Bisa dibilang bahwa beberapa minggu terakhir kuliah saya di
Australia terasa hambar dan agak kelam dibanding bulan-bulan awal dan
pertengahan dulu. Saya sudah tidak merasa senang dan bersemangat seperti 2/3 waktu
pertama kuliah saya disini. Pergi ke kampus terasa membosankan dan nggak
menarik, diperparah dengan keadaan cuaca yang tambah panas. Walaupun keadaan di
kampus sama saja seperti sebelumnya, ada beberapa hal yang mengganggu perhatian
saya.
Di pertengahan kuliah, saya mendengar tentang “Krisis
Ekonomi Asia” yang sangat mempengaruhi perekonomian banyak negara Asia. Awalnya
dimulai di Korea Selatan, tapi belakangan menyebar ke Asia Tenggara. Thailand
adalah negara pertama yang babak belur karena krisis ini. Sampai-sampai banyak
pelajar Thailand memutuskan untuk mengakhiri kuliah mereka lebih awal. Ake,
kawan Thailand saya yang dulu pernah akrab pas masa orientasi dan minggu-minggu
pertama di St. Mark’s, memutuskan untuk mengakhiri kuliahnya dan pulang di
bulan Oktober.
Daftar negara-negara yang terkena dampai krisis ekonomi 1997. Bisa dibilang Indonesia adalah yang paling parah terkenanya.
Awalnya saya nggak ngeh dengan efek krisis ini. Saya lagi
senang-senangnya, apalagi waktu itu saya sedang tergila-gila dengan Denise.
Tapi perlahan-lahan efeknya juga mengena ke saya. Saya ingat waktu itu saya berencana untuk pergi ke Eropa setelah kuliah saya selesai. Awalnya bapak saya
setuju, tapi dia kemudian melarangnya karena nilai uang Rupiah Indonesia
terpuruk. Bahkan mulai ada beberapa anak Indonesia yang membatalkan rencana
mereka kuliah di Australia dan pulang ke Indonesia.
Selama periode ini kita juga mulai mendengar beberapa berita
buruk dari negeri kita. Kabut asap tebal akibat pembakaran hutan dan lahan illegal
katanya menyelimuti seluruh Indonesia (hal yang ternyata tidak benar setelah
saya diberitahu kawan sekolah saya). Dan kemudian kita mendengar berita pesawat
jatuh di dekat Medan, yang katanya adalah kecelakaan pesawat terburuk di
Indonesia. Tentunya media Australia benar-benar dapat durian runtuh untuk
mendongkrak rating mereka. Sampai-sampai Alvin berkata “Negara kita kayaknya
makin nggak karu-karuan saja sementara kita bersenang-senang di Australia!”
Kecelakaan pesawat Garuda Indonesia penerbangan GA152 di Sumatera Utara. Kecelakaan ini adalah kecelakaan penerbangan terparah yang pernah terjadi di Indonesia.
Hal lain yang membuat saya khawatir di minggu-minggu terakhir
kuliah saya adalah ujian bahasa Inggris. Untuk masuk kuliah di Australia,
mahasiswa asing (dari negara yang bukan berbahasa Inggris) harus menjalani
ujian bahasa Inggris untuk membuktikan bahwa mereka punya kemampuan bahasa yang
memadai untuk kuliah di Australia.
Walaupun di Indonesia ujian TOEFL dari Amerika lebih populer,
di Australia ada ujian lain yang katanya lebih lengkap (dengan kata lain, lebih
susah). Namanya IELTS. Ujian ini asalnya dari Inggris, dan merupakan pesaing
TOEFL. Dibanding TOEFL, IELTS lebih kompleks: ujian ini meliputi beberapa
bagian yang menguji kemampuan menulis, memecahkan masalah, mendengar, dan
bahkan berbicara dalam bahasa Inggris. Sementara TOEFL hanya terdiri dari
pilihan berganda, menulis, dan mendengar. Walaupun TOEFL masih diterima di
universitas Australia, IELTS lebih dipilih. Jadi akhirnya saya memilih IELTS
dibanding TOEFL.
Pertama-tama, saya harus melihat jadwal ujian yang ada.
Ujian ini hanya diadakan di tanggal tertentu setiap bulannya. Dan tempat
ujiannya ada 2: kampus Bentley milik Curtin University, dan Murdoch University.
Karena waktu tinggal saya di Australia sudah terbatas, saya tidak punya pilihan
selain mengambil ujian di awal Desember. Saya juga memilih Bentley karena lebih
mudah dijangkau daripada Murdoch.
Lalu saya harus membayar biaya ujian untuk ikut. Harganya $50
(Australian Dollar). Ini lebih murah dibanding kalau saya ambil di Indonesia
yang harganya dihitung dalam Dollar Amerika! Mendaftar dan membayar biaya
kuliah juga memberikan saya kesempatan untuk mengetahui dimana kampus Bentley
itu. Dari kampus, saya naik bis ke stasiun Perth. Begitu sampai di stasiun,
saya naik kereta api tujuan Armadale. Setelah beberapa menit perjalanan, saya
turun di stasiun Oats Street dimana saya naik bis ke Bentley. Bisnya melewati
beberapa perumahan lama disini. Terkadang ada juga perumahan kelas atas.
Stasiun Oats Street di tahun 2005. Di tahun 1997 penampilannya persis seperti ini, lengkap dengan mesin validasi Multirider di sebelah kiri. Halte-halte bis tampak di kiri diluar pagar.
Begitu sampai di Bentley, saya kagum sekali dengan betapa
luasnya kampus ini. Karena ini adalah kampus utama Curtin University, yang
merupakan terbesar di Australia Barat. Bisa dibilang hampir semua jurusan
kuliahnya ada disini. Bahkan ukuran kampusnya hampir seperti kota kecil. Walaupun
terletak di pusat kota, kampus ini sebenarnya mandiri. Ada segala fasilitas
yang dibutuhkan mahasiswa, mulai dari teater kelas, beberapa perpustakaan,
studio-studio, laboratorium, tempat tinggal, minimarket, toko buku, café,
restaurant, bahkan lapangan sepak bola yang besar. Yang tidak ada hanya
fasilitas hiburan, dimana mahasiswa harus ke kota untuk itu.
Butuh waktu buat saya untuk menemukan gedung administrasi
IELTS, tapi setelah tanya-tanya akhirnya saya sampai juga. Begitu saya membayar
biaya kuliah, mereka memberikan kwitansi dan kartu ujian yang harus saya bawa
nantinya.
Gedung perpustakaan Curtin University adalah salah satu bangunan terpenting di kampus Bentley. Kalau nggak salah gedung administrasi IELTS letaknya dekat sini.
Untuk mempersiapkan ujian, saya harus mengambil beberapa
kelas tambahan. Untuk pertama kalinya, kuliah disini terasa serius sekali.
Sudah tidak ada lagi bersenang-senang di kampus. Sekarang pelajarannya lebih
kompleks dan menantang. Programnya lebih menekankan untuk persiapan IELTS.
Materi kuliahnya benar-benar terfokus ke ujian ini, dan juga meliputi materi
ujian terdahulu.
Dan seperti prediksi saya, ternyata belajar IELTS lebih
rumit daripada kelas reguler. Walaupun tidak ada “gagal” (paling tidak bagi
yang ikut ujian), ada beberapa tingkatan nilai ujian. Mulai dari 1.0 untuk “orang
yang tidak bisa bahasa Inggris sama sekali” sampai 9.0 untuk “orang saya ahli
bahasa Inggris”. Saya ternyata juga mengetahui bahwa orang yang bahasa aslinya
Inggris belum tentu bisa dapat nilai bagus, sementara orang yang bahasa aslinya
bukan bahasa Inggris bisa dapat nilai teratas.
Materi pelajaran di kelas juga menggambarkan betapa rumitnya
ujian IELTS ini. Ujian mendengarkan mungkin tidak susah, karena saya sebelumnya
sudah dilatih di kelasnya Milo yang dimana pembicaraannya jauh lebih cepat.
Tapi saya tetap tidak boleh lengah karena ada beberapa kalimat yang diucapkan
dengan logat kental. Dan tentunya tidak ada yang menolong di saat ujian kalau
saya tidak paham apa yang diucapkan di radio.
Ada satu modul bernama “Reading”. Apa yang kita lakukan
adalah membaca teks, kemudian mengisi ruang-ruang kosong di bagian jawaban.
Tapi tidak seperti latihan di kelas biasa, seringkali kita harus membuat
kesimpulan artikel yang tertulis sebelum bisa memberikan jawaban. Seringkali
jawabannya tidak tertulis jelas di teks. Untuk menambah tantangan, waktu kita
terbatas.
Dan ada lagi satu bagian IELTS yang membedakannya dengan
TOEFL: “writing”. Di ujian ini, kita diberikan gambar grafik data (persis
seperti di bagian ekonomi di majalah atau koran). Disini kita harus menuliskan
artikel yang menjelaskan grafik data tadi. Bagaimana kita menjelaskan
menggambarkan kemampuan bahasa Inggris kita. Ini sangat penting buat menulis
laporan kalau kuliah, walaupun subyeknya akan berbeda kalau kita masuk kuliah
(tergantung jurusan apa yang kita ambil).
Terakhir: ujian berbicara. Walaupun ujian ini waktunya
paling pendek dan secara teknis tidak terlalu menantang, tapi ini cukup
menantang dari segi psikologis. Bagian ini tidak hanya menguji kemampuan kita
berbicara bahasa Inggris, tapi kita juga dinilai dari kemampuan presentasi
kita. Penilai juga menilai penampilan kita. Kemampuan bicara bahasa Inggris
yang kurang baik bisa tertolong kalau kita melakukan presentasi secara sopan
dan menyenangkan. Sementara nilai ujian kita bisa turun walaupun kemampuan
bicara bagus, kalau kita tidak sopan atau berpenampilan tidak rapi. Guru pengajar
kita mengatakan kalau ini hal yang paling mendekati interview mendaftar kerja.
Seperti itulah susah dan kompleksnya ujian IELTS. Buat yang
ujian pertama kali seperti saya, ini terasa menakutkan dan cukup membuat saya
gugup. Persiapan yang baik itu penting agar ujiannya berhasil. Guru kita
meyakinkan semua kalau kita tidak usah gugup mengerjakan ujiannya, karena
seringkali penilai tidak kejam dan juga menilai kita dari usaha kita menjawab.
Sekarang, setelah membaca-baca buku panduan universitas dan
brosur, saya menemukan kalau untuk masuk ke program Multimedia (di beberapa
universitas ternama) saya harus punya nilai IELTS sekitar 5.5 hingga 6.0.
Tergantung universitas mana yang mau diambil. Berarti makin tinggi nilai
ujianku, makin banyak pilihannya. Oleh karena itu untuk mempersiapkan ujian,
saya harus belajar lebih keras. Mulai sekarang, saya lebih banyak belajar kalau
di rumah dibandingkan menonton TV atau jalan-jalan.
Disaat kegiatan saya makin sibuk, orang tua menelepon ke
saya. Mereka bilang kalau mereka akan datang ke Perth untuk menjemput saya.
Mereka kangen saya dan ingin ketemu. Mereka juga mau tinggal di Pacific Motel,
yang sudah dikenal bapak saya. Selain itu mereka juga mau melihat seperti apa
rumahnya Siraj. Lagipula karena kita pulang bareng, otomatis mereka bisa
membantu meringankan kelebihan berat bagasi. Lumayan juga lah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar