Minggu, 19 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 24)

Di akhir bulan Oktober, kita mengadakan tour jalan-jalan lagi. Ini adalah acara jalan-jalan kampus ketiga buat saya, terakhir dengan Heinz, dan satu-satunya dengan Denis dan Maria. Bagi mayoritas dari kami, ini adalah acara jalan-jalan kampus terakhir, karena beberapa anak akan mengakhiri studi mereka dalam beberapa minggu ke depan. Tujuan perjalanan kali ini adalah mengunjungi taman margawatwa Caversham Wildlife Park, serta mengunjungi pabrik minuman anggur Houghton Winery. 


Pintu masuk Caversham Wildlife Park yang di Whiteman Park. Yang kami kunjungi masih berlokasi di daerah Caversham.

Walaupun cuacanya sudah mulai panas (suhunya di kisaran 30an derajat celcius), ironisnya kampus masih menyewa minibus tak ber-AC seperti yang digunakan waktu tour pertama dulu. Saya tak ingat apa jenis kendaraannya, tapi kelihatannya dibuat di tahun 1980an serta punya warna cat oranye dengan bagian frame jendela dan atap berwarna putih. Saya ingat angin yang berhembus dari luar kendaraaan terasa seperti angin dari alat pemanas karena saking panasnya cuaca di luar. Ini membuat perjalanan kita terasa agak tidak nyaman.
Di perjalanan ini saya duduk bareng Alvin, sementara Denise dan Maria duduk di belakang dekat Heinz. Sementara anak-anak Indonesia pakai pakaian seperti yang kita umumnya pakai di Indonesia, anak-anak Eropa serta beberapa anak Jepang dan Korea menggunakan pakaian yang pendek. Saya ingat Denise dan Maria menggunakan model pakaian yang mirip, yaitu kaus putih tanpa lengan serta celana pendek dan sepatu kets.
Saya dan Alvin ngobrol-ngobrol sepanjang perjalanan, walaupun saya tidak ingat apa yang waktu itu kita bicarakan. Hudi terkadang menyela pembicaraan kita dan menggoda saya dengan berkata “Gus, gimana itu masak Denise kamu tinggal sendirian?” Di sudut lain bis, Sung Ho asyik ngobrol-ngobrol dengan kawan-kawannya yang orang Korea seperti Woo Jae dan lainnya. Anehnya, anak-anak Swiss sepanjang perjalanan cenderung diam. Mereka jarang sekali ngobrol sepanjang perjalanan.
Setelah beberapa menit perjalanan, kita akhirnya tiba di Caversham Wildlife Park. Tempat ini terletak di daerah Caversham yang masih merupakan pedesaan di timur kota Perth. Saya samar-samar mengingat pintu masuknya kelihatan sederhana dibanding Marapana Wildlife Park. Kami mengikuti tour dengan pemandu melihat-lihat taman margasatwa ini. Pemandu tak henti-hentinya memberikan penjelasan tentang hewan-hewan disini serta mendemonstrasikan beberapa hal mengenai sifat hewan-hewan disini.


Seorang pemandu memberikan penjelasan mengenai hewan Koala, dan bagaimana menanganinya.

Mereka bahkan memberikan kami kesempatan untuk menggendong bayi Koala atau Kanguru. Buat saya pengalaman ini agak menakutkan karena walaupun kedua hewan ini jinak, tapi kukunya panjang dan tajam. Bahkan waktu itu saya suka lihat berita tentang serangan kanguru ke orang. Cukup menakutkan! (Aslinya dulu ada foto sewaktu saya dan Alvin menggendong hewan, sayangnya sudah hilang).


Para mahasiswa bermain-main dengan sekelompok kanguru yang jinak. Heinz tampak di tengah foto, tertutup oleh seorang mahasiswa Jepang.

Sewaktu kita tengah beristirahat di Caversham, saya duduk di satu kursi dengan Alvin. Kami sedang asyik ngobrol ketika tiba-tiba Denise datang dan duduk di sebelah saya! Wowww, saya spontan jadi baper karena senang banget! Ketika cewek idamanmu tiba-tiba duduk di sebelahmu, rasanya seperti mimpi indah! Denise sepertinya tidak keberatan duduk di sebelah saya, dan sepertinya tidak terpengaruh kalau saya suka dia. Alvin yang duduk di sebelah saya senyum-senyum, sementara Hudi yang melihat dari kejauhan menggoda saya dengan berteriak “Bagus! Aduhh….enaknya Gus!”
Selesai tour di Caversham Wildlife Park, kami berangkat menuju perkebunan anggur Houghton Winery. Pabrik pengolahan minuman anggur ini terletak di sebelah timur daerah metropolitan Perth, dan di utara kawasan industry Guildford. Jaman segitu daerah sekeliling perkebunan anggur masih sepi. Daerahnya masih banyak padang rumput dan semak-semak, serta beberapa rumah. Sekarang daerah ini dikelilingi perumahan dan bahkan ada hotel lengkap dengan lapangan golf di dekat situ.


Pintu masuk area perkebunan dan pengolahan anggur Houghton. Saya tidak ingat apa di tahun 1997 ada papan nama seperti ini.

Sewaktu kita datang ke pabrik pengolahan anggur, kita disambut oleh pemandu perempuan. Dia memandu kita tour di dalam area pabrik dan melihat bagaimana minuman anggur dibuat. Saya nggak ingat semua yang kita lihat di dalam. Kalau nggak salah kita sempat diajak ke ruang penyimpanan wine dimana drum-drum kayu berisi minuman anggur disimpan untuk proses fermentasi, lalu kita juga melihat alat permesinan dimana wine yang sudah matang diproses sebelum dimasukkan ke dalam botol.


Gedung resepsi tamu dan pengunjung Hougton Winery.

Nah setelah itu adalah acara yang paling penting dari kunjungan kita kesini: mengicipi minuman anggur. Semuanya, kecuali saya, senang karena mereka bisa mengicipi banyak minuman-minuman anggur mahal secara gratis. Mereka juga menyediakan keju dan biskuit untuk menemani minum anggurnya. Kawan-kawan Swiss senang banget dengan ini dan mereka pun berpesta pora. Anak-anak Asia juga ikut minum wine. Ada yang menikmatinya, tapi ada yang tidak suka dengan rasa pahitnya. Karena saya bukan peminum alkohol, saya memutuskan untuk tidak ikut minum dan cuma menikmati kejunya (keju-keju ini sebenarnya juga keju mahal).


Acara icip-icip wine. Milo dan Heinz tampak di sebelah kanan. Beverley tampak membelakangi kamera di kanan meja.

Setelah icip-icip wine, kami diberikan waktu bebas untuk melihat-lihat kompleks pabrik dan perkebunan anggur. Seingat saya waktu itu saya, Alvin, dan Hudi memilih untuk makan siang di sebuah café di situ. Saya melihat-lihat menunya dengan hati-hati, karena saya harus menghindari makanan yang mengandung babi. Setelah melihat-lihat, saya memilih menu beef stroganoff dengan atasan lapisan pastry, Alvin memesan fish and chips, sementara Hudi memilih burger dan beer.


Tempat makan di Houhton Winery tempat kita makan siang.

Sementara kita menikmati makan siang, kita ngobrol-ngobrol tentang rencana studi kita ke depan. Kalau Alvin sudah jelas: setelah kursus bahasa Inggrisnya selesai, dia akan mendaftar mata kuliah marketing di Murdoch University. Hudi berkata kalau mungkin dia akan mendaftar di Curtin University, walaupun dia belum pasti program apa yang mau dia ambil disana. Hingga saat itu, saya belum yakin program apa yang mau saya ambil. Saya kepikiran untuk mengambil kuliah komputer, tapi mata pelajaran eksakta jelas bukan keahlian saya.
Selesai makan siang, kami membayar tagihan makanan kita dan kembali ke bus.


Hudi tampak berjalan sendiri melewati taman Hougton Winery, balik menuju ke bis, sementara beberapa anak pelajar lain tampak di latar belakang.

Sewaktu berjalan ke bis, saya perhatikan beberapa anak Thailand ada yang mabuk. Mereka begitu pusingnya sampai harus dipapah sama anak-anak Korea untuk kembali ke bus. Tapi yang anak-anak Swiss sepertinya menikmati betul minum-minum anggurnya. Mereka kelihatan agak mabuk, tapi senang sekali! Mereka terus-terusan menyanyikan lagu tradisional Swiss sepanjang perjalanan pulang ke kampus. Perjalanan ini benar-benar berkesan buat mayoritas dari kami, walaupun bagi saya terasa agak hambar.
Beberapa hari setelahnya, saya harus mengucapkan selamat jalan untuk kedua kawan paling akrab saya selama kuliah di St. Mark’s International College: Sung Ho Park dan Heinz Gubler. Kuliah mereka berakhir di hari yang sama, di satu hari Jumat di akhir bulan Oktober 1997. Bagi saya, ini agak menyedihkan. Mereka adalah kawan dekat saya selama masa studi disini. Bahkan keduanya mencetak sejarah buat saya: Sung Ho adalah kawan akrab saya pertama yang bukan orang Indonesia, sementara Heinz adalah kawan bule pertama yang saya punyai. Milo rupanya menyadari kegundahan saya, sampai-sampai dia menaruh ceritanya di soal sebuah ujian!


Kumpul hari Jumat untuk terakhir kalinya di Queens Pub dengan Heinz dan Sung Ho. Dari kiri ke kanan: saya, Rosalina, Sung Ho Park, Milo Bogdanovich, Hudiono Handoyo, dan Heinz Gubler. Beberapa pelajar lainnya memenuhi meja lainnya di pub. Di latar belakang tampak lapangan tenis dan sepak bola St. Mark's International College yang dibongkar tahun 1999 silam. Entah kenapa kok mood kita tampak jelek di foto ini?

Malam harinya, kita mengadakan pesta perpisahan kecil-kecilan, dimana Sung Ho mengundang kita makan malam di sebuah restoran Korea di William Street di pusat kota. Kami senang diundang makan. Di sore harinya (sekitar jam 6) kami berkumpul di depan restoran Korea bernama Seoul Buffet di Northbridge. Yang datang adalah saya, Heinz, Maria, Denise, dan beberapa pelajar lainnya. Hawanya agak dingin sore itu, sehingga kami mengenakan pakaian yang sepantasnya.


Restoran Seoul Buffet di Northbridge tempat kita mengadakan pesta perpisahan dengan Sung Ho dan Heinz. 

Beberapa menit kemudian Sung Ho datang dan mengajak kita masuk restoran. Sang pelayan restoran, yang sepertinya kenal dekat dengan Sung Ho, mengarahkan kami ke salah satu meja disana. Kami duduk di depan meja besar dengan sebuah kompor di tengahnya. Pelayan memberikan kami menu. Saya melihat-lihat dan merasa tidak familiar dengan menunya. Kemudian, Sung Ho menyarankan agar kita makan “Beef Bulgogi”. Hmm, sepertinya enak juga, dan semuanya setuju dengan menu itu sebelum memesan minuman.
Beberapa menit kemudian, mereka membawa makanannya ke meja, yang terdiri dari beberapa potong daging sapi mentah yang dibalut saus bumbu. Kemudian pelayan menyalakan kompor, dan beberapa menit kemudian bau enak muncul dari makanannya. Tak lama kemudian makanannya siap dimakan. Makanan ini dimakan dengan semangkuk nasi putih dan sedikit Kimchi. Saya mencoba merasakannya, dan enak sekali! Rasanya manis, gurih, dan agak pedas. Saya akhirnya makan banyak sekali!


Masakan Beef Bulgogi dimasak di depan kita.

Sementara kita menikmati makanan, kita juga ngobrol-ngobrol. Saya memuji Sung Ho atas rekomendasi makanannya. Benar-benar restoran yang bernuansa menyenangkan dengan menu makanan yang luar biasa enaknya. Saya juga berterima kasih dengan dia karena dia sudah banyak membantu selama masa kuliah saya. Kita juga sempat ngobrol basa-basi lainnya selama menikmati makan malam.
Tapi sewaktu saya melihat ke Denise, yang duduk di depan saya, saya tiba-tiba terpana. Malam itu dia kelihatan anggun sekali. Saya tahu Denise memang cantik, tapi malam itu sepertinya dia lebih cantik dari biasanya. Saya belum pernah melihat dia pakai make up sebelumnya, tapi untuk pesta malam ini dia memakai bedak dan lipstik. Malam itu dia benar-benar nampak indah dan anggun sekali. Benar-benar penampilan tercantiknya yang pernah saya lihat.


Menikmati makan malam di restoran Seoul Buffet. Dari kiri ke kanan: Rosalina, Heinz Gubler, Denise Loher, Maria Lüchinger, mahasiswa Swiss yang sudah lupa namanya, saya, Sung Ho Park, dan mahasiswi Swiss yang juga sudah lupa namanya.

Begitu kita selesai makan dan membayar tagihan, kamipun mengisi waktu dengan jalan-jalan keliling kota untuk menikmati suasana malam Sabtu. Rasanya itulah satu-satunya momen dimana saya menikmati jalan-jalan malam di akhir minggu sambil ditemani kawan-kawan kampus. Biasanya saya pergi sendirian. Malam itu daerah Northbridge benar-benar hidup dengan segala aktifitas di café dan pub yang ada. Ada juga beberapa nightclub yang ramai dengan pengunjung. Saya ingat, suatu waktu yang orang Swiss ingin berkunjung ke nightclub di jalan James Street, tapi akhirnya batal karena yang orang Indonesia tidak mau masuk.
Kami menghabiskan sisa malam dengan berjalan-jalan keliling kota. Terkadang saya ngobrol sedikit dengan Denise selagi jalan. Saya tanya apa dia sering pergi keluar kalau akhir minggu di Perth, dan Denise menjawab kalau terkadang dia suka keluar. Walaupun saya merasa senang bahwa saya bisa jalan-jalan dengan dia (walapun tidak berduaan), Denise sendiri terkesan menjawab pertanyaan saya dengan nada cuek. Ya, mungkin dia sudah bosan dengan saya.
Malam mulai larut. Kebanyakan dari kita memutuskan untuk pulang setelah menikmati malam yang menyenangkan. Kamipun berpisah di stasiun Perth. Saya mengucapkan selamat jalan ke Sung Ho, dan berharap yang terbaik untuk dia. Ini terakhir kalinya saya melihat dia. Saya tidak pernah bertemu Sung Ho lagi semenjak itu. Yang lainnya (termasuk anak-anak Indonesia) berpisah dari kelompok kami dan pergi untuk urusan mereka masing-masing.
Akhirnya tinggal saya, Denise, Heinz, dan Maria, seperti waktu kita pergi ke Margaret River. Setelah jalan-jalan keliling kota, kami akhirnya mampir ke sebuah café di jalan Beaufort Street, persis di seberang jalan dari gedung Museum of Arts yang megah. Kami duduk dan memesan beberapa minuman hangat seperti kopi atau cokelat hangat. Minuman ini enak diminum di malam yang dingin ini. Yang Swiss ngobrol satu sama lain, sementara saya menikmati lagu “September” dari band Earth, Wind, and Fire yang diputar pemilik klub. Walaupun saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan malam itu, saya sungguh menikmati bisa melihat Denise yang kelihatan anggun sekali.


Namun, hari-harinya Denise di St. Mark’s juga mulai mendekati akhir. Seperti kebanyakan pelajar Swiss Jerman di kampus, mereka sudah di minggu-minggu terakhir studi mereka. Jumlah pelajar Swiss Jerman sudah berkurang banyak saat itu. Di awal November 1997, hanya ada sekitar 10 pelajar Swiss yang tersisa di kampus. Bagi saya, suasana di kampus tidak akan pernah sama lagi.
Walaupun Heinz sudah meninggalkan kampus, pernah suatu hari saya melihat dia kembali lagi. Saya ingat suatu hari waktu jam istirahat makan siang, saya tiba-tiba melihat dia datang, menggunakan t-shirt biru dan celana pendek warna merah jambu serta sepatu sneakers. Mukanya juga sekarang sudah berjanggut. Saya tanya, kemana saja dia selama ini. Dia bilang kalau dia selama ini sudah jalan-jalan keliling Australia barat, termasuk tinggal lama dengan kawannya di Geraldton. Dia sepertinya sangat menikmati petualangannya di Australia, dan Denise seperti entusias mendengar ceritanya.
Beberapa hari kemudian, kisah cinta saya di Perth akhirnya benar-benar berakhir karena Denise, beserta beberapa pelajar lain seperti Woo Jae dan Nami*, menyelesaikan kuliah mereka di St. Mark’s International College. Untuk merayakan acara ini, kami mengadakan pesta barbeque di Hyde Park yang ada di dekat kampus dimana kami masak-masak di salah satu kompornya.


Pesta barbeque perpisahan kelas di taman Hyde Park dekat kampus, untuk merayakan perpisahan Denise, Maria, dan banyak pelajar Swiss Jerman yang mengakhiri studinya di St. Mark's International College. Alvin tampak berdiri dengan group di kiri, membawa tas punggung. Denise tampak tengah memasak di kompor mengenakan baju strip coklat dan ungu. Woo Jae tampak tengah merekam acara ini di sebelah kanan gambar, sementara Milo dan Ursula duduk-duduk di rumput di sebelah kanan.

Acara ini sungguh menyenangkan, dan ini adalah terakhir kalinya saya bisa ngobrol agak lama dengan Denise (yang disela dengan percakapan dengan anak lainnya). Saya ingat waktu itu Woo Jae sebenarnya membawa kamera handycam dia dan merekam acara itu. Dia bahkan juga merekam Denise sewaktu mengucapkan selamat perpisahannya yang agak panjang. Andai waktu itu saya bisa mendapat kopi rekamannya….
Tak lama kemudian, Denise dan mayoritas pelajar Swiss Jerman benar-benar menyelesaikan studi mereka. Saya merasa emosional. Tidak mau kehilangan momen ini, saya meminta untuk foto bareng dengan Denise dan Maria di air mancur di halaman kampus.


Foto terakhir barang Denise dan Maria, diambil di air mancur di halaman kampus St. Mark's. Secara kebetulan Denise duduk di tempat yang sama dan menggunakan pakaian yang sama seperti sewaktu pertama kali saya melihatnya di bulan September 1997.

Inilah terakhir kalinya saya melihat Denise. Walaupun dia secara fisik sudah hilang dari kampus dan kehidupan saya, saya masih tergila-gila dengan dia dan butuh waktu beberapa tahun untuk melupakan dia. Kalau istilahnya anak sekarang: “gagal move on”.


Saya berusaha melupakan dia dengan keranjingan makan, sampai-sampai sewaktu kuliah saya selesai, berat badan saya naik 30 kilo dalam sebulan! Ceritanya, suatu hari saya melihat berita di TV yang mengatakan kalau cewek-cewek Australia cenderung tertarik dengan cowok yang gemuk. Saya mikir, kayaknya ide bagus juga: makan banyak, jadi gemuk, dan dapat cewek! Rupanya anggapan ini tidak benar sama sekali.
Namun di sisi lain, ada berita bagus juga. Dani* dan Erick* akhirnya hengkang dari rumahnya Siraj. Saya nggak usah lagi berurusan dengan kedua orang toxic itu, yang terus-terusan membuat saya merasa bersalah untuk hal yang tidak penting. Sayapun jadi satu-satunya anak kost di rumah Siraj, sampai-sampai saya seperti jadi anak tertuanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar