Jumat, 24 Juni 2011

PENGALAMAN HIDUP DI JAKARTA DI TAHUN 1980an (Perspektif Orang Luar Jakarta)




Bagaimana rasanya hidup di kota metropolitan Jakarta? Jika anda orang Jakarta mungkin tidak ada yang istimewa. Begitu-begitu sajalah. Tapi bagi orang yang besar di luar Jakarta, terus tiba-tiba pindah kesini, pasti akan menjadi suatu cerita yang menarik.
Bagi saya, tinggal di Jakarta terasa memuakkan. Ya, itu benar! Saya tidak ada kata lain yang lebih tepat atau lebih “refined” untuk menjelaskan rasanya tinggal di kota yang menjadi pusat segalanya di Indonesia ini.
Namun, disamping hal-hal menyebalkan tentang kota metropolis ini, ada beberapa cerita menarik yang menggambarkan sisi agak positif dari kota ini.
(Catatan: Jika anda punya lagu Rick Astley seperti “Whenever You Need Somebody” atau “Never Gonna Give You Up”, sama lagu-lagu Kylie Minoque generasi awal, rasanya pas sekali untuk menemani anda membaca cerita ini).

SEKELEBAT KOTA JAKARTA.
Pertama kali saya datang ke kota Jakarta adalah di tahun 1983 sewaktu saya masih berumur 5 tahun. Kunjungan pertama saya ke Jakarta juga merupakan pertama kalinya saya naik pesawat terbang.
Di tahun itu, pesawat DC-9 Garuda Indonesian Airways yang saya tumpangi mendarat di bandara Kemayoran yang terletak di sisi timur laut kota Jakarta. Sebenarnya saya ingin menceritakan lebih detail tentang perjalanan ini, tapi lain waktu saja.
Waktu itu saya dan kakak saya ikut diajak bapak saya mengikuti perjalanan dinas bapak saya ke Jakarta.
Saya tak begitu ingat persis apa saja detail acaranya, tapi ada beberapa hal yang saya ingat, yaitu kita berpergian kemana-mana menggunakan taxi warna kuning yang penampilannya dekil, serta tidak pakai AC.
Jalanan Jakarta waktu itu sudah cukup ramai seperti halnya kota-kota besar di dunia. Hanya bedanya dengan jaman sekarang adalah tidak ada kemacetan sama sekali. Kita naik taxi bisa berjalan lancar dari satu titik ke titik yang lain.
Tempat menginap kami waktu itu adalah di hotel Indonesia yang rupanya hingga tahun itu merupakan hotel termewah di Jakarta, walaupun pada saat yang sama hotel-hotel pesaingnya sudah mulai dibangun tapi belum selesai.

Hotel Indonesia di tahun 1969 (Foto dari KITLV).

Kami juga waktu itu sempat mampir ke arena taman bermain Pekan Raya Jakarta/Jakarta Fair yang terletak di salah satu sudut Monas.

Entrance Jakarta Fair di Monas (Foto dari KITLV).

Di kemudian hari taman bermain ini kemudian dibongkar dan dirubah menjadi taman. Tapi saat itu tanda-tanda bahwa taman bermain ini akan dibongkar sudah kelihatan. Saya ingat waktu itu melihat sebuah wahana roller coaster yang sudah tidak dipakai karena relnya sudah banyak yang dicopot.
Antara kunjungan pertama saya dengan kepindahan saya ke Jakarta di tahun 1988, saya mulai melihat banyak perubahan di kota ini. Taxi-taxi kuning yang dekil dan tak nyaman perlahan digeser oleh taxi-taxi biru yang ber-AC. Di utara Jakarta dibangun taman bermain modern yang bernama Dunia Fantasi, dan bandara kota Jakarta digeser ke bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng yang waktu itu adalah bandara termegah di Indonesia.

AWALNYA.
Saya pindah ke Jakarta di menjelang akhir tahun 1988. Waktu itu bapak saya dipindah tugaskan dari kota Ujung Pandang (sekarang Makassar) ke Jakarta. Perpindahan itu bagi kakak saya adalah hal yang melegakan, karena waktu itu dia berhasil menghindari hukuman yang seharusnya menanti dia, tapi karena pindah sekolah jadi dia tidak kena.
Bagi saya perpindahan ini adalah sesuatu yang “culture shock” untuk saya. Bagaimana tidak? Ujung Pandang adalah kota yang sepi, tenang, dan bahkan agak terbelakang jika dibandingkan dengan Surabaya.
Sementara Jakarta adalah kota yang ramai, padat, maju, dan keras (belakangan saya lebih menyebutnya “rese’ “). Walaupun sisi positifnya adalah, kali ini saya bisa kembali melihat jalur KA lagi, karena di Ujung Pandang tidak ada. Sayangnya, jenis KA yang akan sering saya lihat bukanlah jenis seperti yang ada di Surabaya....
Sebelum-sebelumnya, saya cenderung menganggap Jakarta sebagai kota yang mewah dan memanjakan. Tapi semenjak tinggal di Jakarta, pandangan saya terhadap Jakarta berbalik 180 derajat menjadi muak.
Waktu kami sampai di airport Cengkareng, saya tidak merasakan sesuatu yang istimewa dengan kedatangan tersebut, karena sebelumnya saya sudah beberapa kali datang dengan cara yang sama.
Hanya yang beda tentunya adalah kalau biasanya kami tinggal di hotel (umumnya hotel Indonesia), kali ini kami langsung tinggal di rumah kami yang terletak di kompleks perumahan Bank Niaga di daerah Pejaten.
Yang unik, beberapa minggu pertama kami datang di Jakarta, kami tidak tinggal di rumah, melainkan di mess Bank Niaga. Barang-barang kami masih tetap dipack, sampai kami masuk di rumah kami yang sesungguhnya.

LINGKUNGAN TINGGAL KAMI.
Daerah tempat tinggal saya di Pejaten itu adalah daerah menengah keatas, walaupun tidaklah mewah. Disini, tinggal beberapa petinggi bank Niaga pada saat itu, termasuk pak Robby Djohan yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Saya tak pernah berjumpa langsung dengan beliau, tapi sering lewat di depan rumahnya.
Rumah saya terletak di pojokan, di persimpangan antara jalan kompleks dengan sebuah jalan gang yang lebarnya sekitar 1,5 meter. Walaupun gang kampung, tapi herannya, jalan ini tidak diapit rapat bangunan. Malah di sebelahnya ada sebuah tanah kosong yang sangat luas sekali. Ukuran tanah kosong itu sekitar 1 blok perumahan. Di tahun 1990an, tanah kosong itu dibangun perumahan.
Berbeda dengan kota Surabaya yang rapi dan bersahaja, kota Jakarta cenderung agak kumuh dan angkuh, dan itu terlihat di perumahan tempat saya tinggal. Walaupun tempat itu tempat berkelas, tapi kampung yang ada di dekat situ terlihat agak kotor, apalagi kalau hujan turun.
Tanah di daerah tempat tinggal kami tampaknya mengandung logam tembaga atau besi, karena kalau hujan deras petirnya besar-besar. Saking besarnya sampai kami tak bisa berkonsentrasi belajar kalau sudah hujan petir. Sepertinya petirnya menyambar pekarangan rumah kami.
Kami juga dekat dengan tetangga kami. Seperti keluarga Betawi atau Sunda (saya tak ingat) yang menjaga mess tempat kami awalnya tinggal. Kami juga cukup dekat dengan “pak Haji”, seorang Indo paruh baya yang pemeluk agama Islam taat yang sering melanglang buana, termasuk beberapa kali pergi haji ke Mekkah. Serta dengan keluarga penghuni sebuah rumah besar yang minim perabot, namun ada antena pemancar besar di halaman belakangnya. Saya tak tahu apakah mereka itu penghuni atau penjaga rumah itu. Dan yang terkadang membuat saya agak bingung di saat sekarang, keluarga itu terdiri dari kedua wanita yang masih saudara, mengasuh dua anak kecil. Saya tak pernah melihat suami salah satu dari mereka yang katanya pergi berlayar.
Saya juga cukup dekat dengan anak-anak tetangga (dimana orang tua mereka ternyata rekan kerja bapak saya), salah satunya adalah Damar (alm) dan anaknya oom Suhar yang saya lupa namanya. Kami sering bersepeda bersama mengelilingi kompleks perumahan, bahkan hingga ke dekat Pasar Minggu, dimana saya bisa melihat jalur KA Jakarta-Bogor yang lewat disitu.
Kami juga terkadang suka bermain komputer bersama di rumah masing-masing. Game komputer waktu itu mulai naik pamornya. Walaupun suaranya masih dat-dit-dut mono speaker komputer, dan warnanya hanya kombinasi biru, pink, putih, dan hitam, tapi game-game waktu itu cukup membuat kami takjub.

Salah satu adegan game Police Quest dari Sierra Games.

Saya teringat dulu saya juga agak dekat dengan sopir kantornya bapak. Namanya pak Yudi. Beliau, seperti halnya kita, juga orang Jawa. Namun dari kulitnya yang agak terang, serta wajahnya agak Indo, saya menduga beliau adalah orang Banyumas atau Magelang.
Di rumah juga ada seorang pembantu. Pada awal-awal kami tinggal di Jakarta, pembantu kami adalah pembantu yang kami dari Ujung Pandang. Tapi sekitar pertengahan masa tinggal kami disana, dia meminta untuk pulang kembali ke Ujung Pandang, sehingga kemudian orang tua saya membelikan tiket balik kesana.
Perannya kemudian diganti oleh seorang wanita paruh baya asli Betawi. Wanita ini bisa memiliki peranggai khas Betawi: bicaranya blak-blakan, temperamental, dan tidak menyayangi. Jadi bisa dibilang, ini pembantu terburuk yang pernah ada di rumah saya dimanapun. Saya dan saudara-saudara saya merasa sangat tidak nyaman dengan pembantu ini. Apalagi dia ini penjilat: di depan orang tua saya ramah dan halus, tapi terhadap saya dan saudara-saudara galak dan bengis!
Dia sendiri tidak bertahan terlalu lama di rumah. Kira-kira 2 bulan sebelum kami pindah dari sana, dia diganti oleh 2 orang perempuan yang masih muda.

KOTA JAKARTA DI SAAT ITU.
Kalau menurut saya, kota Jakarta di saat saya tinggal tidak banyak beda dengan saat-saat saya awal melancong kesana. Kota Jakarta waktu itu sudah ada beberapa mall seperti Ratu Plaza (yang termahal), Sarinah.
Sayangnya, waktu itu sedang ramai-ramainya pembangunan jalan tol dalam kota Jakarta, sehingga jalan-jalan utama seperti MT Haryono, Semanggi dan Cawang terlihat kotor karena proyek pembangunan itu. Kemacetan parah terjadi di tempat-tempat itu. Namun untungnya, tidak semua tempat macet.

Pemandangan di bundaran Pancoran, sebelum ada jembatan tol. (Foto dari KITLV).

Kota Jakarta disaat itu terlihat sangat rimbun dan teratur. Kotanya sendiri sangatlah megah dan kosmopolitan.
Jalanannya lebar-lebar, dan hanya macet kalau ada perbaikan, atau kalau jam berangkat dan pulang kerja. Tidak seperti sekarang yang konstan macet terus di hari kerja.
Kota Jakarta waktu itu juga tidaklah sebesar sekarang. Saya ingat, pernah sekali waktu ita pergi ke Bogor melewati jalan biasa yang tidak melewati tol, dari daerah pasar Minggu ke selatan masih banyak kebun-kebun pisang dan tanaman perdu di sekeliling jalur KA Pasar Minggu-Depok. Suasananya benar-benar pedesaan.

Perkebunan di daerah Pasar Minggu, Jakarta. (Foto dari KITLV).

Daerah Bekasi, tempat saudara saya tinggal, masih banyak dikelilingi persawahan. Bahkan daerah dari gerbang tol Bekasi (sekarang Bekasi Barat) hingga jalan utama Jakarta-Bekasi masih dikelilingi persawahan, sehingga suasananya mengingatkan saya dengan daerah pedesaan di Jawa Timur.
Juga jalan tol menuju ke bandara Cengkareng juga masih dikelilingi tambak, sehingga kesannya seperti jauh di luar kota.
Saya juga masih ingat, bandara Kemayoran waktu itu juga masih beroperasi, walaupun hanya dipakai untuk pesawat kecil.
Beberapa tempat yang kini padat, dulunya juga terlihat sepi. Seperti pasar Mangga Dua yang waktu itu hanya lapak-lapak sederhana yang terorganisir di tempat yang kini menjadi plaza Mangga Dua. Daerah sekitar Bintaro dan Kebayoran juga terlihat seperti daerah luar kota.
Walaupun bukan di Jakarta, tapi ini juga menarik untuk disebut: jalanan Puncak juga masih asri dan dikelilingi kebun teh. Tidak seperti sekarang yang sudah dijejali warung remang-remang, yang menghalangi pandangan kita ke kebun teh dan pegunungan di situ.
Apa Jakarta jaman itu lebih baik dari sekarang? Kalau menurut saya tidak. Sama saja sebenarnya. Hanya lebih sepi dari sekarang. Perkara stressful atau tidak sama saja dengan sekarang.

SEKOLAH DAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER.
Bagian yang menarik untuk saya ceritakan adalah sekolah. Bisa dibilang, cerita tentang dunia sekolah saya selama di Jakarta merupakan bumbu yang membuat kisah kehidupan saya waktu di Jakarta “ada rasanya”.
Saya hanya bersekolah di Jakarta selama kurang lebih 7-8 bulan saja, karena sekolah di Jakarta hanya meneruskan sisa kelas 4 yang saya tinggalkan di Makassar. Tidak lebih dari itu, karena saat saya naik kelas, bapak saya dimutasi ke kampung halaman di Surabaya.
Saya waktu itu sekolah di SD Strada Wiyatasana yang terletak beberapa kilometer dari Pejaten. Saya masih mengingat sekolahnya yang memiliki parkiran yang sangat luas, serta arealnya yang terletak di sebuah lembah kecil, lengkap dengan sungai kecil nan deras yang membelah areal parkir dengan bangunan sekolahan.

Areal SD Strada Wiyatasana, Jakarta. Pada saat saya bersekolah, bangunannya belum sebesar ini.

Di salah satu sudut parkiran ini ada pusat jajanan anak-anak yang menjual makanan jajanan dengan harga yang agak mahal. Yang membuat saya takjub adalah Hot Dog dan Hamburger yang dijual di situ. Saya juga terkadang suka makan Fried Chicken yang meniru konsep Kentucky Fried Chicken, tapi ayamnya (kata kawan saya) adalah ayam bekas kegilas truk!
Bangunan kelasnya waktu itu khas bangunan sekolahan ala tahun 1970an. (Di kemudian hari, bangunan ini dirobohkan, dan diganti dengan bangunan kelas yang bertingkat mirip perkantoran).
Beradaptasi dengan lingkungan sekolahan disini terasa sangat berat sekali. Bayangkan, di Ujung Pandang saya sekolah pagi terus, dan PR itu dalam seminggu hanya ada 2-3 saja. Di sekolah ini, namanya PR itu setiap hari pasti ada 2. Dan belum lagi ada prakarya, yang rata-rata menggunakan bahan-bahan yang eksotis, mahal, dan agak tidak lazim untuk anak SD. Menggarap prakarya-prakarya tersebut juga bisa dibilang sangat susah, tak ubahnya seperti pekerjaan tukang!
Kalau itu kurang, guru-guru disana galak-galak. Wali kelas saya (seingat saya namanya pak Yustus) adalah guru muda yang umurnya sekitar akhir 20an. Orangnya cerewet, religius (Kristen), agak galak, dan feeling saya.....homo! Dan yang paling tersangar diantara semua guru disana adalah pak Darsono yang ironisnya adalah guru yang mengasuh prakarya! Gaya mengajarnya datar. Orangnya juga ringan tangan, dalam artian: lalai mengerjakan tugas langsung diberi hukuman fisik (biasanya dijewer atau ditampar). Dan kalau itu kurang, biasanya kita juga disuruh keluar kelas dan mengepel dan mencuci kaca. Sehingga otomatis akan dilihat anak-anak dan guru di kelas lain, dan this is very humiliating.....
Namun tak semua guru separah mereka. Ada juga yang baik dan ramah. Bahkan kepala sekolahnya juga orangnya baik dan tidak banyak macam, dan sering menanyakan kabar para siswa termasuk saya.
Lingkungan pergaulan di sekolahan ini awalnya kelihatan menarik, karena banyak anak-anak di kelas yang tertarik untuk berkenalan. Tapi lama-kelamaan belang mereka juga kelihatan. Mereka adalah type anak-anak yang suka mengolok-olok dan menjatuhkan. Bullying di sekolah adalah ritual harian bagi saya.
Setiap hari pasti jagoan sekolah akan mengancam-ancam saya, dengan alasan yang dibuat-buat. Difitnah itu adalah ritual harian kalau di sekolah. Anak-anak lain juga memperlakukan saya seperti kaum termarginalkan, atau warga kelas 2 di kelas. Kalau misalnya ada buku pelajaran yang saya tidak punya, mereka tidak mau berbagi buku dengan saya, dan membiarkan saya bengong aja melihat guru. Malah ada yang marah-marah kalau saya sekedar menyentuh buku mereka. Ditertawakan di kelas adalah hal yang sering menimpa saya.
Anak-anak ceweknya juga punya sikap yang aneh-aneh. Pertama kali itu saya melihat perilaku yang kalau di jaman sekarang akan kita sebut “lebay”. Jadi ada beberapa anak cewek yang sok cantik, yang kalau tidak sengaja kita senggol akan marah besar dan menampar kita. Padahal kalau mau jujur, wajah mereka itu jelek. Bahkan aspal jalan tol Jagorawi masih lebih mulus dari muka mereka.
Tapi di sisi lain saya juga untuk pertama kali melihat mojang-mojang Priangan yang terkenal “geulis” itu. Walaupun waktu itu saya belum tahu apa artinya pacaran itu. Saya tidak bisa membayangkan betapa runyamnya kalau waktu itu sudah tahu apa pacaran itu. Padahal beberapa cewek “geulis” itu ada yang mengirimkan sinyal kalau mereka suka saya, yang saya jawab dengan sifat pertemanan.
Tekanan beban kerja yang berlebihan di sekolah sering membuat saya menangis di sekolah. Saking seringnya sampai-sampai suatu saat pernah Ibu saya datang ke sekolahan dan mempermasalahkan ini dengan kepala sekolah. Hal lain yang membuat saya menangis adalah karena saya tidak bisa bertemu kakak saya, karena dia masuk pagi. Biasanya dulu di Ujung Pandang, kalau saya ada masalah di sekolah saya melapor ke kakak saya dulu. Tapi kali itu tidak! Belum lagi bullying yang saya terima setiap hari, otomatis ini membuat saya merasa sangat tersiksa.
Hal-hal itulah yang dikemudian hari membuat saya menjadi membenci watak-watak ala Jakarta seperti ini, yaitu merasa penduduk kelas 1, sok jagoan, sok pintar, ber-prejudice dan egois. Kebencian itu masih saya bawa hingga saat ini.
Eh, kalau itu kurang, rupanya saya juga punya pengalaman kurang menyenangkan kalau setiap hari minggu. Pernah suatu saat kita berjalan-jalan ke taman di Monas, melihat PRJ serta kegiatan-kegiatan yang ada di sana.
Pada saat kami sekeluarga mampir ke sebuah arena kegiatan sepatu roda, bapak saya tampak entusias sekali dengan kegiatan tersebut, dan langsung mendaftarkan saya dan kakak saya untuk ikut kegiatan itu, tanpa sepersetujuan saya atau kakak saya!
Waduh, padahal saya tidak punya minat dan bakat untuk mengikuti kegiatan itu. Begitu juga kakak saya, sama sekali tak tertarik. Tapi apa daya, kalau sudah bapak meminta sesuatu, kita harus melakukannya. Terserah kita suka atau tidak, sekali perintah tetap perintah (kaya tentara yah?).
Jadi semenjak itu kami setiap minggu dengkul kami selalu berlumuran darah karena terjatuh. Walaupun kami sudah berminggu-minggu mengikuti kursus sepatu roda itu, tapi kami tak pernah sekalipun naik ke tingkatan yang lebih tinggi. Biarpun mayoritas kawan-kawan seangkatan kami sewaktu masuk sudah banyak yang naik tingkat yang lebih tinggi, tetapi saya dan kakak saya tetap saja berada di tingkatan dasar, sampai kami berhenti mengikuti kursus sepatu roda ini.
Saya tidak ingat sudah berapa banyak celana saya yang habis, dan juga seberapa banyak dengkul saya yang habis, akibat terjatuh. Hal itu karena instruktur melarang kami memakai pelindung dengkul dan siku. Belakangan saya dengar apa yang diperintahkan instruktur itu bisa dibilang semacam pelanggaran hukum.
Di sisi lain, ada sedikit momen asyik, yang sebenarnya merupakan bukti paparan komersialisme terhadap anak-anak kecil seperti saya. Beberapa kawan sekolah, khususnya yang ikut antar jemput yang sama dengan saya, sering memamerkan koleksi mainan milik mereka. Mainan yang sering dipamerkan adalah merchandise dari film kartun M.A.S.K. dan Ghostbuster.

Contoh koleksi mainan dari karton M.A.S.K. Saya pernah memiliki jeep oranye di kiri bawah, serta mobil hitam di kiri atas.

Sayapun waktu itu cukup terpancing dengan bujukan seorang rekan yang suka menggebu-gebu memamerkan mainannya di mobil antar jemput, sehingga saya kemudian merengek-rengek ke orang tua saya untuk dibelikan mainan yang sama. Koleksi saya kemudian makin ke sini makin banyak, dan beberapa mainan tersebut masih ada yang bertahan hingga saya SMA di tahun 1996.
Hobby membeli mainan ini berhenti sewaktu saya pindah ke Surabaya, dan belakangan saya menyesali meminta dibelikan mainan ini.

KERETA API.
Sebagai railfans, rasanya tidak lengkap jika saya tidak menceritakan tentang kereta api di Jakarta pada periode itu. Waktu itu lalu lintar kereta api tidaklah seramai jaman sekarang. Beberapa stasiun kereta api kelihatan agak kumuh di jaman itu. Bahkan stasiun Gambir kelihatan cukup berantakan, karena saat itu sedang digarap proyek jalur layang KA antara stasiun Manggarai-Jakarta Kota.
Yang baru kali itu saya lihat adalah KRL, yaitu Kereta Rel Listrik. Kereta ini mirip KRD yang saya lihat di Surabaya, hanya mereka ditenagai listrik dari atas. Waktu itu rute KRL tidaklah sebanyak sekarang. Beberapa koridor yang kini dilayani KRL, waktu itu sama sekali belum dilayani KRL. Koridor KRL terpanjang waktu itu adalah koridor Jakarta-Bogor.

Warna KRL Jabotabek di tahun 1980an.

Sewaktu pertama kali melihat KRL, saya agak bingung juga melihatnya. Karena mereka tidak mengeluarkan bunyi mesin sama sekali.
Karena masih anak kecil yang enthusias dengan KA, saya ya waktu itu asal takjub saja. Penasaran ingin melihat seperti apa sih KRL ini dari jarak dekat. Malah pernah dalam suatu waktu saya berjalan kaki dari rumah ke stasiun Pasar Minggu dengan adik saya hanya untuk melihat KRL yang melintas di tepi jalan raya Pasar Minggu. Saya waktu itu tidak berhasil kesana, karena rupanya tempatnya lebih jauh dari dugaan saya. Dan kalau itu kurang, sesampainya kembali kerumah saya dimarahi ibu saya karena terlalu lama, dan waktu kembali sudah jam 11 siang (sudah mepet dengan waktu antar jemput sekolahan saya).
Pada periode ini saya juga pertama kalinya merasakan naik KA eksekutif di siang hari. Waktu itu saya ingat, suatu saat saya pernah menjemput nenek datang dari Surabaya di stasiun Gambir yang padat, dan melihat ada sebuah KA eksekutif dengan AC berbentuk box yang lumrah di jaman sekarang (waktu itu barang langka).

KA Parahyangan melewati jembatan Cisomang di tahun 1980an, dengan konfigurasi sama dengan yang pernah saya naiki di tahun 1989.

Saya waktu itu merengek pingin naik KA itu. Dan mungkin karena tiketnya tidak terlalu mahal, serta durasi perjalanannya yang tidak panjang, jadi orang tua saya mengabulkan permintaan saya.
Akhirnya sayapun sempat merasakan naik KA ini di kelas eksekutif. Perjalanannya terasa cukup enak. Begitu mendekati Bekasi, pemandangan sawah mulai mendominasi pemandangan. Dan begitu sampai di Cikampek, saya bisa melihat percabangan, dimana jalur KA tujuan Surabaya dan Bandung berpisah. Walaupun saya merasa agak aneh juga sewaktu kereta langsung masuk ke jalur yang diapit oleh rumah-rumah semi permanen yang rapat dengan rel. Serasa seperti masuk ke perkampungan saja....
Perjalanan itu juga adalah untuk pertama kalinya saya naik KA melewati pegunungan. Sayangnya, saya waktu itu tidak menyadarinya. Saya tidak sadar jika ternyata kursi terbaik adalah yang di sebelah kanan kalau dari Gambir. Tahu-tahu saja menjelang sampai begitu saya lihat ke kanan tiba-tiba saya takjub melihat lembah nun jauh di bawah kereta api, sesuatu yang pertama kalinya saya lihat di saat itu.
Saya juga sempat melihat stasiun Bandung utara yang rupanya waktu itu masih baru dibangun. Dan juga pelataran peronnya dipenuhi taman-taman yang cantik. Luar biasa sekali.
Urusaan trainspotting waktu itu, selain KRL yang saya jelaskan diatas, cukup terbatas juga sebenarnya. Saya ingat beberapa kali pernah lihat waktu naik mobil dari Jakarta ke Bandung lewat tol Jakarta-Cikampek (waktu itu tolnya hanya sampai di Cikampek, dan di Bandung juga belum ada jalan tol).
Waktu itu begitu sewaktu mendekati gerbang tol Cikampek, saya melihat jalur KA Cikampek-Bandung di bawah jalan tol. Dan begitu keluar dari jalan tol, kita berbelok ke kanan, dan mengikuti jalan kereta api.
Saya waktu itu berharap-harap cemas apa bakalan ketemu KA. Akhirnya ketemu juga satu KA Parahyangan. Waktu itu saya cukup excited juga bisa lewat jalan yang bersebelahan dengan jalur KA. Nah tapi begitu mendekati sebuah perlintasan KA, tiba-tiba kendaraan diarahkan belok kiri (timur) ke arah Subang, dan saya tidak melihat jalur KA lagi sampai kota Bandung.
Pernah juga di Bandung, sewaktu bapak saya ingin ketemu kawan di daerah Cimahi, saya melewati daerah dimana ada jalur KA dobel track yang terletak di pinggir tebing. Belakangan saya tahu daerah itu bernama Gadobangkong di dekat Padalarang.

Situasi stasiun Gambir di tahun 1988 atau 1989. Perhatikan pilar bakal calon jalur layang di sebelah kiri atas.

Terkadang kalau ada keluarga yang datang, saya juga ikut menjemput atau mengantarkan mereka, baik di stasiun Jakarta Kota ataupun Gambir. Saya juga pernah melihat sebuah KA full kelas bisnis, tapi gerbong belakangnya gerbong KRD dengan warna yang sama. Belakangan saya tahu kalau KA itu adalah KA Cirebon Ekspress.

KA Bima bersiap berangkat dari stasiun Jakarta Kota.

Keluarga kalau datang ke Jakarta biasanya kalau tidak menggunakan KA Mutiara Utara, ya menggunakan KA Bima. Kedua KA itu pada waktu itu adalah KA eksekutif yang ada.

PESAWAT.
Saya juga sebagai penggemar pesawat terbang rupanya mengalami beberapa momen yang cukup menarik. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya perjalanan pindahan dari Ujung Pandang ke Jakarta itu sebenarnya adalah terakhir kali saya menaiki pesawat Airbus A300B4FFCC Garuda. Selain itu juga perjalanan pindahan dari Jakarta ke Surabaya adalah terakhir kali saya naik DC-9 milik Garuda.
Saya juga terkadang suka spotting di bandara Cengkareng, kalau sedang mengantar atau menjemput bapak saya yang sedang berdinas keluar kota. Waktu itu bandara Soekarno Hatta hanya terdiri dari Terminal 1 saja. Itupun dibagi tiga, yang masing-masing untuk destinasi berbeda.


Fokker-28 GIA, siap berangkat dari terminal 1C Bandara Soekarno-Hatta. Dilihat dari anjungan pengantar.

Terminal 1A diperuntukan untuk maskapai asing dan penerbangan Internasional. Terminal 1B dipakai untuk Garuda baik untuk penerbangan Internasional (jarak dekat atau menengah) maupun penerbangan domestik yang menggunakan pesawat besar seperti ke Medan atau Menado, dan Terminal 1C dipakai untuk penerbangan domestik menggunakan pesawat-pesawat kecil.
Karena waktu itu maskapai besar jumlahnya bisa dihitung dengan jari, serta bandara Halim Perdanakusuma masih ramai, maka kapasitas bandara Cengkareng sangatlah memadai pada waktu itu. Tidak seperti sekarang yang walaupun ukurannya sudah 2x lipat dari waktu itu, tetapi sudah overcrowded karena jumlah maskapai penerbangannya banyaknya tidak ketulungan.

Pesawat Airbus A300B4 FFCC Garuda di terminal 1B Cengkareng.

Dan yang cukup menyenangkan, diatas bangunan terminal ada anjungan pengantar dimana kita bisa melihat aktifitas pergerakan pesawat terbang di Cengkareng. Saya paling takjub jika melihat pesawat-pesawat badan lebar dari maskapai asing atau Garuda mendarat atau lepas landas. Hanya pada saat itu saja saya bisa melihat pesawat Boeing 747 (-200) beraksi, dari jarak dekat. Atau maskapai-maskapai seperti KLM, Singapore Airlines, Malaysian Airlines, dan sebagainya beraksi. Anjungan pengantar ini hingga kini masih ada, tetapi pemandangannya sudah berbeda, karena lebih didominasi maskapai LCC lokal.
Rumah saya juga terletak di dekat bandara Halim Perdana Kusuma, sehingga setiap pesawat yang lepas landas dari sana pasti lewat diatas rumah. Hal itu pasti selalu memancing rasa ingin tahu saya, sehingga saya sering berlari, entah ke depan atau belakang rumah, hanya untuk melihat pesawat yang take off. Hal itu membuat orang tua saya geleng-geleng heran.
Kalau sudah ada acara seperti HUT TNI, sudah pasti kita saya sering melihat pesawat tempur berseliweran diatas rumah. Apalagi suaranya yang menggelegar membuat saya berdebar-debar melihat mereka. Pesawat-pesawat seperti A-4 Skyhawk, F-5 Tiger, dan Hawk MK.53 memiliki suara yang jauh lebih bising daripada pesawat tempur jaman sekarang.
Saya juga cukup beruntung sempat melihat pesawat Tornado ADV yang diuji terbang diatas Jakarta, dalam rangka ditawarkan ke TNI-AU yang sedang mencari pesawat tempur baru. Walaupun kemudian pesawat itu kalah dengan F-16.
Selain itu kalau sudah musim haji, banyak sekali pesawat-pesawat badan lebar yang lewat diatas rumah, seperti Boeing 747-200, DC-10, A300, dan juga Boeing 707 milik TNI-AU. Beberapa diantara pesawat komersial itu (khususnya DC-10) ada yang masih memakai strip merah. Belakangan saya tahu kalau yang strip merah ada yang milik Martinair Holland yang memiliki livery sama dengan corak GIA sebelum putih-biru.

Beberapa kawan sekolah saya adalah anak dari pilot-pilot Garuda yang tinggal di kompleks perumahan Garuda Indonesia yang terletak di utara Pasar Minggu (sekarang kompleks ini jadi kompleks perumahan Bakin di Pejaten Timur).
Mereka sering bercerita pengalaman mereka diajak orang tua mereka berpergian ke luar negeri, sebagian termasuk menemani ayah mereka berdinas. Ada juga yang katanya pernah ikut naik pesawat Concorde bersama orang tua mereka.

KEHIDUPAN KELUARGA.
Berhubung kami tinggal jauh dari keluarga besar kami di Surabaya, maka perasaan kangen dengan kumpul keluarga besar itu pasti ada. Apalagi lebaran tahun 1987 dan 1988 kami merayakan lebaran diluar Surabaya. Oleh karena itu kami merayakan lebaran dengan kawan-kawan bapak saya.
Tapi untuk mengobati kerinduan, kebetulan adik bapak saya yang paling bungsu juga berdomisili di Bekasi, sehingga kumpul keluarga dengan paman saya adalah sesuatu yang bisa memupus rasa kangen akan kampung halaman.
Terkadang nenek juga datang mampir ke Jakarta dan menginap sehingga memupus rasa kangen akan kampung halaman. Pernah sekali juga kakak bapak sekeluarga datang ke Jakarta menggunakan....kapal! Yup, pada jaman itu, layanan kapal penumpang Jakarta-Surabaya masih ada.
Kalau sudah keluarga datang ke Jakarta, pasti kami akan pergi berjalan-jalan ke tempat wisata yang ada disana. Biasanya yang jadi favorit adalah Dunia Fantasi, TMII, atau Puncak. Khusus dua yang terakhir, suasananya berbeda jauh dengan sekarang. TMII waktu itu masih sama megahnya dengan TMII, sementara Puncak masih lebih asri dan alami daripada sekarang, walaupun macet di akhir minggu waktu itu sudah ada.
Pernah juga sekali saya ikut menemani adik ibu saya yang menjalani operasi di RSCM karena usus buntu. Waktu itu kami ikut merawatnya, setelah sembuh dari operasi.

MEDIA.
Di Jakarta ini saya mengalami apa yang pas disebut pergeseran selera media. Di Jakarta ini selera musik saya bergeser dari aliran rock ke arah musik pop. Dulu waktu saya di Ujung Pandang suka dengan yang namanya Europe, Bon Jovi, atau Van Hallen; di Jakarta saya malah lebih suka dengan Rick Astley, Kylie Minoque, Level 42, dan sebagainya.
Di Jakarta juga untuk pertama kalinya saya melihat acara TV selain TVRI yang kebanyakan jargon dan propaganda pemerintah. TV itu adalah RCTI yang merupakan TV swasta pertama di Indonesia.
Beda dengan TVRI, RCTI benar-benar mengutamakan rating penonton. Acaranya dibuat sebagus mungkin dan spektakuler. Konsekuensinya itu adalah pertama kalinya saya melihat iklan di TV semenjak TVRI menghentikannya di sekitar tahun 1982-1983 silam. Itu juga merupakan TV pertama yang tidak memungut iuran TV seperti TVRI. Dia bisa hidup karena dua hal: dekoder dan iklan. Iklan yang dipajangpun banyak iklan dari luar negeri (biasanya Singapore atau Hong Kong, walaupun terkadang ada yang dari Amerika dan Eropa juga).
Acara TV nya full acara barat, walaupun RCTI masih tetap terkena TV Pooling yang mewajibkan dia menayangkan siaran Berita Nasional dan Dunia Dalam berita dari TVRI.
Kalau sebelumnya acara favorit saya adalah teater boneka Si Unyil, semenjak ada RCTI, acara TV favorit saya adalah kartun Ghostbuster dan Ducktales. Sebagai akibatnya saya pun berhenti meminta berlangganan komik Bobo dan Donald Bebek.
Kalau jaman dulu orang tua saya sangat membatasi saya untuk menonton TV, karena memang tidak ada yang bisa dilihat, kali ini malam-malam tertentu (asal tidak ada ujian) orang tua saya memberi kebebasan untuk menonton acara TV di malam hari seperti Airwolf (Kamis) atau MacGyver (Jumat). Dan setiap sore, juga ada acara kartun Hulk Hogan yang sering saya tonton. Namun sayang, ada satu acara yang bagus, tapi cuman pernah saya lihat sekali, yaitu Disney Cartoon program yang sayangnya hanya ditayangkan Minggu malam jam 8 malam, bebarengan dengan waktu les saya.
Saya juga mulai up-to-date dengan musik-musik Top 40 Barat, berkat adanya acara American Top 10 yang dipandu Casey Kasem. Saya lupa jam tayangnya, tapi acara itu termasuk acara favorit saya. Kalau itu kurang, biasanya antara jam 7.15 malam hingga 7.30 malam, slot kosong antara berakhirnya acara berita nasional, dangan mulainya acara berikutnya sering diisi lagu-lagu pop barat yang lagi hit di saat itu. Yang jadi favorit adalah “Tracie” dari :Level 42 dan “Rocket” dari Def Lepard. Selain juga ada beberapa video klip lain yang favorit seperti dari Rick Astley dan Kylie Minoque (termasuk “Especially for You” yang duet dengan Jason Donovan).
Beberapa klip acara itu banyak yang saya rekam ke video, dan hingga kini masih saya simpan.
Orang tua saya sering menyetel radio setiap hari yang sering memutar lagu-lagu yang ngetop di saat itu. Belakangan saya ngeh siapa saja penyanyinya: Matt Bianco, Rick Astley, Bob James, The Communards dan Swing Out Sister. Walaupun ada juga beberapa yang hingga kini tidak saya kenal.

THE END.
Saya tidak menduga bahwa masa tinggal saya di Jakarta ternyata tidak lama. Bahkan termasuk yang paling pendek dari semua tempat yang saya tinggali.
Seusai kelulusan kelas (saya masih ingat bagaimana si pak Yustus memandang saya aneh dan hina sewaktu saya memberi hormat selamat tinggal), bapak saya memberitahu bahwa kami akan sekeluarga akan pindah ke Surabaya kurang lebih sebulan setelah kegiatan sekolah saya selesai.
Sebelum pulang, saya menyempatkan untuk merekam acara-acara favorit saya di TV, khususnya yang kartun.
Tak lama kemudian satu persatu barang-barang kami mulai dipack dan kami pindah ke Surabaya...Kota Kenangan...Kota Kenangan.

EPILOGUE.
Apa saja yang terjadi dengan lingkungan saya seusai saya meninggalkan Jakarta di tahun 1989?
Rumah kami di Pejaten kemudian dijual kepada seorang ekspatriat asal Filipina yang bernama pak Jesus. Nama ini punya arti yang sangat dalam dan religius bagi kaum Nasrani, dan saya waktu itu agak kaget juga mengetahui nama orangnya. Ha...ha..ha..
Kompleks perumahan Bank Niaga di tahun 1990an kemudian “bubar”, dalam artian bahwa kompleks itu bukan ekslusif untuk karyawan bank Niaga tapi sudah merupakan perumahan umum.
Lahan kosong di sebelah rumah saya kemudian dibangun perumahan. Begitu juga daerah di sekeliling Jakarta yang dulu masih berkesan “rural” kini sudah mulai padat bangunan.
Jakarta makin lama makin padat, bahkan semenjak tahun 1990an, perjalanan dari satu titik ke titik lain di Jakarta bisa memakan waktu minimal 2 jam!
Saya masih sering ke Jakarta untuk mengenang lingkungan kehidupan saya di Jakarta dulu, tetapi keinginan saya untuk melihat bekas rumah saya serta bekas sekolah saya hingga kini masih belum kesampaian.

11 komentar:

  1. Terima kasih atas sharing pengalamannya. Dari dulu saya penasaran bagaimana situasi ibu kota jaman 80an bila dibandingkan dengan jakarta jaman sekarang. Jakarta sekarang lebih semrawut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jumlah sepeda motor masih sangat sedikit, apalagi anak2 kecil (katakan SD) belum diperbolehin ngendarain motor... Metro Mini bolehlah sdh merajai ruas - ruas jalanan di ibukota... Becak dan delman masih berkeliaran, apalagi bemo dan bajaj... Asap knalpot pun memang sudah byk kala itu meski (mungkin) gak separah sekarang... Katakanlah ruas jalan spt arteri Pd Indah dan Jl Tentara Pelajar saja baru hadir di awal-awal tahun 1990-an...

      Hapus
  2. Sharing yang mantap... Kalo sy kebetulan campuran jg tp konon ada darah Arab-nya sih... hehe... Tp sy lahir, besar dan berkembang di Jakarta... Mk sdh sewajarnya sy hrs berjuang demi Jakarta... Kl sampeyan cukup memantau dr jauh, tp sy berbeda... Apa yg kurang di Jkt serasa ingin sy perjuangkan... Terutama persoalan kemelut wajah transportasi kita... Jakarta tak akan berkembang cepat tanpa adanya transportasi umum yg menyehatkan... KRL AC Commuter LIne kini single trip, Mtero 'Miris' menjd saingan Kopa'rah' yg sdh punya bus AC... bahkab monorail (konon) akan segera dibangun meski si Kumis Tebel cm mewacanakannya saja...

    Sbg org biasa, sy sgt antusias melihat byknya komunitas di sekitar sy spt Koalisi Pejalan Kaki yg membela hak pr pejalan kaki yg dirampas oleh pr setan jalanan (bulan puasa setan ginian gak dikerangkeng), Solidaritas KRL Yang Lebih Baik dan msh byk lagi... Itu menginspirasi sy bhw Jakarat bs lebih baik berkat kehadiran mrk... Jg Edan Sepur yg rela menjd relawan di saat musim mudik... Itu semua warna yg ada di DKI Jakarta...

    Mengenai masa2 nostalgia sampeyan, mungkin ada bbrp yg terlupakan, spt keberadaan petak rel KA Tj Priok - Gudang Kota yg dulu melintasi Jl. Gn Sahari yg kini cm menyisakan bekas berupa jemb KA di atas kali Ciliwung, keberadaan bus tingkat PPD, Taman Ria Monas, itu semua sy alamin di masa2 kejayaannya yg skr mrk sudah punah... Sgt sgt sgt rindu akan kehadirannya...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Apakabar penulis blog ini sekarang? ceritain dong masa kuliah sampai sekarang.

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  6. Pengalamn yang menarik, semoga blognya terus berkembang... Saya ingin berbagi artikel tentang Castello Sforzesco di Milan di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/02/milan-di-castello-sforzesco.html
    Lihat juga vlog di youtube https://youtu.be/78pAFuUkfig

    BalasHapus
  7. Mantap pisan sharing nya mas Bagus...walau waktu terus berjalan namun kenangan akan terus mengikuti 👍🏻👍🏻👍🏻

    BalasHapus
  8. min, perlintasan tahun 1980-an kayak sekarang ya?

    BalasHapus