Setelah tidur nyenyak semalam, saya bangun di pagi yang
cerah. Kali ini saya bisa tidur nyenyak tanpa menggigil kedinginan sama sekali.
Teman-teman Swiss juga sudah bangun, dan cewek-ceweknya lagi sibuk
mempersiapkan sarapan dengan menu yang sama seperti kemarin: roti bakar,
butter, selai, teh dan kopi.
Suara keras karena benturan pintu semalam rupanya jadi bahan
bercandaan di pagi ini. Heinz berseloroh “Bagus, semalam kamu apakan
cewek-ceweknya? Kamu ngentot sama mereka ya?” Sayapun ketawa-tawa dan membalas “Nggak
lah! Ngapain capek-capek begituan?” Kamipun sarapan di beranda depan sambil
menikmati alam terbuka di depan hotel kita.
Heinz bilang kalau pub yang mereka kunjungi semalam cukup
sepi. Karena Dunsborough hanyalah kota kecil, dan saat itu bukan musim liburan,
nggak heran kalau tempatnya sepi. Dan pemilik pub memutar lagu-lagunya John
Denver semalaman, untuk mengenang penyanyi kenamaan yang baru meninggal ini.
Setelah kita selesai sarapan, kita mengemas barang-barang
kita. Karena bawaan saya sedikit, saya bisa selesai mengemas barang saya lebih awal
dari yang lain. Selagi menunggu mereka selesai mengemasi barang, saya
duduk-duduk di sofa sambil melihat mereka melakukan aktivitas mereka.
Saat saya bersantai di sofa, saya merenung: akhir minggu ini
adalah momen yang paling sempurna di hidupku. Saya nggak pernah mengalami hal
seperti ini sebelumnya (dan sesudahnya) dimana saya bisa pergi jalan-jalan di
akhir minggu dengan cewek yang saya sukai. Benar-benar luar biasa dan susah
diungkapkan dengan kata-kata.
Tapi, wataknya Denise yang sangat liberal benar-benar
kontras dengan latar belakang saya yang konservatif. Waktu itu saya adalah type
cowok yang kaku yang mengharapkan cewek perhatian dengan saya. Tapi Denise
adalah type cewek yang suka main-main dengan banyak cowok. Bukan karena dia
orang liar, tapi ya memang begitulah orang barat apalagi dari negara yang
masyarakatnya bebas. Kadang dia kaya perhatian banget sama saya, tapi kadang
dia cuek saja.
Dan tentunya, setiap kali dia cuek sama saya, saya merasa
sedih sekali. Saya mungkin terlalu berharap sama Denise, tapi masih kesulitan
untuk mengungkapkan perasaan saya yang sesungguhnya, sampai-sampai saya jadi
baper dan emosi lalu tertunduk di sofa dan nyaris menangis. Maria, yang
kebetulan melihat saya, bukannya bertanya atau menolong malah memotret saya!
Dia pikir mungkin saya berdoa! Reaksi dari Heinz nggak lebih baik lagi. Dia
bilang “kamu kelihatan sakit. Sepertinya kamu harus pergi ke dokter.” Dokter
cinta kali!
Setelah kita mengemas semua barang kita dan menaruhnya ke
mobil, kita check out dari hotel dan kembali ke Perth. Perjalanan kali ini akan
panjang sekali. Kami akan berkendara dari Dunsborough sampai ke Perth tanpa
menginap di tengah jalan.
Awal perjalanan berlangsung mulus. Kita berkendara melewati
daerah pedesaan yang cantik di daerah Barat Daya Australia. Langitnya biru, dan
rumput-rumput mulai agak menguning karena musim panas akan datang. Di beberapa
tempat masih ada rumput hijau yang masih tumbuh, tapi jelas mulai hari itu
hingga akhir tahun cuacanya akan panas dan kering.
Suasana berkendara dari Dunsborough menuju ke Perth. Balsem diatas dashboard sempat membuat drama sewaktu kawan-kawan Swiss sewot semua dengan baunya yang tajam.
Di tengah jalan kita mampir ke sebuah hutan diantara
Dunsborough dan Bunbury. Kita berhenti untuk istirahat dan melihat-lihat tempat
ini. Denise dan Maria masuk ke dalam hutan, sementara saya dan Heinz menunggu
di dekat mobil. Saya tanya ke Heinz berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
sampai ke Perth, dan Heinz menjawab kira-kira 3 jam. Saya tidak begitu ingat
apa yang kita lakukan sewaktu berkunjung ke hutan ini. Yang saya ingat
cewek-cewek akhirnya kembali ke mobil dengan selamat. Begitu semua masuk mobil,
kita melanjutkan perjalanan.
Perjalanan kembali ke Perth panjang sekali. Kita berjalan
melalui jalan utama yang sepi dan tidak banyak lalu lintasnya. Supir
ugal-ugalan pasti akan tergoda untuk ngebut secepat-cepatnya disini. Tapi Heinz
mengingatkan kalau disini kita harus menahan diri untuk tidak ngebut karena
banyak kamera pemantau kecepatan di tepi jalan. Polisi lalu lintas mungkin
tidak akan langsung menghentikan kamu, tapi surat tilangnya akan dikirim ke
rumah. Wah modern sekali sistemnya. Di Indonesia saja sistem beginian baru
muncul diatas tahun 2010.
Saya nggak ingat dimana ini persisnya, tapi antara Bunburt dengan Mandurah. Kamera pemantau kecepatan seringkali tersembunyi di balik semak-semak di pinggir jalan.
Saya benar-benar mengagumi betapa mulusnya permukaan jalan
di Australia. Sepanjang jalan kita sama sekali tidak menemui lubang di jalanan.
Nggak ada gelombang dan permukaan jalan rata semua. Ini membuat perjalanan kita
terasa mulus sekali. Suatu waktu di tengah perjalanan saya mengeluh ke Heinz “Kenapa
kok kita jalannya pelan?” Heinz menjawab “Ya karena ada pembatasan kecepatan.”
Saya tanya lagi “Memangnya berapa batas kecepatan disini?” Heinz menjawab “110
kilometer per jam.” “Wah sebenarnya cepat juga, tapi kenapa kita jalan pelan?”
tanya saya secara iseng. Sewaktu saya lihat speedometer, saya kaget kalau
ternyata kita berjalan di kecepatan 110 km/jam! Begitu mulusnya jalanan disini
sampai nggak terasa kalau kita berjalan secepat itu.
Biasanya kalau saya jalan jauh, terkadang saya merasa agak
pegal-pegal. Dan untuk menguranginya, saya biasanya mengoleskan balsem di
bagian tubuh yang pegal. Tapi rupanya bau mint yang kuat sepertinya membuat
pusing teman-teman Swiss. Saya cukup kaget dengan reaksi mereka yang tahu-tahu
jadi ribut karena bau balsem.
Di suatu tempat di tengah jalan (kalau nggak salah dekat
Mandurah) kita mampir ke rest area di tepi pantai. Kami beli es krim dan
cemilan. Kitapun duduk-duduk santai dan menikmati pemandangan laut. Denise dan
Maria sepertinya kesengsem dengan para peselancar yang menunggangi ombak
disitu. Heinz bilang, walaupun dia tidak mahir selancar, dia pernah beberapa
kali berselancar pakai papan selancar body board. Papan selancar model ini
lebih lebar dan pendek dibanding papan selancar biasa. Dengan papan ini,
peselancar tidak harus berdiri untuk menyeimbangkan badan. Mereka cukup
rebahan dan menunggangi ombak.
Selesai makan, kita kembali melanjutkan perjalanan ke Perth.
Denise dan Heinz sepertinya menikmati lagu Chicago “You’re The Inspiration”
yang diputar di tape deck mobil.
Begitu kita makin dekat Perth, langitnya bertambah gelap.
Dan malam pun tiba sewaktu kita memasuki Perth. Waktu itu Minggu sore, dan
semua toko sudah tutup. Beberapa turis tampak lagi jalan-jalan di beberapa
sudut kota, tapi tempat lain di kota benar-benar sepi.
Heinz cukup berbaik hati mengantar saya ke rumahnya Siraj.
Dia mengedrop saya di depan. Yah akhirnya tour akhir minggu kita usai. Perjalanan
ini benar-benar luar biasa indahnya. Saya senang sekali karena bisa jalan-jalan
dengan cewek idamanku, walaupun akhirannya tidak sesuai dengan yang saya
harapkan, apalagi Denise sepanjang perjalanan perangainya beruba-ubah. Andai
Denise mau mampir ke rumah, mungkin bakal sempurnalah akhir minggu ini. Sayangnya,
dia tidak mampir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar