Di akhir bulan Oktober, kita mengadakan tour jalan-jalan
lagi. Ini adalah acara jalan-jalan kampus ketiga buat saya, terakhir dengan
Heinz, dan satu-satunya dengan Denis dan Maria. Bagi mayoritas dari kami, ini
adalah acara jalan-jalan kampus terakhir, karena beberapa anak akan mengakhiri
studi mereka dalam beberapa minggu ke depan. Tujuan perjalanan kali ini adalah
mengunjungi taman margawatwa Caversham Wildlife Park, serta mengunjungi pabrik
minuman anggur Houghton Winery.
Pintu masuk Caversham Wildlife Park yang di Whiteman Park. Yang kami kunjungi masih berlokasi di daerah Caversham.
Walaupun cuacanya sudah mulai panas (suhunya di kisaran 30an
derajat celcius), ironisnya kampus masih menyewa minibus tak ber-AC seperti
yang digunakan waktu tour pertama dulu. Saya tak ingat apa jenis kendaraannya,
tapi kelihatannya dibuat di tahun 1980an serta punya warna cat oranye dengan
bagian frame jendela dan atap berwarna putih. Saya ingat angin yang berhembus
dari luar kendaraaan terasa seperti angin dari alat pemanas karena saking
panasnya cuaca di luar. Ini membuat perjalanan kita terasa agak tidak nyaman.
Di perjalanan ini saya duduk bareng Alvin, sementara Denise
dan Maria duduk di belakang dekat Heinz. Sementara anak-anak Indonesia pakai
pakaian seperti yang kita umumnya pakai di Indonesia, anak-anak Eropa serta
beberapa anak Jepang dan Korea menggunakan pakaian yang pendek. Saya ingat
Denise dan Maria menggunakan model pakaian yang mirip, yaitu kaus putih tanpa
lengan serta celana pendek dan sepatu kets.
Saya dan Alvin ngobrol-ngobrol sepanjang perjalanan,
walaupun saya tidak ingat apa yang waktu itu kita bicarakan. Hudi terkadang
menyela pembicaraan kita dan menggoda saya dengan berkata “Gus, gimana itu
masak Denise kamu tinggal sendirian?” Di sudut lain bis, Sung Ho asyik
ngobrol-ngobrol dengan kawan-kawannya yang orang Korea seperti Woo Jae dan
lainnya. Anehnya, anak-anak Swiss sepanjang perjalanan cenderung diam. Mereka
jarang sekali ngobrol sepanjang perjalanan.
Setelah beberapa menit perjalanan, kita akhirnya tiba di
Caversham Wildlife Park. Tempat ini terletak di daerah Caversham yang masih merupakan pedesaan di timur kota
Perth. Saya samar-samar mengingat pintu masuknya kelihatan sederhana dibanding
Marapana Wildlife Park. Kami mengikuti tour dengan pemandu melihat-lihat taman
margasatwa ini. Pemandu tak henti-hentinya memberikan penjelasan tentang
hewan-hewan disini serta mendemonstrasikan beberapa hal mengenai sifat hewan-hewan disini.
Seorang pemandu memberikan penjelasan mengenai hewan Koala, dan bagaimana menanganinya.
Mereka bahkan memberikan kami kesempatan untuk menggendong
bayi Koala atau Kanguru. Buat saya pengalaman ini agak menakutkan karena
walaupun kedua hewan ini jinak, tapi kukunya panjang dan tajam. Bahkan waktu
itu saya suka lihat berita tentang serangan kanguru ke orang. Cukup menakutkan!
(Aslinya dulu ada foto sewaktu saya dan Alvin menggendong hewan, sayangnya sudah
hilang).
Para mahasiswa bermain-main dengan sekelompok kanguru yang jinak. Heinz tampak di tengah foto, tertutup oleh seorang mahasiswa Jepang.
Sewaktu kita tengah beristirahat di Caversham, saya duduk di
satu kursi dengan Alvin. Kami sedang asyik ngobrol ketika tiba-tiba Denise
datang dan duduk di sebelah saya! Wowww, saya spontan jadi baper karena
senang banget! Ketika cewek idamanmu tiba-tiba duduk di sebelahmu, rasanya
seperti mimpi indah! Denise sepertinya tidak keberatan duduk di sebelah saya,
dan sepertinya tidak terpengaruh kalau saya suka dia. Alvin yang duduk di
sebelah saya senyum-senyum, sementara Hudi yang melihat dari kejauhan menggoda
saya dengan berteriak “Bagus! Aduhh….enaknya Gus!”
Selesai tour di Caversham Wildlife Park, kami berangkat
menuju perkebunan anggur Houghton Winery. Pabrik pengolahan minuman anggur ini
terletak di sebelah timur daerah metropolitan Perth, dan di utara kawasan industry
Guildford. Jaman segitu daerah sekeliling perkebunan anggur masih sepi.
Daerahnya masih banyak padang rumput dan semak-semak, serta beberapa rumah.
Sekarang daerah ini dikelilingi perumahan dan bahkan ada hotel lengkap dengan
lapangan golf di dekat situ.
Pintu masuk area perkebunan dan pengolahan anggur Houghton. Saya tidak ingat apa di tahun 1997 ada papan nama seperti ini.
Sewaktu kita datang ke pabrik pengolahan anggur, kita
disambut oleh pemandu perempuan. Dia memandu kita tour di dalam area pabrik dan
melihat bagaimana minuman anggur dibuat. Saya nggak ingat semua yang kita lihat
di dalam. Kalau nggak salah kita sempat diajak ke ruang penyimpanan wine dimana
drum-drum kayu berisi minuman anggur disimpan untuk proses fermentasi, lalu
kita juga melihat alat permesinan dimana wine yang sudah matang diproses
sebelum dimasukkan ke dalam botol.
Gedung resepsi tamu dan pengunjung Hougton Winery.
Nah setelah itu adalah acara yang paling penting dari
kunjungan kita kesini: mengicipi minuman anggur. Semuanya, kecuali saya, senang
karena mereka bisa mengicipi banyak minuman-minuman anggur mahal secara gratis.
Mereka juga menyediakan keju dan biskuit untuk menemani minum anggurnya.
Kawan-kawan Swiss senang banget dengan ini dan mereka pun berpesta pora.
Anak-anak Asia juga ikut minum wine. Ada yang menikmatinya, tapi ada yang tidak
suka dengan rasa pahitnya. Karena saya bukan peminum alkohol, saya memutuskan
untuk tidak ikut minum dan cuma menikmati kejunya (keju-keju ini sebenarnya
juga keju mahal).
Acara icip-icip wine. Milo dan Heinz tampak di sebelah kanan. Beverley tampak membelakangi kamera di kanan meja.
Setelah icip-icip wine, kami diberikan waktu bebas untuk
melihat-lihat kompleks pabrik dan perkebunan anggur. Seingat saya waktu itu
saya, Alvin, dan Hudi memilih untuk makan siang di sebuah café di situ. Saya
melihat-lihat menunya dengan hati-hati, karena saya harus menghindari makanan
yang mengandung babi. Setelah melihat-lihat, saya memilih menu beef
stroganoff dengan atasan lapisan pastry, Alvin memesan fish and chips,
sementara Hudi memilih burger dan beer.
Tempat makan di Houhton Winery tempat kita makan siang.
Sementara kita menikmati makan siang, kita ngobrol-ngobrol
tentang rencana studi kita ke depan. Kalau Alvin sudah jelas: setelah kursus
bahasa Inggrisnya selesai, dia akan mendaftar mata kuliah marketing di Murdoch
University. Hudi berkata kalau mungkin dia akan mendaftar di Curtin University,
walaupun dia belum pasti program apa yang mau dia ambil disana. Hingga saat
itu, saya belum yakin program apa yang mau saya ambil. Saya kepikiran untuk
mengambil kuliah komputer, tapi mata pelajaran eksakta jelas bukan keahlian
saya.
Selesai makan siang, kami membayar tagihan makanan kita dan
kembali ke bus.
Hudi tampak berjalan sendiri melewati taman Hougton Winery, balik menuju ke bis, sementara beberapa anak pelajar lain tampak di latar belakang.
Sewaktu berjalan ke bis, saya perhatikan beberapa anak
Thailand ada yang mabuk. Mereka begitu pusingnya sampai harus dipapah sama
anak-anak Korea untuk kembali ke bus. Tapi yang anak-anak Swiss sepertinya
menikmati betul minum-minum anggurnya. Mereka kelihatan agak mabuk, tapi senang
sekali! Mereka terus-terusan menyanyikan lagu tradisional Swiss sepanjang
perjalanan pulang ke kampus. Perjalanan ini benar-benar berkesan buat mayoritas
dari kami, walaupun bagi saya terasa agak hambar.
Beberapa hari setelahnya, saya harus mengucapkan selamat
jalan untuk kedua kawan paling akrab saya selama kuliah di St. Mark’s
International College: Sung Ho Park dan Heinz Gubler. Kuliah mereka berakhir di
hari yang sama, di satu hari Jumat di akhir bulan Oktober 1997. Bagi saya, ini
agak menyedihkan. Mereka adalah kawan dekat saya selama masa studi disini.
Bahkan keduanya mencetak sejarah buat saya: Sung Ho adalah kawan akrab saya
pertama yang bukan orang Indonesia, sementara Heinz adalah kawan bule pertama
yang saya punyai. Milo rupanya menyadari kegundahan saya, sampai-sampai dia
menaruh ceritanya di soal sebuah ujian!
Kumpul hari Jumat untuk terakhir kalinya di Queens Pub dengan Heinz dan Sung Ho. Dari kiri ke kanan: saya, Rosalina, Sung Ho Park, Milo Bogdanovich, Hudiono Handoyo, dan Heinz Gubler. Beberapa pelajar lainnya memenuhi meja lainnya di pub. Di latar belakang tampak lapangan tenis dan sepak bola St. Mark's International College yang dibongkar tahun 1999 silam. Entah kenapa kok mood kita tampak jelek di foto ini?
Malam harinya, kita mengadakan pesta perpisahan
kecil-kecilan, dimana Sung Ho mengundang kita makan malam di sebuah restoran
Korea di William Street di pusat kota. Kami senang diundang makan. Di sore
harinya (sekitar jam 6) kami berkumpul di depan restoran Korea bernama Seoul
Buffet di Northbridge. Yang datang adalah saya, Heinz, Maria, Denise, dan
beberapa pelajar lainnya. Hawanya agak dingin sore itu, sehingga kami
mengenakan pakaian yang sepantasnya.
Restoran Seoul Buffet di Northbridge tempat kita mengadakan pesta perpisahan dengan Sung Ho dan Heinz.
Beberapa menit kemudian Sung Ho datang dan mengajak kita
masuk restoran. Sang pelayan restoran, yang sepertinya kenal dekat dengan Sung
Ho, mengarahkan kami ke salah satu meja disana. Kami duduk di depan meja besar dengan
sebuah kompor di tengahnya. Pelayan memberikan kami menu. Saya melihat-lihat
dan merasa tidak familiar dengan menunya. Kemudian, Sung Ho menyarankan agar
kita makan “Beef Bulgogi”. Hmm, sepertinya enak juga, dan semuanya setuju
dengan menu itu sebelum memesan minuman.
Beberapa menit kemudian, mereka membawa makanannya ke meja,
yang terdiri dari beberapa potong daging sapi mentah yang dibalut saus bumbu.
Kemudian pelayan menyalakan kompor, dan beberapa menit kemudian bau enak muncul
dari makanannya. Tak lama kemudian makanannya siap dimakan. Makanan ini dimakan
dengan semangkuk nasi putih dan sedikit Kimchi. Saya mencoba merasakannya, dan
enak sekali! Rasanya manis, gurih, dan agak pedas. Saya akhirnya makan banyak
sekali!
Masakan Beef Bulgogi dimasak di depan kita.
Sementara kita menikmati makanan, kita juga ngobrol-ngobrol.
Saya memuji Sung Ho atas rekomendasi makanannya. Benar-benar restoran yang
bernuansa menyenangkan dengan menu makanan yang luar biasa enaknya. Saya juga
berterima kasih dengan dia karena dia sudah banyak membantu selama masa kuliah
saya. Kita juga sempat ngobrol basa-basi lainnya selama menikmati makan malam.
Tapi sewaktu saya melihat ke Denise, yang duduk di depan
saya, saya tiba-tiba terpana. Malam itu dia kelihatan anggun sekali. Saya
tahu Denise memang cantik, tapi malam itu sepertinya dia lebih cantik dari
biasanya. Saya belum pernah melihat dia pakai make up sebelumnya, tapi untuk
pesta malam ini dia memakai bedak dan lipstik. Malam itu dia benar-benar nampak
indah dan anggun sekali. Benar-benar penampilan tercantiknya yang pernah saya
lihat.
Menikmati makan malam di restoran Seoul Buffet. Dari kiri ke kanan: Rosalina, Heinz Gubler, Denise Loher, Maria Lüchinger, mahasiswa Swiss yang sudah lupa namanya, saya, Sung Ho Park, dan mahasiswi Swiss yang juga sudah lupa namanya.
Begitu kita selesai makan dan membayar tagihan, kamipun
mengisi waktu dengan jalan-jalan keliling kota untuk menikmati suasana malam Sabtu.
Rasanya itulah satu-satunya momen dimana saya menikmati jalan-jalan malam di
akhir minggu sambil ditemani kawan-kawan kampus. Biasanya saya pergi sendirian.
Malam itu daerah Northbridge benar-benar hidup dengan segala aktifitas di café dan
pub yang ada. Ada juga beberapa nightclub yang ramai dengan pengunjung. Saya
ingat, suatu waktu yang orang Swiss ingin berkunjung ke nightclub di jalan James
Street, tapi akhirnya batal karena yang orang Indonesia tidak mau masuk.
Kami menghabiskan sisa malam dengan berjalan-jalan keliling
kota. Terkadang saya ngobrol sedikit dengan Denise selagi jalan. Saya tanya apa
dia sering pergi keluar kalau akhir minggu di Perth, dan Denise menjawab kalau
terkadang dia suka keluar. Walaupun saya merasa senang bahwa saya bisa
jalan-jalan dengan dia (walapun tidak berduaan), Denise sendiri terkesan
menjawab pertanyaan saya dengan nada cuek. Ya, mungkin dia sudah bosan dengan
saya.
Malam mulai larut. Kebanyakan dari kita memutuskan untuk
pulang setelah menikmati malam yang menyenangkan. Kamipun berpisah di stasiun
Perth. Saya mengucapkan selamat jalan ke Sung Ho, dan berharap yang terbaik
untuk dia. Ini terakhir kalinya saya melihat dia. Saya tidak pernah bertemu
Sung Ho lagi semenjak itu. Yang lainnya (termasuk anak-anak Indonesia) berpisah
dari kelompok kami dan pergi untuk urusan mereka masing-masing.
Akhirnya tinggal saya, Denise, Heinz, dan Maria, seperti
waktu kita pergi ke Margaret River. Setelah jalan-jalan keliling kota, kami
akhirnya mampir ke sebuah café di jalan Beaufort Street, persis di seberang
jalan dari gedung Museum of Arts yang megah. Kami duduk dan memesan beberapa
minuman hangat seperti kopi atau cokelat hangat. Minuman ini enak diminum di
malam yang dingin ini. Yang Swiss ngobrol satu sama lain, sementara saya
menikmati lagu “September” dari band Earth, Wind, and Fire yang diputar pemilik
klub. Walaupun saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan malam itu, saya
sungguh menikmati bisa melihat Denise yang kelihatan anggun sekali.
Namun, hari-harinya Denise di St. Mark’s juga mulai
mendekati akhir. Seperti kebanyakan pelajar Swiss Jerman di kampus, mereka
sudah di minggu-minggu terakhir studi mereka. Jumlah pelajar Swiss Jerman sudah
berkurang banyak saat itu. Di awal November 1997, hanya ada sekitar 10 pelajar
Swiss yang tersisa di kampus. Bagi saya, suasana di kampus tidak akan pernah
sama lagi.
Walaupun Heinz sudah meninggalkan kampus, pernah suatu hari
saya melihat dia kembali lagi. Saya ingat suatu hari waktu jam istirahat makan
siang, saya tiba-tiba melihat dia datang, menggunakan t-shirt biru dan celana
pendek warna merah jambu serta sepatu sneakers. Mukanya juga sekarang sudah
berjanggut. Saya tanya, kemana saja dia selama ini. Dia bilang kalau dia selama
ini sudah jalan-jalan keliling Australia barat, termasuk tinggal lama dengan
kawannya di Geraldton. Dia sepertinya sangat menikmati petualangannya di
Australia, dan Denise seperti entusias mendengar ceritanya.
Beberapa hari kemudian, kisah cinta saya di Perth akhirnya
benar-benar berakhir karena Denise, beserta beberapa pelajar lain seperti Woo
Jae dan Nami*, menyelesaikan kuliah mereka di St. Mark’s International College.
Untuk merayakan acara ini, kami mengadakan pesta barbeque di Hyde Park yang ada
di dekat kampus dimana kami masak-masak di salah satu kompornya.
Pesta barbeque perpisahan kelas di taman Hyde Park dekat kampus, untuk merayakan perpisahan Denise, Maria, dan banyak pelajar Swiss Jerman yang mengakhiri studinya di St. Mark's International College. Alvin tampak berdiri dengan group di kiri, membawa tas punggung. Denise tampak tengah memasak di kompor mengenakan baju strip coklat dan ungu. Woo Jae tampak tengah merekam acara ini di sebelah kanan gambar, sementara Milo dan Ursula duduk-duduk di rumput di sebelah kanan.
Acara ini sungguh menyenangkan, dan ini adalah terakhir
kalinya saya bisa ngobrol agak lama dengan Denise (yang disela dengan
percakapan dengan anak lainnya). Saya ingat waktu itu Woo Jae sebenarnya
membawa kamera handycam dia dan merekam acara itu. Dia bahkan juga merekam
Denise sewaktu mengucapkan selamat perpisahannya yang agak panjang. Andai waktu
itu saya bisa mendapat kopi rekamannya….
Tak lama kemudian, Denise dan mayoritas pelajar Swiss Jerman
benar-benar menyelesaikan studi mereka. Saya merasa emosional. Tidak mau
kehilangan momen ini, saya meminta untuk foto bareng dengan Denise dan Maria di
air mancur di halaman kampus.
Foto terakhir barang Denise dan Maria, diambil di air mancur di halaman kampus St. Mark's. Secara kebetulan Denise duduk di tempat yang sama dan menggunakan pakaian yang sama seperti sewaktu pertama kali saya melihatnya di bulan September 1997.
Inilah terakhir kalinya saya melihat Denise. Walaupun dia
secara fisik sudah hilang dari kampus dan kehidupan saya, saya masih
tergila-gila dengan dia dan butuh waktu beberapa tahun untuk melupakan dia.
Kalau istilahnya anak sekarang: “gagal move on”.
Saya berusaha melupakan dia dengan keranjingan makan,
sampai-sampai sewaktu kuliah saya selesai, berat badan saya naik 30 kilo dalam
sebulan! Ceritanya, suatu hari saya melihat berita di TV yang mengatakan kalau
cewek-cewek Australia cenderung tertarik dengan cowok yang gemuk. Saya mikir,
kayaknya ide bagus juga: makan banyak, jadi gemuk, dan dapat cewek! Rupanya
anggapan ini tidak benar sama sekali.
Namun di sisi lain, ada berita bagus juga. Dani* dan Erick*
akhirnya hengkang dari rumahnya Siraj. Saya nggak usah lagi berurusan dengan
kedua orang toxic itu, yang terus-terusan membuat saya merasa bersalah untuk
hal yang tidak penting. Sayapun jadi satu-satunya anak kost di rumah Siraj,
sampai-sampai saya seperti jadi anak tertuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar