Selasa, 21 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 28)

Pas tanggal kepulangan saya ke Indonesia makin dekat, orang tua saya datang untuk menjemput saya dari Australia, serta membantu saya mengurangi beban bagasi penerbangan pulang. Saya ingat hari Sabtu malam setelah ujian IELTS, saya dan Siraj pergi ke bandara untuk menjemput orang tua saya.
Siraj waktu itu tengah libur, jadi kita pergi dengan mobil pribadinya. Selama perjalanan Siraj bertanya “Kamu pasti senang ya bisa ketemu orang tuamu lagi. Kamu pasti kangen mereka.” Saya dengan perlahan menjawab “Ya”. Sejujurnya, perasaan saya campur aduk. Setelah hampir 6 bulan tinggal bebas sebagai orang dewasa, saya akan kembali lagi jadi “anak mami”.
Kami akhirnya sampai di bandar udara Perth. Walaupun malam sudah larut, dan jalanan mulai sepi, terminal bandaranya lumayan sibuk. Ada banyak orang menunggu di terminal, umumnya mereka menunggu penerbangan dari Bali. Walaupun Bali sangat populer bagi orang Australia, mayoritas penerbangan dari Bali datang di malam hari. Baik Garuda maupun Qantas datang menjelang tengah malam, sementara airline lain seperti Ansett, Sempati, atau Merpati datang di waktu yang berbeda (saya lupa persisnya jam berapa).



Bandar udara internasional Perth di malam hari.

Orang tua saya datang dari Surabaya, dan transit di Bali, sebelum terbang ke Perth pakai Qantas. Alasan mereka naik Qantas adalah karena saya sudah beli tiket Qantas, bukannya Garuda, buat pulang karena saya pingin merasakan bagaimana rasanya terbang dengan “airline nya orang bule”. Jadi kami akan terbang bareng saat kembali ke Bali.
Sekitar jam 11an, penerbangan orang tua saya akhirnya mendarat di Perth. Setelah menunggu 30 menit lebih untuk melewati imigrasi dan pabean, serta mengambil bagasi, mereka akhirnya masuk ke balai penyambutan. Ibu saya benar-benar senang akhirnya bisa ketemu saya lagi setelah 6 bulan. Orang tua saya kaget karena saya tambah gemuk, dan rupanya saya sekarang berjanggut! Mereka juga bersalaman dengan Siraj dan bertanya bagaimana saya selama di rumahnya.
Begitu naik mobil, kami langsung berangkat menuju ke Pacific Motel dimana orang tua saya akan tinggal.



Kedua orang tua saya di depan Pacific Motel di Highgate, bulan Desember 1997.

Selama perjalanan, ibu saya bercerita tentang bagaimana kocaknya pelayanan pramugari dan pramugara Qantas. Ibu bercerita tentang bagaimana awak kabin membuat lelucon saat melayani tamu, atau melempar bungkus kacang dari satu krew ke krew lain seperti melempar bola di pertandingan rugby. Ini kontras dengan pelayanan Garuda yang membosankan dan konservatif waktu itu.
Malam itu, orang tua saya akan tidur di hotel sementara saya masih tetap tinggal di rumahnya Siraj. Mereka berkata kalau besok mereka akan datang ke rumahnya Siraj untuk melihat lihat, dan kemudian kita akan jalan-jalan keliling kota. Setelah mereka check in ke hotel, saya dan Siraj kembali ke rumah dimana setelah kita sampai kita langsung masuk ke kamar tidur masing-masing.
Paginya, setelah sarapan, orang tua saya datang dan mengetuk pintu. Begitu pintu dibuka Siraj dan sekeluarga menyambut mereka. Ibu saya cukup gemas melihat Suhail dan Shimla yang masih kecil dan lucu-lucunya. Ini pertama kalinya ibu saya datang ke rumahnya Siraj, sementara kedua kalinya buat bapak saya. Bapak saya juga kaget karena Wahyu* menyambut mereka. Bapak saya tanya dimana Dani* dan Erick* sekarang, dan kami menjawab kalau mereka sudah lama pindah. Ibu saya juga tertarik dengan fakta kalau Wahyu* berasal dari Solo, karena keluarga besar ibu dari sana.
Begitu kami semua duduk, kitapun ngobrol-ngobrol di ruang tengah. Bapak saya bertanya ke Siraj bagaimana perilaku saya selama tinggal di rumahnya. Siraj berkata kalau saya baik-baik dan sangat sopan. Dia juga bercanda tentang kebiasaan saya menguasai remote TV atau menonton film dewasa di TV. Bapak saya membalasnya dengan bercanda mengenai kebiasaan saya melihat jalur kereta api kalau kita berpergian ke luar kota dari Surabaya (walaupun saat itu hobby railfans saya lagi tidak aktif), dan juga kecenderungan saya sebagai pendiam. Tapi Shahjehan membela saya, dan mengatakan kalau selama saya tinggal disini saya cukup banyak berbicara.
Setelah ngobrol-ngobrol, Siraj menunjukkan sekeliling rumah ke orang tua saya. Sejujurnya, hari itu keadaan rumah cukup berantakan. Keadaan rumah yang yang semrawut membuat ibu saya gatal ingin membersihkan rumah itu. Sampai-sampai ibu saya bilang kalau seandainya bisa tinggal lebih lama, dia akan membersihkan semuanya.
Selesai lihat-lihat rumah, saya dan orang tua saya pergi ke kota untuk jalan-jalan. Setelah pamit dengan Siraj sekeluarga, kami mulai jalan-jalan ke kota. Pertama-tama kita jalan dulu ke arah kampus. Ibu saya benar-benar mengagumi banyaknya taman di Perth.


Bersantai bersama orang tua di Hyde Park, Perth, hari Minggu tanggal 7 Desember 1997. Ibu saya mengagumi betapa rimbunnya taman ini serta daerah perumahan di sekelilingnya, padahal lokasinya dekat sekali dengan tengah kota. Suatu hal yang mustahil di Surabaya waktu itu.

Ibu saya berkata bahwa kalau seandainya walikota Surabaya melihat seperti ini, dia bakal senang sekali dan akan langsung menjual tanah untuk taman ini ke developer! Waktu itu, walikota Surabaya adalah figure korup dan kontroversial yang suka menjual tanah pemkot atau tanah kosong di sekitaran Surabaya ke developer untuk dijadikan daerah komersial, sementara banyak uang penjualannya masuk ke rekening pribadinya.
Kami juga foto-foto di depan kampus. Hari itu hari Minggu, dan tempatnya kosong melompong. Dari sana kita akan naik kereta api ke Fremantle dari stasiun East Perth. Kami berjalan agak jauh, dibawah sinar matahari yang panas, melalui daerah perumahan Mount Lawley. Kedua orang tua saya mengagumi betapa sepi dan rapinya daerah perumahannya, walaupun lokasinya dekat dengan pusat kota dan stasiun kereta api besar.
Setelah menyeberangi jalan Lord Street, kami masuk ke kompleks stasiun East Perth yang besar. Kereta api Indian Pacific dan Prospector baru saja berangkat sebelum kami sampai, jadi masih ada sisa-sia keramaian hari ini. Ada segerombolan karyawan kereta api yang meringkasi perlengkapan mereka, atau pengantar yang masih di stasiun. Kalau tidak ada kereta api Indian Pacific, stasiun ini biasanya sepi sekali. Paling-paling yang ada hanya pegawai penjual tiket atau beberapa petugas kebersihan.
Kami berjalan menuju peron kereta perkotaan East Perth, di sebuah peron terpisah di seberang jalur kereta api utama di stasiun East Perth. Ibu saya cukup kagum bagaimana mesin penjual tiket otomatis bekerja. Saya juga menjelaskan ke bapak saya kalau tiket yang dijual di mesin otomat bisa dipakai untuk naik bis.
Ada sebuah insiden kecil saat kami menunggu kereta kami datang. Tiba-tiba saja ada orang mabuk yang datang dan bertanya dengan nada kasar ke kita tentang jadwal kereta ke Midland. Sayapun menjawab ala kadarnya, agar dia lekas pergi. Untungnya dia lekas menyingkir ke sisi lain peron stasiun. Namun tiba-tiba orang itu muntah-muntah dengan deras di peron sisi lain. Walaupun kita tak melihat kejadiannya karena tertutup tembok, suara muntahannya yang deras cukup membuat kita semua jijik.
Hari ini kami akan menuju ke Fremantle, jadi dari East Perth kita cuma tinggal duduk santai dan menikmati perjalanan hingga Fremantle. Ibu saya cukup terkesan dengan betapa bersih dan nyaman KRL perkotaan di Perth. Walaupun MRT di Singapore (yang kami naiki di tahun 1994 dan 1995) sama bersih dan rapinya, keretanya Transperth ada kursi yang menghadap depan dan belakang yang membuat perjalanan lebih nyaman lagi.
Sayangnya, perjalanan tamasya kami selesai lebih awal dari yang direncanakan. Begitu sampai di stasiun Perth, masinis mengabarkan melalui pengeras suara kereta kalau layanannya habis disini dan penumpang harus naik bis pengganti kereta di depan stasiun. Saya tidak ingat kenapa kok jalur ke Fremantle waktu itu ditutup. Akhirnya kami turun dari kereta dan menuju ke area parkiran di depan stasiun, dimana bis pengganti menunggu. Bisnya menggunakan bis gandeng. Karena jumlah penumpang sedikit, satu bis cukup untuk menampung semua penumpang tujuan Fremantle.
Karena bisnya menggantikan layanan kereta api, dia berjalan melewati rute yang lebih panjang dan tidak langsung, karena dia harus mampir ke semua stasiun di jalur kereta api Fremantle. Beberapa stasiun terletak lumayan jauh dari jalan utama Perth-Fremantle, jadi perjalanan kami terasa lama sekali. Ditambah hawa musim panas, dan tidak bisnya tidak ber-AC, perjalanan ini terasa tidak nyaman.
Sewaktu bis kita lewat dekat pelataran langsir kereta api barang di Leighton, saya melihat ada rangkaian kereta pengangkut gandum ditarik lokomotif berwarna hijau dengan hidung miring. Sewaktu melihat lokonya, saya tiba-tiba teringat bahwa itu mirip loko yang biasanya muncul di brosur iklan kereta api Indian Pacific. Belakangan saya mengerti kalau itu adalah lokomotif kelas EL, dan saya bersyukur sekarang punya model kereta apinya yang dicat dengan warna Australian National Railway seperti saat saya lihat waktu itu.



Lokomotif kelas EL menarik rangkaian kereta api The Ghan di kota Adelaide. KA Indian Pacific rangkaiannya mirip seperti ini, hanya tidak ada stripping oranye di tengahnya.

Bis kami akhirnya sampai di stasiun Fremantle, dan kita mulai jalan-jalan ke arah jalan Market Street, sambil menikmati pemandangan tengah kota yang ramai. Kami juga mampir ke pasar Fremantle yang ramai. Saya ingat orang tua saya membeli banyak permen dan cinderamata buat oleh-oleh di rumah. Kami juga sempat pertunjukan seniman jalanan di depan pasar yang ditonton banyak orang.
Dari pasar, saya mengajak orang tua saya melihat penjara Fremantle. Mereka awalnya heran ngapain kita mampir ke penjara? Mereka belum pernah melihat atraksi wisata seperti itu sebelumnya. Tapi sewaktu saya bilang tempatnya menarik untuk dikunjungi, mereka pun setuju untuk mampir ke penjara Fremantle.



Berpose bersama di depan penjara Fremantle.

Saya tidak usah menjelaskan secara detail kunjungan kita, karena sudah di bagian terdahulu. Ini ketiga kalinya saya datang kesini, tapi pertama kalinya buat orang tua saya. Kunjungan ini membuka pandangan orang tua saya tentang bagaimana orang Australia bisa membuat penjara menjadi tempat tujuan wisata berkelas. Bukannya takut, mereka sangat menikmati kunjungan ini.
Waktu itu ada penjara tua yang seumuran di Surabaya, namanya penjara Kalisosok, yang tidak ada rencana untuk dipreservasi. Bahkan setelah tutup tahun 2000 silam, penjara ini sekarang mangkrak. Apalagi waktu itu Surabaya adalah kota yang kusam dan tak ramah turis. Begitu melihat bagaimana orang Australia bisa mengelola penjara Fremantle jadi tujuan wisata terkenal, kita membayangkan andai penjara Kalisosok bisa dibuat seperti ini.
Sewaktu kita lagi menyusuri penjara Fremantle dengan group kita, tiba-tiba saya mendengar suara klakson lokomotif dan gemuruh kereta api lewat di kejauhan. Ini pasti lokomotif EL yang menarik rangkaian kereta api gandum tadi. Saya pikir seandainya waktu itu saya tidak lagi membawa orang tua saya keliling, saya mungkin bakal memotret lokomotif itu. Itu ternyata satu-satunya kesempatan saya melihat lokomotif itu. Saya tidak pernah melihatnya lagi setelah itu.
Selesai tour keliling penjara Fremantle, kami kembali ke pusat kota untuk lihat-lihat dan sedikit belanja sebelum kembali ke Perth. Kami juga sempat keliling-keliling di kota Perth, termasuk mengunjungi lorong London Court Arcade dengan desain arsitekturnya yang membuat kagum ibu saya. Kita juga membeli beberapa oleh-oleh buat keluarga dan sanak saudara di Surabaya.



Belanja di London Court Arcade di pusat kota Perth.

Saya juga mengajak orang tua saya ke King’s Park dimana ibu saya puas bisa melihat pemandangan seluruh kota dari atas. Beliau kagum dengan kunjungan ini serta bagaimana rapinya kota Perth.



Menikmati pemandangan kota Perth dari atas bukit di King's Park.

Selesai jalan-jalan di kota kami balik kembali ke Pacific Motel. Mala mini kita akan tinggal bersama di hotel. Saya sudah membawa banyak baju buat menginap serta mengabari Siraj kalau saya malam ini akan menginap dengan orang tua saya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar