Senin, 20 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 26)

Bisa dibilang bahwa beberapa minggu terakhir kuliah saya di Australia terasa hambar dan agak kelam dibanding bulan-bulan awal dan pertengahan dulu. Saya sudah tidak merasa senang dan bersemangat seperti 2/3 waktu pertama kuliah saya disini. Pergi ke kampus terasa membosankan dan nggak menarik, diperparah dengan keadaan cuaca yang tambah panas. Walaupun keadaan di kampus sama saja seperti sebelumnya, ada beberapa hal yang mengganggu perhatian saya.
Di pertengahan kuliah, saya mendengar tentang “Krisis Ekonomi Asia” yang sangat mempengaruhi perekonomian banyak negara Asia. Awalnya dimulai di Korea Selatan, tapi belakangan menyebar ke Asia Tenggara. Thailand adalah negara pertama yang babak belur karena krisis ini. Sampai-sampai banyak pelajar Thailand memutuskan untuk mengakhiri kuliah mereka lebih awal. Ake, kawan Thailand saya yang dulu pernah akrab pas masa orientasi dan minggu-minggu pertama di St. Mark’s, memutuskan untuk mengakhiri kuliahnya dan pulang di bulan Oktober.


Daftar negara-negara yang terkena dampai krisis ekonomi 1997. Bisa dibilang Indonesia adalah yang paling parah terkenanya.

Awalnya saya nggak ngeh dengan efek krisis ini. Saya lagi senang-senangnya, apalagi waktu itu saya sedang tergila-gila dengan Denise. Tapi perlahan-lahan efeknya juga mengena ke saya. Saya ingat waktu itu saya berencana untuk pergi ke Eropa setelah kuliah saya selesai. Awalnya bapak saya setuju, tapi dia kemudian melarangnya karena nilai uang Rupiah Indonesia terpuruk. Bahkan mulai ada beberapa anak Indonesia yang membatalkan rencana mereka kuliah di Australia dan pulang ke Indonesia.
Selama periode ini kita juga mulai mendengar beberapa berita buruk dari negeri kita. Kabut asap tebal akibat pembakaran hutan dan lahan illegal katanya menyelimuti seluruh Indonesia (hal yang ternyata tidak benar setelah saya diberitahu kawan sekolah saya). Dan kemudian kita mendengar berita pesawat jatuh di dekat Medan, yang katanya adalah kecelakaan pesawat terburuk di Indonesia. Tentunya media Australia benar-benar dapat durian runtuh untuk mendongkrak rating mereka. Sampai-sampai Alvin berkata “Negara kita kayaknya makin nggak karu-karuan saja sementara kita bersenang-senang di Australia!”



Kecelakaan pesawat Garuda Indonesia penerbangan GA152 di Sumatera Utara. Kecelakaan ini adalah kecelakaan penerbangan terparah yang pernah terjadi di Indonesia.

Hal lain yang membuat saya khawatir di minggu-minggu terakhir kuliah saya adalah ujian bahasa Inggris. Untuk masuk kuliah di Australia, mahasiswa asing (dari negara yang bukan berbahasa Inggris) harus menjalani ujian bahasa Inggris untuk membuktikan bahwa mereka punya kemampuan bahasa yang memadai untuk kuliah di Australia.
Walaupun di Indonesia ujian TOEFL dari Amerika lebih populer, di Australia ada ujian lain yang katanya lebih lengkap (dengan kata lain, lebih susah). Namanya IELTS. Ujian ini asalnya dari Inggris, dan merupakan pesaing TOEFL. Dibanding TOEFL, IELTS lebih kompleks: ujian ini meliputi beberapa bagian yang menguji kemampuan menulis, memecahkan masalah, mendengar, dan bahkan berbicara dalam bahasa Inggris. Sementara TOEFL hanya terdiri dari pilihan berganda, menulis, dan mendengar. Walaupun TOEFL masih diterima di universitas Australia, IELTS lebih dipilih. Jadi akhirnya saya memilih IELTS dibanding TOEFL.



Pertama-tama, saya harus melihat jadwal ujian yang ada. Ujian ini hanya diadakan di tanggal tertentu setiap bulannya. Dan tempat ujiannya ada 2: kampus Bentley milik Curtin University, dan Murdoch University. Karena waktu tinggal saya di Australia sudah terbatas, saya tidak punya pilihan selain mengambil ujian di awal Desember. Saya juga memilih Bentley karena lebih mudah dijangkau daripada Murdoch.
Lalu saya harus membayar biaya ujian untuk ikut. Harganya $50 (Australian Dollar). Ini lebih murah dibanding kalau saya ambil di Indonesia yang harganya dihitung dalam Dollar Amerika! Mendaftar dan membayar biaya kuliah juga memberikan saya kesempatan untuk mengetahui dimana kampus Bentley itu. Dari kampus, saya naik bis ke stasiun Perth. Begitu sampai di stasiun, saya naik kereta api tujuan Armadale. Setelah beberapa menit perjalanan, saya turun di stasiun Oats Street dimana saya naik bis ke Bentley. Bisnya melewati beberapa perumahan lama disini. Terkadang ada juga perumahan kelas atas.



Stasiun Oats Street di tahun 2005. Di tahun 1997 penampilannya persis seperti ini, lengkap dengan mesin validasi Multirider di sebelah kiri. Halte-halte bis tampak di kiri diluar pagar.

Begitu sampai di Bentley, saya kagum sekali dengan betapa luasnya kampus ini. Karena ini adalah kampus utama Curtin University, yang merupakan terbesar di Australia Barat. Bisa dibilang hampir semua jurusan kuliahnya ada disini. Bahkan ukuran kampusnya hampir seperti kota kecil. Walaupun terletak di pusat kota, kampus ini sebenarnya mandiri. Ada segala fasilitas yang dibutuhkan mahasiswa, mulai dari teater kelas, beberapa perpustakaan, studio-studio, laboratorium, tempat tinggal, minimarket, toko buku, café, restaurant, bahkan lapangan sepak bola yang besar. Yang tidak ada hanya fasilitas hiburan, dimana mahasiswa harus ke kota untuk itu.


Butuh waktu buat saya untuk menemukan gedung administrasi IELTS, tapi setelah tanya-tanya akhirnya saya sampai juga. Begitu saya membayar biaya kuliah, mereka memberikan kwitansi dan kartu ujian yang harus saya bawa nantinya.



Gedung perpustakaan Curtin University adalah salah satu bangunan terpenting di kampus Bentley. Kalau nggak salah gedung administrasi IELTS letaknya dekat sini.

Untuk mempersiapkan ujian, saya harus mengambil beberapa kelas tambahan. Untuk pertama kalinya, kuliah disini terasa serius sekali. Sudah tidak ada lagi bersenang-senang di kampus. Sekarang pelajarannya lebih kompleks dan menantang. Programnya lebih menekankan untuk persiapan IELTS. Materi kuliahnya benar-benar terfokus ke ujian ini, dan juga meliputi materi ujian terdahulu.
Dan seperti prediksi saya, ternyata belajar IELTS lebih rumit daripada kelas reguler. Walaupun tidak ada “gagal” (paling tidak bagi yang ikut ujian), ada beberapa tingkatan nilai ujian. Mulai dari 1.0 untuk “orang yang tidak bisa bahasa Inggris sama sekali” sampai 9.0 untuk “orang saya ahli bahasa Inggris”. Saya ternyata juga mengetahui bahwa orang yang bahasa aslinya Inggris belum tentu bisa dapat nilai bagus, sementara orang yang bahasa aslinya bukan bahasa Inggris bisa dapat nilai teratas.


Materi pelajaran di kelas juga menggambarkan betapa rumitnya ujian IELTS ini. Ujian mendengarkan mungkin tidak susah, karena saya sebelumnya sudah dilatih di kelasnya Milo yang dimana pembicaraannya jauh lebih cepat. Tapi saya tetap tidak boleh lengah karena ada beberapa kalimat yang diucapkan dengan logat kental. Dan tentunya tidak ada yang menolong di saat ujian kalau saya tidak paham apa yang diucapkan di radio.
Ada satu modul bernama “Reading”. Apa yang kita lakukan adalah membaca teks, kemudian mengisi ruang-ruang kosong di bagian jawaban. Tapi tidak seperti latihan di kelas biasa, seringkali kita harus membuat kesimpulan artikel yang tertulis sebelum bisa memberikan jawaban. Seringkali jawabannya tidak tertulis jelas di teks. Untuk menambah tantangan, waktu kita terbatas.
Dan ada lagi satu bagian IELTS yang membedakannya dengan TOEFL: “writing”. Di ujian ini, kita diberikan gambar grafik data (persis seperti di bagian ekonomi di majalah atau koran). Disini kita harus menuliskan artikel yang menjelaskan grafik data tadi. Bagaimana kita menjelaskan menggambarkan kemampuan bahasa Inggris kita. Ini sangat penting buat menulis laporan kalau kuliah, walaupun subyeknya akan berbeda kalau kita masuk kuliah (tergantung jurusan apa yang kita ambil).
Terakhir: ujian berbicara. Walaupun ujian ini waktunya paling pendek dan secara teknis tidak terlalu menantang, tapi ini cukup menantang dari segi psikologis. Bagian ini tidak hanya menguji kemampuan kita berbicara bahasa Inggris, tapi kita juga dinilai dari kemampuan presentasi kita. Penilai juga menilai penampilan kita. Kemampuan bicara bahasa Inggris yang kurang baik bisa tertolong kalau kita melakukan presentasi secara sopan dan menyenangkan. Sementara nilai ujian kita bisa turun walaupun kemampuan bicara bagus, kalau kita tidak sopan atau berpenampilan tidak rapi. Guru pengajar kita mengatakan kalau ini hal yang paling mendekati interview mendaftar kerja.
Seperti itulah susah dan kompleksnya ujian IELTS. Buat yang ujian pertama kali seperti saya, ini terasa menakutkan dan cukup membuat saya gugup. Persiapan yang baik itu penting agar ujiannya berhasil. Guru kita meyakinkan semua kalau kita tidak usah gugup mengerjakan ujiannya, karena seringkali penilai tidak kejam dan juga menilai kita dari usaha kita menjawab.
Sekarang, setelah membaca-baca buku panduan universitas dan brosur, saya menemukan kalau untuk masuk ke program Multimedia (di beberapa universitas ternama) saya harus punya nilai IELTS sekitar 5.5 hingga 6.0. Tergantung universitas mana yang mau diambil. Berarti makin tinggi nilai ujianku, makin banyak pilihannya. Oleh karena itu untuk mempersiapkan ujian, saya harus belajar lebih keras. Mulai sekarang, saya lebih banyak belajar kalau di rumah dibandingkan menonton TV atau jalan-jalan.
Disaat kegiatan saya makin sibuk, orang tua menelepon ke saya. Mereka bilang kalau mereka akan datang ke Perth untuk menjemput saya. Mereka kangen saya dan ingin ketemu. Mereka juga mau tinggal di Pacific Motel, yang sudah dikenal bapak saya. Selain itu mereka juga mau melihat seperti apa rumahnya Siraj. Lagipula karena kita pulang bareng, otomatis mereka bisa membantu meringankan kelebihan berat bagasi. Lumayan juga lah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar