Minggu, 12 April 2020

Mengenang 1997: Tahun Termanis Di Hidupku (Bagian 14)

Yang unik dari kegiatan belajar bahasa Inggris disini adalah kegiatannya bukan cuma datang ke kelas, mendengar dan mencatat materi yang diberikan guru, atau melakukan aktivitas umum seperti kursus bahasa Inggris di ILP Surabaya dulu.
Kegiatan di kelas lebih bebas dan interaktif dengan mahasiswa. Kita didorong untuk lebih mengekspersikan diri kita saat memperkenalkan diri. Dan gurunya juga lebih kreatif dalam membuat suasana kelas menyenangkan. Mereka terkadang bisa membuat materi kuliah yang terinspirasi dari cerita mahasiswa. Ini membuat kita merasa dihargai, seakan-akan kita bagian penting dari kegiatan belajar-mengajar, bukan cuma obyek di kelas.
Selain itu kegiatan belajar-mengajar bukan cuma di kelas. Terkadang guru mengajak kita pergi ke perpustakaan dan mengijinkan kita membaca buku apapun atau browsing internet sepanjang sisa hari. Benar-benar santai dan menyenangkan karena kita bisa lebih bersosialisasi dengan kawan-kawan sekelas.


Berfoto barang di kelas. Dari kiri ke kanan: Saya, Nami*, Namu*, Takeshi*, Sung Ho Park, Jun*, dan guru kami yang bernama Marianne.

Jauh sebelum K-Pop populer di Indonesia dan orang-orang mulai keranjingan tetek bengek budaya pop Korea, saya sudah punya banyak kawan orang Korea!
Disinilah saya mulai akrab dengan seorang pelajar Korea Selatan bernama Sung-Ho Park. Dia adalah anak yang baik dan ramah. Seiring dengan makin seringnya saya ngobrol dengan dia kami sadar kalau kita punya banyak persamaan: kami sama-sama kutu buku yang doyan membaca, kami sama-sama berlatar belakang lingkungan konservatif tapi tertarik untuk membebaskan diri kami dari lingkungan itu, dan suka menjelajahi hal-hal baru. Kami sering saling membantu satu sama lain selama masa kuliah.
Anak Korea Selatan lain di kelas yang saya kenal adalah Woo Jae Kim. Dia anaknya besar, berotot kekar, dan berbadan atletis. Orangnya sangat rajin ikut fitness. Rambutnya yang panjang diwarnai kecoklatan. Kontras dengan Sung-Ho, Woo Jae anaknya santai dan liberal. Dia sangat kebarat-baratan dalam sikapnya, tapi tidak dalam pemahaman bahasa. Dia sering mampir ke pub, dan sering berpesta-pora dan mabuk-mabukan. Dia punya pacar orang Taiwan berbadan sexy dan sintal yang membuat anak-anak Indonesia ngiler. Woo Jae sudah datang di Australia sejak sebelum ulang tahunnya ke 18 untuk menghindari wajib militer di negaranya. Karena itu dia berusaha keras agar bisa mendapatkan kewarganegaraan Australia.
Dan dia juga punya kebiasaan buruk yaitu menggunakan komputer kampus buat main game Red Alert 2. Kebiasaan ini membuatnya sering diberi peringatan oleh para petugas perpustakaan. Bahkan di kemudian hari semua komputer di perpustakaan (dan bahkan di kampus!) dikunci hingga para mahasiswa tidak bisa menggunakan internet.
Kemudian ada Nami*, seorang mahasiswi Korea Selatan yang berumur akhir 20an atau awal 30an. Saya sebenarnya tidak begitu akrab dengan dia, tapi saya selalu ingat kalau ngomong bahasa Inggris dia menggunakan aksen Amerika yang cukup mencolok. Ini membuat banyak guru penasaran, kok bisa begitu? Ternyata dia mendapatkan kemampuan itu karena dia sering menonton film-film Hollywood. Seperti halnya Woo Jae, dia sebenarnya ingin pindah ke Australia dan inilah sebenarnya alasan dia mengikuti kursu. Namun tidak seperti Woo Jae, alasan kepindahan Nami* lebih ke alasan finansial dan kesempatan kerja.
Semua anak Korea Selatan yang saya kenal di kelas sangat bersahabat, mudah akrab, dan ramah. Selain itu mereka juga punya selera humor yang bagus, sesuatu yang tidak terduga dari masyarakat yang berasal dari negara yang lingkungannya ketat, gila kerja, dan konservatif. Tapi mungkin waktu itu memang jaman perubahan juga. Beberapa anak Korea yang saya lihat punya sifat pemberontak, seperti Woo Jae Kim contohnya.
Saya juga mengenal beberapa anak Jepang juga. Salah satunya Namu*. Dia adalah perempuan Jepang berumur pertengahan 20an yang kuliah biar lancar bahasa Inggrisnya. Tapi yang membuat saya terkejut adalah Akiko*. Beliau adalah perempuan Jepang berumur 50an. Di Jepang, beliau kerja sebagai pemandu wisata di sebuah tempat wisata, dan beliau kesini biar bahasa Inggrisnya lancar. Penampilannya cukup informal karena dia sering mengunakan jaket dan tas pinggang yang berisi kamus dan buku notes.
Orang-orang Jepang sangat halus, sopan, dan pekerja keras. Mereka sering tersenyum, dan sebenarnya sangat bersahabat. Namun mereka juga memperlihatkan sifat-sifat yang menurut saya kontras.
Walaupun mereka mereka baik dan ramah, tapi saya menangkap kesan kalau mereka seperti tertutup dan cenderung hanya bersosialisasi dengan kawan sesama orang Jepang. Namun untungnya tidak semua seperti itu. Ada juga yang masih mau ngobrol dengan saya. Bahkan, sudah bukan hal aneh beberapa cewek Jepang punya pacar bukan orang Jepang.
Kontras dengan image orang Jepang yang di Indonesia digambarkan sebagai konservatif, pekerja keras yang ulet, ramah, bersahabat, dan sangat sangat pintar; saya menemui beberapa pelajar Jepang bisa santai, tidak disiplin, pemberontak, cuekan, dan bahkan malas!
Ada satu mahasiswi Jepang manja yang terkenal karena selalu jadi pusat perhatian, karena wajahnya yang cantik dan sifatnya yang memberontak. Saya dengar dia berasal dari keluarga kaya di Jepang. Saya sering melihat dia kalau pas istirahat merokok di pojokan depan kantin dan ngumpul dengan cowok-cowok. Dia mungkin juga sering berkata kasar atau tidak sopan, karena setiap dia bicara beberapa orang Jepang yang agak konservatif kelihatan merasa tidak nyaman dengan omongann dia.
Kemudian ada lagi satu mahasiswa Jepang bernama Satoru yang suka minum-minum dan mabuk, sering datang telat ke kampus, dan berpakaian tidak rapi. Semua ini adalah bukti kalau orang Jepang tidak sehebat yang digambarkan di negeri saya.
Tapi saya juga perhatikan ada satu anak laki Jepang yang penampilannya bule banget, lengkap dengan mata biru, tubuh tinggi, dan hidung mancung. Tadinya saya kira dia orang Eropa. Tapi begitu tahu kalau bahasa Jepangnya mahir, sementara bahasa Inggrisnya tidak begitu bagus, saya sadar kalau dia benar-benar orang Jepang. Ternyata dia orang Eurasia (di Jepang suka disebut “Hafu-haru”) blasteran Jepang-Jerman.
Walaupun hubungan saya dengan anak-anak Jepang baik, ternyata untuk mempertahankan persahabatan dengan orang Jepang butuh usaha lebih dibanding dengan yang Korea. Sepertinya mereka menginginkan perhatian lebih untuk mempertahankan hubungan. Beda dengan orang Korea yang cenderung lebih sederhana dan santai.
Terkadang guru juga mengundang mahasiswa datang ke rumahnya agar kita bisa lebih akrab. Saya ingat, suatu hari guru saya, Ursula, mengundang semua anak di kelas untuk datang ke rumahnya di Cottesloe.
Perjalanan ke rumahnya adalah pertama kalinya saya menggunakan kereta api KRL di Perth. Sebelumnya, saya ragu-ragu karena saya kira tiketnya beda dengan yang untuk bis. Tapi Sung Ho mengajari saya kalau kita bisa menggunakan Multirider juga. Memakainya sederhana sekali, cukup masukkan kartu Multirider ke mesin validasi di peron, dan kita sudah tinggal naik saja.
Cara lainnya adalah menggunakan mesin otomat . Kita cuman tinggal tekan tombol di mesinnya. Pertama pilih jenis tiketnya (dewasa, anak, pelajar, atau pensiunan), kemudian tekan zona letak stasiun tujuan, dan kemudian masukkan koin atau uang kertas di slotnya. Kemudian di lubang di bawah akan keluar karcis kita, lengkap dengan uang kembalian kalau ada.


Ciri khas unit mesin otomatis penjual karcis kereta api Transperth. Alat penjual karcis adalah yang di kanan. Tombol hijau adalah jenis karcis, sementara tombol kuning adalah tombol zona stasiun tujuan. Lubang di kotak kanan atas adalah untuk memasukan uang kertas, sementara yang bujur sangkar di bawahnya untuk koin. Selesai transaksi karcis dan uang kembalian akan keluar di slot di bagian bawah mesin. Karcisnya juga bisa dipakai untuk naik bus dan ferry.
Mesin di kiri adalah papan rute dan jadwal kereta api. Alat di bagian kanan mesin aslinya adalah telepon darurat yang tersambung dengan call center Transperth (terlihat sudah rusak). Tombol di bagian bawah akan membunyikan pengumuman sisa waktu sebelum kedatangan kereta api.
Mesin model ini dipensiunkan tahun 2007 silam.

Waktu itu sore hari dan hujan deras di hari Jumat saat kita berkumpul di stasiun Perth untuk berangkat ke rumahnya Ursula. Kami mengikuti petunjuk yang beliau berikan dimana kita harus naik kereta api di jalur Fremantle dan kemudian turun di stasiun Grant Street.
Saya tadinya agak ragu-ragu buat naik kereta api. Di Indonesia, siapapun yang mau masuk peron stasiun harus punya karcis atau “karcis peron” untuk masuk. Di Singapore, hanya penumpang yang bisa masuk peron. Tapi disini kita bisa masuk peron sebebas-bebasnya tanpa diperiksa. Begitu masuk peron, saya sempat bingung bagaimana memvalidasi Multirider saya. Sung Ho menunjukkannya (seperti yang saya jelaskan di sebelumnya), dan kita kemudian lari masuk ke kereta kita yang akan berangkat.
Keretanya penuh sesak dengan para komuter yang pulang ke rumah di sore hari. Perjalanannya terasa mirip dengan MRT Singapore: sangat mulus. Walaupun saya perhatikan gebongnya agak lebih sempit, karena dia memang berjalan di rel yang lebih sempit. Tapi ada satu fitur unik, dan mewah dibanding MRT Singapore, yaitu deretan kursi yang menghadap ke depan dan belakang. Kalau pas jam sibuk ini bisa mengurangi ruang buat penumpang, tapi kalau pas perjalanan jauh rasanya nyaman sekali.


Interior kereta api komuter Transperth, lengkap dengan kursi yang menghadap ke depan dan belakang. 

Setelah beberapa menit perjalanan, kami akhirnya sampai di stasiun Grant Street. Dulu stasiunnya terdiri dari 2 peron yang terpisah jalur kereta api. Uniknya, mereka tidak persis bersebelahan, tapi terpisah beberapa meter oleh sebuah jalan kecil. Beberapa tahun kemudian, sewaktu stasiunnya direnovasi agar bisa menampung rangkaian kereta panjang, peron yang di sebelah barat dibongkar dan digantikan dengan peron baru yang terletak persis di seberang rel dari peron timur yang lama. Peron yang di timur juga diperpanjang.
Dari stasiun, kami berjalan ke utara dibawah hujan yang agak deras untuk mencapai rumahnya Ursula. Saya tidak ingat lokasi persis rumahnya, yang pasti di bagian depannya ada taman yang rimbun. Rumahnya punya nuansa klasik seperti awal tahun 1980an. Sewaktu kami masuk, Ursula menyambut kami dengan ramah dan mengajak kami ngumpul di perpustakaan pribadinya. Suaminya juga menyambut kami dengan ramah.
Sambutan yang kami terima benar-benar menyenangkan. Kami duduk-duduk di perpustakaan pribadinya yang menghadap ke pekarangan belakang yang tampak rimbun.

Ruang perpustakaan pribadi Ursula Mahoney yang menghadap ke pekarangan belakang.

Saya tidak ingat kita ngobrol tentang apa, tapi pembicaraan kami cukup menyenangkan. Malamnya setelah acara kami usai, suami beliau mengantar kami pulang dengan mobilnya, dan kami berterima kasih atas kemurahan hatinya. Kami bisa menghindar dari susahnya mencari transportasi umum di larut malam.


Berkumpul bersama di rumah Ursula. Karena kesalahan teknis, tombol penahan dibawah kamera saya kepencet sehingga frame ini ketimpa foto jepretan berikutnya.

Satu lagi kegiatan luar kelas adalah “Excursion”. Waktu pertama mendengar kata ini, saya penasaran apa artinya? Apa ada hubungannya dengan “Exercise” (latihan)? Setelah baca kamus, saya mengerti kalau itu artinya acara jalan-jalan (biasanya rekreasi). Bahkan selama studi saya disini, kampus sering mengadakan acara “Excursion” atau jalan-jalan ke beberapa tujuan wisata lokal. Semua bertujuan untuk membantu pemahaman bahasa Inggris pelajar. Ada beberapa tempat yang kita kunjungi selama masa studi saya, tapi hanya beberapa yang saya ingat jelas. Saya mulai dengan yang pertama.
Suatu hari kampus mengadakan acara jalan-jalan dengan mengajak beberapa kelas ke bendungan Serpentine Dam (saya ingat Woo Jae memplesetkan kata “dam” untuk bendungan jadi “Damn!”). Kami berangkat dari kampus naik minibus tua buatan awal tahun 1980an berwarna oranye beratap putih yang tidak ber AC. Walaupun sudah berumur, tapi bisnya sangat terawat dan nyaman dinaiki.
Bendungan Serpentine terletak di selatan kota Perth, sekitar 45 menit perjalanan dari kampus. Bis kami berjalan melewati jalan bebas hambatan Kwinana, sebelum belok ke timur dan melintasi jalur kereta api antar kota, lalu belok ke arah selatan menuju Great Southern Highway.
Buat saya itu pertama kalinya saya melihat daerah pedesaan Australia. Walaupun sekilas mirip yang di Jawa, kenyataannya mereka lebih sepi. Daerah pertanian ya digunakan buat fungsinya, tanpa ada pedesaan di tengahnya. Dan mereka pastinya tidak menanam padi, tapi tanaman lain seperti kentang, gandum, dan lain-lain. Terkadang ada juga padang rumput yang luas yang digunakan untuk peternakan. Pedesaan di Australia kelihatan lebih sepi dari di Jawa. Daerah-daerah tak berpenghuni juga ada, walaupun lokasinya masih masuk daerah metropolitan Perth.


Pemandangan pedesaan di selatan kota Perth, di daerah Wungong.

Rute perjalanan kita sepertinya searah dengan jalur kereta api yang berjalan ke selatan Perth. Walaupun jalurnya kelihatan aktif, saya sama sekali tidak melihat kereta api yang lewat. Terkadang ada juga jalur cabang yang bercabang dari jalur utama dan lewat diatas jalan raya yang kita lewati. Walaupun jalur kereta apinya mirip dengan yang saya lihat di Indonesia,  waktu itu saya tidak tahu kalau mayoritas kereta antar kota adalah kereta barang. Kereta penumpang sangat jarang sekali.
Setelah beberapa menit perjalanan, bis kami belok kiri dan naik keatas bukit sebelum kami sampai di sebuah bendungan yang besar. Selama disana kami dipandu oleh seorang guide yang menunjukkan hal-hal penting mengenai bendungan ini, khususnya fungsinya untuk menyediakan air minum untuk daerah metropolitan Perth.


Bendungan Serpentine, dilihat dari atas.

 
Kami tidak lama berada di bendungan. Tak lama kami berangkat lagi menuju ke air terjun Serpentine yang terletak beberapa kilo dari bendungan. Dibanding bendungan, air terjun ini lebih menarik untuk dikunjungi.  Disini kita bisa menikmati pemandangan air terjun serta hutan di sekelilingnya. Di musim panas, tempat ini sangat populer buat pelancong (baik lokal maupun mancanegara) yang mau piknik dan berenang di danau dibawah air terjunnya. Tapi karena hari itu pas pertengahan musim dingin (walapun cuacanya cerah) kami tidak tertarik untuk berenang di airnya yang membeku!


Air terjun Serpentine difoto di bulan Agustus 1997. Perhatikan ada turis di kanan atas.

Dari air terjun, kita menuju ke taman disini dimana kita mengadakan pesta barbeque (atau dikenal dengan sebutan “Barbie” buat orang Australia). 


Ini pertama kalinya saya ikut pesta barbeque kaya begini. Jadi kita bakar-bakar dan masak daging yang kita bawa di kompor yang disediakan di taman. Disini ada beberapa kompor permanen yang bisa dipakai pengunjung. Cukup dengan masukan koin $2 di slot dan kita bisa memakainya selama beberapa jam untuk memasak. 


Kawan-kawan sekelas memasak bareng daging dengan bumbu Korea dan Jepang.

Kita memasak dan makan semua daging yang kami bawa dari rumah di kompor ini (termasuk daging ayam dan sapi Halal yang sebelumnya sudah disiapkan Feroza dari rumah), ditemani minuman ringan seperti Coca Cola, Sprite, dll.


Bersiap memasak daging yang saya bawa dari rumah. Untungnya tidak ada yang terluka kena pisau. 

Acara piknik ini benar-benar menyenangkan. Kami menikmati makanan yang lezat sambil dikelilingi pemandangan indah, dan bermain-main dengan kawan-kawan. Tidak heran orang Australia menganggap pesta “Barbie” sebagai hal yang penting untuk menghabiskan akhir minggu atau liburan dengan keluarga dan kawan-kawan.


Kalau tidak salah kompornya cuma ada satu, sehingga masaknya antri.

Selama pesta piknik, saya juga berkenalan dengan anak-anak dari kelas lainnya.

Salah satunya adalah Aven. Dia adalah anak Indonesia dari Jakarta. Seperti saya, dia juga mengambil kursus bahasa Inggris untuk persiapan kuliah di Australia. Aven adalah anak yang ramah dan menyenangkan. Dia punya selera humor yang tinggi. Walaupun bahasa Inggrisnya tidak lancar, dia bisa menghibur anak pelajar lain dari negara yang berbeda. Kita berhubungan baik selama masa kuliah, walaupun kesibukannya menghalangi dia jadi kawan dekat saya seperti halnya Sung Ho.



Foto bareng dengan cewek-cewek Jepang dan Aven (bertopi putih). Patrick* ada di sebelah kiri belakang, melihat ke arah kita.

Saya juga berkenalan dengan seorang pelajar dari Perancis blasteran Asia (tadinya saya kira dia orang China atau Jepang karena penampilannya Asia banget). Namanya Patrick*. Saya tidak ingat dia di tingkat berapa, tapi satu hal yang membuat saya terkejut adalah dia fasih bahasa Indonesia! Adalah Aven yang memperkenalkan saya dengan dia, dan saya kagum dengan kemampuan berbahasa Indonesianya, walaupun aksen Perancisnya masih kedengaran jelas.


Para pelajar Jepang mulai memasak makanannya. Patrick* berdiri di tengah melihat ke kompor.

Ternyata dia sendiri lahir di Indonesia, dari orang tua campuran (ayah Perancis dan ibu Indonesia). Saya tidak ingat dimana dia lahir di Indonesia, yang pasti di umur 5 tahun dia ikut pindah ke Perancis dengan keluarganya.
Begitu masakan kita matang, kami duduk di salah satu meja di taman untuk menikmati masakan kami. Rasanya enak sekali.  Walaupun Feroza sudah menyediakan daging Halal buat saya, saya penasaran seperti apa rasanya masakan Korea di situ. Mereka memasak daging sapi dengan bawang daun, biji wijen, dan saus Korea. Sayapun mencoba sedikit. Rasanya enak banget! Ada rasa pedas, gurih, asin, dan manis.
Setelah makan siang, beberapa guru mengajari kita bagaimana memainkan permainan olahraga popular di Australia, seperti kriket dan sepak bola Australia.


Pemandangan taman di sebelah air terjun Serpentine.

Beberapa pelajar, khususnya mahasiswa, menikmati permainan sepak bolanya.


Seorang pelajar Korea mengejar bola saat permainan sepak bola Australia.

Permainan kriketnya juga menyenangkan, walaupun tidak satupun menguasai cara melempar bolanya yang unik.


Beberapa pelajar mencoba permainan kriket.

Yang tidak ikut main game (termasuk saya) main-main di sekeliling lapangan.


Terkadang kita juga foto bersama dengan kawan-kawan sekelas.


Berfoto bareng dengan kawan sekelas. Woo Jae Kim berdiri di sebelah kiri, sementara di sebelahnya ada Akiko*. Ursula berdiri di tengah. Saya memakai kaus tangan karena hawanya terlampau dingin buat saya.

Kita juga melihat air terjunnya. Saya ingat, waktu itu saya mencoba mengambil gambar selfie pakai kamera diatas tripod. Karena saya tidak menguasai setingan kamera, hasil fotonya kacau balau!


Foto selfie di depan air terjun Serpentine. Sayang muka saya gelap gulita.

Kami juga naik keatas bukit diatas air terjun.


Beberapa pelajar ada yang naik keatas bukit untuk menikmati pemandangan.

Pemandangan dari atas benar-benar luar biasa karena kita bisa melihat lembah dibawah. Walaupun perjalanan naik keatas agak berbahaya juga.


Pemandangan di sekitar air terjun Serpentine.

Selesai acara piknik, kamipun meringkasi semua barang-barang dan membersihkan sisa-sisa makanan dan sampah di tempat sebelum pulang kembali ke Perth.


Persiapan pulang kembali ke Perth seusai piknik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar