Di akhir Agustus, saya sudah benar-benar beradaptasi dengan
hidup di Australia, baik di dalam maupun luar kampus. Saya merasa senang berada
di Australia. Ini pertama kalinya dalam hidup saya tinggal di luar negeri lebih
dari 1 minggu, dan saya benar-benar menikmatinya.
Saya juga akhirnya menjadi sangat akrab dengan kawan-kawan saya yang berasal dari berbagai negara, lengkap dengan budaya dan tata kramanya.
Sung Ho Park (kanan) duduk bareng anak Jepang dan Korea waktu piknik di air terjun Serpentine.
Walaupun bukan bintang kelas, Sung Ho selalu bisa membuat
suasana kelas menarik. Setiap guru meminta anak-anak menceritakan pengalaman
mereka, Sung Ho selalu menceritakan hal-hal yang menarik. Dan dia selalu
menceritakannya dengan bersemangat. Dia bisa membuat beberapa topik jadi lebih
hidup dan menarik. Dia sering menghubungkan topik-topik itu dengan pengalaman
pribadinya, atau berita hangat yang terjadi waktu itu.
Di luar kelas, kita selalu nongkrong bareng. Dan dia adalah
kawan yang menyenangkan untuk berkumpul bersama. Kita sering saling bertukar
cerita tentang budaya dan latar belakang kami. Yang tidak banyak diketahui
anak-anak lain (termasuk yang Korea sekalipun) adalah fakta kalau dia
penyandang sabuk hitam Taekwondo, olahraga beladiri Korea yang terkenal itu.
Beberapa bulan sebelum datang ke Australia, dia baru menyelesaikan wajib
militernya. Benar-benar pencapaian yang luar biasa buat orang yang
berpenampilan sederhana seperti Sung Ho Park.
Orang-orang Korea sangat bangga dengan salah satu menu
kuliner mereka: Kimchi! Acar sayur dengan saus pedas ini bisa dibilang
merupakan bagian penting dari masakan Korea, sampai-sampai makanan itu dianggap belum
lengkap kalau tidak ada Kimchinya. Suatu hari Sung Ho dan anak-anak Korea
mengundang saya untuk makan siang di bioskop dekat Barrack Street di pusat
kota. Ini pertama kalinya saya merasakan Kimchi. Rasanya pedas, tapi tidak
nendang seperti yang awalnya saya kira. Tapi ya tetap saja menarik buat
dimakan.
Di sisi lain, walaupun orang Jepang malu-malu, mereka ya
sebenarnya tidak begitu tertutup. Mereka tidak keberatan kalau ada orang bukan
Jepang bergabung dengan mereka, walaupun terkadang ada kendala bahasa.
Kadang-kadang mereka juga mengajak saya ke beberapa tempat makan Jepang yang
ada di sekitaran kota Perth. Dan saya perhatikan beberapa cewek-cewek Jepang
suka akrab dengan cowok Indonesia.
Beberapa ratus meter ke utara dari kampus, ada restoran Jepang yang menjual Teriyaki Ayam atau Sapi dengan harga yang cukup bersahabat.
Setelah beberapa waktu, saya perhatikan bahwa ternyata
sebenarnya ada beberapa pelajar Eropa di kampus. Karena jumlahnya sedikit
(kurang dari 10) kami bisa mengkelirukan mereka sebagai dosen. Semuanya
mengikuti kelas atas yang digunakan untuk persiapan kuliah.
Yang pertama sebenarnya nggak Eropa betul, tapi anak cewek
blasteran Eropa dari Singapore yang punya kewarga negaraan ganda Inggris dan
Singapore. Bahkan namanya kedengaran berbau Inggris, walaupun penampilannya
lebih mirip blasteran Melayu dan China. Terkadang saya suka ketemu dia kalau
pas jam istirahat atau di perpustakaan. Bahasa Inggrisnya sempurna, lengkap
dengan aksen Inggrisnya. Saya mikir, kalau bahasa Inggrisnya sebagus itu
ngapain dia ikut kursus disini?
Yang lainnya adalah group pelajar dari Turki. Mereka semua
ikut kelas tingkat atas. Tadinya saya kira semuanya cowok, sampai saya
perhatikan kalau yang paling kecil punya payudara! Rambutnya dipotong pendek,
penampilannya tomboy, dan kesukaannya akan sepak bola (dia sering main di lapangan
sepak bola kampus) nyaris berhasil menyembunyikan identitasnya sebagai
perempuan. Tidak heran kalau dia sering kelihatan mesra dengan seorang pelajar
Turki lain yang fisiknya lebih besar. Kalau saya tidak tahu dia cewek, mungkin
saya bakal mengira mereka pasangan gay! Biarpun begitu, saya pernah tertarik
dengan dia. Saya membayangkan, kalau rambutnya panjang mungkin dia kelihatan
cantik sekali.
