Selasa, 14 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 16)

Di akhir Agustus, saya sudah benar-benar beradaptasi dengan hidup di Australia, baik di dalam maupun luar kampus. Saya merasa senang berada di Australia. Ini pertama kalinya dalam hidup saya tinggal di luar negeri lebih dari 1 minggu, dan saya benar-benar menikmatinya.


Saya juga akhirnya menjadi sangat akrab dengan kawan-kawan saya yang berasal dari berbagai negara, lengkap dengan budaya dan tata kramanya.


Sung Ho Park (kanan) duduk bareng anak Jepang dan Korea waktu piknik di air terjun Serpentine.

Walaupun bukan bintang kelas, Sung Ho selalu bisa membuat suasana kelas menarik. Setiap guru meminta anak-anak menceritakan pengalaman mereka, Sung Ho selalu menceritakan hal-hal yang menarik. Dan dia selalu menceritakannya dengan bersemangat. Dia bisa membuat beberapa topik jadi lebih hidup dan menarik. Dia sering menghubungkan topik-topik itu dengan pengalaman pribadinya, atau berita hangat yang terjadi waktu itu.
Di luar kelas, kita selalu nongkrong bareng. Dan dia adalah kawan yang menyenangkan untuk berkumpul bersama. Kita sering saling bertukar cerita tentang budaya dan latar belakang kami. Yang tidak banyak diketahui anak-anak lain (termasuk yang Korea sekalipun) adalah fakta kalau dia penyandang sabuk hitam Taekwondo, olahraga beladiri Korea yang terkenal itu. Beberapa bulan sebelum datang ke Australia, dia baru menyelesaikan wajib militernya. Benar-benar pencapaian yang luar biasa buat orang yang berpenampilan sederhana seperti Sung Ho Park.


Orang-orang Korea sangat bangga dengan salah satu menu kuliner mereka: Kimchi! Acar sayur dengan saus pedas ini bisa dibilang merupakan bagian penting dari masakan Korea, sampai-sampai makanan itu dianggap belum lengkap kalau tidak ada Kimchinya. Suatu hari Sung Ho dan anak-anak Korea mengundang saya untuk makan siang di bioskop dekat Barrack Street di pusat kota. Ini pertama kalinya saya merasakan Kimchi. Rasanya pedas, tapi tidak nendang seperti yang awalnya saya kira. Tapi ya tetap saja menarik buat dimakan. 


Di sisi lain, walaupun orang Jepang malu-malu, mereka ya sebenarnya tidak begitu tertutup. Mereka tidak keberatan kalau ada orang bukan Jepang bergabung dengan mereka, walaupun terkadang ada kendala bahasa. Kadang-kadang mereka juga mengajak saya ke beberapa tempat makan Jepang yang ada di sekitaran kota Perth. Dan saya perhatikan beberapa cewek-cewek Jepang suka akrab dengan cowok Indonesia.


Beberapa ratus meter ke utara dari kampus, ada restoran Jepang yang menjual Teriyaki Ayam atau Sapi dengan harga yang cukup bersahabat.

Setelah beberapa waktu, saya perhatikan bahwa ternyata sebenarnya ada beberapa pelajar Eropa di kampus. Karena jumlahnya sedikit (kurang dari 10) kami bisa mengkelirukan mereka sebagai dosen. Semuanya mengikuti kelas atas yang digunakan untuk persiapan kuliah.
Yang pertama sebenarnya nggak Eropa betul, tapi anak cewek blasteran Eropa dari Singapore yang punya kewarga negaraan ganda Inggris dan Singapore. Bahkan namanya kedengaran berbau Inggris, walaupun penampilannya lebih mirip blasteran Melayu dan China. Terkadang saya suka ketemu dia kalau pas jam istirahat atau di perpustakaan. Bahasa Inggrisnya sempurna, lengkap dengan aksen Inggrisnya. Saya mikir, kalau bahasa Inggrisnya sebagus itu ngapain dia ikut kursus disini?
Yang lainnya adalah group pelajar dari Turki. Mereka semua ikut kelas tingkat atas. Tadinya saya kira semuanya cowok, sampai saya perhatikan kalau yang paling kecil punya payudara! Rambutnya dipotong pendek, penampilannya tomboy, dan kesukaannya akan sepak bola (dia sering main di lapangan sepak bola kampus) nyaris berhasil menyembunyikan identitasnya sebagai perempuan. Tidak heran kalau dia sering kelihatan mesra dengan seorang pelajar Turki lain yang fisiknya lebih besar. Kalau saya tidak tahu dia cewek, mungkin saya bakal mengira mereka pasangan gay! Biarpun begitu, saya pernah tertarik dengan dia. Saya membayangkan, kalau rambutnya panjang mungkin dia kelihatan cantik sekali.
Dan ada juga seorang mahasiswa Italia yang pernah saya kira seorang dosen. Saya akhirnya tahu dia pelajar sewaktu ada kelas campuran, dia duduknya di kursi pelajar. Dari situ akhirnya saya tahu kalau dia pelajar.
Namun perubahan akhirnya mulai terjadi di kelas saya. Di akhir bulan Agustus saya naik kelas dan juga ganti pengajar. Pengajarnya kali ini adalah bu guru bernama Marianne (tidak ingat nama lengkapnya). Selain itu kita mulai menerima group pelajar baru di kampus. Mayoritas anak Jepang. Tapi ada juga beberapa pelajar dari negara lain, termasuk Indonesia.


Salah satunya adalah Reiko Matsui. Dia adalah perempuan Jepang berumur akhir 20an atau awal 30an yang berasal dari distrik Kawasaki, dekat Tokyo. Dia datang ke Australia untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Dia orangnya ramah dan suka bersosialisasi, yang tidak ragu-ragu untuk berkumpul dengan orang-orang selain Jepang. Tidak seperti mahasiswa baru lainnya dari Jepang, bahasa Inggrisnya sebenarnya lumayan bagus, walaupun tidak mendekati sempurna.
Pekerjaannya di Jepang sebenarnya adalah guru bahasa Inggris. Nah fakta ini yang jadi bahan gunjingan diantara para guru di St. Mark’s, karena menurut mereka kualitas bahasa Inggrisnya agak jelek. Bahkan saya kaget kalau ternyata nilai ujian hariannya seringkali dibawah saya. Hal ini membuat seorang dosen secara terang-terangan mempertanyakan kompetensinya sebagai guru bahasa Inggris.
Selain itu, group mahasiswa baru ini juga ada mahasiswa Eropanya. Wah, rupanya gambar di brosus tidak bohong! Akhirnya ada mahasiswa bule juga. Mereka semua berasal dari Swiss, dan dari bagian etnis Jerman. Kalau nggak salah ada 5 yang datang hari itu.
Salah satu dari mereka diterima masuk ke kelas kita. Namanya Heinz Gubler. Dia berasal dari kota kecil bernama Winznau, dekat Olten atau sekitar 10 kilometer di barat Zurich. Dia bekerja sebagai montir di kampung halamannya, dimana dia tinggal dengan pacarnya. Dia datang kesini murni untuk liburan. Karena dia bekerja di bengkel mobil miliknya sendiri, dia bisa bebas mengatur waktu liburannya.
 

Heinz Gubler saat bekerja di bengkel mobilnya di Swiss.

Bagi saya, ini pertama kalinya saya berkawan dengan orang kulit putih. Sebelum itu, saya selalu merasa malu dan gugup kalau ketemu orang bule. Saya memandang mereka seperti alien dari ruang angkasa. Hal ini mungkin tidak terlepas dari anggapan semu yang populer di Indonesia kalau orang kulit putih adalah ras yang lebih superior
Bagi saya pribadi, dengan berkawan dengan orang Eropa ini menunjukkan bahwa anggapan kita ras inferior dibanding mereka itu adalah palsu, dan kita sebanding serta sejajar dengan mereka. Ini juga meningkatkan rasa percaya diri saya berinteraksi dengan orang bule. Tapi ya tetap saya saya masih penasaran bagaimana rasanya bisa lebih dekat dengan orang kulit putih.
Setelah beberapa hari, saya mulai akrab dengan Heinz. Kami sering ketemu kalau datang ke kampus, saat dia baru turun dari bus dan saya datang dari seberang jalan. Kami sering jalan bareng ke kampus dan kelas kami.
Heinz sering menceritakan kisahnya tentang kegiatan outdoor yang sering dilakukan di negaranya, seperti mendaki gunung atau berlayar di danau. Hobby favoritnya adalah naik gantole. Dia sering menerbangkan gantolenya diatas pegunungan bersalju di Swiss kalau musim panas, dimana udara panas bisa membuatnya melayang lama. Dia terkadang ikut kompetisi terbang gantole, dan kadang menang dapat piala.
Karena dia warga negara Swiss, dia juga pernah mengikuti wajib militer. Dia sendiri mahir menggunakan senjata api. Dia sering menceritakan pengalamannya di militer, seperti mendaki pegunungan terjal sebagai bagian dari latihan militer, atau menggunakan senjata api unik. Walaupun pernah berdinas di militer, dia orangnya tidak politis dan suka damai. Dia lebih suka berjalan-jalan keliling dunia.


Wajib militer adalah keharusan bagi semua warga negara Swiss yang laki-laki yang sudah mencapai batas umur tertentu, tapi tidak wajib buat perempuan.

Saya tidak ingat indentitas anak-anak Swiss lainnya di kampus. Kebanyakan masuk ke kelas yang tingkat dibawah karena bahasa Inggris mereka kurang baik. Bahkan mayoritas mahasiswa Swiss sepertinya cenderung mendapat nilai ujian bahasa Inggris yang lebih rendah dibanding mahasiswa Asia. Walaupun begitu, ini tidak menghalangi saya untuk bisa dekat dengan mereka. Cukup menarik juga bahwa ternyata bagi mayoritas dari mereka ini pertama kalinya mereka pergi keluar Eropa, dan pertama kalinya berinteraksi dengan orang Asia.
Saya perhatikan, mereka sepertinya punya sentiment “superioritas Aria”, walaupun mereka tidak memandang rendah saya. Sifat ini berakar dari identitas etnis Jerman mereka. Mereka menganggap bahasa mereka “paling susah di dunia” karena “bahasa Jerman sendiri susah saja, apalagi yang dialek Swiss”.
Mereka juga mengakui kalau orang Swiss Jerman cenderung picik, walaupun tidak benar-benar rasis. Sementara Swiss Perancis cenderung lebih terbuka pikirannya. Mereka juga mempercayai kalau Swiss itu “terletak di tengah dunia” karena “terletak di tengah Eropa yang merupakan pusat kebudayaan modern dunia”.
Karena saya cuma anak remaja lugu, yang enthusias untuk mempelajari dunia diluar saja, saya tidak tersinggung sama sekali dengan tetek bengek superioritas ras mereka. Dan karena mereka semua bersahabat, saya senang ngumpul dengan mereka.
Walaupun saya sudah terbiasa tinggal di Australia, dan tidak merasa canggung dengan orang bule, tetap saja saya tidak banyak bersosialisasi dengan orang Australia diluar orang-orang kampus. Watak mereka yang terang-terang apa adanya dan terkadang keras, ditambah dengan kebiasaan mereka yang berbicara keras dengan aksen kental, membuat saya segan bersosialisasi dengan orang Australia waktu itu.
Mereka kadang suka membahas dan membuat pertanyaan kritis tentang topik-topik yang umumnya tabu di Indonesia. Kalau tidak puas, mereka tetap saja menekan sampai saya jadi jengah. Tidak semua orang Australia seperti itu. Ada juga yang baik dan ramah, tapi sifat mereka sangat kontras dengan anak-anak Swiss yang jadi kawan saya.
Barangkali kelompok masyarakat Australia yang sering berinteraksi dengan saya adalah pengendara bis, petugas customer service di stasiun Perth, karyawan toko, atau penjual di kedai majalah. Tentunya tidak bisa dihindari kalau saya akan berinteraksi dengan golongan-golongan ini karena saya sering menggunakan jasa mereka.
Sekali saya pernah bersinggungan dengan sifat buruk orang Australia sewaktu saya menerima telepon dari seseorang.
Waktu itu Shahjehan mau menjual mobil lamanya. Dia mengiklankan mobilnya di salah satu koran lokal, jadi banyak orang yang suka telepon untuk tanya-tanya. Biasanya telepon masuk diterima Siraj, Feroza, atau Shahjehan sendiri.
Suatu hari saya sendiri menerima telepon dari orang yang tertarik untuk membeli mobil ini. Karena dia berbicara dengan cepat dan pakai aksen kental, saya bingung memahami ucapannya. Lalu saya balas “Umm, saya tidak tahu”. Entah kenapa, karena alasan yang sampai sekarang tidak saya mengerti, tiba-tiba meledak kemarahannya dan membentak-bentak saya di telepon. “Apa maksudmu kamu tidak tahu? Apa kamu nggak ngerti yang saya ucapkan???” Saya otomatis kaget dan gugup sekali dapat perlakuan seperti itu. Dia kemudian marah-marah dan membentak-bentak saya dengan makian dan segala jenis ucapan yang tidak pantas. Terakhir dia tanya “Dan memangnya kamu darimana??” Bukannya saya jawab, teleponnya langsung saya tutup. Saya tahu dia pasti bakal memaki-maki saya lagi dengan olok-olokan rasis. Itulah pertama kalinya saya merasakan sifat kasar orang Australia.
Tapi di sisi lain, orang Australia sendiri pada dasarnya bersahabat dan ramah, dan bisa lebih ikhlas menolong orang lain dibanding orang Indonesia. Mereka sangat membantu, bahkan ke orang asing. Pernah sekali saya kesasar waktu mampir ke daerah Morley. Saat saya ragu untuk bertanya, tiba-tiba seorang perempuan tua yang tidak saya kenal mendekati saya dengan senyum ramah dan bertanya “Halo anak muda, apa yang bisa saya bantu?” Saya bilang saya kesasar dan ingin tahu caranya kembali ke kota, dan beliau kemudian memberikan jawaban yang lengkap untuk pertanyaan saya.
Pramuniaga di toko buku seringkali selalu mengambil inisiatif lebih dulu untuk menolong saya dengan sopan. Mayoritas pengemudi bis akan menunggu lebih lama di halte bis kalau mereka melihat kita mengejar bis mereka, dan akan menyambut kita dengan ramah di pintu bus saat kita datang terengah-engah.
Pada dasarnya, walaupun sempat mengalami pengalaman buruk di awal, orang Australia pada dasarnya lebih humanis dan ramah daripada orang Indonesia di banyak hal.


Dan satu hal yang saya hormati tentang orang Australia adalah sifat nasionalisme mereka yang kuat. Mereka bisa membangun ikatan dengan negaranya, punya jiwa patriotism yang memadai, dan mau membela negara mereka, semua atas kemauan mereka. Tapi di sisi lain mereka terbuka dengan dunia luar, dan bisa merasa bagian dari itu. Semua itu tanpa kehadiran militerisme di dunia sipil seperti yang saya alami di Indonesia (seperti upacara bendera atau baris-berbaris ala militer seperti yang saya laami di Indonesia). Bahkan personil militer jarang sekali terlihat di lingkungan sipil pakai seragam.
Apa rahasianya?
Australia punya kesejahteraan yang lebih baik lengkap dengan sistem jaring pengaman sosialnya yang murah hati, system pendidikan yang baik, dan penegakan hukum yang bagus sekali (dibanding Indonesia). Ini membuat Australia menjadi negara yang aman dan damai dengan masyarakat yang bersahabat dan humanis. Ini membuat semua orang merasa seperti di rumah di Australia, dan kecintaan akan rumah mereka yang nyaman dan damai adalah yang memupuk sifat nasionalisme mereka.
Walaupun banyak orang Indonesia yang chauvinistis dan picik, khususnya yang penggemar militer, sering meremehkan Australia sebagai “manja dan lemah dibanding kita, karena mereka tak pernah mengalami kerasnya hidup ala militer seperti kita”, kenyataannya Australia adalah negara yang kuat. Bahkan militernya sering terlibat di banyak konflik militer besar di dunia, termasuk kedua Perang Dunia. Dan mereka sering menghormati jasa para pahlawan mereka di parade ANZAC yang digelar tiap tahun.


Parade ANZAC Day di St. Georges Terrace, Perth, tahun 2008 silam.

Saya cukup beruntung pernah sekali melihat acara ini dimana banyak tentara pramuka, serta para veteran (seperti veteran perang Vietnam, Kora, Perang Dunia Kedua, dan bahkan Perang Dunia Pertama!) juga mengikuti parade ini.
Saya ingat mereka berparade sepanjang jalan Adelade Terrace hingga St. Georges Terrace, sebelum belok dan berkumpul di lapangan Esplanade Reserve yang sekarang sudah dibongkar. Buat saya, adalah kesempatan langka bisa melihat parade dan upacara yang melibatkan militer Australia. Saya benar-benar kagum dengan yang saya lihat (konon orang Jepang disarankan untuk tidak datang karena sentiment anti Jepang akibat pengalaman perang masa lalu).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar