Akhirnya hari-H ujian IELTS telah tiba. Ujiannya jatuh hari
Sabtu tanggal 6 Desember 1997. Alasan penyelenggara ujian mengadakannya di
akhir minggu adalah untuk memastikan bahwa kegiatan kampus tidak bentrok dengan
ujian. Selain itu juga agar ada banyak tempat buat ruang ujian, yang menggunakan
ruang-ruang kelas dan teater.
Setelah sarapan dan mandi, saya berangkat di pagi yang tidak
biasanya dingin menuju ke Bentley. Perjalanan menuju ke tempat ujian terasa
biasa-biasa saja. Saya naik bis dari Fitzgerald Street ke stasiun Perth. Dari
sana saya naik kereta tujuan Armadale. Selama perjalanan saya membaca-baca
materi kuliah yang ditulis di kelas. Sebenarnya ini tidak perlu karena
sebelumnya para pengajar sudah menekankan kalau kita dinilai dari kemampuan
kita, bukan apa yang kita hafal.
Mungkin ini kebiasaan dari jaman sekolah di Indonesia dimana
system pendidikannya menekankan kemampuan pelajar untuk menghafal apa yang
diajari di kelas. Apalah, saya melakukan ini mungkin untuk mengurangi kegugupan
saya dan mengurangi rasa bersalah karena tidak cukup mempelajari materi yang diajarkan
dosen.
Begitu kereta sampai di stasiun Oats Street, saya turun dan
kemudian naik bus ke Curtin University di Bentley. Setelah
melewati daerah perumahan, bis saya sampai di perhentian bis jalan Hayman Road.
Waktu itu tempatnya hanyalah tempat perhentian bis biasa, lengkap dengan jalur
memutar untuk bis, tapi sekarang sudah jadi terminal bis.
Halte bis Curtin University di jalan Hayman Road.. Di tahun 1997 tempatnya lebih kecil, atap haltenya model yang sederhana, serta bisnya juga model yang lama.
Saya berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke dalam
kampus. Walaupun sudah musim panas tapi pagi itu lumayan dingin. Suasana
kampusnya tenang dan hening, diselingi suara burung, semprotan air,
dan angin yang berhembus. Terkadang ada juga para pelari jogging dan tukang
kebun yang melakukan aktivitas mereka. Tidak susah buat saya mencari tempat
ujian, karena saya sudah kesini sebelumnya.
Kampus Curtin University di daerah Bentley di sore hari.
Begitu sampai ke tempat ujian, ternyata sudah banyak orang
yang datang untuk ujian. Tidak semuanya pelajar, ada juga orang-orang tua yang
ikut ujian. Setelah ngobrol dengan beberapa orang di situ, ternyata mayoritas
ikut ujian untuk masuk kuliah. Sebagian kecil ikut ujian untuk kerja atau
keperluan imigrasi.
Tapi anehnya ada juga beberapa orang Australia yang juga
ikut ujian. Aneh juga karena bahasa Inggris adalah bahasa asli mereka.
Saya bertanya ke salah satu dari mereka alasan ikut ujian. Katanya dia ikut untuk masuk program pendidikan guru bahasa Inggris.
Para mahasiswa dan mahasiswi bersantai di kampus Bentley. Di latar belakang adalah gedung fakultas Arsitektur dan Perencanaan Tata Ruang.
Sewaktu saya menunggu waktu ujian dimulai, saya sempat
bersosialisasi dengan beberapa peserta. Saya bertemu dengan seorang mahasiswa
Jepang bernama Takeshi*. Bahasa Inggrisnya lumayan bagus, mungkin pelajar
Jepang dengan bahasa Inggris terbaik yang pernah saya temui di Perth. Dia
bilang dia ikut ujian karena mau kuliah di Australia. Walaupun dia belajar
bahasa Inggris di Perth, rencananya dia akan kuliah di Sydney.
Saya juga bertemu dengan seorang Somalia bertama Ahmad*. Dia
berumur akhir 20an atau awal 30an. Bahasa Inggrisnya patah-patah tapi masih
bisa dipahami. Saya tidak ingat apa alasan dia ikut ujian, tapi berhubung waktu
itu Somalia sedang dilanda perang, saya menduga dia mau berimigrasi ke
Australia. Walaupun awalnya periang dan bersahabat, terkadang saya menangkap
kesan kalau dia bisa berubah-ubah sikapnya dan temperamental.
Sewaktu jam menunjukkan pukul 9, guru yang mengawasi ujian
meminta peserta masuk ke ruang kelasnya masing-masing untuk memulai ujian.
Kalau nggak salah, tempatnya menggunakan ruang-ruang kelas bahasa Inggris
Curtin University. Ada juga beberapa peserta yang melakukan ujian di teater
kampus di dekat situ.
Saat mengantri masuk dan lagi ngobrol dengan Takeshi* tiba-tiba ada cewek di depan kita berbalik ke arah kita dan
bertanya tentang ruang kelas ujian. Dia adalah cewek Australia yang cantik
sepantaran dengan saya. Rambutnya hitam, kulitnya putih, matanya hijau,
badannya lumayan berisi, dan penampilannya mirip orang Eropa selatan. Dia
mengenakan baju tank top warna biru muda dan celana jeans hitam. Dia
mengenalkan namanya sebagai Paola Celesti. Dia adalah orang Australia blasteran
Italia dan Inggris yang tinggal di utara Perth. Seingat saya wajahnya mirip
dengan aktris Italia Alessandra Mastronardi, dengan sedikit tampilan Inggris.
Wow, disapa sama cewek cantik benar-benar menambah semangat di pagi hari.
Foto Alessandra Mastronardi yang merupakan seorang artis Italia terkenal. Paola Celesti wajahnya mirip dia hanya orangnya agak gemukan.
Kami diarahkan ke kelas kami masing-masing. Saya masuk ke
ruang kelas yang sama dengan Takeshi*, sementara Paola dan Ahmad* ke ruang
lain.
Contoh ruang kelas di Curtin University kampus Bentley, yang digunakan untuk ujian IELTS.
Nah sekarang ujiannya dimulai. Bagian pertama adalah
“Listening” dimana kita mendengarkan percakapan di pemutar kaset dan kemudian
mengisi lembar jawaban dengan informasi di rekaman tadi.
Yang ini terasa mudah sekali kalau dibandingkan ujian “Listening” versinya
Milo, waktu di kelas. Bahkan sewaktu mereka beralih ke bagian yang paling sulit,
dimana percakapannya makin cepat, ucapannya masih terdengar jelas dipahami.
Bagian berikutnya nggak terlalu mudah, dan bahkan makin lama
makin susah. Bagian “Reading” itu kompleks dan banyak jebakannya. Jawabannya
tidak seperti yang kita kira. Seringkali jawaban yang benar bukan apa yang
tertulis di teks tapi kata lain untuk menjelaskannya. Dan bagian “Writing”
adalah yang tersusah diantara semuanya. Kita harus membuat artikel pendek untuk
menjelaskan gambar diagram serta grafik data di soal ujian. Karena sudah
terdesak, akhirnya saya ngasal saja. Saya berharap semoga hasilnya nggak
jelek-jelek banget, karena hasil ujian ini bakal penting buat masa depan saya.
Setelah bagian-bagian itu selesai, saatnya istirahat makan
siang. Saya nggak ingat apa yang waktu itu saya makan karena semua restoran di
kampus Bentley tutup karena libur akhir minggu. Kita mendapat jatah istirahat
satu jam sebelum kita memulai ujian “Speaking”. Beberapa mahasiswa mengisi
waktu dengan ngobrol. Ada yang ngobrol dengan pelajar dari sesama negaranya,
tapi ada yang ngobrol dengan yang dari lain negara. Ada juga yang duduk-duduk
sendirian.
Suasana istirahat di kampus Bentley. Seingat saya taman di sekitaran tempat ujian dipenuhi pohon pinus seperti di gambar. Hanya dulu tidak ada kursi-kursi sofa seperti di gambar.
Tiba-tiba saya melihat Paola duduk sendirian di sebelah meja
di salah satu sudut ruangan. Dia duduk disitu sambil melamun, dan cuek saja
dengan keadaan sekitarnya. Sayapun memberanikan diri mendekati dia. Saya
menyapa dia. Tadinya saya pikir dia mungkin cuek saja atau menyambut saya dengan dingin.
Tapi saya terkejut sewaktu dia membalas saya dengan hangat! Saya gembira sekali
karena dia mau diajak bicara.
Ngobrol-ngobrol dengan Paola sebenarnya bagus untuk
persiapan ujian “Speaking”, karena dia orang native speaker. Paling tidak ini
membantu saya mengumpulkan kepercayaan diri, dan di sisi lain bisa memperbaiki
kemampuan bicara bahasa Inggris saya. Lagipula saya kan tidak sering bisa
ngobrol dengan cewek cantik. Saya tanya ke Paola kenapa kok dia ikut ujian ini,
karena dia sendiri adalah native speaker yang tidak wajib ikut ujian IELTS buat
masuk kuliah. Dia menjawab kalau dia sebenarnya iseng saja ikut ujian. Makin
lama kita ngobrol, kok saya rasanya makin tertarik sama dia.
Paola bertanya dari mana saya. Saya menjawab kalau saya dari
Indonesia dan datang kesini untuk belajar bahasa Inggris buat masuk kuliah. Dia
tertarik dengan jawaban saya dan bertanya bagaimana rasanya kuliah disini. Saya
jawab rasanya luar biasa bagus dan bisa membuka mata saya tentang dunia luar.
Kemudian dia tanya kemana saya akan pergi setelah ini, sayapun menjawab kalau
saya akan melanjutkan kuliah di Australia. Diapun terkagum-kagum dengan
jawabanku.
Kemudian Paola menambahkan kalau sebelum ikut ujian ini, dia
harus ikut ujian TEE (Tertiary Entrance Exam) untuk lulus SMA dan boleh masuk
kuliah. Dia berkata kalau ujiannya sulit. Saya tanya apa TEE itu, dan dia
menjawab itu adalah ujian akhir sekolah. Biasanya diberikan kalau masa belajar
mau selesai. Dan hasilnya akan dinilai oleh universitas untuk menentukan apa si
pelajar bisa masuk.
Sayapun menjawab kalau ujian TEE kontras dengan ujian anak
SMA di Indonesia. Di Indonesia ujiannya berlapis-lapis. Ada ujian terakhir SMA,
kemudian ujian nasional EBTANAS, dan lalu kalau mau mendaftar kuliah harus ikut
ujian nasional lagi bernama UMPTN. Paola pun terkejut dengan betapa susahnya
menjadi anak Indonesia, karena mereka harus menjalani banyak ujian untuk masuk
kuliah dibandingkan dengan anak Australia yang ujiannya hanya sekali.
Ketika kami sedang mengobrol, saya perhatikan kalau ujian “Speaking”
sudah dimulai. Penguji memanggil peserta satu per satu. Setelah beberapa menit
akhirnya giliran saya tiba. Sayapun pamit sama Paola dan berjanji akan ketemu
lagi kalau ujiannya selesai. Saya kemudian langsung menuju ke ruangan ujian.
Saya merasa tegang, rasanya seperti mau disuntik. Tak lama kemudian saya masuk
sebuah ruangan kelas, dimana penguji duduk di sebelah meja di depan kelas. Saya
duduk di depannya untuk melaksanakan ujian.
Sang penguji adalah perempuan paruh baya berumur 50an,
dengan rambut pirang berombak dan memakai kacamata. Dia mungkin salah satu
pengajar program bahasa Inggris di Curtin University, atau dimanapun di Perth.
Beliau meminta saya untuk duduk sebelum memperkenalkan dirinya. Sebelum ujian
dimulai, dia memberikan instruksi tentang ujian yang harus saya jalani serta batas waktu melakukan ujian ini dan
ketika kita siap, dia mulai merekam percakapan kita.
Akhirnya ujian “Speaking” dimulai dengan bagian pertama
adalah perkenalan diri saya dan penjelasan tentang diri saya serta hal-hal
tentang kehidupan saya yang menarik untuk didiskusikan. Setelah itu kita menuju
ke bagian berikutnya dimana penguji akan mengutarakan sebuah topik dan saya
harus menjelaskan pandangan dan ide mengenai issue tersebut. Tentunya cara saya
mempresentasikan yang akan menentukan hasil ujian.
Rupanya ngobrol-ngobrol dengan Paola sebelum ujian bisa
meningkatkan kepercayaan diri saya agar bisa melalui ujian “Speaking” ini
dengan lebih lancar dan tidak terlalu tegang.
Contoh ilustrasi sesi ujian "Speaking" saat kegiatan ujian IELTS. Sesi ini menegangkan buat peserta, dan sebenarnya juga buat penguji, karena mereka harus melakukan tugasnya dengan benar.
Seusai ujian, penguji mengucapkan selamat ke saya atas
selesainya ujian ini. Dia juga menjelaskan kalau hasilnya akan diumumkan
sebulan setelah ujian. Karena saya akan ada di Surabaya waktu itu, saya
memberikan alamat pos saya di Surabaya agar hasilnya diposkan ke rumah.
Begitu saya meninggalkan ruangan, ternyata diluar sudah
cukup sepi. Tidak banyak peserta yang tersisa. Saya sempat ketemuan dengan
Takeshi* sebentar dan bertanya bagaimana ujiannya. Dia berkata kalau ujiannya
oke, walaupun sempat gugup dan tegang. Karena dia tergesa-gesa harus balik,
kamipun berpamitan dan berpisah sebelum dia pulang. Saya juga sempat ketemu
lagi dengan Ahmed*, tapi tidak seperti waktu pertama ketemu dimana ekspresinya
riang, kali ini dia tampak sama sekali tidak ramah dan tidak mau didekati. Saya
tidak tahu apa masalahnya karena dia terus pergi.
Tapi kekecewaan terbesarsaya adalah Paola tidak ada! Saya
menunggu beberapa waktu, berharap mungkin dia akan keluar dari salah satu ruang
ujian. Tapi setelah menunggu selama hampir sejam, dia tetap tidak kelihatan.
Kampus mulai sepi karena mayoritas peserta ujian sudah pulang. Akhirnya
saya memilih untuk pergi dengan perasaan agak patah hati. Kalau seandainya
smartphone sudah ada waktu itu kita mungkin sudah bertukar nomor telepon
dan/atau alamat e-mail, dan mungkin kita masih berkontak-kontak lebih lama
lagi. Bahkan mungkin akan lebih mudah buat saya buat move on dari Denise. Tapi
masalahnya waktu itu saya tidak familiar dengan e-mail dan sosmed internet belum ada.
Jadi saya akhirnya pulang dengan perasaan agak kecewa.
Saya berjalan kembali ke halte bis. Tempatnya agak ramai
karena ada banyak pelajar (mayoritas Jepang dan Korea) yang mau naik bis
kembali ke pusat kota. Tidak satupun saya kenal. Mereka sepertinya berasal dari
kampus lain. Selama perjalanan balik, saya duduk di bis dan menikmati perjalanan
dan pemandangan daerah perumahan, sambil membayangkan tentang Paola. Kalau
seandainya saya bisa tetap berkomunikasi dengan dia, mungkin mudah buat saya untuk
melupakan Denise.
Sesampainya bis di stasiun Oats Street, saya turun dan
kemudian naik kereta api balik ke Perth. Di Perth, saya memilih
untuk jalan-jalan keliling sambil menikmati suasana kota untuk bersantai. Kota
Perth tengah sibuk dengan kegiatan orang-orang yang lalu lalang. Karena masa
terberat ujian sudah lewat, saya memutuskan untuk merayakannya dengan makan
kebab di food court dekat situ. Saat toko-toko mulai tutup, saya pulang balik
ke rumah Siraj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar