Selasa, 21 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 29)

Akhirnya, masa studiku di St. Mark’s International College di Perth, Australia Barat berakhir sudah. Masa belajar disini adalah masa yang penuh warna dan sangat membahagiakan buat saya. Apa yang tadinya saya kira bakal menjadi kegiatan belajar mengajar yang membosankan dan sulit ternyata menyenangkan sekali.
Sebelum saya berangkat ke Australia, tadinya saya pikir saya bakal berhadapan dengan para pengajar yang kaku dan ambisius seperti waktu kursus bahasa Inggris di ILP Surabaya. Tapi ternyata, saya bertemu dengan sekelompok pengajar yang ramah dan menyenangkan yang tidak hanya membantu saya memahami bahasa Inggris seperti orang lokal Australia, tapi juga membantu saya beradaptasi dengan standard tata tertib Australia atau negara barat sambil menghindari gegar budaya. Semuanya dengan cara menyenangkan. Program belajarnya sejujurnya gampang, bahkan terlalu mudah buat dipercaya. Sampai-sampai aktivitas diluar belajar dan main-main mendominasi waktu saya selama di Australia. Saya malah jadi agak manja dan malas di akhir studi saya.


Dan satu-satunya gegar budaya yang saya alami selama masa kuliah di Australia bukannya beradaptasi dengan budaya dan disiplin Australia, tapi kisah cinta saya dengan Denise. Saya waktu itu benar-benar mabuk cinta, tergila-gila dan terobsesi dengan Denise. Sayangnya, kombinasi sifatnya yang berubah-ubah (dimana kadang dia perhatian tapi kadang cuek saja) serta sifat lugu saya malah jadi "gegar budaya" buat saya. Kalau saja kuliahnya waktu itu adalah model yang lebih serius, mungkin saya bisa nggak lulus. Tapi untungnya, program studi disini mudah dan santai.
Di hari Senin, saya kembali lagi ke kampus, kali ini dengan orangtua saya. Saya datang untuk mengambil sertifikat, serta pamit dengan karyawan kampus dan guru yang dekat dengan saya. Bapak saya juga menyempatkan untuk bertemu lagi dengan kepala kampus yang beliau kenal secara pribadi. Selain itu saya juga pamit dengan dengan kawan-kawan seperti Alvin, Hudi, dan beberapa kawan Swiss seperti Anouchka dan Pierre*. Tidak bisa dipungkiri masa-masa saya bersama mereka (dan juga kawan-kawan terdahulu) adalah masa terindah hidup saya.
Rupanya perpisahan ini tidak berjalan tanpa insiden. Kejadiannya terjadi seusai saya bertemu Anouchka di depan perpustakaan, setelah pamit dengan para pegawai perpustakaan. Seusai bersalaman dengan dia, sayapun turun ke bawah dan mengucapkan selamat tinggal. Cuma sewaktu saya menuruni tangga, tiba-tiba saya terpeleset dan hampir terjatuh hingga ke lantai bawah. Untungnya saya sempat berpegangan ke tangga dan menghindari musibah yang lebih serius. Anouchka ketawa-tawa sewaktu melihat kejadian lucu ini.
Itulah hari terakhir saya di St. Mark’s International College.



Pemandangan kampus St. Mark's yang sepi.

Di malam terakhir kita di Perth, Siraj mengundang kami untuk makan malam. Wah boleh juga ini. Sorenya, kamipun bersiap-siap untuk acara makan malam dengan berpakaian serapi mungkin. Orang tua saya juga senang akan ketemu Suhail dan Shimla lagi.
Setelah menunggu di lobby hotel, Siraj akhirnya datang dan menjemput kita. Bapak saya sempat heran kenapa kok dia datang sendiri. Siraj menjawab kalau keluarganya tiba-tiba sibuk menemani tamu dari Sri Lanka yang mendadak datang. Karena itu, akhirnya kita dapat ruang yang luas di dalam mobil untuk kita semua.
Siraj membawa kita ke restaurant Sizzler di Dianella, yang terletak beberapa kilometer di utara hotel kita. Ini kunjungan kedua saya ke restoran ini, karena Siraj pernah mengundang saya kesini dengan Shahjehan, Feroza, Dani*, Erick*, dan tentunya anak-anak. Kami sangat menikmati masakan disini. Saya pesan seafood platter, sementara orang tua saya pesan steak.



Orang tua saya menikmati makan malam ditemani Siraj Haniffa.

Kami menikmati makan malam yang sungguh enak. Terkadang diselingi dengan obrolan antara orang tua saya dan Siraj. Siraj menjelaskan beberapa hal yang belum pernah saya dengan sebelumnya. Rupanya dulu dia pertama kali datang ke Australia sebagai pelajar. Dia tadinya mau kuliah pasca sarjana. Untuk menopang hidupnya, dia juga kerja paruh waktu. Selain itu, dia juga mencoba peruntungannya mendaftar kewarganegaraan Australia.
Karena peraturan imigrasi di tahun 1990an tidak seketat di tahun-tahun setelah “Krisis Manusia Perahu” di tahun 2000, dia bisa mendapatkan status penduduk tetap dengan mudah dan bisa mendapatkan beberapa hak seperti halnya warga negara Australia. Dia kemudian menikahi Feroza (saya tidak tahu apa dia menikahi Feroza atas kehendaknya, atau diatur keluarga), dan membawa istrinya ke Australia serta membesarkan keluarganya disini. Akibatnya, dia kemudian meninggalkan kuliahnya dan memutuskan kerja penuh sebagai sopir taxi untuk menyokong keluarganya.
Selesai makan, kita membayar tagihannya. Walaupun awalnya Siraj mau membayari kita semua, bapak saya mencegahnya dan kemudian membayar untuk kita. Sepulangnya dari makan malam, kita pun kembali lagi ke hotel.
Malam ini adalah malam terakhir saya di Perth dan Australia. Kali ini orang tua saya akan tetap menginap di hotel sementara saya masih tinggal lagi di rumahnya Siraj. Setelah mengedrop orang tua saya di Pacific Motel, Siraj mengantar saya pulang ke rumah. Di perjalanan, saya memperhatikan ada yang aneh. Saat kita makin dekat ke rumah, Siraj kelihatan makin gugup. Gaya menyetirnya makin agresif. Waktu itu saya tidak menaruh kecurigaan karena kadang dia menyetir seperti itu. Begitu mengedrop saya di rumah, dia langsung pamit dan cepat-cepat pergi karena dia “terlambat masuk kerja”. Mungkin dia takut kalau dihukum karena telat.
Saya berjalan masuk ke rumah dan membuka pintu dengan kunci yang saya bawa. Begitu masuk, saya sangat terkejut dengan yang saya lihat. Telepon rumah tergeletak di lantai sementara kabelnya terputus. Lemari kecil tempat biasanya telepon ini ditaruh tumbang. Saya juga melihat ada bercak-bercak berlendir di lantai. Kursi-kursi di kamar makan terguling. Bantal-bantal dan beberapa koran bekas tergeletak di lantai. Saya mikir, apa yang telah terjadi?


Sewaktu saya masuk ke dapur, pemandangannya lebih mengerikan lagi. Beberapa piring dan cangkir sepertinya habis dilempari, dan pecahannya mengotori lantai. Saya melihat ada banyak udang, sayuran, bumbu-bumbu, dan papan telenan dijejalkan di tempat cuci piring.
Sepertinya Feroza mungkin mau mengundang saya dan orang tua saya makan rumah, dan bahkan sudah mulai memasak makanannya. Tapi Siraj punya ide lain (yang akhirnya terlaksana). Mungkin mereka sempat bertengkar, sehingga membuat rumah jadi kacau balau. Benar-benar mengerikan melihat rumah jadi berantakan seperti ini.
Saya nggak ketemu Wahyu* atau Shahjehan. Mereka lagi keluar rumah. Saya mencari-cari anak-anak, dan akhirnya menemukan Suhail kaya kebingungan di pekarangan belakang sementara Shimla duduk di sofa di belakang. Walaupun anak-anak kelihatan trauma, tapi saya bersyukur mereka tidak terluka sama sekali. Saya berpikir mungkin mereka sudah keluar ke pekarangan belakang sewaktu pertengkaran meletus. Saya tanya ke Suhail apa yang terjadi. Dia terlalu terguncang untuk menjawab. Kasihan Suhail, dia tidak seharusnya melihat kekerasan rumah tangga seperti ini.
Feroza entah kemana. Saya penasaran kemana dia. Saya melihat-lihat di dalam rumah, mencari di kamar mandi, kemudian bekas kamarnya Erick* yang kosong, tapi tidak ada.
Lalu saya dengan berani masuk ke kamar tidurnya yang berantakan, dan menemukan Feroza tergeletak di lorong sebelah kamarnya. Dia tampak cidera. Tangannya terluka, dan ada beberapa luka goresan di pipinya. Mukanya tampak sembab seperti habis menangis keras-keras. Saya takut, apa dia baik-baik saja? Kalau dia mati, saya bakal terlibat masalah hukum disini dan kepulangan saya bisa ditunda.
Saya mencoba membangunkannya. Pertama saya membisiki dia dan tidak ada jawaban. Kemudian saya menepuk bahunya, dan tiba-tiba dia terbangun dan ngamuk-ngamuk. Dia nggak bisa mengendalikan dirinya, dan lari-lari keliling rumah, teriak-teriak nggak jelas. Terkadang dia muntah ke lantai. Semuanya terjadi saat anak-anaknya melihat dengan ketakutan. Saya berusaha menenangkan dia, tapi dia malah memarahi saya.
Di tengah kekacauan ini, untungnya tiba-tiba Shahjehan dan Wahyu* pulang kerumah dan menolong saya. Saya tanya kemana saja mereka. Keduanya menjawab kalau mereka datang dari kota. Sebenarnya mereka berangkat terpisah, dan untuk tujuan berbeda, tapi karena ketemuan pas di kota akhirnya mereka pulang bareng naik mobilnya Shahjehan.
Shahjehan sangat terkejut dengan apa yang dia lihat, lalu menolong kakaknya yang terluka dan tertekan serta menidurkannya di tempat tidur. Dia juga menenangkan anak-anak dan membawa mereka ke tempat tidur. Setelah semua beres, dia kemudian duduk di sebelah Feroza dan sempat ngobrol lama dengan dia.
Sementara Shahjehan menenangkan Feroza, saya tanya ke Wahyu* apa dia melihat insiden ini dari awal. Wahyu* menjawab kalau dia sebenarnya melihat awal kejadiannya. Waktu itu pas sore hari dia melihat Feroza pulang dari supermarket, dan membawa beberapa bahan makanan mewah. Sewaktu melihat itu, Siraj tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang membuat marah Feroza. Kemudian mereka mulai terlibat pertengkaran mulut. Awalnya Wahyu* tidak curiga karena mereka sering bertengkar mulut hebat, tapi biasanya berakhir damai. Jadi dia anggap itu biasa saja. Dia kemudian pergi ke kota, tanpa ada firasat apapun kalau debat tadi bakal berakhir seperti ini.
Setelah beberapa waktu, Shahjehan akhirnya bisa menenangkan Feroza dan mengobati lukanya. Dia kemudian kembali ke kita dan menceritakan kejadiannya. Dia bilang Feroza butuh istirahat karena badannya nggak karu-karuan. Saya tanya apa Feroza pernah ngamuk-ngamuk seperti ini sebelumnya, dan Shahjehan menjawab kalau kadang dia suka seperti ini. Shahjehan mengaku kalau susah buat dia untuk mengatasi temperamen Feroza. Hanya karena dia adalah adiknya, Feroza tidak pernah melampiaskan kemarahannya ke Shajehan. Tapi seringkali, adalah Siraj atau terkadang anak-anak yang kena batunya.
Para pelajar asing yang tinggal di rumah Siraj tidak pernah melihat amukan sebesar ini karena dia biasanya melampiaskannya kalau mereka tidak dirumah, untuk mencegah image buruk yang bakal diakibatkan kalau mereka bertengkar di depan pelajar asing. Untungnya, walaupun Feroza suka ngamuk, dia tidak lama meledakkan amarahnya dan keadaan akan normal setelahnya.
Kamipun mulai membersihkan rumah dan menyingkirkan semua rongsokan. Shahjehan juga menggunakan koran-koran bekas untuk membersihkan tempat-tempat yang dimuntahi Feroza. Wahyu* juga membantu saya mengembalikan perabotan-perabotan ke tempat asalnya.
Benar-benar cara tak lazim untuk menghabiskan malam terakhir di Australia!


Selesai bersih-bersih, kami kembali ke kamar untuk istirahat. Buat saya ini waktunya untuk mengepak sisa-sisa barang saya. Untungnya, karena saya tidak membawa banyak oleh-oleh (semuanya sudah dibawa orang tua saya) proses mengepak barangnya cepat. Selesai itu semua, saya ganti baju dan tidur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar