Pesawat terbesar yang saya lihat pada waktu itu hanyalah DC-9 milik Garuda.
Namun semuanya berubah semenjak saya pindah ke Ujung Pandang, di Sulawesi Selatan, dari Surabaya, mengikuti bapak saya yang pindah kerja kesana.
Waktu itu saya sering sekali ikut mengantar bapak ke airport. Dan yang paling saya suka adalah kalau diajak melihat pesawat dari anjungan pengantar. Yang unik, untuk masuk harus bayar (seperti halnya membayar karcis peron di stasiun kereta api).
Dari anjungan itu (yang sebenarnya kurang pantas disebut anjungan karena tingginya sama dengan apron) kita bisa melihat pesawat-pesawat yang diparkir di apron bandara Hassanudin, maupun yang mendarat, atau lepas landas. Bukan main senangnya!
Namun pada suatu hari, saya terheran-heran sewaktu main ke anjungan itu. Di apron tampak sebuah pesawat yang besar dan tinggi sekali. Untuk memasukinya juga diperlukan mobil tangga, karena pesawat ini tidak punya tangga internal. Mesinnya besar berjumlah dua, dan menggantung di sayap utama.
Benar-benar beda dengan pesawat DC-9, F-28, atau propeler yang biasanya saya lihat. Bapak saya menjelaskan bahwa itu adalah pesawat Airbus milik Garuda. Saya cukup takjub melihat pesawat itu, bahkan menunggu lama di airport hingga pesawat itu lepas landas, agar bisa mendengar deru khas mesin JT9 pesawat itu.
Wah saya jadi kepingiin sekali bisa naik pesawat hebat itu, bahkan saya sering berandai-andai agar bisa naik.
Rupanya impian ini kesampaian lebih cepat dari yang saya duga. Pada saat libur Natal 1985, bapak saya mengajak kami sekeluarga untuk bertamasya ke Jakarta dan Surabaya. Sekaligus main ke Dunia Fantasi, serte menjenguk nenek di Surabaya.
Kamipun kemudian berangkat ke airport diantar sopir kantor bapak, tanggal 24 Desember 1985. Sewaktu masuk ke jalan akses bandara, di kejauhan saya bisa melihat sirip tegak pesawat A300 Garuda.
Wahhh!!!
Rupanya saya dapat naik pesawat A300 itu! Girang sekali saya, apalagi begitu tahu kalau itu tunggangan saya ke Jakarta hari itu.
Di ruang tunggu saya tak henti-hentinya melihat pesawat itu. Kalau saat itu kamera digital sudah ada, mungkin pesawat itu sudah saya potreti terus.
Begitu pangilan boarding dikumandangan, saya langsung segera ke pesawat. Begitu berjalan di apron menuju pesawat, saya terkagum-kagum melihat pesawat terbesar yang pernah saya lihat waktu itu.
Pertama kali naik tangga pesawat, saya juga agak heran. Mungkin pesawat ini saking tinggi dan besarnya, sampai-sampai tidak diperlengkapi tanggal internal seperti DC-9 atau F-28. Dari tangga saya bisa melihat mesin JT-9 yang diameternya lebih besar dari orang dewasa.
Sesampainya di dalam, saya terperangah kagum melihat konfigurasi kursi di kabin yang 2-4-2 (tidak seperti 3-2 atau 3-3 di pesawat kecil). AC pesawat juga menyemburkan kabut, karena hawa Makassar yang agak lembab sore itu.
Sayapun dapat tempat duduk di jendela sebelah kiri. Dari sini saya bisa melihat pesawat-pesawat DC-9 yang diparkir di sebelah pesawat saya.
Ada perasaan bangga bahwa pesawat saya adalah yang terbesar di airport.
Kira-kira sekitar jam 16.30 sore WITA, pintu pesawat mulai ditutup, dan pesawat di push back untuk berangkat ke Jakarta.
Setelah taxiing, dan back tracking runway, pesawat langsung melesat lepas landas meninggalkan bandara Hassanudin Makassar. Whuuusshh!
Pelayanan diatas pesawat waktu itu tidaklah beda dengan di penerbangan sebelum-sebelumnya. Yang agak membuat saya agak heran adalah sewaktu pesawat di ketinggian jelajah, sepanjang mata memandang di bawah pesawat hanyalah awan saja. Itu pertama kali saya melihat begituan.
Saya juga teringat bahwa sepanjang perjalanan waktu itu cuacanya terang terus, walaupun kita tidak bisa melihat daratan di bawah karena tertutup awan.
Kira-kira tiga jam kemudian, pesawat descending menuju ke Jakarta. Berdasarkan pemberitahuan melalui PA, kita akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Sewaktu pesawat menerobos awan di bawah, saya heran karena ternyata di bawah awan sudah gelap gulita!
Di bawah, tampak lampu-lampu kota Jakarta, khususnya daerah pesisir. Di bawah saya juga bisa melihat dengan jelas arena Bianglala serta beberapa arena di Dunia Fantasi yang akan saya kunjungi keesokan harinya.
Tak lama kemudian, pesawat mendarat di runway 25L Cengkareng. Walaupun waktu itu bandaranya hanya terdiri dari satu terminal, tapi kesannya waktu itu megaaah dan luaas sekali. Baru kali itu saya melihat bandara sebesar dan semegah itu.
Kami waktu itu dijemput oleh paman saya yang berdomisili di Bekasi menuju ke Hotel Indonesia, tempat kami menginap.
Bonus: Foto-foto liburan Jakarta.
Keesokan paginya kami berenang dulu di kolam renang Hotel Indonesia, yang kini sudah hilang dan menjadi Mall Grand Indonesia. Saya masih ingat kalau waktu itu kita bisa melihat gedung-gedung tinggi di sekeliling Hotel Indonesia. Saya waktu itu belum berani berenang di kolam dalam, jadi terpaksa berenang di kolam anak-anak (karena memang saya waktu itu masih anak-anak )
Pemandangan salah satu Pool Side Restaurant di Hotel Indonesia. Tampak ibu saya menyisiri adik saya yang baru berumur 1 tahun.
Ini adalah foto dari jendela kamar saya. Lahan kosong itu kini menjadi Plaza Indonesia dan Hotel Grand Hyatt.
Foto bareng di halaman Hotel Indonesia. Gedung di belakang kalau nggak salah adalah Grand Ballroom Hotel Indonesia.
Naik roller coaster di Dunia Fantasi. Saya duduk di sebelah bapak saya (berkacamata). Orang yang pakai kacamata hitam di belakang bapak saya adalah paman saya. (Adik bapak saya paling bungsu).
Foto bareng dengan salah satu badut di Dufan.
Sekian cerita saya. Mohon maaf kalau gambarnya kurang (bahkan pake mencatut A.net), karena ini trip report jaman sebelum ada kamdig, dan sebelum saya bisa pegang kamera.
asik banget bisa mengenang masa lalu dengan dokumentasi foto.... wuih mantaft!
BalasHapus