Dan ada juga seorang mahasiswa Italia yang pernah saya kira
seorang dosen. Saya akhirnya tahu dia pelajar sewaktu ada kelas campuran, dia
duduknya di kursi pelajar. Dari situ akhirnya saya tahu kalau dia pelajar.
Namun perubahan akhirnya mulai terjadi di kelas saya. Di akhir bulan Agustus saya naik kelas dan juga ganti pengajar. Pengajarnya kali ini adalah bu guru bernama Marianne (tidak ingat nama lengkapnya). Selain itu kita mulai menerima group pelajar baru di kampus. Mayoritas
anak Jepang. Tapi ada juga beberapa pelajar dari negara lain, termasuk
Indonesia.
Salah satunya adalah Reiko Matsui. Dia adalah perempuan
Jepang berumur akhir 20an atau awal 30an yang berasal dari distrik Kawasaki,
dekat Tokyo. Dia datang ke Australia untuk meningkatkan kemampuan bahasa
Inggrisnya. Dia orangnya ramah dan suka bersosialisasi, yang tidak ragu-ragu
untuk berkumpul dengan orang-orang selain Jepang. Tidak seperti mahasiswa baru
lainnya dari Jepang, bahasa Inggrisnya sebenarnya lumayan bagus, walaupun tidak
mendekati sempurna.
Pekerjaannya di Jepang sebenarnya adalah guru bahasa
Inggris. Nah fakta ini yang jadi bahan gunjingan diantara para guru di St.
Mark’s, karena menurut mereka kualitas bahasa Inggrisnya agak jelek. Bahkan
saya kaget kalau ternyata nilai ujian hariannya seringkali dibawah saya. Hal
ini membuat seorang dosen secara terang-terangan mempertanyakan kompetensinya
sebagai guru bahasa Inggris.
Selain itu, group mahasiswa baru ini juga ada mahasiswa
Eropanya. Wah, rupanya gambar di brosus tidak bohong! Akhirnya ada mahasiswa
bule juga. Mereka semua berasal dari Swiss, dan dari bagian etnis Jerman. Kalau
nggak salah ada 5 yang datang hari itu.
Salah satu dari mereka diterima masuk ke kelas kita. Namanya
Heinz Gubler. Dia berasal dari kota kecil bernama Winznau, dekat Olten atau
sekitar 10 kilometer di barat Zurich. Dia bekerja sebagai montir di kampung
halamannya, dimana dia tinggal dengan pacarnya. Dia datang kesini murni untuk
liburan. Karena dia bekerja di bengkel mobil miliknya sendiri, dia bisa bebas
mengatur waktu liburannya.
Heinz Gubler saat bekerja di bengkel mobilnya di Swiss.
Bagi saya, ini pertama kalinya saya berkawan dengan orang
kulit putih. Sebelum itu, saya selalu merasa malu dan gugup kalau ketemu orang
bule. Saya memandang mereka seperti alien dari ruang angkasa. Hal ini mungkin
tidak terlepas dari anggapan semu yang populer di Indonesia kalau orang kulit
putih adalah ras yang lebih superior
Bagi saya pribadi, dengan berkawan dengan orang Eropa ini
menunjukkan bahwa anggapan kita ras inferior dibanding mereka itu adalah palsu,
dan kita sebanding serta sejajar dengan mereka. Ini juga meningkatkan rasa percaya
diri saya berinteraksi dengan orang bule. Tapi ya tetap saya saya masih
penasaran bagaimana rasanya bisa lebih dekat dengan orang kulit putih.
Setelah beberapa hari, saya mulai akrab dengan Heinz. Kami
sering ketemu kalau datang ke kampus, saat dia baru turun dari bus dan saya
datang dari seberang jalan. Kami sering jalan bareng ke kampus dan kelas kami.
Heinz sering menceritakan kisahnya tentang kegiatan outdoor
yang sering dilakukan di negaranya, seperti mendaki gunung atau berlayar di
danau. Hobby favoritnya adalah naik gantole. Dia sering menerbangkan gantolenya
diatas pegunungan bersalju di Swiss kalau musim panas, dimana udara panas bisa membuatnya
melayang lama. Dia terkadang ikut kompetisi terbang gantole, dan kadang menang
dapat piala.
Karena dia warga negara Swiss, dia juga pernah mengikuti
wajib militer. Dia sendiri mahir menggunakan senjata api. Dia sering
menceritakan pengalamannya di militer, seperti mendaki pegunungan terjal
sebagai bagian dari latihan militer, atau menggunakan senjata api unik.
Walaupun pernah berdinas di militer, dia orangnya tidak politis dan suka damai.
Dia lebih suka berjalan-jalan keliling dunia.
Wajib militer adalah keharusan bagi semua warga negara Swiss yang laki-laki yang sudah mencapai batas umur tertentu, tapi tidak wajib buat perempuan.
Saya tidak ingat indentitas anak-anak Swiss lainnya di
kampus. Kebanyakan masuk ke kelas yang tingkat dibawah karena bahasa Inggris
mereka kurang baik. Bahkan mayoritas mahasiswa Swiss sepertinya cenderung
mendapat nilai ujian bahasa Inggris yang lebih rendah dibanding mahasiswa Asia.
Walaupun begitu, ini tidak menghalangi saya untuk bisa dekat dengan mereka.
Cukup menarik juga bahwa ternyata bagi mayoritas dari mereka ini pertama
kalinya mereka pergi keluar Eropa, dan pertama kalinya berinteraksi dengan
orang Asia.
Saya perhatikan, mereka sepertinya punya sentiment
“superioritas Aria”, walaupun mereka tidak memandang rendah saya. Sifat ini
berakar dari identitas etnis Jerman mereka. Mereka menganggap bahasa mereka
“paling susah di dunia” karena “bahasa Jerman sendiri susah saja, apalagi yang
dialek Swiss”.
Mereka juga mengakui kalau orang Swiss Jerman cenderung
picik, walaupun tidak benar-benar rasis. Sementara Swiss Perancis cenderung
lebih terbuka pikirannya. Mereka juga mempercayai kalau Swiss itu “terletak di
tengah dunia” karena “terletak di tengah Eropa yang merupakan pusat kebudayaan
modern dunia”.
Karena saya cuma anak remaja lugu, yang enthusias untuk
mempelajari dunia diluar saja, saya tidak tersinggung sama sekali dengan tetek
bengek superioritas ras mereka. Dan karena mereka semua bersahabat, saya senang
ngumpul dengan mereka.
Walaupun saya sudah terbiasa tinggal di Australia, dan tidak
merasa canggung dengan orang bule, tetap saja saya tidak banyak bersosialisasi
dengan orang Australia diluar orang-orang kampus. Watak mereka yang
terang-terang apa adanya dan terkadang keras, ditambah dengan kebiasaan mereka
yang berbicara keras dengan aksen kental, membuat saya segan bersosialisasi
dengan orang Australia waktu itu.
Mereka kadang suka membahas dan membuat pertanyaan kritis
tentang topik-topik yang umumnya tabu di Indonesia. Kalau tidak puas, mereka
tetap saja menekan sampai saya jadi jengah. Tidak semua orang Australia
seperti itu. Ada juga yang baik dan ramah, tapi sifat mereka sangat kontras
dengan anak-anak Swiss yang jadi kawan saya.
Barangkali kelompok masyarakat Australia yang sering
berinteraksi dengan saya adalah pengendara bis, petugas customer service di
stasiun Perth, karyawan toko, atau penjual di kedai majalah. Tentunya tidak
bisa dihindari kalau saya akan berinteraksi dengan golongan-golongan ini karena
saya sering menggunakan jasa mereka.
Sekali saya pernah bersinggungan dengan sifat buruk orang
Australia sewaktu saya menerima telepon dari seseorang.
Waktu itu Shahjehan mau menjual mobil lamanya. Dia
mengiklankan mobilnya di salah satu koran lokal, jadi banyak orang yang suka
telepon untuk tanya-tanya. Biasanya telepon masuk diterima Siraj, Feroza, atau
Shahjehan sendiri.
Suatu hari saya sendiri menerima telepon dari orang yang
tertarik untuk membeli mobil ini. Karena dia berbicara dengan cepat dan pakai
aksen kental, saya bingung memahami ucapannya. Lalu saya balas “Umm, saya tidak
tahu”. Entah kenapa, karena alasan yang sampai sekarang tidak saya mengerti,
tiba-tiba meledak kemarahannya dan membentak-bentak saya di telepon. “Apa
maksudmu kamu tidak tahu? Apa kamu nggak ngerti yang saya ucapkan???” Saya
otomatis kaget dan gugup sekali dapat perlakuan seperti itu. Dia kemudian
marah-marah dan membentak-bentak saya dengan makian dan segala jenis ucapan
yang tidak pantas. Terakhir dia tanya “Dan memangnya kamu darimana??” Bukannya
saya jawab, teleponnya langsung saya tutup. Saya tahu dia pasti bakal
memaki-maki saya lagi dengan olok-olokan rasis. Itulah pertama kalinya saya
merasakan sifat kasar orang Australia.
Tapi di sisi lain, orang Australia sendiri pada dasarnya
bersahabat dan ramah, dan bisa lebih ikhlas menolong orang lain dibanding orang
Indonesia. Mereka sangat membantu, bahkan ke orang asing. Pernah sekali saya
kesasar waktu mampir ke daerah Morley. Saat saya ragu untuk bertanya, tiba-tiba
seorang perempuan tua yang tidak saya kenal mendekati saya dengan senyum ramah
dan bertanya “Halo anak muda, apa yang bisa saya bantu?” Saya bilang saya
kesasar dan ingin tahu caranya kembali ke kota, dan beliau kemudian memberikan
jawaban yang lengkap untuk pertanyaan saya.
Pramuniaga di toko buku seringkali selalu mengambil
inisiatif lebih dulu untuk menolong saya dengan sopan. Mayoritas pengemudi bis
akan menunggu lebih lama di halte bis kalau mereka melihat kita mengejar bis
mereka, dan akan menyambut kita dengan ramah di pintu bus saat kita datang
terengah-engah.
Pada dasarnya, walaupun sempat mengalami pengalaman buruk di
awal, orang Australia pada dasarnya lebih humanis dan ramah daripada orang
Indonesia di banyak hal.
Dan satu hal yang saya hormati tentang orang Australia
adalah sifat nasionalisme mereka yang kuat. Mereka bisa membangun ikatan dengan
negaranya, punya jiwa patriotism yang memadai, dan mau membela negara mereka,
semua atas kemauan mereka. Tapi di sisi lain mereka terbuka dengan dunia luar,
dan bisa merasa bagian dari itu. Semua itu tanpa kehadiran militerisme di dunia
sipil seperti yang saya alami di Indonesia (seperti upacara bendera atau
baris-berbaris ala militer seperti yang saya laami di Indonesia). Bahkan
personil militer jarang sekali terlihat di lingkungan sipil pakai seragam.
Apa rahasianya?
Australia punya kesejahteraan yang lebih baik lengkap dengan
sistem jaring pengaman sosialnya yang murah hati, system pendidikan yang baik, dan
penegakan hukum yang bagus sekali (dibanding Indonesia). Ini membuat Australia
menjadi negara yang aman dan damai dengan masyarakat yang bersahabat dan
humanis. Ini membuat semua orang merasa seperti di rumah di Australia, dan
kecintaan akan rumah mereka yang nyaman dan damai adalah yang memupuk sifat
nasionalisme mereka.
Walaupun banyak orang Indonesia yang chauvinistis dan picik,
khususnya yang penggemar militer, sering meremehkan Australia sebagai “manja
dan lemah dibanding kita, karena mereka tak pernah mengalami kerasnya hidup ala
militer seperti kita”, kenyataannya Australia adalah negara yang kuat. Bahkan
militernya sering terlibat di banyak konflik militer besar di dunia, termasuk
kedua Perang Dunia. Dan mereka sering menghormati jasa para pahlawan mereka di
parade ANZAC yang digelar tiap tahun.
Parade ANZAC Day di St. Georges Terrace, Perth, tahun 2008 silam.
Saya cukup beruntung pernah sekali melihat acara ini dimana
banyak tentara pramuka, serta para veteran (seperti veteran perang Vietnam,
Kora, Perang Dunia Kedua, dan bahkan Perang Dunia Pertama!) juga mengikuti
parade ini.
Saya ingat mereka berparade sepanjang jalan Adelade Terrace
hingga St. Georges Terrace, sebelum belok dan berkumpul di lapangan Esplanade
Reserve yang sekarang sudah dibongkar. Buat saya, adalah kesempatan langka bisa
melihat parade dan upacara yang melibatkan militer Australia. Saya benar-benar
kagum dengan yang saya lihat (konon orang Jepang disarankan untuk tidak datang
karena sentiment anti Jepang akibat pengalaman perang masa lalu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar