Jumat, 17 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 22)

Setelah tidur nyenyak semalam, saya bangun di pagi yang cerah. Kali ini saya bisa tidur nyenyak tanpa menggigil kedinginan sama sekali. Teman-teman Swiss juga sudah bangun, dan cewek-ceweknya lagi sibuk mempersiapkan sarapan dengan menu yang sama seperti kemarin: roti bakar, butter, selai, teh dan kopi.
Suara keras karena benturan pintu semalam rupanya jadi bahan bercandaan di pagi ini. Heinz berseloroh “Bagus, semalam kamu apakan cewek-ceweknya? Kamu ngentot sama mereka ya?” Sayapun ketawa-tawa dan membalas “Nggak lah! Ngapain capek-capek begituan?” Kamipun sarapan di beranda depan sambil menikmati alam terbuka di depan hotel kita.
Heinz bilang kalau pub yang mereka kunjungi semalam cukup sepi. Karena Dunsborough hanyalah kota kecil, dan saat itu bukan musim liburan, nggak heran kalau tempatnya sepi. Dan pemilik pub memutar lagu-lagunya John Denver semalaman, untuk mengenang penyanyi kenamaan yang baru meninggal ini.


Setelah kita selesai sarapan, kita mengemas barang-barang kita. Karena bawaan saya sedikit, saya bisa selesai mengemas barang saya lebih awal dari yang lain. Selagi menunggu mereka selesai mengemasi barang, saya duduk-duduk di sofa sambil melihat mereka melakukan aktivitas mereka.
Saat saya bersantai di sofa, saya merenung: akhir minggu ini adalah momen yang paling sempurna di hidupku. Saya nggak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya (dan sesudahnya) dimana saya bisa pergi jalan-jalan di akhir minggu dengan cewek yang saya sukai. Benar-benar luar biasa dan susah diungkapkan dengan kata-kata.
Tapi, wataknya Denise yang sangat liberal benar-benar kontras dengan latar belakang saya yang konservatif. Waktu itu saya adalah type cowok yang kaku yang mengharapkan cewek perhatian dengan saya. Tapi Denise adalah type cewek yang suka main-main dengan banyak cowok. Bukan karena dia orang liar, tapi ya memang begitulah orang barat apalagi dari negara yang masyarakatnya bebas. Kadang dia kaya perhatian banget sama saya, tapi kadang dia cuek saja.
Dan tentunya, setiap kali dia cuek sama saya, saya merasa sedih sekali. Saya mungkin terlalu berharap sama Denise, tapi masih kesulitan untuk mengungkapkan perasaan saya yang sesungguhnya, sampai-sampai saya jadi baper dan emosi lalu tertunduk di sofa dan nyaris menangis. Maria, yang kebetulan melihat saya, bukannya bertanya atau menolong malah memotret saya! Dia pikir mungkin saya berdoa! Reaksi dari Heinz nggak lebih baik lagi. Dia bilang “kamu kelihatan sakit. Sepertinya kamu harus pergi ke dokter.” Dokter cinta kali!


Setelah kita mengemas semua barang kita dan menaruhnya ke mobil, kita check out dari hotel dan kembali ke Perth. Perjalanan kali ini akan panjang sekali. Kami akan berkendara dari Dunsborough sampai ke Perth tanpa menginap di tengah jalan.
Awal perjalanan berlangsung mulus. Kita berkendara melewati daerah pedesaan yang cantik di daerah Barat Daya Australia. Langitnya biru, dan rumput-rumput mulai agak menguning karena musim panas akan datang. Di beberapa tempat masih ada rumput hijau yang masih tumbuh, tapi jelas mulai hari itu hingga akhir tahun cuacanya akan panas dan kering.


Suasana berkendara dari Dunsborough menuju ke Perth. Balsem diatas dashboard sempat membuat drama sewaktu kawan-kawan Swiss sewot semua dengan baunya yang tajam.

Di tengah jalan kita mampir ke sebuah hutan diantara Dunsborough dan Bunbury. Kita berhenti untuk istirahat dan melihat-lihat tempat ini. Denise dan Maria masuk ke dalam hutan, sementara saya dan Heinz menunggu di dekat mobil. Saya tanya ke Heinz berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Perth, dan Heinz menjawab kira-kira 3 jam. Saya tidak begitu ingat apa yang kita lakukan sewaktu berkunjung ke hutan ini. Yang saya ingat cewek-cewek akhirnya kembali ke mobil dengan selamat. Begitu semua masuk mobil, kita melanjutkan perjalanan.


Perjalanan kembali ke Perth panjang sekali. Kita berjalan melalui jalan utama yang sepi dan tidak banyak lalu lintasnya. Supir ugal-ugalan pasti akan tergoda untuk ngebut secepat-cepatnya disini. Tapi Heinz mengingatkan kalau disini kita harus menahan diri untuk tidak ngebut karena banyak kamera pemantau kecepatan di tepi jalan. Polisi lalu lintas mungkin tidak akan langsung menghentikan kamu, tapi surat tilangnya akan dikirim ke rumah. Wah modern sekali sistemnya. Di Indonesia saja sistem beginian baru muncul diatas tahun 2010.


Saya nggak ingat dimana ini persisnya, tapi antara Bunburt dengan Mandurah. Kamera pemantau kecepatan seringkali tersembunyi di balik semak-semak di pinggir jalan.

Saya benar-benar mengagumi betapa mulusnya permukaan jalan di Australia. Sepanjang jalan kita sama sekali tidak menemui lubang di jalanan. Nggak ada gelombang dan permukaan jalan rata semua. Ini membuat perjalanan kita terasa mulus sekali. Suatu waktu di tengah perjalanan saya mengeluh ke Heinz “Kenapa kok kita jalannya pelan?” Heinz menjawab “Ya karena ada pembatasan kecepatan.” Saya tanya lagi “Memangnya berapa batas kecepatan disini?” Heinz menjawab “110 kilometer per jam.” “Wah sebenarnya cepat juga, tapi kenapa kita jalan pelan?” tanya saya secara iseng. Sewaktu saya lihat speedometer, saya kaget kalau ternyata kita berjalan di kecepatan 110 km/jam! Begitu mulusnya jalanan disini sampai nggak terasa kalau kita berjalan secepat itu.
Biasanya kalau saya jalan jauh, terkadang saya merasa agak pegal-pegal. Dan untuk menguranginya, saya biasanya mengoleskan balsem di bagian tubuh yang pegal. Tapi rupanya bau mint yang kuat sepertinya membuat pusing teman-teman Swiss. Saya cukup kaget dengan reaksi mereka yang tahu-tahu jadi ribut karena bau balsem.
Di suatu tempat di tengah jalan (kalau nggak salah dekat Mandurah) kita mampir ke rest area di tepi pantai. Kami beli es krim dan cemilan. Kitapun duduk-duduk santai dan menikmati pemandangan laut. Denise dan Maria sepertinya kesengsem dengan para peselancar yang menunggangi ombak disitu. Heinz bilang, walaupun dia tidak mahir selancar, dia pernah beberapa kali berselancar pakai papan selancar body board. Papan selancar model ini lebih lebar dan pendek dibanding papan selancar biasa. Dengan papan ini, peselancar tidak harus berdiri untuk menyeimbangkan badan. Mereka cukup rebahan dan menunggangi ombak.


Selesai makan, kita kembali melanjutkan perjalanan ke Perth. Denise dan Heinz sepertinya menikmati lagu Chicago “You’re The Inspiration” yang diputar di tape deck mobil.


Begitu kita makin dekat Perth, langitnya bertambah gelap. Dan malam pun tiba sewaktu kita memasuki Perth. Waktu itu Minggu sore, dan semua toko sudah tutup. Beberapa turis tampak lagi jalan-jalan di beberapa sudut kota, tapi tempat lain di kota benar-benar sepi.
Heinz cukup berbaik hati mengantar saya ke rumahnya Siraj. Dia mengedrop saya di depan. Yah akhirnya tour akhir minggu kita usai. Perjalanan ini benar-benar luar biasa indahnya. Saya senang sekali karena bisa jalan-jalan dengan cewek idamanku, walaupun akhirannya tidak sesuai dengan yang saya harapkan, apalagi Denise sepanjang perjalanan perangainya beruba-ubah. Andai Denise mau mampir ke rumah, mungkin bakal sempurnalah akhir minggu ini. Sayangnya, dia tidak mampir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar