Di awal November, satu group pelajar baru datang ke kampus
kita. Mereka mayoritas orang Eropa, dan rupanya juga dari Swiss. Tapi tidak
seperti kelompok pelajar Swiss terdahulu, mereka adalah orang Swiss Perancis.
Ini pertama kalinya saya berkenalan dengan orang Swiss Perancis. Secara sekilas
penampilan mereka beda dengan yang Jerman karena ada unsur orang Latino,
seperti halnya orang Perancis.
Beberapa dari pelajar Swiss Perancis ini ada yang bergabung
di kelas saya. Yang pertama adalah Anouchka (saya tidak ingat nama lengkapnya).
Dia adalah perempuan berambut pirang panjang dengan kulit berbintik-bintik,
berumur 20an dari Jenewa. Pekerjaannya disana agak aneh untuk negara tengah
daratan seperti Swiss: instruktur menyelam! Dia sudah bekerja di bidang itu
selama 4 tahun, selain juga menjadi instruktur renang. Cowoknya juga kuliah di
kampus, walaupun di kelas lain. Kemudian ada satu mahasiswa bernama Pierre*.
Dia anak lelaki berwajah tampan berumur awal 20an, dari Lausanne. Di Swiss dia
bekerja sebagai penjaga toko olahraga disana. Dia modelnya mirip dengan
cowok-cowok Perancis yang kita temui di film romantic dari Perancis. Bahkan dia
kemudian berpacaran dengan Keiko* (karyawan kantin dari Jepang yang dulu sering
saya ajak ngobrol setelah kelas).
Satu lagi pelajar Eropa yang saya kenal adalah Anna*. Dia
adalah ibu-ibu paruh baya dari Austria yang menghadiri kelas ini untuk mengisi
liburannya, dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Dia orangnya
sederhana, tapi mudah bergaul. Dia selalu tertarik untuk mengetahui budaya
orang lain, dan sering bertanya tentang saya. Sewaktu saya bilang kalau saya
seorang Muslim, dia berpikir apa saya akan punya 2 istri di masa depan, yang
saya jawab tidak akan karena ribet.
Nongkrong bareng di cafe setelah tour ke penjara Fremantle. Dari kiri ke kanan: Anna*, saya, Anouchka, Ryo*, Beverley Martyn, Park*, Nattaporn, dan beberapa anak lainnya yang saya tidak ingat namanya.
Selain dari Eropa, kita juga menerima group pelajar baru
dari Jepang (walaupun tidak semua datang ke kelas yang sama dengan saya). Satu
yang saya ingat adalah Ryo*. Dia punya badan atletis, dan sering ikut lomba
triathlon (termasuk satu di Perth yang diadakan sebulan sebelum dia masuk).
Bahasa Inggrisnya tidak begitu bagus, tapi dibanding anak-anak Jepang lainnya
dia selalu ingin berinteraksi dengan orang-orang selain Jepang.
Tapi kawan paling penting yang muncul di periode ini adalah
anak Indonesia baru dari Surakarta/Solo. Namanya Wahyu*. Dia tidak hanya
belajar di kampus yang sama dengan saya, tapi rupanya juga tinggal di rumah
yang sama dengan saya! Dia tinggal di kamar yang dulunya dipakai oleh Dani*.
Untuk pertama kalinya saya punya teman serumah yang bersahabat dan bisa diajak
ngobrol. Dan menariknya karena kita punya asal-usul yang sama (keluarga besar
ibu saya dari Solo, dan saya sering kesana) maka mudah bagi kita untuk jadi
akrab. Kami sering ngobrol bareng, baik di rumah maupun di kampus, dan dia
benar-benar teman yang menyenangkan. Siraj bersyukur bahwa akhirnya saya ada
kawan yang jauh lebih bersahabat dibanding Dani* dan Erick* di masa lalu.
Karena saya naik kelas, pengajarnya juga ganti. Saya sudah
tidak di kelasnya Milo lagi, tapi masuk ke kelas yang dosennya orang Amerika.
Namanya Mike*. Dia adalah orang Amerika keturunan Ukraina dan Ceko. Kontras
dengan para pengajar sebelumnya, selain karena aksen Amerikanya, dia orangnya
lucu dan tidak bisa mengatur waktu. Dia tidak bisa mengeja nama saya dengan
benar. Sepanjang kelas dia sering berbicara panjang lebar tentang issue yang
ada di buku. Dia sering menghubungkannya dengan pengalaman pribadinya, dan
sering menambahkan cerita lucu. Tapi masalahnya, dia sering berbicara terlalu
panjang sampai melewati batas waktu kelas. Sering kita masuk waktu istirahat,
atau pulang, tampak sempat menyelesaikan materi pelajaran. Buat mahasiswa
tingkat atas, ini mungkin nggak terlalu masalah. Tapi buat pemula dia bisa
memberikan contoh buruk. Walaupun orangnya kacau balau, dia cukup populer di kalangan mahasiswa.
Bisa dibilang minggu-minggu terakhir studi saya di Perth
terasa membosankan, dibanding sewaktu masih ada Denise. Mudah buat saya untuk
akrab dengan orang Swiss Perancis. Mereka lebih terbuka dan rendah hati
dibanding rekan senegaranya yang etnis Jerman. Mereka juga mau berkumpul dengan
pelajar Asia tanpa banyak masalah. Saya sering makan siang bareng dengan
Anouchka dan pacarnya, serta dengan Pierre*. Pierre* adalah penggemar berat Kit
Kat dan hampir setiap hari dia beli permen cokelat satu ini.
Sewaktu Kit Kat Chunky Bar diluncurkan, dia entusias untuk
membelinya. Selain itu, beberapa minggu kemudian saya sering melihat Pierre*
duduk bareng sama Keiko*. Kayaknya ini pertama kalinya saya melihat pelajar
Eropa pacaran sama orang Asia.
Dan di bulan ini juga saya melakukan tour terakhir saya. Ini
adalah kunjungan ke penjara Fremantle (lagi). Pada dasarnya sama dengan yang
pertama dulu, hanya orang-orangnya beda. Karena kita berkunjung saat cuacanya
panas, kita bisa merasakan bagaimana rasanya berada di dalam penjara saat musim
panas. Asal tahu saja, musim panas di Australia umumnya panas sekali. Tapi
anehnya di dalam penjara hawanya nyaman. Nggak terlalu panas, tapi nggak
sedingin musim dingin.
Selesai tour, saya mulai lebih serius dengan studi saya.
Saya selalu mencari-cari di perpustakaan dan internet mengenai bidang kuliah yang
ada. Mesin pencari di internet masih belum secanggih sekarang. Yahoo adalah
favorit saya, selain AltaVista. Google belum ada waktu itu, sementara e-mail
berbayar adalah barang umum (bahkan provider e-mail gratis saya, Hotmail, sempat diisukan akan beralih jadi layanan berbayar).
Saya melihat beberapa program studi yang ada. Penerbangan jelas
sudah nggak masuk hitungan sekarang. Saya juga tidak tertarik dengan mata
kuliah engineering atau ekonomi. Bidang seni kerasa aneh. Walaupun saya tidak
suka eksakta, saya masih punya minat di bidang computer. Bidang kuliah tentang komputer
yang populer adalah Computer Science yang ada di beberapa universitas disana.
Yang memotivasi saya untuk kuliah di bidang computer adalah minat saya di dunia
gaming. Saya ingin belajar membuat game computer dan membuatnya jadi mata
pencaharian di masa depan.
Sayangnya, Matematika dan Fisika bukan keunggulan saya.
Bahkan waktu di SMA, saya mengambil bidang Sosial bukannya Eksakta, karena
nilai pelajaran eksakta saya seringkali jelek (kecuali untuk hitung-hitungan
pelajaran ekonomi). Dan sewaktu saya melihat persyaratan masuk kuliah Computer
Science, saya merasa gentar dengan fakta kalau saya harus mahir di bidang
matematika dan juga sedikit bidang fisika.
Tapi kemudian saya melihat ada satu bidang studi yang
menarik: program Bachelor of Multimedia. Saya penasaran akan bidang ini.
Kelihatannya seperti kuliah computer, tapi tidak mengharuskan calon mahasiswanya
mahir di bidang matematika. Kemudian saya ingat kalau Shahjehan kuliah computer
di Edith Cowan University, jadi dia semestinya punya informasi yang bisa
membantu saya.
Logo Edith Cowan University di tahun 1997. Yang sekarang sudah tidak seperti ini.
Suatu malam, saya mengetuk pintu kamarnya untuk menanyakan
beberapa hal. Dia keluar dari kamar tidurnya yang sempit dan menyambut saya.
Saya tanya apa sih kuliah Multimedia itu? Dia menjawab bahwa kuliah Multimedia
adalah bidang kuliah dimana kita menggunakan computer untuk memproses gambar
dan suara, membuat animasi, dan bahkan membuat game komputer. Wow! Kayaknya
menarik ini. Mulai saat itu, saya sudah memutuskan bahwa selesai kuliah bahasa
Inggris, saya akan mengambil bisang kuliah Bachelor of Multimedia.
Saya berterima kasih ke Shahjehan dan kembali ke kamar saya
untuk tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar