Minggu, 19 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 25)

Di awal November, satu group pelajar baru datang ke kampus kita. Mereka mayoritas orang Eropa, dan rupanya juga dari Swiss. Tapi tidak seperti kelompok pelajar Swiss terdahulu, mereka adalah orang Swiss Perancis. Ini pertama kalinya saya berkenalan dengan orang Swiss Perancis. Secara sekilas penampilan mereka beda dengan yang Jerman karena ada unsur orang Latino, seperti halnya orang Perancis.
Beberapa dari pelajar Swiss Perancis ini ada yang bergabung di kelas saya. Yang pertama adalah Anouchka (saya tidak ingat nama lengkapnya). Dia adalah perempuan berambut pirang panjang dengan kulit berbintik-bintik, berumur 20an dari Jenewa. Pekerjaannya disana agak aneh untuk negara tengah daratan seperti Swiss: instruktur menyelam! Dia sudah bekerja di bidang itu selama 4 tahun, selain juga menjadi instruktur renang. Cowoknya juga kuliah di kampus, walaupun di kelas lain. Kemudian ada satu mahasiswa bernama Pierre*. Dia anak lelaki berwajah tampan berumur awal 20an, dari Lausanne. Di Swiss dia bekerja sebagai penjaga toko olahraga disana. Dia modelnya mirip dengan cowok-cowok Perancis yang kita temui di film romantic dari Perancis. Bahkan dia kemudian berpacaran dengan Keiko* (karyawan kantin dari Jepang yang dulu sering saya ajak ngobrol setelah kelas).
Satu lagi pelajar Eropa yang saya kenal adalah Anna*. Dia adalah ibu-ibu paruh baya dari Austria yang menghadiri kelas ini untuk mengisi liburannya, dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Dia orangnya sederhana, tapi mudah bergaul. Dia selalu tertarik untuk mengetahui budaya orang lain, dan sering bertanya tentang saya. Sewaktu saya bilang kalau saya seorang Muslim, dia berpikir apa saya akan punya 2 istri di masa depan, yang saya jawab tidak akan karena ribet.


Nongkrong bareng di cafe setelah tour ke penjara Fremantle. Dari kiri ke kanan: Anna*, saya, Anouchka, Ryo*, Beverley Martyn, Park*, Nattaporn, dan beberapa anak lainnya yang saya tidak ingat namanya.

Selain dari Eropa, kita juga menerima group pelajar baru dari Jepang (walaupun tidak semua datang ke kelas yang sama dengan saya). Satu yang saya ingat adalah Ryo*. Dia punya badan atletis, dan sering ikut lomba triathlon (termasuk satu di Perth yang diadakan sebulan sebelum dia masuk). Bahasa Inggrisnya tidak begitu bagus, tapi dibanding anak-anak Jepang lainnya dia selalu ingin berinteraksi dengan orang-orang selain Jepang.
Tapi kawan paling penting yang muncul di periode ini adalah anak Indonesia baru dari Surakarta/Solo. Namanya Wahyu*. Dia tidak hanya belajar di kampus yang sama dengan saya, tapi rupanya juga tinggal di rumah yang sama dengan saya! Dia tinggal di kamar yang dulunya dipakai oleh Dani*. Untuk pertama kalinya saya punya teman serumah yang bersahabat dan bisa diajak ngobrol. Dan menariknya karena kita punya asal-usul yang sama (keluarga besar ibu saya dari Solo, dan saya sering kesana) maka mudah bagi kita untuk jadi akrab. Kami sering ngobrol bareng, baik di rumah maupun di kampus, dan dia benar-benar teman yang menyenangkan. Siraj bersyukur bahwa akhirnya saya ada kawan yang jauh lebih bersahabat dibanding Dani* dan Erick* di masa lalu.
Karena saya naik kelas, pengajarnya juga ganti. Saya sudah tidak di kelasnya Milo lagi, tapi masuk ke kelas yang dosennya orang Amerika. Namanya Mike*. Dia adalah orang Amerika keturunan Ukraina dan Ceko. Kontras dengan para pengajar sebelumnya, selain karena aksen Amerikanya, dia orangnya lucu dan tidak bisa mengatur waktu. Dia tidak bisa mengeja nama saya dengan benar. Sepanjang kelas dia sering berbicara panjang lebar tentang issue yang ada di buku. Dia sering menghubungkannya dengan pengalaman pribadinya, dan sering menambahkan cerita lucu. Tapi masalahnya, dia sering berbicara terlalu panjang sampai melewati batas waktu kelas. Sering kita masuk waktu istirahat, atau pulang, tampak sempat menyelesaikan materi pelajaran. Buat mahasiswa tingkat atas, ini mungkin nggak terlalu masalah. Tapi buat pemula dia bisa memberikan contoh buruk. Walaupun orangnya kacau balau, dia cukup populer di kalangan mahasiswa.
Bisa dibilang minggu-minggu terakhir studi saya di Perth terasa membosankan, dibanding sewaktu masih ada Denise. Mudah buat saya untuk akrab dengan orang Swiss Perancis. Mereka lebih terbuka dan rendah hati dibanding rekan senegaranya yang etnis Jerman. Mereka juga mau berkumpul dengan pelajar Asia tanpa banyak masalah. Saya sering makan siang bareng dengan Anouchka dan pacarnya, serta dengan Pierre*. Pierre* adalah penggemar berat Kit Kat dan hampir setiap hari dia beli permen cokelat satu ini.

 
Sewaktu Kit Kat Chunky Bar diluncurkan, dia entusias untuk membelinya. Selain itu, beberapa minggu kemudian saya sering melihat Pierre* duduk bareng sama Keiko*. Kayaknya ini pertama kalinya saya melihat pelajar Eropa pacaran sama orang Asia.
Dan di bulan ini juga saya melakukan tour terakhir saya. Ini adalah kunjungan ke penjara Fremantle (lagi). Pada dasarnya sama dengan yang pertama dulu, hanya orang-orangnya beda. Karena kita berkunjung saat cuacanya panas, kita bisa merasakan bagaimana rasanya berada di dalam penjara saat musim panas. Asal tahu saja, musim panas di Australia umumnya panas sekali. Tapi anehnya di dalam penjara hawanya nyaman. Nggak terlalu panas, tapi nggak sedingin musim dingin.


Selesai tour, saya mulai lebih serius dengan studi saya. Saya selalu mencari-cari di perpustakaan dan internet mengenai bidang kuliah yang ada. Mesin pencari di internet masih belum secanggih sekarang. Yahoo adalah favorit saya, selain AltaVista. Google belum ada waktu itu, sementara e-mail berbayar adalah barang umum (bahkan provider e-mail gratis saya, Hotmail, sempat diisukan akan beralih jadi layanan berbayar).
Saya melihat beberapa program studi yang ada. Penerbangan jelas sudah nggak masuk hitungan sekarang. Saya juga tidak tertarik dengan mata kuliah engineering atau ekonomi. Bidang seni kerasa aneh. Walaupun saya tidak suka eksakta, saya masih punya minat di bidang computer. Bidang kuliah tentang komputer yang populer adalah Computer Science yang ada di beberapa universitas disana. Yang memotivasi saya untuk kuliah di bidang computer adalah minat saya di dunia gaming. Saya ingin belajar membuat game computer dan membuatnya jadi mata pencaharian di masa depan.
Sayangnya, Matematika dan Fisika bukan keunggulan saya. Bahkan waktu di SMA, saya mengambil bidang Sosial bukannya Eksakta, karena nilai pelajaran eksakta saya seringkali jelek (kecuali untuk hitung-hitungan pelajaran ekonomi). Dan sewaktu saya melihat persyaratan masuk kuliah Computer Science, saya merasa gentar dengan fakta kalau saya harus mahir di bidang matematika dan juga sedikit bidang fisika.


Tapi kemudian saya melihat ada satu bidang studi yang menarik: program Bachelor of Multimedia. Saya penasaran akan bidang ini. Kelihatannya seperti kuliah computer, tapi tidak mengharuskan calon mahasiswanya mahir di bidang matematika. Kemudian saya ingat kalau Shahjehan kuliah computer di Edith Cowan University, jadi dia semestinya punya informasi yang bisa membantu saya.



Logo Edith Cowan University di tahun 1997. Yang sekarang sudah tidak seperti ini.

Suatu malam, saya mengetuk pintu kamarnya untuk menanyakan beberapa hal. Dia keluar dari kamar tidurnya yang sempit dan menyambut saya. Saya tanya apa sih kuliah Multimedia itu? Dia menjawab bahwa kuliah Multimedia adalah bidang kuliah dimana kita menggunakan computer untuk memproses gambar dan suara, membuat animasi, dan bahkan membuat game komputer. Wow! Kayaknya menarik ini. Mulai saat itu, saya sudah memutuskan bahwa selesai kuliah bahasa Inggris, saya akan mengambil bisang kuliah Bachelor of Multimedia.


Saya berterima kasih ke Shahjehan dan kembali ke kamar saya untuk tidur.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar