Pemandangan bandar udara Juanda di Surabaya, sesaat setelah saya tiba dari Bali dalam penerbangan pulang dari Australia, di tanggal 9 Desember 1997. Tampak pesawat Airbus A330-300 PK-GPE dan Airbus A300 PK-GAD yang keduanya punya Garuda Indonesia. Sebuah pesawat Fokker 100 milik Sempati Air tampak teresembunyi di belakang.
Walaupun saya awalnya sudah memastikan untuk melanjutkan kuliah di
Australia, namun akhirnya keadaan tidak berjalan sesuai rencana. Padahal hasil ujian IELTS saya ternyata cukup memuaskan yaitu di angka 6.0.
Krisis ekonomi yang tadinya menyebabkan anak-anak Thailand keluar
lebih awal dari St. Mark’s rupanya juga mempengaruhi saya juga, bahkan lebih
parah lagi! Di akhir tahun 1997, krisis ekonomi Asia sangat parah mempengaruhi
Indonesia. Tidak hanya menyebabkan ekonomi babak belur, tapi juga
menyebabkan krisis politik di tahun berikutnya yang berujung kerusuhan,
serangan teroris, kekacauan sosial, bahkan tumbangnya presiden!
Suasana pengumuman pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Indonesia di tahun 1998. BJ Habibie yang berdiri di sebelahnya kemudian dilantik jadi presiden pengganti.
Ini kontras sekali dengan awal-awal tahun 1997 dimana
semuanya kelihatan bagus, ekonomi kuat, dan Indonesia adalah negara yang cukup makmur. Di tahun 1998 Indonesia adalah negara yang keadaannya paling terpuruk di Asia
Tenggara. Akibatnya, banyak negara memandang rendah Indonesia.. Hal ini membuat mendaftar visa ke Australia
jadi jauh lebih sulit dibanding awal tahun 1997.Belum lagi karena nilai tukar Rupiah jatuhnya parah sekali, sehingga biaya kuliah kesana jadi 3-4 kali lebih mahal dari sebelumnya.
Dengan keadaan seperti ini, mustahil buat saya untuk kembali
melanjutkan kuliah ke Australia. Bahkan berpergian ke luar kota saja adalah
hal yang menakutkan karena banyaknya kerusuhan, maraknya pembunuhan, serta pengeroyokan
massal.
Pada akhirnya, saya tidak punya pilihan selain kuliah di
Indonesia. Dan ini malah jadi gegar budaya buat saya. Karena setelah sebelumnya
kuliah di negara maju, dengan kualitas pendidikan yang sangat baik, saya harus
puas beradaptasi dengan lingkungan yang tertinggal. Bahkan sempat mengalami
kegiatan perpeloncoan yang saya benci. Benar-benar sangat menyakitkan buat saya.
Untungnya krisis ekonomi dan sosial akhirnya berakhir, dan
Indonesia jadi negara yang stabil dan aman lagi. Walaupun Indonesia sekarang
jadi negara demokrasi, bukan negara otoriter seperti dulu. Tapi ini tercapainya
lama setelah saya lulus kuliah di Indonesia di pertengahan tahun 2000an. Pada
saat itu kesempatan untuk kuliah Sarjana di Australia sudah menguap sama
sekali.
Dan saya kecewa sekali karena tidak pernah kuliah Multimedia
sama sekali, karena jurusan ini tidak ada di “universitas papan atas di
Indonesia”. Tadinya saya sempat kuliah di sebuah universitas swasta di
Surabaya, tapi jurusan Tehnik Informatika. Walaupun masih tentang komputer,
saya kecewa sekali karena tidak menikmatinya.
Akhirnya saya meninggalkan kuliah ini, dan pindah ke Bandung di awal tahun 2000an untuk kuliah di tempat lain. Kali ini saya kuliah di perhotelan. Alasan saya mengambil kuliah ini adalah karena saya mencari program kuliah yang gampang, dengan kesempatan kerja yang besar. Walaupun akhirnya saya lulus kuliah disini, program kuliahnya beda jauh dengan bidang Multimedia yang dulu saya idam-idamkan.
Akhirnya saya meninggalkan kuliah ini, dan pindah ke Bandung di awal tahun 2000an untuk kuliah di tempat lain. Kali ini saya kuliah di perhotelan. Alasan saya mengambil kuliah ini adalah karena saya mencari program kuliah yang gampang, dengan kesempatan kerja yang besar. Walaupun akhirnya saya lulus kuliah disini, program kuliahnya beda jauh dengan bidang Multimedia yang dulu saya idam-idamkan.
Foto saya saat wisuda kelulusan kuliah di tahun 2006 silam. Tampak saya berfoto dengan mantan pacar saya yang penampilannya agak-agak mirip dengan Denise dari segi sorot mata hingga kulitnya yang putih bersih.
St. Mark’s International College
Saya tidak pernah melihat kampusnya lagi sejak meninggalkan
Australia.
Di awal tahun 2000an, ada kawan saya yang juga masuk kuliah disini. Dia bilang kalau tempatnya sudah banyak berubah. Lapangan sepak bola dan tenis sudah dibongkar, dan sekarang di situ dibangun apartemen. Mayoritas pengajar dan staff dari jaman saya dulu sudah banyak yang keluar saat kawan saya kuliah disana.
Di awal tahun 2000an, ada kawan saya yang juga masuk kuliah disini. Dia bilang kalau tempatnya sudah banyak berubah. Lapangan sepak bola dan tenis sudah dibongkar, dan sekarang di situ dibangun apartemen. Mayoritas pengajar dan staff dari jaman saya dulu sudah banyak yang keluar saat kawan saya kuliah disana.
Kampus ini sempat beroperasi selama beberapa tahun kemudian sebelum
tiba-tiba tutup tanggal 29 Januari 2010. St. Mark's International College tutup karena masalah keuangan perusahaan
induknya, GEOS, yang terpaksa harus menutup semua cabang usaha mereka di
Australia. Beberapa bulan kemudian di April 2010 perusahaan itu sendiri bangkrut. Gara-gara penutupan mendadak ini semua pelajar yang sudah terlanjur kuliah disana sempat tidak jelas
statusnya. Tapi untungnya mereka kemudian ditampung di kampus-kampus
lainnya.
Klipping berita tentang penutupan mendadak kampus St. Mark's International College di tanggal 29 Januari 2010. Tak lama kemudian perusahaan induknya, GEOS, ikut bangkrut.
Kampusnya sendiri kemudian dibongkar
di tahun 2011. Namun tidak semua gedungnya dibongkar. Gedung kuno bekas tempat kantor
administrasi dan kelas komputer, yang menghadap ke jalan Stirling Street,
dipertahankan karena statusnya yang cagar budaya. Gedung ini sekarang dipakai
oleh lembaga pendidikan lain bernama “Kingston International College”.
Bekas gedung kantor administrasi dan sebagian ruang kelas St. Mark's yang kini dipakai untuk Kingston International College.
Tapi bekas gedung kelas saya, halaman dengan air mancur dimana
dulu saya suka nongkrong dengan Heinz dan Sung Ho, kantin tempat saya suka
ngobrol dengan Keiko* setelah pulang kuliah, gedung olahraga, gedung
perpustakaan tempat saya suka browsing internet gratisan, dan dimana Denise “mencium” saya, serta kolam renang tempat Denise melakukan “striptease”, semua
sayangnya sudah tidak ada. Di tempatnya sekarang didirikan apartemen, yang
kebetulan juga dinamai “St. Mark’s Apartments”.
Oh ya, Pacific Motel yang terletak di seberang jalan
dari kampus juga sudah dibongkar dan diganti kompleks apartemen. Hotelnya
sendiri tutup beberapa tahun sebelum St. Mark’s International College, dan
sempat mangkrak bertahun-tahun sebelum dibongkar tak lama setelah kampus St. Mark’s.
Sung Ho-Park
Jauh sebelum K-Pop populer di Indonesia dan anak-anak
tergila-gila dengan artis Korea serta pernak-pernik pop culture Korea, saya sudah
punya kawan akrab orang Korea duluan!
Selama beberapa tahun setelah kita terakhir bertemu di Australia, saya
masih sering kontak-kontakan dengan dia. Kami sering bertukar surat, dan saling
berbagi kisah serta pengalaman kita masing-masing. Dari semua kawan saya dulu
di Australia, dialah yang paling entusias untuk berkomunikasi dengan saya.
Dari yang saya baca di suratnya, dia kelihatan senang sekali mendengar kabar
dari saya.
Salah satu surat yang dikirim Sung Ho Park ke saya.
Kalau itu kurang, dia juga pernah mengirim satu box teh ginseng ke saya!
Ginseng adalah bahan minuman herbal yang populer di Korea, jadi tidak heran kalau
mereka bangga dengannya. Ceritanya begini, suatu hari bukannya menerima surat
dari Sung Ho, saya malah menerima surat dari kantor pos yang berisi panggilan
untuk mengambil barang dari Korea Selatan. Awalnya saya heran. Biasanya dia
mengirim surat ke saya, tapi kok kali ini beda? Sayapun pergi ke kantor pos
yang ditulis di surat untuk mengambil barang itu. Sesampainya disana dan menyerahkan surat, petugas
kantor pos memberikan saya sekotak ukuran sedang ke saya. Sesampainya di rumah,
saya buka kotak itu dan terkejut. Ternyata isinya teh ginseng beserta suratnya
Sung Ho! Inilah barang paling istimewa yang pernah saya terima dari dia. Terima
kasih Sung Ho!
Dengan makin populernya e-mail, kamipun beralih cara
komunikasi menggunakan teknologi baru ini. Kitapun bisa berhemat
uang dan waktu banyak sekali.
Namun sayangnya, sewaktu saya pindah ke Bandung di awal
tahun 2000an, saya kesulitan untuk berkomunikasi ke dia. Akses internet susah
sekali waktu itu. Dan karena jadwal kuliah yang padat, jeda waktu antara mengakses
internet bisa lebih dari sebulan. Akibatnya akun e-mail saya dihapus oleh Hotmail, dan sayapun otomatis putus kontak dengan Sung Ho Park.
Andai saja waktu itu ada sebangsanya smartphone atau Wifi
mungkin saya bisa lebih mudah untuk mengakses internet.
Sekarang saya kadang-kadang suka iseng browsing di
sosmed atau Google, mencari-cari siapa tahu ada dia. Sayangnya, hasilnya nihil.
Ada banyak orang Korea yang bernama “Sung Ho Park”, termasuk beberapa orang
terkenal dan bahkan artis. Tapi sayangnya tidak satupun mirip dia.
Heinz Gubler
Seperti halnya Sung Ho, saya juga tetap menjalin komunikasi dengan
Heinz setelah kita selesai kuliah. Awalnya melalui surat dan kemudian lewat e-mail. Sebagai kawan pertama saya yang orang
Eropa, suratnya selalu terasa spesial.
Berfoto bersama Heinz Gubler di air mancur di halaman kampus St. Mark's International College.
Kontras dengan Sung Ho, isi suratnya Heinz lebih berwarna.
Lembar pertama surat Heinz yang bercerita tentang pengalamannya berpetualang ke Australia lagi, kali ini dengan pacarnya.
Halaman kedua suratnya yang berisi sambungan cerita petualangannya di Australia, serta masa-masa penganggurannya, dan kekagumannya berteman dengan orang Asia untuk pertama kalinya.
Halaman ketiga suratnya berisi kritikan Heinz terhadap watak isolasionisme orang Swiss, dan usulannya agar kita berpergian bareng lagi dengan kelompok yang lebih besar (yang sayangnya tidak pernah terealisir).
Dia bilang kalau dia sering sibuk ikut satu petualangan dan
petualangan lainnya, disela-sela pekerjaannya sebagai mekanik. Dia berkunjung ke
tempat-tempat eksotik di berbagai penjuru dunia. Dia
terkadang menjelaskan kisahnya berkunjung ke Afrika, Amerika, atau mendaki dan main
ski di pegunungan di Eropa.
Heinz Gubler saat berkunjung ke San Fransisco, Amerika Serikat, tahun 2005 silam.
Tidak seperti Sung Ho, waktu yang dibutuhkan untuk membalas
surat saya lebih panjang. Ini karena dia hanya membalas surat saya kalau
sudah balik ke rumahnya di Swiss.
Dan seperti halnya Sung Ho, sayangnya komunikasi kita
terputus sewaktu saya pindah ke Bandung dan saya sering offline. Usaha saya
untuk mencari dia di sosmed gagal terus. Saya sering ketemu orang Swiss yang
namanya mirip dia, tapi wajahnya beda sekali.
Namun usaha saya mencari dia lewat Google beberapa tahun kemudian membuahkan hasil!
Sewaktu melihat foto orang-orang bernama “Heinz Gubler” di Google tahun 2015
silam, saya tidak sengaja ketemu fotonya yang diambil tahun 2007 silam.
Wajahnya tidak banyak berbeda dibanding terakhir saya lihat 10 tahun
sebelumnya. Walaupun dia masih memegang kewarganegaraan Swiss, saya menduga dia
mungkin pernah tinggal lama di Amerika.
Sayapun berusaha untuk mengontak dia, awalnya lewat atasan
tempat dia bekerja, tapi kemudian lewat satu komunitas yang dia ikuti. Ketua
komunitasnya rupanya kenal baik dengan Heinz dan membantu saya mencari dia,
walaupun dia sendiri mengaku kalau sudah nggak kontak dengan Heinz sejak tahun
2014. Usaha ini membuahkan hasil karena akhirnya saya bisa menyambung komunikasi lagi dengan dia di tahun 2018 silam, setelah hampir 2 dekade tidak
saling bertukar kabar.
Kamipun senang sekali bisa berkomunikasi kembali melalui
e-mail (dan Whatsapp sejak tahun 2020). Saya beryukur bahwa dia masih sehat-sehat seperti dulu, dan sering berpetualang walaupun tidak sesering waktu dia masih muda. Sayapun juga terkejut rupanya dia masih
berkomunikasi dengan Milo, mantan guru kita di St. Mark’s dulu.
Walaupun tidak terang-terangan bilang, saya dengar dia juga
sudah pindah dari rumahnya yang lama di Winznau sejak pisah dengan pacarnya
yang terdahulu.
Alvin Adhitya
Alvin adalah kawan orang Indonesia yang paling akrab dengan
saya sewaktu di St. Mark’s dulu. Dan saya tetap berkontak-kontak dengan dia
selepas kuliah di Australia. Tidak seperti saya, dia lebih beruntung karena
bisa melanjutkan kuliahnya di Australia walaupun ada krisis ekonomi. Alvin
akhirnya mengambil jurusan Marketing di Murdoch University.
Surat dari Alvin. Kalau nggak salah ini dikirim saat kuliahnya mau berakhir.
Walaupun dia bisa lanjut kuliah di Australia, imbas krisis
ekonomi Asia sangat dirasakan sama dia. Dia bilang di surat-suratnya kalau
jumlah mahasiswa Asia, terutama dari negara yang paling parah terimbas seperti
Thailand atau Indonesia, makin berkurang seiring berjalannya waktu kuliah. Dia
bahkan pindah dari kost di perumahan ke apartemen sharing di tempat kelas menengah
kebawah di Perth untuk menghemat biaya.
Ironisnya, walaupun banyak mahasiswa Indonesia kesulitan ekonomi karena krisis ekonomi Asia, Alvin juga melihat perilaku tidak senonoh
dan absurd yang dilakukan segelintir anak Indonesia yang memamerkan kekayaan
mereka seperti mengendarai mobil mewah ke kampus atau pamer barang mewah
lainnya. Anak-anak ini sering juga tidak masuk kelas dan tidak lulus semester. Mereka jelas menghambur-hamburkan uang orang tua mereka. Kadang
kita mikir kok bisa mereka bisa begitu padahal di Indonesia semuanya lagi
menderita? Apa mungkin mereka punya koneksi dengan keluarga Cendana?
Kerusuhan dan jatuhnya Suharto juga diliput dengan cara yang
beda oleh media Australia dibanding Indonesia (yang hingga tumbangnya Suharto
dikontrol sangat ketat). Alvin sering mengirim ke saya klipping koran Australia
yang meliput gejolak politik di Indonesia dengan cara yang lebih vulgar
daripada yang di koran Indonesia.
Karikatur di koran Sunday Times yang memuji Frank Sinatra dan mencemooh Suharto. Frank Sinatra meninggal dunia di saat yang sama dengan jatuhnya presiden Suharto.
Seperti halnya Sung Ho dan Heinz, saya putus kontak dengan
Alvin sewaktu pindah dari Surabaya di awal tahun 2000an. Kita tidak pernah
berkomunikasi lewat e-mail, jadi saya kehilangan kontak dengan dia. Saya
menduga dia mungkin lulus dari Murdoch sekitar tahun 2004 atau 2005 dan mungkin
bekerja di Indonesia.
Saya berusaha mencari dia di internet, entah lewat sosmed
seperti Facebook, LinkedIn, Instagram, dan lain lain; atau browsing di Google. Tapi ya
tidak ada hasilnya. Seperti halnya Sung Ho, semua orang bernama “Alvin Adhitya” di
internet tidak satupun menyerupai dia.
Pernah saya menemukan satu profil orang bernama “Alvin
Adhitya” di Facebook yang kuliah di Murdoch University. Tapi orangnya jauh
lebih muda, dan lulusnya barusan (tahun 2018). Jelas orang ini
bukan Alvin kawan saya.
Keluarga Siraj
Saya tidak pernah berkomunikasi dengan mereka sejak pulang
dari Australia. Selama bertahun-tahun saya tidak pernah dengar kabar dari
mereka. Tapi sekitar awal tahun 2000an, sewaktu berlibur di Bali, saya kebetulan
ketemu mereka sedang berlibur disana (termasuk dengan Shahjehan). Baik Suhail
dan Shimla sudah besar, bahkan Feroza baru saja melahirkan anak ketiga.
Shahjehan sudah lulus dari Edith Cowan University, dan mau pindah ke pantai
timur Australia untuk bekerja. Tapi saya tidak bertanya ke Siraj apa dia sudah
dapat pekerjaan lebih baik.
Inilah terakhir kalinya saya ketemu mereka. Saya tidak
pernah berhubungan dengan mereka setelah itu.
Kawan Indonesia Lainnya
Pada dasarnya saya tidak menjalin hubungan dengan
anak-anak Indonesia selain Alvin setelah lulus dari St. Mark’s. Tapi kawan saya
yang kuliah di St. Mark’s di awal tahun 2000an bilang kalau dia pernah ketemu
Hudi. Hudi masih tinggal di Perth, dengan seorang cewek Jepang yang
katanya pernah jadi kawan sekelas saya. Apa yang dia lakukan waktu itu tidak
pernah dijelaskan.
Beberapa dekade kemudian di sebuah group Facebook, saya mendengar kabar
tentang beberapa mantan kawan orang Indonesia di St. Mark’s. Cukup mengejutkan
melihat mereka sudah tua semua. Saya bisa mengenali sebagian dari mereka, tapi
ada yang pangling juga. Namun saya perhatikan ada satu profil dengan nama dan
foto palsu yang saya duga adalah Hudi, karena dia selalu berusaha jadi
pusat perhatian di group itu (seperti yang dia sering lakukan dulu di St. Mark’s).
Nama profilnya “Hoodie Hood”. Fakta bahwa dia menggunakan nama palsu
menimbulkan pertanyaan apakah dia tinggal di Australia secara illegal (mungkin
untuk menghindari aparat penegak hukum menangkap dia) atau mungkin terlibat
dunia kriminal….
Kawan Asia Lainnya
Seperti mayoritas kawan-kawan di St. Mark’s di Perth,
Australia Barat, saya tidak berusaha untuk menyambung komunikasi dengan mereka
setelah lulus. Saya kehilangan kontak dengan kebanyakan dari mereka.
Satu pengecualiannya adalah Reiko Matsui. Selama beberapa
waktu setelah kembali ke Indonesia, kita sering bertukar surat dan kartu pos.
Dia sering menceritakan kisahnya dan juga bertanya bagaimana keadaan saya. Sayangnya, seperti
halnya kawan-kawan St. Mark’s lainnya, kami putus kontak sewaktu saya pindah ke
Bandung di awal tahun 2000an.
Sebuah kartu pos yang dikirim Reiko Matsui.Wajahnya kelihatan samar-samar di stiker gambar di pojok kiri bawah kartu pos.
Seiring dengan munculnya sosmed internet di jaman sekarang,
saya berusaha untuk berhubungan lagi dengan mereka, walaupun umumnya sia-sia.
Pernah sekali saya ketemu profil kawan saya yang orang Thailand, Ake, di
Facebook. Saya berusaha meng-add dia, tapi sepertinya ditolak. Mungkin dia
sudah lupa saya, karena kita sudah lama sekali tidak berhubungan satu sama
lain.
Kawan Eropa Lainnya
Walaupun saya sering ngumpul dengan kawan-kawan orang Swiss
waktu istirahat, saya tidak meneruskan komunikasi dengan mayoritas dari
mereka setelah pulang ke Indonesia. Walaupun saya pernah punya alamat kawan-kawan orang
Swiss Perancis, saya tidak pernah berkirim surat dengan mereka setelah
pulang ke Indonesia. Andai waktu itu kita masih saling berkomunikasi mungkin
saya bakal lebih akrab dengan mereka karena mereka lebih ramah dibandingkan dengan yang orang Swiss
Jerman.
Kadang saya mikir, kalau seandainya smartphone dan sosmed
dulu sudah ada, mungkin saya masih berhubungan dengan mereka. Sayangnya waktu
itu satu-satunya cara untuk berkomunikasi jarak jauh dengan ekonomis hanyalah
melalui berkirim surat. Telepon sambungan internasional sangat mahal sekali.
Dan penggunaan e-mail waktu itu belum umum.
Mungkin satu-satunya orang di kelompok ini yang masih
berhubungan dengan saya pasca selesai kuliah adalah Maria Lüchinger. Maria adalah
kawan akrabnya Denise. Dulu setiap saya ngobrol dengan Denise atau Heinz, Maria
selalu ikut nimbrung. Walaupun bahasa Inggrisnya tidak bagus, dan dia agak
malu-malu berinteraksi dengan orang asing, ini tidak mencegah kita untuk saling
bertukar surat setelah kami pulang dari Australia.
Selama 2-3 tahun setelah selesai kuliah kami sering saling
berkirim surat. Suratku ke dia biasanya dikirim bersamaan dengan yang untuk
Denise. Tapi surat balasan Maria biasanya datang lebih dulu, dan isinya lebih
panjang dari Denise. Padahal bahasa Inggrisnya agak belepotan.
Setiap saya membaca suratnya, saya sering heran dengan
seringnya dia berjalan-jalan dalam setahun. Dia pernah bercerita pengalamannya
jalan-jalan ke Uluru di Australia Tengah, atau ke tujuan wisata di laut
Mediterrania. Dia tidak selalu berpergian dengan Denise, dan terkadang jalan
sendirian. Orang Swiss kaya betul! Walaupun dia seumuran dengan saya, dan kerja
sebagai buruh di negerinya, dia sering sekali berpergian kalau liburan musim
panas.
Sama halnya dengan mantan kawan-kawan St. Mark’s, saya
kehilangan kontak dengan dia sewaktu saya pindah kuliah di awal tahun 2000an.
Tapi pernah saya sekali ketemu profil Facebooknya di tahun 2013. Mukanya masih
sama seperti dulu, walaupun sekarang rambutnya dipotong pendek. Dia sekarang
sudah menikah dan punya anak. Usaha saya untuk untuk meng-add dia gagal karena
dia tidak membalas permintaan pertemanan saya.
Denise Loher
Denise adalah alasan utama
kenapa saya mengenang tahun 1997 dengan indah sekali. Bisa dibilang dialah yang memotivasi saya untuk menulis cerita ini karena dia adalah gadis pertama yang
membuat saya tergila-gila. Saya waktu itu benar-benar jatuh cinta dengan dia.
Padahal dia sebenarnya sudah punya pacar di Swiss, dan sejujurnya dia terkadang
merasa risih dengan saya kalau saya mengungkapkan kesukaan saya ke dia.
Kehadirannya memberikan
warna-warna paling indah di hidup saya di Australia. Berkat dia, saya bisa
mengatasi rasa malu-malu saya kalau berhubungan sama orang bule. Dan bahkan,
saya jadi keranjingan cewek bule dan kepikiran untuk menikahinya supaya punya
anak blasteran!
Seperti halnya mantan
kawan-kawan dari St. Mark’s saya masih berhubungan dengan dia selama beberapa
tahun di akhir dekade 1990an. Saya sering berkirim surat dengan dia, bahkan
surat pertama dikirim waktu saya masih di Australia (walaupun waktu itu saya
meminta dia untuk membalasnya ke alamat saya di Indonesia). Tadinya saya pikir
dia mungkin mengacuhkan surat saya, karena waktu terakhir-akhir kita ketemuan,
dia seperti sudah bosan sama saya.
Kartu-kartu pos yang dikirim oleh Denise buat saya. Yang diatas adalah kartu pos pertama yang dikirim Denise buat saya, sementara yang dibawah kalau nggak salah yang terakhir. Denise mengirim beberapa kartu pos ke saya, tapi hanya dua ini yang masih saya simpan sampai sekarang.
Tapi diluar dugaan, dia
membalas surat saya! Nggak cuman sekali, tapi setiap saya kirim surat pasti
dibalas! Walaupun balasannya selalu dalam bentuk kartu pos (balasan yang pelit
dibanding surat panjang yang selalu saya kirim ke dia). Tapi setiap saya
menerima kartu pos dari dia, rasanya seperti di surga saja. Berasa seperti
ketemuan dengan dia lagi. Dan memegang kartu pos dengan tulisan tangannya
bagaikan memegang tangannya lagi. Susah untuk diungkapkan betapa bahagianya
saya kalau sudah menerima kartu pos dari Denise.
Perasaan baper yang akut
ini mungkin berakar dari fakta kalau saya waktu itu terobsesi dengan Denise. Fakta bahwa dia
adalah orang pertama yang membuat saya jatuh cinta yang dalam nggak ubahnya seperti
membuat saya jadi memiliki ketergantungan emosi dengan Denise.
Walaupun dia selesai
kuliah lebih awal dari saya, butuh waktu lama untuk melupakan dan melepaskan
ketergantungan emosional dengan dia. Bahkan beberapa tahun setelah kita
terakhir bertemu saya masih terobsesi dengan dia. Dia selalu muncul di pikiran
saya, dan membuat cewek-cewek lain tidak menarik buat saya.
Saya berusaha keras untuk
melupakan dia dengan mengalihkan perhatian ke “cewek mustahil” (seperti aktris
atau musisi terkenal). Dulu cewek favorit saya biar saya bisa melupakan Denise
adalah aktris Jennifer Love Hewitt.
Namun suatu waktu saya pernah
nyaris bertemu dengan dia lagi. Ini terjadi sewaktu saya berkunjung ke Swiss di tahun
1999 silam. Sebelum berangkat, saya sebenarnya sempat memberi tahu dia tentang
rencana kedatangan saya. Dan kita berjanji untuk bertemu begitu saya sampai di
Swiss, dengan bantuan kakak saya yang tingal disana.
Sayangnya, karena saya
berpergian dengan orang tua saya, mereka melarang saya pergi ke tempatnya
Denise. Mereka mungkin tidak mengijinkan saya membina hubungan dengan dia.
Kegagalan saya untuk ketemuan dengan Denise mungkin membuat dia kesal, dan dia
kemudian mengungkapkannya di salah satu kartu pos yang dia kirim sepulangnya
saya dari Eropa. Dia melampiaskan kekesalannya karena kita tidak bisa ketemuan,
seakan-akan dia ingin sekali bertemu dengan saya lagi.
Seiring dengan
perkembangan teknologi, kitapun beralih cara komunikasi dari surat menyurat ke
e-mail. Dengan cara baru ini komunikasi jadi lebih lancar, cepat, dan murah. Bahkan
kita bisa lebih ekspresif kalau berkomunikasi karena kita bisa saling berkirim
kartu selamat elektronik seperti lewat website Blue Mountain. Saya selalu
merasa senang kalau menerima kartu ucapan selamat dari dia.
Tapi semua kebahagiaan itu
berakhir sewaktu saya pindah dari Surabaya ke Bandung di awal tahun 2000an. Dan
karena sempat lama tidak online, akun e-mail Hotmail saya terhapus dan
saya kehilangan kontak dengan Denise. Akibatnya saya tidak bisa berkomunikasi
dengan dia untuk waktu yang lama sekali! Bukan beberapa bulan, atau
beberapa tahun, ujung-ujungnya saya tidak berkomunikasi dengan Denise selama
lebih dari 1 dekade!
Dalam prosesnya, saya
akhirnya bisa melupakan Denise dan tidak lagi terobsesi lagi dengan dia. Saya bisa
hidup normal lagi walaupun hingga cerita ini ditulis saya masih melajang. Selama
di Bandung, saya sempat berpacaran dengan beberapa cewek disana (walaupun sudah
putus semua). Anehnya, banyak dari mereka punya ciri-ciri fisik mirip Denise:
semuanya berkulit putih bersih, wajah semi Aria (karena banyaknya orang keturunan
blasteran Eropa di Bandung), dan babyface. Saya kadang mikir apa saya
benar-benar sudah melupakan Denise?
Di awal tahun 2010an,
minat saya untuk bertemu lagi dengan Denise muncul lagi. Dengan bantuan sosmed
seperti Facebook (atau pendahulunya seperti Friendster), saya mulai
mencari-cari cewek dengan nama “Denise Loher”. Mayoritas orang Swiss, tapi ada
juga yang dari Amerika, Australia, Brazil, atau bahkan orang Inggris keturunan
Jerman. Tapi tidak satupun mirip Denise sama sekali.
Saya mulai mikir: apa
Denise masih ada? Apa dia sudah meninggal, mungkin jadi korban kecelakaan atau
insiden? Atau mungkin dia sekarang sudah berubah namanya?
Walaupun sempat menemui
banyak halangan, saya terus mencari di Google orang yang bernama “Denise Loher”
yang tinggal di Montlingen, Swiss. Seperti usaha-usaha terdahulu, saya sempat gagal. Entah cewek yang saya temui terlalu muda, atau mukanya kelihatan
beda jauh.
Tapi suatu hari di tahun
2013, sewaktu saya melihat-lihat gambar di Google, saya penasaran dengan sebuah gambar. Waktu itu saya melihat foto sekelompok
wanita pengurus sebuah sekolah taman kanak-kanak di Montlingen. Mereka adalah
guru-guru dan pengurus sekolahnya. Walaupun gambar orangnya kelihatan kecil, saya
bisa melihat dengan jelas kalau seorang diantaranya tampak seperti saya kenal. Walaupun dia kelihatan agak tua, wajahnya seperti wajah khas
Jerman yang babyface yang pernah saya lihat sebelumnya.
Itu Denise!!!
Denise (tengah) saat menghadiri acara penerimaan penghargaan di tahun 2000an.
Sayapun cepat-cepat
membuka websitenya, dan menemukan kalau Denise sekarang kerja di sekolah itu.
Dugaan saya dia adalah kepala sekolah itu. Dan ternyata namanya sekarang menjadi Denise Hutter!
Sayapun coba mencari nama “Denise Hutter dari Montlingen” di Google dan, voila!
Rupanya disinilah dia. Akhirnya sayapun menemukan foto-foto terbaru Denise.
Denise (dua dari kiri) befoto bersama rekan-rekan kerjanya. Dia tampak agak gemukan dan kelihatan beda sekali dengan di tahun 1997.
Denise sekarang sudah
lebih tua. Dia juga makin gemuk, dan wajahnya agak berkeriput. Tidak semulus
sewaktu dulu saya masih ketemu sama dia. Dia juga sudah mengecat rambutnya dengan warna
gelap (dulu di tahun 1997 rambutnya berwarna coklat kepirangan), dan rambutnya
jadi agak lebih panjang. Walaupun sudah banyak berubah, wajahnya pada dasarnya
sama seperti dulu.
Foto close up Denise sambil menggendong anaknya di tahun 2011 atau 2012 silam.
Kemudian saya mencari-cari
di Facebook, dan surprise! Dia rupanya punya akun FB! Sayapun langsung meng-add
dia, berharap semoga saja diterima. Beberapa hari kemudian, saya menerima
notofikasi yang memberitahukan kalau saya diterima sebagai kawan Facebooknya.
Walaupun ada perkembangan
positif, awalnya saya malu-malu untuk mengirim message ke dia atau mengomentari
fotonya. Mungkin dia sudah lupa saya, atau tidak mau diganggu.
Namun segalanya berubah
ketika suatu hari dia sendiri yang memulai chat di messenger FB. Dia bertanya
nama saya dan apa saya dulu kuliah di Perth di tahun 1997, yang saya jawab iya.
Diapun senang sekali karena kita bisa bertemu lagi. Saya cukup terheran-heran
dengan balasannya yang entusias, mengingat dulu waktu terakhir-akhir ketemuan
dia seperti sudah bosan sama saya.
Dia bertanya banyak
tentang saya: dimana saya sekarang, apa yang saya lakukan, dan lain sebagainya.
Kita juga berbincang-bincang tentang kampus kita dulu, serta fakta kalau
sekolahnya sudah tutup dan bangunannya dibongkar.
Nah sekarang saatnya untuk
mengungkapkan kebenarannya: Denise mengaku kalau dia sekarang sudah menikah
dengan pacarnya. Dia adalah cowok yang sama dengan yang dulu membuat saya penasaran,
dan frustasi waktu Denise bilang akan menikahinya. Mereka
menikah tahun 2000 silam. Denise menambahkan kalau dia sempat kembali lagi
ke Australia untuk bulan madu, walaupun kali ini dia pergi ke Sydney untuk
perjalanan naik mobil karavan.
Karena nama keluarga suaminya “Hutter”, nama
resminya sekarang adalah “Denise Hutter”. Ini untuk mengikuti peraturan di Eropa yang mengharuskan istri mengganti nama keluarganya dengan nama keluarga suami kalau sudah menikah. Selain itu dia juga sudah punya dua
anak yang sekarang sudah mulai besar. Anak tertuanya bahkan lebih tua dari
keponakan saya.
Kalau dipikir-pikir
mungkin ada bagusnya juga bahwa kita sempat kehilangan kontak. Kalau saya waktu
itu tahu dia menikah, saya mungkin bakal diliputi kesedihan yang terlalu
dalam dan mungkin bisa jadi kaya orang gila! Sekarang sudah jelas bahwa harapan
saya dulu bahwa hubungan kita bisa beranjak jadi lebih dari sekedar kawan pupus
sudah.
Tapi saya
mengikhlaskannya. Dari awal, sebenarnya mustahil untuk menikahi dia. Bukan
karena kita berasal dari negara dan budaya yang berbeda, tapi lebih karena
umurnya, sifatnya yang berubah-ubah dan fakta bahwa dia sudah menjalin hubungan
asmara dengan orang lain. Belum lagi orang tua saya mungkin tidak akan menyetujuinya, halangan
bagi saya akan makin banyak. Jadi saya memutuskan untuk mengalah dan
mengikhlaskan dia menikah dengan lelaki lain.
Namun, mungkin karena saya emosi akibat “CLBK”, saya masih saja bertingkah sembrono ke dia. Suatu hari saya
memposting semua foto dia yang saya ambil dengan kamera saya dulu ke dia.
Masalahnya bukannya dikirim diam-diam, saya malah posting di profil saya dan
nge-tag dia ke foto-foto itu. Rupanya ini membuat dia malu sekali dengan
keluarganya. Dia tidak ingin suami dan anak-anaknya tahu tentang hubungan dia
dengan saya atau Heinz. Diapun memarahi saya dan meminta saya untuk tidak
dekat-dekat dengan kehidupan pribadinya. Sayapun meminta maaf dan memutuskan
untuk menghapus foto-foto yang menyinggung perasaannya tadi.
Lalu profil Faebooknya
seperti jadi diam. Semua pesan saya tidak pernah dibalas. Di balasan terakhir
pesan messenger saya dia mengaku sibuk dan kesulitan mencari waktu untuk
menggunakan internet. Diapun mengaku kalau dia tidak begitu familiar dengan
Facebook, jadi dia minta saya untuk memahaminya. Sayapun memahaminya dan
memutuskan untuk menjauh sebentar dari dia. Rupanya percakapan ini adalah yang
terakhir dari dia karena di tahun berikutnya dia sudah meng-unfriend profil
Facebook saya, dan profilnya sendiri sudah tidak pernah diupdate sejak tahun 2014.
Saya tidak tahu apakah ini
adalah benar-benar akhir dari hubungan saya dengan dia, atau mungkin saya harus
mengikhlaskan kepergian Denise dari hidupku untuk selamanya. Tapi kalau mau jujur, saya
mensyukuri bahwa saya pernah kenal dengan dia, dan berterima kasih sekali bahwa
dia pernah membuat hidupku jadi indah sekali.
TAMAT!