Yang unik dari kegiatan belajar bahasa Inggris disini adalah
kegiatannya bukan cuma datang ke kelas, mendengar dan mencatat materi yang
diberikan guru, atau melakukan aktivitas umum seperti kursus bahasa Inggris di ILP
Surabaya dulu.
Kegiatan di kelas lebih bebas dan interaktif dengan mahasiswa. Kita didorong untuk lebih mengekspersikan diri kita saat memperkenalkan diri. Dan gurunya juga lebih kreatif dalam membuat suasana kelas menyenangkan. Mereka terkadang bisa membuat materi kuliah yang terinspirasi dari cerita mahasiswa. Ini membuat kita merasa dihargai, seakan-akan kita bagian penting dari kegiatan belajar-mengajar, bukan cuma obyek di kelas.
Kegiatan di kelas lebih bebas dan interaktif dengan mahasiswa. Kita didorong untuk lebih mengekspersikan diri kita saat memperkenalkan diri. Dan gurunya juga lebih kreatif dalam membuat suasana kelas menyenangkan. Mereka terkadang bisa membuat materi kuliah yang terinspirasi dari cerita mahasiswa. Ini membuat kita merasa dihargai, seakan-akan kita bagian penting dari kegiatan belajar-mengajar, bukan cuma obyek di kelas.
Selain itu kegiatan belajar-mengajar bukan cuma di kelas. Terkadang
guru mengajak kita pergi ke perpustakaan dan mengijinkan kita membaca buku
apapun atau browsing internet sepanjang sisa hari. Benar-benar santai dan
menyenangkan karena kita bisa lebih bersosialisasi dengan kawan-kawan sekelas.
Berfoto barang di kelas. Dari kiri ke kanan: Saya, Nami*, Namu*, Takeshi*, Sung Ho Park, Jun*, dan guru kami yang bernama Marianne.
Jauh sebelum K-Pop populer di Indonesia dan orang-orang mulai keranjingan tetek bengek budaya pop Korea, saya sudah punya banyak kawan orang Korea!
Disinilah saya mulai akrab dengan seorang pelajar Korea Selatan bernama Sung-Ho Park. Dia adalah anak yang baik dan ramah. Seiring dengan makin seringnya saya ngobrol dengan dia kami sadar kalau kita punya banyak persamaan: kami sama-sama kutu buku yang doyan membaca, kami sama-sama berlatar belakang lingkungan konservatif tapi tertarik untuk membebaskan diri kami dari lingkungan itu, dan suka menjelajahi hal-hal baru. Kami sering saling membantu satu sama lain selama masa kuliah.
Disinilah saya mulai akrab dengan seorang pelajar Korea Selatan bernama Sung-Ho Park. Dia adalah anak yang baik dan ramah. Seiring dengan makin seringnya saya ngobrol dengan dia kami sadar kalau kita punya banyak persamaan: kami sama-sama kutu buku yang doyan membaca, kami sama-sama berlatar belakang lingkungan konservatif tapi tertarik untuk membebaskan diri kami dari lingkungan itu, dan suka menjelajahi hal-hal baru. Kami sering saling membantu satu sama lain selama masa kuliah.
Anak Korea Selatan lain di kelas yang saya kenal adalah Woo
Jae Kim. Dia anaknya besar, berotot kekar, dan berbadan atletis. Orangnya
sangat rajin ikut fitness. Rambutnya yang panjang diwarnai kecoklatan. Kontras
dengan Sung-Ho, Woo Jae anaknya santai dan liberal. Dia sangat kebarat-baratan
dalam sikapnya, tapi tidak dalam pemahaman bahasa. Dia sering mampir ke pub,
dan sering berpesta-pora dan mabuk-mabukan. Dia punya pacar orang Taiwan berbadan sexy dan sintal yang membuat anak-anak Indonesia ngiler. Woo Jae sudah
datang di Australia sejak sebelum ulang tahunnya ke 18 untuk menghindari wajib
militer di negaranya. Karena itu dia berusaha keras agar bisa mendapatkan
kewarganegaraan Australia.
Dan dia juga punya kebiasaan buruk yaitu menggunakan komputer
kampus buat main game Red Alert 2. Kebiasaan ini membuatnya sering diberi
peringatan oleh para petugas perpustakaan. Bahkan di kemudian hari semua komputer
di perpustakaan (dan bahkan di kampus!) dikunci hingga para mahasiswa tidak
bisa menggunakan internet.
Kemudian ada Nami*, seorang mahasiswi Korea Selatan yang
berumur akhir 20an atau awal 30an. Saya sebenarnya tidak begitu akrab dengan
dia, tapi saya selalu ingat kalau ngomong bahasa Inggris dia menggunakan aksen
Amerika yang cukup mencolok. Ini membuat banyak guru penasaran, kok bisa
begitu? Ternyata dia mendapatkan kemampuan itu karena dia sering menonton film-film
Hollywood. Seperti halnya Woo Jae, dia sebenarnya ingin pindah ke Australia dan
inilah sebenarnya alasan dia mengikuti kursu. Namun tidak seperti Woo Jae,
alasan kepindahan Nami* lebih ke alasan finansial dan kesempatan kerja.
Semua anak Korea Selatan yang saya kenal di kelas sangat
bersahabat, mudah akrab, dan ramah. Selain itu mereka juga punya selera humor
yang bagus, sesuatu yang tidak terduga dari masyarakat yang berasal dari negara
yang lingkungannya ketat, gila kerja, dan konservatif. Tapi mungkin waktu itu
memang jaman perubahan juga. Beberapa anak Korea yang saya lihat punya sifat
pemberontak, seperti Woo Jae Kim contohnya.
Saya juga mengenal beberapa anak Jepang juga. Salah satunya
Namu*. Dia adalah perempuan Jepang berumur pertengahan 20an yang kuliah biar
lancar bahasa Inggrisnya. Tapi yang membuat saya terkejut adalah Akiko*. Beliau
adalah perempuan Jepang berumur 50an. Di Jepang, beliau kerja sebagai pemandu
wisata di sebuah tempat wisata, dan beliau kesini biar bahasa Inggrisnya
lancar. Penampilannya cukup informal karena dia sering mengunakan jaket dan tas
pinggang yang berisi kamus dan buku notes.
Orang-orang Jepang sangat halus, sopan, dan pekerja keras.
Mereka sering tersenyum, dan sebenarnya sangat bersahabat. Namun mereka juga
memperlihatkan sifat-sifat yang menurut saya kontras.
Walaupun mereka mereka baik dan ramah, tapi saya menangkap kesan kalau mereka seperti tertutup dan cenderung hanya bersosialisasi dengan kawan sesama orang Jepang. Namun untungnya tidak semua seperti itu. Ada juga yang masih mau ngobrol dengan saya. Bahkan, sudah bukan hal aneh beberapa cewek Jepang punya pacar bukan orang Jepang.
Walaupun mereka mereka baik dan ramah, tapi saya menangkap kesan kalau mereka seperti tertutup dan cenderung hanya bersosialisasi dengan kawan sesama orang Jepang. Namun untungnya tidak semua seperti itu. Ada juga yang masih mau ngobrol dengan saya. Bahkan, sudah bukan hal aneh beberapa cewek Jepang punya pacar bukan orang Jepang.
Kontras dengan image orang Jepang yang di Indonesia
digambarkan sebagai konservatif, pekerja keras yang ulet, ramah, bersahabat,
dan sangat sangat pintar; saya menemui beberapa pelajar Jepang bisa santai,
tidak disiplin, pemberontak, cuekan, dan bahkan malas!
Ada satu mahasiswi Jepang manja yang terkenal karena selalu
jadi pusat perhatian, karena wajahnya yang cantik dan sifatnya yang
memberontak. Saya dengar dia berasal dari keluarga kaya di Jepang. Saya sering
melihat dia kalau pas istirahat merokok di pojokan depan kantin dan ngumpul
dengan cowok-cowok. Dia mungkin juga sering berkata kasar atau tidak sopan,
karena setiap dia bicara beberapa orang Jepang yang agak konservatif kelihatan
merasa tidak nyaman dengan omongann dia.
Kemudian ada lagi satu mahasiswa Jepang bernama Satoru yang
suka minum-minum dan mabuk, sering datang telat ke kampus, dan berpakaian tidak
rapi. Semua ini adalah bukti kalau orang Jepang tidak sehebat yang digambarkan
di negeri saya.
Tapi saya juga perhatikan ada satu anak laki Jepang yang
penampilannya bule banget, lengkap dengan mata biru, tubuh tinggi, dan hidung
mancung. Tadinya saya kira dia orang Eropa. Tapi begitu tahu kalau bahasa
Jepangnya mahir, sementara bahasa Inggrisnya tidak begitu bagus, saya sadar
kalau dia benar-benar orang Jepang. Ternyata dia orang Eurasia (di Jepang suka
disebut “Hafu-haru”) blasteran Jepang-Jerman.
Walaupun hubungan saya dengan anak-anak Jepang baik,
ternyata untuk mempertahankan persahabatan dengan orang Jepang butuh usaha
lebih dibanding dengan yang Korea. Sepertinya mereka menginginkan perhatian
lebih untuk mempertahankan hubungan. Beda dengan orang Korea yang cenderung
lebih sederhana dan santai.
Terkadang guru juga mengundang mahasiswa datang ke rumahnya
agar kita bisa lebih akrab. Saya ingat, suatu hari guru saya, Ursula,
mengundang semua anak di kelas untuk datang ke rumahnya di Cottesloe.
Perjalanan ke rumahnya adalah pertama kalinya saya
menggunakan kereta api KRL di Perth. Sebelumnya, saya ragu-ragu karena saya
kira tiketnya beda dengan yang untuk bis. Tapi Sung Ho mengajari saya kalau
kita bisa menggunakan Multirider juga. Memakainya sederhana sekali, cukup
masukkan kartu Multirider ke mesin validasi di peron, dan kita sudah tinggal
naik saja.
Cara lainnya adalah menggunakan mesin otomat . Kita cuman tinggal tekan tombol di mesinnya. Pertama pilih jenis tiketnya (dewasa, anak, pelajar, atau pensiunan), kemudian tekan zona letak stasiun tujuan, dan kemudian masukkan koin atau uang kertas di slotnya. Kemudian di lubang di bawah akan keluar karcis kita, lengkap dengan uang kembalian kalau ada.
Cara lainnya adalah menggunakan mesin otomat . Kita cuman tinggal tekan tombol di mesinnya. Pertama pilih jenis tiketnya (dewasa, anak, pelajar, atau pensiunan), kemudian tekan zona letak stasiun tujuan, dan kemudian masukkan koin atau uang kertas di slotnya. Kemudian di lubang di bawah akan keluar karcis kita, lengkap dengan uang kembalian kalau ada.
Ciri khas unit mesin otomatis penjual karcis kereta api Transperth. Alat penjual karcis adalah yang di kanan. Tombol hijau adalah jenis karcis, sementara tombol kuning adalah tombol zona stasiun tujuan. Lubang di kotak kanan atas adalah untuk memasukan uang kertas, sementara yang bujur sangkar di bawahnya untuk koin. Selesai transaksi karcis dan uang kembalian akan keluar di slot di bagian bawah mesin. Karcisnya juga bisa dipakai untuk naik bus dan ferry.
Mesin di kiri adalah papan rute dan jadwal kereta api. Alat di bagian kanan mesin aslinya adalah telepon darurat yang tersambung dengan call center Transperth (terlihat sudah rusak). Tombol di bagian bawah akan membunyikan pengumuman sisa waktu sebelum kedatangan kereta api.
Mesin model ini dipensiunkan tahun 2007 silam.
Waktu itu sore hari dan hujan deras di hari Jumat saat kita
berkumpul di stasiun Perth untuk berangkat ke rumahnya Ursula. Kami mengikuti
petunjuk yang beliau berikan dimana kita harus naik kereta api di jalur
Fremantle dan kemudian turun di stasiun Grant Street.
Saya tadinya agak ragu-ragu buat naik kereta api. Di
Indonesia, siapapun yang mau masuk peron stasiun harus punya karcis atau “karcis
peron” untuk masuk. Di Singapore, hanya penumpang yang bisa masuk peron. Tapi
disini kita bisa masuk peron sebebas-bebasnya tanpa diperiksa. Begitu masuk
peron, saya sempat bingung bagaimana memvalidasi Multirider saya. Sung Ho
menunjukkannya (seperti yang saya jelaskan di sebelumnya), dan kita kemudian
lari masuk ke kereta kita yang akan berangkat.
Keretanya penuh sesak dengan para komuter yang pulang ke
rumah di sore hari. Perjalanannya terasa mirip dengan MRT Singapore: sangat
mulus. Walaupun saya perhatikan gebongnya agak lebih sempit, karena dia memang berjalan
di rel yang lebih sempit. Tapi ada satu fitur unik, dan mewah
dibanding MRT Singapore, yaitu deretan kursi yang menghadap ke depan dan
belakang. Kalau pas jam sibuk ini bisa mengurangi ruang buat penumpang, tapi
kalau pas perjalanan jauh rasanya nyaman sekali.
Interior kereta api komuter Transperth, lengkap dengan kursi yang menghadap ke depan dan belakang.
Setelah beberapa menit perjalanan, kami akhirnya sampai di
stasiun Grant Street. Dulu stasiunnya terdiri dari 2 peron yang terpisah jalur
kereta api. Uniknya, mereka tidak persis bersebelahan, tapi terpisah beberapa
meter oleh sebuah jalan kecil. Beberapa tahun kemudian, sewaktu stasiunnya
direnovasi agar bisa menampung rangkaian kereta panjang, peron yang di sebelah
barat dibongkar dan digantikan dengan peron baru yang terletak persis di
seberang rel dari peron timur yang lama. Peron yang di timur juga diperpanjang.
Dari stasiun, kami berjalan ke utara dibawah hujan yang agak
deras untuk mencapai rumahnya Ursula. Saya tidak ingat lokasi persis rumahnya,
yang pasti di bagian depannya ada taman yang rimbun. Rumahnya punya
nuansa klasik seperti awal tahun 1980an. Sewaktu kami masuk, Ursula menyambut
kami dengan ramah dan mengajak kami ngumpul di perpustakaan pribadinya. Suaminya
juga menyambut kami dengan ramah.
Sambutan yang kami terima benar-benar menyenangkan. Kami
duduk-duduk di perpustakaan pribadinya yang menghadap ke pekarangan belakang
yang tampak rimbun.
Ruang perpustakaan pribadi Ursula Mahoney yang menghadap ke pekarangan belakang.
Saya tidak ingat kita ngobrol tentang apa, tapi pembicaraan kami cukup menyenangkan. Malamnya setelah acara kami usai, suami beliau mengantar kami pulang dengan mobilnya, dan kami berterima kasih atas kemurahan hatinya. Kami bisa menghindar dari susahnya mencari transportasi umum di larut malam.
Berkumpul bersama di rumah Ursula. Karena kesalahan teknis, tombol penahan dibawah kamera saya kepencet sehingga frame ini ketimpa foto jepretan berikutnya.
Satu lagi kegiatan luar kelas adalah “Excursion”. Waktu
pertama mendengar kata ini, saya penasaran apa artinya? Apa ada hubungannya
dengan “Exercise” (latihan)? Setelah baca kamus, saya mengerti kalau itu
artinya acara jalan-jalan (biasanya rekreasi). Bahkan selama studi saya disini, kampus
sering mengadakan acara “Excursion” atau jalan-jalan ke beberapa tujuan wisata lokal.
Semua bertujuan untuk membantu pemahaman bahasa Inggris pelajar. Ada beberapa
tempat yang kita kunjungi selama masa studi saya, tapi hanya beberapa yang saya
ingat jelas. Saya mulai dengan yang pertama.
Suatu hari kampus mengadakan acara jalan-jalan dengan
mengajak beberapa kelas ke bendungan Serpentine Dam (saya ingat Woo Jae
memplesetkan kata “dam” untuk bendungan jadi “Damn!”). Kami berangkat dari
kampus naik minibus tua buatan awal tahun 1980an berwarna oranye beratap putih
yang tidak ber AC. Walaupun sudah berumur, tapi bisnya sangat terawat dan
nyaman dinaiki.
Bendungan Serpentine terletak di selatan kota Perth, sekitar
45 menit perjalanan dari kampus. Bis kami berjalan melewati jalan bebas
hambatan Kwinana, sebelum belok ke timur dan melintasi jalur kereta api antar
kota, lalu belok ke arah selatan menuju Great Southern Highway.
Buat saya itu pertama kalinya saya melihat daerah pedesaan
Australia. Walaupun sekilas mirip yang di Jawa, kenyataannya mereka lebih sepi.
Daerah pertanian ya digunakan buat fungsinya, tanpa ada pedesaan di tengahnya.
Dan mereka pastinya tidak menanam padi, tapi tanaman lain seperti kentang,
gandum, dan lain-lain. Terkadang ada juga padang rumput yang luas yang
digunakan untuk peternakan. Pedesaan di Australia kelihatan lebih sepi dari di
Jawa. Daerah-daerah tak berpenghuni juga ada, walaupun lokasinya masih masuk
daerah metropolitan Perth.
Pemandangan pedesaan di selatan kota Perth, di daerah Wungong.
Rute perjalanan kita sepertinya searah dengan jalur kereta
api yang berjalan ke selatan Perth. Walaupun jalurnya kelihatan aktif, saya sama
sekali tidak melihat kereta api yang lewat. Terkadang ada juga jalur cabang yang
bercabang dari jalur utama dan lewat diatas jalan raya yang kita lewati.
Walaupun jalur kereta apinya mirip dengan yang saya lihat di Indonesia, waktu itu saya tidak tahu kalau mayoritas
kereta antar kota adalah kereta barang. Kereta penumpang sangat jarang sekali.
Setelah beberapa menit perjalanan, bis kami belok kiri dan
naik keatas bukit sebelum kami sampai di sebuah bendungan yang besar. Selama
disana kami dipandu oleh seorang guide yang menunjukkan hal-hal penting
mengenai bendungan ini, khususnya fungsinya untuk menyediakan air minum untuk
daerah metropolitan Perth.
Bendungan Serpentine, dilihat dari atas.
Kami tidak lama berada di bendungan. Tak lama kami berangkat
lagi menuju ke air terjun Serpentine yang terletak beberapa kilo dari
bendungan. Dibanding bendungan, air terjun ini lebih menarik untuk dikunjungi. Disini kita bisa menikmati pemandangan air
terjun serta hutan di sekelilingnya. Di musim panas, tempat ini sangat populer buat
pelancong (baik lokal maupun mancanegara) yang mau piknik dan berenang di danau
dibawah air terjunnya. Tapi karena hari itu pas pertengahan musim dingin
(walapun cuacanya cerah) kami tidak tertarik untuk berenang di airnya yang
membeku!
Air terjun Serpentine difoto di bulan Agustus 1997. Perhatikan ada turis di kanan atas.
Dari air terjun, kita menuju ke taman disini dimana kita
mengadakan pesta barbeque (atau dikenal dengan sebutan “Barbie” buat orang
Australia).
Ini pertama kalinya saya ikut pesta barbeque kaya begini.
Jadi kita bakar-bakar dan masak daging yang kita bawa di kompor yang disediakan
di taman. Disini ada beberapa kompor permanen yang bisa dipakai pengunjung.
Cukup dengan masukan koin $2 di slot dan kita bisa memakainya selama beberapa
jam untuk memasak.
Kawan-kawan sekelas memasak bareng daging dengan bumbu Korea dan Jepang.
Kita memasak dan makan semua daging yang kami bawa dari
rumah di kompor ini (termasuk daging ayam dan sapi Halal yang sebelumnya sudah
disiapkan Feroza dari rumah), ditemani minuman ringan seperti Coca Cola,
Sprite, dll.
Bersiap memasak daging yang saya bawa dari rumah. Untungnya tidak ada yang terluka kena pisau.
Acara piknik ini benar-benar menyenangkan. Kami menikmati
makanan yang lezat sambil dikelilingi pemandangan indah, dan bermain-main
dengan kawan-kawan. Tidak heran orang Australia menganggap pesta “Barbie”
sebagai hal yang penting untuk menghabiskan akhir minggu atau liburan dengan
keluarga dan kawan-kawan.
Kalau tidak salah kompornya cuma ada satu, sehingga masaknya antri.
Selama pesta piknik, saya juga berkenalan dengan anak-anak
dari kelas lainnya.
Salah satunya adalah Aven. Dia adalah anak Indonesia dari
Jakarta. Seperti saya, dia juga mengambil kursus bahasa Inggris untuk persiapan
kuliah di Australia. Aven adalah anak yang ramah dan menyenangkan. Dia punya
selera humor yang tinggi. Walaupun bahasa Inggrisnya tidak lancar, dia bisa
menghibur anak pelajar lain dari negara yang berbeda. Kita berhubungan baik
selama masa kuliah, walaupun kesibukannya menghalangi dia jadi kawan dekat
saya seperti halnya Sung Ho.
Foto bareng dengan cewek-cewek Jepang dan Aven (bertopi putih). Patrick* ada di sebelah kiri belakang, melihat ke arah kita.
Saya juga berkenalan dengan seorang pelajar dari Perancis
blasteran Asia (tadinya saya kira dia orang China atau Jepang karena
penampilannya Asia banget). Namanya Patrick*. Saya tidak ingat dia di tingkat
berapa, tapi satu hal yang membuat saya terkejut adalah dia fasih bahasa
Indonesia! Adalah Aven yang memperkenalkan saya dengan dia, dan saya kagum
dengan kemampuan berbahasa Indonesianya, walaupun aksen Perancisnya masih
kedengaran jelas.
Para pelajar Jepang mulai memasak makanannya. Patrick* berdiri di tengah melihat ke kompor.
Ternyata dia sendiri lahir di Indonesia, dari orang tua
campuran (ayah Perancis dan ibu Indonesia). Saya tidak ingat dimana dia lahir
di Indonesia, yang pasti di umur 5 tahun dia ikut pindah ke Perancis dengan
keluarganya.
Begitu masakan kita matang, kami duduk di salah satu meja di
taman untuk menikmati masakan kami. Rasanya enak sekali. Walaupun Feroza sudah menyediakan daging
Halal buat saya, saya penasaran seperti apa rasanya masakan Korea di situ.
Mereka memasak daging sapi dengan bawang daun, biji wijen, dan saus Korea. Sayapun
mencoba sedikit. Rasanya enak banget! Ada rasa pedas, gurih, asin, dan manis.
Setelah makan siang, beberapa guru mengajari kita bagaimana
memainkan permainan olahraga popular di Australia, seperti kriket dan sepak
bola Australia.
Pemandangan taman di sebelah air terjun Serpentine.
Beberapa pelajar, khususnya mahasiswa, menikmati permainan
sepak bolanya.
Seorang pelajar Korea mengejar bola saat permainan sepak bola Australia.
Permainan kriketnya juga menyenangkan, walaupun tidak
satupun menguasai cara melempar bolanya yang unik.
Beberapa pelajar mencoba permainan kriket.
Yang tidak ikut main game (termasuk saya) main-main di
sekeliling lapangan.
Terkadang kita juga foto bersama dengan kawan-kawan sekelas.
Berfoto bareng dengan kawan sekelas. Woo Jae Kim berdiri di sebelah kiri, sementara di sebelahnya ada Akiko*. Ursula berdiri di tengah. Saya memakai kaus tangan karena hawanya terlampau dingin buat saya.
Kita juga melihat air terjunnya. Saya ingat, waktu itu saya
mencoba mengambil gambar selfie pakai kamera diatas tripod. Karena saya tidak
menguasai setingan kamera, hasil fotonya kacau balau!
Foto selfie di depan air terjun Serpentine. Sayang muka saya gelap gulita.
Kami juga naik keatas bukit diatas air terjun.
Beberapa pelajar ada yang naik keatas bukit untuk menikmati pemandangan.
Pemandangan dari atas benar-benar luar biasa karena kita
bisa melihat lembah dibawah. Walaupun perjalanan naik keatas agak berbahaya
juga.
Pemandangan di sekitar air terjun Serpentine.
Selesai acara piknik, kamipun meringkasi semua barang-barang
dan membersihkan sisa-sisa makanan dan sampah di tempat sebelum pulang kembali
ke Perth.
Persiapan pulang kembali ke Perth seusai piknik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar