emosi akibat “CLBK”, saya masih saja bertingkah sembrono ke dia. Suatu hari saya memposting semua foto dia yang saya ambil dengan kamera saya dulu ke dia. Masalahnya bukannya dikirim diam-diam, saya malah posting di profil saya dan nge-tag dia ke foto-foto itu. Rupanya ini membuat dia malu sekali dengan keluarganya. Dia tidak ingin suami dan anak-anaknya tahu tentang hubungan dia dengan saya atau Heinz. Diapun memarahi saya dan meminta saya untuk tidak dekat-dekat dengan kehidupan pribadinya. Sayapun meminta maaf dan memutuskan untuk menghapus foto-foto yang menyinggung perasaannya tadi.
Lalu profil Faebooknya seperti jadi diam. Semua pesan saya tidak pernah dibalas. Di balasan terakhir pesan messenger saya  dia mengaku sibuk dan kesulitan mencari waktu untuk menggunakan internet. Diapun mengaku kalau dia tidak begitu familiar dengan Facebook, jadi dia minta saya untuk memahaminya. Sayapun memahaminya dan memutuskan untuk menjauh sebentar dari dia. Rupanya percakapan ini adalah yang terakhir dari dia karena di tahun berikutnya dia sudah meng-unfriend profil Facebook saya, dan profilnya sendiri sudah tidak pernah diupdate sejak tahun 2014.
Saya tidak tahu apakah ini adalah benar-benar akhir dari hubungan saya dengan dia, atau mungkin saya harus mengikhlaskan kepergian Denise dari hidupku untuk selamanya. Tapi kalau mau jujur, saya mensyukuri bahwa saya pernah kenal dengan dia, dan berterima kasih sekali bahwa dia pernah membuat hidupku jadi indah sekali.


TAMAT!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar