Rabu, 22 September 2010

TRIP REPORT DUA DUNIA: Pulang Kampung di Lebaran 2010.

Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, lebaran kali ini saya juga pulang kampung, ke “kampung halaman” saya di Surabaya untuk berlebaran dengan keluarga saya, setelah merantau cukup lama di Bandung.

Persiapan perjalanan pulang kampung sudah saya lakukan dari awal bulan puasa. Mulai dari pembelian tiket pergi dan balik, hingga sudah saya lakukan dari awal bulan puasa.

Namun sayang sekali, saya mungkin kurang beruntung saat itu. Tiket kereta api pada hari terakhir puasa sudah habis (bahkan sangat cepat sekali), sehingga akhirnya saya terpaksa naik pesawat terbang. Tiket pesawat terbang juga terhitung sangat mahal sekali. Jika tahun lalu harga tiket pesawat Merpati harganya sekitar Rp 700.000,- , tahun 2010 ini harga tiketnya diatas 1 juta rupiah. Akhirnya saya memilih membeli tiket pesawat Sriwijaya Air yang agak murah, walaupun harganya tetap saja lebih mahal: yaitu Rp 960.000,- ! Dan ini cukup untuk membuat saya cukup bangkrut pada hari menjelang lebaran, sehingga saya tidak membeli oleh-oleh sama sekali untuk keluarga di Surabaya.

Saya juga sudah membeli tiket balik sebulan sebelumnya. Walaupun saya membeli tiket untuk jadwal beberapa hari setelah lebaran, tetapi tetap saja untuk tiket kereta api harganya lumayan mahal, yaitu Rp 380.000,-


Pulang Kampung Dengan Sriwijaya Air (9 September 2010).


Berangkat ke Airport.

Sebenarnya selama bulan puasa, jadwal tidur saya agak terganggu. Karena setiap hari saya harus bangun sebelum subuh (sekitar jam 3) untuk makan sahur, maka otomatis saya selalu “bangun pagi” pukul 11!

Padahal penumpang Sriwijaya Air harus check in di airport Bandung paling lambat pukul 8 pagi. Ini masih sedikit lebih santai daripada jika naik pesawat Merpati, dimana anda harus check in pukul 5 pagi!

Pada hari keberangkatan itu, awalnya saya berniat untuk tidak puasa (dengan alasan Musafir). Dan walaupun saya juga bangun pagi pukul 5, serta tidak sahur, saya tetap saja menjalankan ibadah puasa saya.

Setelah mandi dan mengepak barang saya, sayapun langsung bertolak menuju ke bandara Hussein Sastranegara yang terletak tak begitu jauh dari rumah saya di Sarijadi, Bandung.

Dengan menumpang motor salah seorang karyawan saya, sayapun bergerak menuju ke bandara Hussein. Hari masih pagi sekali, dan terasa cukup dingin. Karena sudah menjelang lebaran, saya perhatikan suasana kota terasa cukup lengang dan tak ada kemacetan sama sekali.

Kami cukup beruntung juga karena pagi itu tidak ada polisi yang berpatroli, mengingat saat itu saya tak memakai helm. Selain itu Polisi Militer yang berjaga sepertinya tak tertarik untuk menyetop pengendara motor yang tak memakai helm.

Akhirnya kami sampai juga di terminal bandara Hussein yang kecil. Karyawan sayapun pamit ke saya sebelum melanjutkan perjalanannya untuk belanja ke pasar. Saya langsung berjalan masuk menuju ke dalam terminal bandara.

Ukuran bangunan terminal bandara Hussein yang sangat kecil mengakibatkan mayoritas ruangan di dalam bandara diperuntukan untuk operasional bandara saja, yaitu untuk counter check in, ruang tunggu, dan kantor-kantor operasional bandara. Tak ada fasilitas belanja yang banyak, atau anjungan pengantar di dalam bandara. Bahkan di pintu masuk terminal sudah ada perangkat X-ray dan pemeriksa bawaan penumpang.

Begitu masuk, saya langsung menaruh semua barang saya di alat X-ray scanner. Namun begitu melewati detektor logam, sempat terjadi insiden kecil: walaupun semua barang logam sudah saya tanggalkan, tetap saja detektor berbunyi. Sang petugas langsung bertanya “Pakai safety shoes ya?” Saya langsung mengiyakan, dan saya dipersilahkan untuk ke kounter check in.

Tidak seperti tahun lalu, dimana semua counter check in di sebelah saya dijejali antrian penumpang yang mau berangkat, kali ini hanya counter check in Sriwijaya air yang agak penuh.

Hal ini dikarenakan tidak ada jadwal penerbangan selain Sriwijaya Air yang berangkat pada waktu yang sama. Pesawat Merpati sudah berangkat beberapa jam sebelumnya, sementara Air Asia tujuan Singapore baru berangkat beberapa jam kemudian.

Antrian check ini tidaklah panjang, dan proses check in saya tak berlangsung lama. Malah tak satupun barang saya yang saya masukkan ke bagasi, karena tas bawaan saya ternyata beratnya dibawah berat maksimal bawaan ke kabin, sehingga semua barang akhirnya saya bawa ke kabin.

Namun hal itu malah merepotkan saya karena saya membawa sendok penumis gorengan yang agak besar.

Seusai check in, saya menyempatkan diri untuk memotret hall check in bandara. Walaupun sebenarnya tak menarik, tapi kapan lagi bisa memotret beginian, mengingat saya hanya naik pesawat setahun sekali. Dan tingginya harga tiket pesawat membuat saya memutuskan untuk tak naik pesawat lagi di lebaran tahun berikutnya.


Suasana counter check in bandara Hussein Sastranegara.


Kemudian saya langsung menuju ke kounter airport tax, dan lalu naik keatas ruang tunggu. Sebelum masuk ruang tunggu, saya sempat disuruh untuk memeriksakan barang lagi di X-ray.

Pada saat saya mau memasukkan barang, sempat terjadi insiden kecil, dimana sendok besi saya menghantam frame aluminium pintu masuk, sehingga membuat suara keras mirip ledakkan petasan. Suara itu rupanya cukup membuat kaget petugas pemeriksa, sehingga dia memeriksa keadaan sekitar sebelum mempersilahkan saya masuk ke ruang tunggu.


Menunggu.

Di ruang tunggu beberapa calon penumpang pesawat Sriwijaya air sudah menunggu. Beberapa diantaranya tampak ada yang tertidur.

Dari jendela ruang tunggu ini saya bisa melihat pemandangan landasan parkir bandara Hussein Sastranegara, lengkap dengan landasan pacu, serta pabrik IPTN, dan dua gunung berapi yang menjadi landmark kota Bandung: gunung Burangrang dan gunung Tangkuban Perahu.


Suasana ruang tunggu bandara Hussein Sastranegara, Bandung.


Landasan parkir tampak sepi. Hanya ada satu pesawat yang ada di situ, yaitu pesawat Boeing 737 milik Air Asia. Pesawat itu sendiri juga tampaknya dalam kondisi “tidur” karena semua pintunya tertutup, dan lampunya mati.

Tak ada pesawat lain yang terlihat, karena memang tak banyak perusahaan penerbangan yang melayani penerbangan ke Bandung. Penerbangan perintis di Jawa Barat sendiri juga sebenarnya kurang laku, karena orang lebih memilih naik kendaraan darat untuk menjangkau tempat-tempat lain di Jawa Barat.

Saat itu baru pukul 8.30 pagi. Langit terlihat cukup cerah, sehingga gunung Tangkuban Perahu dan gunung Burangrang terlihat jelas sekali. Langit yang biru serta pegunungan yang ada di sekitar bandara mengingatkan kita kalau Bandung memang dikelilingi pegunungan.

Namun pemandangan ini menyembunyikan kesan kalau dibalik itu semua, sebenarnya kita berada di kota Bandung yang padat dan semrawut.


Landasan parkir bandara Hussein Sastranegara, dengan pabrik IPTN dan gunung Tangkuban Perahu dan Burangrang di latar belakang.


Berdasarkan jadwal, semestinya pesawat Sriwijaya Air datang dari Surabaya pukul 9 pagi. Tapi hingga pukul 9.30 (jadwal boarding!) saya masih tetap belum melihat wujudnya. Saya pikir aneh juga kalau datangnya terlambat, mengingat cuaca hari itu cukup cerah.

Menunggu di ruang tunggu bandara Hussein terasa cukup membosankan. Acara TV yang tak menarik, fasilitas hiburan yang minim, serta absennya sinyal WiFi membuat saya merasa lekas bosan.

Dan selama menunggu ada perasaan bahwa perjalanan ini bisa saja berakhir celaka. Hal ini mungkin terjadi karena memang saya agak takut terbang. Kontras dengan di dekade 1990an, dimana sewaktu saya masih demen pesawat, saya selalu excited untuk terbang.


Setelah menunggu lama, tiba-tiba sekitar jam 9.55 pesawat Sriwijaya itu datang juga. Saya rupanya tak begitu menyimaknya. Tahu-tahu saja pesawat Boeing 737-200 itu sudah mendarat.

Mungkin saya agak kurang beruntung juga hari itu karena biasanya pesawat Sriwijaya berangkat paling lambat pukul 10.00.


Pesawat Sriwijaya Air yang baru datang dari Surabaya.


Tak lama setelah mendarat, pesawat langsung menuju ke posisi parkirnya di seberang bangunan terminal bandara, dan kemudian menurunkan penumpang dan bagasinya. Saya juga melihat para teknisi sibuk memeriksa kondisi pesawat dan mengisi bahan bakarnya.


Penumpang dari Surabaya tujuan Bandung turun dari pesawat.


Take Off!

Kurang lebih setengah jam kemudian panggilan boarding pun diumumkan. Para penumpangpun langsung berbaris untuk menuju ke pesawat. Beberapa diantaranya terlihat tidak sabar untuk segera naik ke pesawat.


Suasana saat boarding. Mayoritas penumpang sudah masuk pesawat saat foto ini diambil.


Selama berjalan menuju ke pesawat, saya menyempatkan diri untuk memotret pemandangan di sekitar apron bandara. Terlihat pesawat Air Asia sudah mulai disiapkan untuk penerbangan siang.


Pesawat Boeing 737-300 Air Asia di apron bandara Hussein Sastranegara.


Sewaktu saya melihat ke belakang, saya perhatikan ada seorang penumpang yang wajahnya mirip Manohara, hanya saja orangnya agak kurus.


Para penumpang bersiap untuk naik pesawat. Yang pakai tank top putih wajahnya mirip Manohara. :-)


Begitu dekat ke pesawat, saya langsung naik lewat tangga depan pesawat. Sebelum naik, saya sempat terkejut sekali melihat adanya tumpahan bahan bakar persis di bawah badan pesawat. Terlihat bahan bakar menetes deras dari badan pesawat. Entah itu normal atau tidak, tapi saya sebenarnya merasa cukup ngeri juga melihat pemandangan itu.

Untungnya, di jaman sekarang merokok di pesawat dilarang. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ada yang merokok saat itu....


Tumpahan yang menetes dari dalam pesawat. Bahan bakar kah..?


Begitu masuk pesawat, saya langsung disambut oleh pramugari setengah baya yang mengarahkan saya ke kursi saya. Suasana di dalam kabin pesawat terlihat cukup sesak. Beberapa penumpang terlihat sibuk memasukkan bawaan mereka ke rak bagasi diatas. Yang membuat saya terkejut, rupanya rak bagasinya cukup kecil dibandingkan dengan rak bagasi pesawat Boeing 737-300 Merpati yang saya naiki tahun sebelumnya. Diperparah lagi bahwa rak bagasi diatas kursi saya sudah dijejali barang bawaan orang lain.

Untungnya pramugara yang ada di situ cukup sigap menolong saya, sehingga akhirnya barang bawaan saya kemudian ditaruh di rak bagasi agak kebelakang. Namun tas ransel saya harus saya bawa ke kursi, karena di rak atas sudah habis. Tadinya saya menaruhnya pas dibawah kaki, agar kaki saya bisa saya rentangkan. Tapi pramugara menyuruh saya agar menaruhnya di depan demi keamanan, sehingga terpaksa kaki saya lipat.

Kursi di dalam pesawat ini sangatlah sempit. Jarak antar kursi sangatlah dekat sampai dengkul saya menyentuh kursi di depan, walaupun pantat saya sudah merapat ke kursi.


Ruang kaki di dalam pesawat Sriwijaya Air yang sempiiit!!!


Dan yang lebih parah, di sebelah saya ada 2 penumpang yang fisiknya agak besar, sehingga saya tak bisa nyaman melebarkan kaki saya ke samping. Selain itu penumpang di sisi saya merasa tak nyaman kalau saya menoleh kearahnya, walaupun saya tak melihat dia sekalipun.

Walaupun saya memilih untuk duduk di jendela, tetapi saya tetap merasa tidak nyaman. Rupanya posisi jendelanya cukup rendah, sehingga saya harus membungkuk untuk melihat keluar. Tak seperti tahun sebelumnya, kali ini saya duduk di sebelah kiri, sehingga pemandangan saya didominasi pemandangan pantai utara pulau Jawa.

Jadi bisa dibilang suasana di kabin pesawat saat itu terasa cukup tak nyaman. Selain kabin yang terasa sempit bak kaleng sarden, ACnya juga terasa kurang manjur. Bahkan selama perjalanan saya tak bisa pergi ke toilet, karena jalannya terhalang.

Kira-kira 10 menit setelah semua penumpang masuk, pintu pesawat ditutup, dan tangga pesawat ditarik. Mesin mulai dihidupkan. Kaptain pilot memberikan pengumuman kepada para awak kabin untuk bersiap.

Saya tak ingat ritual apa saja yang dilakukan para awak kabin sebelum pesawat lepas landas, karena saya asyik melihat pemandangan keluar. Pesawat bergerak perlahan meninggalkan posisi parkirnya menuju landasan pacu.

Awalnya saya tak mengerti pesawat ini akan lepas landas mengarah ke timur, atau ke barat seperti waktu saya naik pesawat tahun lalu. Rupanya pesawat bergerak ke sisi timur landasan pacu, karena dia akan lepas landas ke arah barat.

Sayapun cukup senang juga, karena baru kali ini bisa melihat tempat dimana saya suka melihat pesawat lepas landas saat pulang kembali dari tempat kerja. Hanya kali ini saya melihat tempat itu dari dalam pesawat.


Jalan lintas Hussein, dari dalam pesawat Sriwijaya Air.


Dari dalam pesawat, saya bisa melihat banyak orang berkumpul di tempat itu, melihat pesawat yang saya naiki. Beberapa diantaranya ada yang membawa anaknya. Musim libur lebaran baru saja dimulai....

Pesawat berputar di ujung landasan. Kaptain pilot memberikan pengumuman kepada para awak kabin untuk bersiap lepas landas.

Setelah diam selama sekitar satu menit di ujung landasan, pilot membuka gas lebar-lebar, dan pesawat meluncur deras di landasan pacu. Karena saya jarang naik pesawat, sayapun merasa cukup ngeri melihat pesawat berjalan dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan sempat pucat pasi begitu melihat pesawat masih belum mengangkasa, padahal landasan sudah mau habis.

Tapi begitu melewati fasilitas TNI-AU di sisi landasa, pesawat mulai mengangkasa, dan kita meninggalkan kota Bandung.


Hanggar skuadron pesawat Hercules TNI-AU di Bandung.


Kebetulan di dekat ujung landasan pacu ada jalur kereta api, dan kebetulan ada KA lewat. Secara reflex saya langsung memotreti KA tersebut.


KRD Bandung Raya yang baru berangkat dari stasiun Cimindi ke Bandung.


Semakin tinggi pesawat, maka saya bisa melihat pemandangan bawah makin jelas. Pegunungan di selatan Bandung juga bisa terlihat jelas konturnya.


Daerah di sekitar Cimahi yang kelihatan padat, penuh pabrik.


Beberapa kilometer di atas Bandung Barat, pesawat berputar ke kiri, sehingga saya bisa melihat cekungan Bandung yang luas, tapi padat, lengkap dengan gunung-gunung yang mengelilinginya.


Cekungan Bandung, dilihat dari atas pesawat.


Dari atas situ saya bisa melihat kalau puncak gunung Tangkuban Perahu ternyata tidak benar-benar rata, dan ternyata cukup kompleks. Adalah beberapa perbukitan yang ada di sebelah puncaknya yang membuatnya telihat rata dari kota Bandung.

Uniknya, rupanya pesawat saya kemudian terbang tepat diatas bandara Hussein lagi, sehingga saya bisa melihat dan memotret areal di utara bandara Hussein yang saya lewati setiap hari menuju ke tempat kerja saya.

Saya bahkan bisa memotret seluruh daerah Sarijadi dan Setraduta dalam satu frame, plus layout bandara Hussein lama, dan beberapa pesawat mangkrak yang ada di utara airport.


Bandara Hussein Sastranegara dan daerah di utaranya, difoto dari atas.


Perjalanan berlangsung cukup cepat juga karena tak sampai 10 menit, pesawat sudah berada diatas daerah Cirebon. Dari pesawat, saya bisa melihat jika kota Cirebon tidaklah besar sekali. Bahkan saya juga bisa melihat secara samar-samar jalur kereta api di sekitaran Cirebon.


Kota Cirebon dari ketinggian 21.000 kaki. Perhatikan detail-detail di bawah.


Dan walaupun pesawat terbang dengan ketinggian yang cukup tinggi (21.000 kaki) tapi saya bisa melihat detail-detail dibawah. Termasuk jalur KA di pantai utara Jawa.


Daerah sekitar Pejagan.


Bahkan di daerah dekat Pekalongan atau Tegal saya bisa melihat dengan jelas KRD Kaligung yang berjalan ke arah timur.


KRD Kaligung difoto dari ketinggian 21.000 kaki.


Mendekati Semarang, pesawat makin berada ke dekat laut, sehingga yang saya lihat ke bawah hanyalah lautan saja. Saya tak bisa melihat areal di sekitar stasiun Plabuan yang terkenal itu. Kalaupun ada pemandangan hanyalah areal pelabuhan Semarang.

Memasuki perbatasan Jawa Timur, langit mulai gelap karena dipenuhi awan hujan. Saya tak bisa melihat pemandangan keluar dengan jelas, karena kabut mulai menjadi padat.

Kira-kira menjelang tengah hari, pesawat mulai mengurangi kecepatan dan ketinggian, sehingga pemandangan di bawah kelihatan lagi. Kali ini pemandangan di luar kelihatan familiar untuk saya. Rupanya pesawat terbang di daerah sekitar Mojokerto dan Krian.

Pengumuman memasang sabuk pengaman dinyalakan, dan para awak kabin mulai duduk di tempatnya masing-masing. Flap juga mulai dikeluarkan.Di bawah saya bisa melihat pemandangan di sekitar jalan Ahmad Yani di Surabaya, serta beberapa pemandangan persawahan di dekat bandara Juanda yang makin lama makin padat perumahan.

Beberapa saat kemudian, akhrinya pesawat mendarat dengan mulus di bandara Juanda, Surabaya. Kebetulan di landasan saya melihat sebuah pesawat Boeing 737-900 Lion Air yang menggunakan warna Boeing.


Boeing 737-900 dengan warna Boeing sedang menunggu giliran terbang.


Dan rupanya seperti tahun lalu, kali ini saya juga melihat sebuah pesawat Cathay Pacific di bandara. Hanya bedanya, jika tahun lalu ada 2 pesawat Boeing 777, kali ini pesawatnya hanya satu Airbus A330.


Pesawat Airbus A330-300 milik Cathay Pacific di bandara Juanda, Surabaya.


Perbedaan lainnya adalah kalau tahun lalu pesawat diparkir di apron, dan penumpang harus ke terminal menggunakan bis, kali ini pesawat diparkir di apron yang ada garbarata, sehingga turun dari pesawat, penumpang langsung berjalan masuk ke bandara, tanpa harus berhujan-hujan ria diluar.

Bandara Juanda terasa beda sekali dengan yang dulu. Suasananya cukup mirip bandara Cengkareng di Jakarta pada tahun 1980an yang lalu.

Seusai turun ke bawah, saya langsung dijemput oleh keluarga saya untuk pulang ke rumah....




Balik ke Bandung dengan Argo Wilis (16 September 2010).

Setelah menghabiskan seminggu berlebaran di Surabaya (ini adalah kunjungan terlama saya di Surabaya sejak tahun 2008), akhirnya saya kembali lagi ke Bandung.

Tak seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya dimana saya naik KA express malam Turangga, kali ini saya memilih naik KA express siang Argo Wilis. Alasan saya memilih adalah karena saya menginginkan suasana yang berbeda. Saya terakhir naik KA Argo Wilis dari Surabaya adalah tahun 2009 silam. Selain agar sesampainya di tujuan, saya bisa langsung tidur, tanpa harus menyita jadwal kerja saya.

Perjalanan ini sebenarnya juga diwarnai insiden kecil. Awalnya dalam perjalanan ini saya juga akan membawa 2 koli box berisi bumbu untuk jualan masakan di tempat usaha saya.

Sayangnya, petugas PT KA yang ada di situ mencegah saya. Dengan alasan bahwa saat itu PT KA melarang penumpang membawa bagasi besar saat musim Lebaran. Waktu saya minta apakah bisa dibawa di gerbong pembangkit, petugas menolak. Namun saya sempat naik pitam sewaktu satu petugas berkata bahwa ini “demi pelayanan.” Otomatis saya langsung marah-marah dengan berkata “Kalau ini memang demi pelayanan, mestinya dimudahkan, bukan dipersulit!!! Memangnya tahu apa kamu tentang pelayanan???”

Insiden ini baru berakhir setelah orang tua saya memutuskan untuk menarik kembali koli ini, dan mengirimkannya dengan jasa paket saja.

Oh ya, hal yang lupa saya ceritakan adalah, jika di jaman dulu penumpang KA Argo Wilis biasanya menunggu KA, kali ini sebaliknya. KA Argo Wilis datang 30 menit sebelum jam keberangkatannya. Jadi jika dulu KA ini menunggu di stasiun Semut (Surabaya Kota) kali ini KA Argo Wilis menunggu di stasiun Gubeng.

Setelah 30 menit menunggu, akhirnya KA Argo Wilis berangkat dari stasiun Gubeng tepat jam 7.30 pagi. Sayapun mengucapkan selamat jalan ke keluarga saya yang mengantar, dan kemudian duduk manis di tempat duduk saya.

Perjalanan antara Surabaya-Kertosono berlangsung biasa-biasa saja. Tidak ada yang menarik, dan saya lebih banyak duduk sambil mendengarkan koleksi lagu-lagu di handphone saya.

Hanya karena perjalanan berlangsung siang hari, maka saya bisa membandingkan pemandangan di sisi rel, jika dibandingkan dengan di sisi jalan raya.

Sebagi catatan, sewaktu saya pergi ke Nganjuk beberapa hari sebelumnya, saya melihat jika pemandangan di sisi jalan raya antara Surabaya hingga Jombang cenderung sangat urban karena sudah didominasi pabrik, perumahan, serta pelebaran jalan yang menghilangkan pohon-pohon peneduh di tepi jalan. Kontras dengan waktu saya kecil di tahun 1980an dan 1990an, dimana selain kita bisa berjalan santai di luar kota saat hari lebaran (karena waktu itu kemacetan jarang), pemandangannya masih cukup alami.

Sementara kalau naik kereta api, selepas daerah Sepanjang (antara Surabaya-Mojokerto) pemandangannya masih alami dan masih didominasi sawah. Jadi jika anda naik kereta api, lebih cepat untuk menemui pemandangan sawah, jika dibandingkan dengan naik mobil.


Pemandangan persawahan di sekitar Mojokerto.


Sesampainya di Kertosono, saya bisa melihat suasana di stasiun yang terlihat cukup ramai dan sibuk. Maklum, karena sedang musim arus balik Lebaran. Di pelataran stasiun juga terlihat dua lokomotif (CC203 27 dan CC201 17), serta sebuah lokomotif yang tak seberapa jelas kelihatan. Plus sebuah kendaraan perawatan rel. Di sebelah depo juga terlihat rangkaian KA Bangunkarta yang diparkir di sini.

Di Kertosono cukup banyak juga penumpang yang naik di sini. Bisa dibilang ¼ penumpang di gerbong saya naik dari sini.


Suasana di pelataran stasiun Kertosono.


Perjalanan dari Kertosono hingga Madiun bisa dibilang cukup menarik. Karena dari dalam kereta saya bisa melihat kepadatan lalu lintas di jalan raya di sebelah rel. Saya melihat mayoritas didominasi sepeda motor yang dijejali penumpang berlebihan. Dan sepeda motornya juga mayoritas jenis bebek.

Di Saradan, saya juga menyempatkan diri melakukan aksi berani dengan memotret kereta saya dari pintu. Sebenarnya aksi ini cukup berbahaya, tapi worth it untuk saya.


Di tikungan menjelang daerah Saradan.


Kira-kira di suatu tempat di sekitar Caruban, saya melihat pemandangan yang sangat langka sekali. Saat sedang santai duduk di kursi, tiba-tiba saya meliat benda-benda besar yang terbang formasi rapi di angkasa. Tadinya saya pikir itu gerombolan burung. Rupanya itu adalah formasi 5 pesawat tempur F-16 yang sedang latihan! Cepat-cepat saya ambil kamera saya dan akhirnya saya berhasil memotret 2 frame, walaupun yang kedua kelihatan kabur.

Setahu saya ruang udara di sektar Madiun memang tergolong daerah terlarang, karena itu adalah daerah militer, mengingat di dekat Madiun ada pangkalan udara TNI-AU, tempat dimana pesawat-pesawat F-16 tadi berbasis.


Formasi pesawat F-16 diatas Caruban.


Beberapa menit kemudian, kereta Argo Wilis yang saya naiki akhirnya sampai juga di stasiun Madiun.


KA Argo Wilis memasuki stasiun Madiun.


Saya juga menyempatkan diri untuk melihat ke pelataran pabrik INKA yang terletak di sebelah pelataran stasiun Madiun. Tapi saya perhatikan, tampaknya tidak aktivitas apapun di dalam, dan tidak ada gerbong-gerbong di pelatarannya. Tampaknya semua sudah dikirim.

Saya juga tak melihat ada satu lokomotifpun di dalam pabrik GE Lokindo, walaupun sebenarnya pada saat itu ada 2 lokomotif di dalam. Yang satu sedang dalam proses perakitan, sementara yang lainnya sedang dalam proses perbaikan ulang, setelah gagal dikirim saat sebelum Lebaran akibat cacat produksi.


Gedung pabrik General Electric di sebelah stasiun Madiun.


Di Madiun saya menyempatkan diri untuk keluar dan berlari ke depan rangkaian KA, agar bisa memotretnya. Rupanya KA saya ditarik lokomotif CC203 05.


KA Argo Wilis saat berhenti di stasiun Madiun.


Selain itu di Madiun saya perhatikan banyak sekali personil TNI-AU yang ikut naik di sini. Nampaknya mereka adalah para perwia yang akan sekolah di Bandung, serta mereka yang memang kembali berdinas setelah pulang kampung.


Para perwira TNI-AU di stasiun Madiun.


Saya sempat juga duduk di kereta makan dan ngobrol dengan para petugas restorasi di situ. Katanya saat berangkat ke Surabaya, kereta hanya terisi setengahnya saja. Namun kali ini kereta akan terisi cukup penuh.

Beberapa saat kemudian, kereta berangkat meninggalkan stasiun Madiun. Namun saya sekelebat melihat ada lokomotif BB301 warna putih yang bergerak perlahan di belakang depo lokomotif.

Wah, ini jelas lokomotif yang sedang berdinas ke jalur ke depo Pertamina. Jalur ini adalah salah satu dari sedikit jalur KA yang masih tersisia di Indonesia yang berhimpitan dengan jalan raya. Saya pun langsung bergegas ke pintu, dan tak menyia-nyiakan momen ini untuk difoto. Walaupun fotonya kurang sempurna, tapi masih cukup jelas untuk dilihat.


BB301 26 berusaha menghindari antrian di perlintasan KA. :-)


Seperti biasa, perjalanan dari Madiun ke Solo cenderung saya lewatkan dengan hal-hal seperti makan atau istirahat, mengingat pemandangannya yang kurang menarik.

Kita-kita menjelang pukul 12, kereta mulai memasuki kota Solo yang kelihatan lebih ramai dari biasanya. Bahkan pada saat kereta melewati stasiun Jebres, kelihatan jika stasiun itu terlihat sangat sibuk.

Tak lama kemudian kereta saya memasuki stasiun Solo Balapan. Walaupun tak ada yang istimewa dari kegiatan kereta, tetapi saya melihat bahwa beberapa peron sudah ditinggikan.

Perubahan juga saya lihat beberapa menit kemudian (setelah kereta meninggalkan Solo Balapan) di stasiun Solo Purwosari. Sekarang di stasiun itu sudah dipasangi oleh atap yang menaungi jalur-jalurnya. Walaupun atap itu merusak pemandangan (dan membuat keaslian aristektur stasiun itu terganggu) tapi rupanya itu perlu agar penumpang yang akan naik KA tidak kehujanan.

Saya tidak menemui KA uap Jaladara di sana. Malah sebaliknya, saya bertemu dengan KA KRDE Prambanan Express.


Bersilangan dengan KA Prambanan Express menjelang masuk stasiun Purwosari.


Jaman waktu pertama-tama saya naik KA Argo Wilis, perjalanan dari Solo ke Yogya termasuk yang paling menarik, karena disini kondisi track nya yang paling prima, sehingga masinis cenderung memacu lokomotif dengan kecepatan setinggi mungkin. Namun belakangan (termasuk pada perjalanan ini) saya tak merasakan hal yang istimewa di sini, karena sekarang kecepatan maksimal KA sudah dibatasi, selain juga karena beberapa jalur KA di daerah lain sudah diperbaiki (atau sebaliknya, seperti kondisi track disini sudah menurun?), sehingga perjalanan di bagian ini terasa tak istimewa.

Menjelang pukul 12.45, kereta Argo Wilis saya akhirnya masuk ke stasiun Tugu di Yogyakarta. Saya perhatikan stasiun Tugu juga tampaknya mengalami beberapa perombakan. Beberapa peron di selatan mulai diberi atap.


Peron-peron baru di stasiun Tugu, Yogyakarta.


Dan sebenarnya bangunan stasiun juga mengalami perombakan. Sayangnya saya tak bisa melihat itu karena posisi gerbong saya di ujung belakang rangkaian. Selain juga karena semua kursi di gerbong saya terisi penuh, sehingga saya tak bebas bergerak untuk melihat-lihat. Ditambah lagi durasi perhentian yang cukup sebentar.


Fasad stasiun Tugu, Yogyakarta.


Tak lama kemudian, kereta Argo Wilis bergerak meninggalkan stasiun Tugu Yogyakarta. Kereta berjalan cukup cepat selepas Yogyakarta. Tampaknya masinis sepertinya terburu-buru ingin lekas sampai Kutoarjo, agar bisa cepat istirahat. Karena di Kutoarjo masinis dari Surabaya akan digantikan masinis Bandung.

Sepanjang perjalanan dari Yogya ke Kutoarjo, saya perhatikan banyak sekali galian di sisi rel. Rupanya beberapa perlintasan liar tak berpintu mulai diganti oleh underpass.

Menjelang Kutoarjo kereta berhenti sejenak. Saya pikir agak aneh juga mengingat jalurnya ganda, dan jumlah peron di Kutoarjo cukup banyak.

Saya sempat keluar sebentar dan melihat dari pintu. Di kejauhan saya melihat ada sebuah KA yang berangkat dari stasiun Kutoarjo. Rupanya KA ini adalah KA Argo Wilis dari Bandung yang ditarik lokomotif CC203 03.


Bersilang dengan KA Argo Wilis dari Bandung, saat akan memasuki stasiun Kutoarjo.


Setelah KA ini lewat, baru kemudian kereta saya berjalan kembali dan kemudian memasuki stasiun Kutoarjo yang rupanya padat sekali. Sekarang saya baru mengerti kenapa kita tadi ditahan. Rupanya di sini sudah ada 2 kereta api ekonomi yang menunggu.

Salah satunya adalah kereta ekonomi yang dugaan saya merupakan KA tambahan yang diberangkatkan dari stasiun Tanah Abang di Jakarta. Hal ini saya perhatikan dari depo induknya yang bertuliskan “RK” atau singkatan dari Rangkasbitung di Banten sana. Beberapa gerbongnya juga mempunyai nomor cantik. Salah satunya di sebelah saya adalah gerbong dengan nomor K3-65555.


KA Ekonomi tambahan di stasiun Kutoarjo. Perhatikan nomor gerbong terdekat.


Sebenarnya di balik rangkaian ini ada satu KA ekonomi lagi yang rangkaiannya terdiri dari gerbong berwarna-warni “Nutrisari”. Dugaan saya ini adalah KA ekonomi Kutojaya rute Jakarta-Kutoarjo. Biasanya saya tak melihat KA ini di sini. Menurut perkiraan saya, semenjak ada KA ekonomi Bogowonto yang baru, KA ini jadwal berangkatnya berubah.


KA Kutojaya, menunggu giliran berangkat.


Tak ada even yang menarik antara Kutoarjo hingga Kroya. Pemandangan di daerah ini makin lama makin biasa menurut saya. Saya mengisi waktu saya dengan tiduran sambil mendengarkan musik.

Beberapa jam kemudian kereta sampai juga ke Kroya. Di sini ada juga beberapa penumpang yang naik. Sayangnya, karena posisi gerbong saya yang agak keluar stasiun, saya tak bisa memesan pecel Kroya yang terkenal itu, karena para pedagangnya lebih terkonsentrasi untuk berjualan ke tengah rangkaian.

Namun di depo lokomotif, saya melihat sebuah lokomotif besar yang dicat warna kuning hijau. Lokomotif itu adalah BB201 03. Saya sudah beberapa kali melihat lokomotif BB201 diparkir di Kroya. Tapi baru kali ini saya bisa membuat foto yang jelas dari lokomotif ini. Walaupun yang aneh, semua foto yang nomornya tak tertutup cenderung kabur. Sementara foto yang nomor lokomotifnya tertutup pohon cenderung jelas. Saya tak tahu kenapa....


BB201 03 di depo Kroya.


Saat nomor lokomotifnya tak kelihatan, entah kenapa, fotonya kelihatan lebih jelas.


Hal unik lain terjadi setelah berangkat. Waktu itu saya berniat untuk memotret jalur yang menuju ke Purwokerto dari atas kereta. Mumpung masih single track, karena katanya jalur ini mau dibuat double track di masa depan. Namun saat memotret-motret, tanpa saya sadari, rupanya di sebelah track ada seorang railfans remaja yang memotreti KA saya.


Awal jalur menuju ke Purwokerto. Perhatikan railfans di latar belakang.


Dan saya pun juga sempat memotret orang itu. Saya tak kenal siapa orangnya. Yang pasti wajahnya kelihatan tak terlalu ramah.


Railfans tertangkap basah saat beraksi :-p


Tak ada yang istimewa di sisa perjalanan. Apalagi saat kereta memasuki pegunungan Priangan, hari mulai gelap sehingga saya tak bisa melihat pemandangan keluar.


KA Argo Wilis di Tasikmalaya, saat cuaca mulai gelap.


Kalaupun ada highlight adalah saat kereta bersilangan dengan KA Turangga di Cicalengka. Selebihnya tak ada yang istimewa.


Bersilang dengan KA Turangga tujuan Surabaya di Cicalengka.


Akhirnya pukul 8 malam, kereta saya masuk ke stasiun Bandung, dan berakhir sudah perjalanan pulang kampung dan balik saya....



PENILAIAN

Berdasarkan pengalaman saya menggunakan dua transportasi yang berbeda tersebut, maka saya membuat penilaian tentang kelebihan dan kekurangan masing-masing moda transportasi tersebut. Penilaian saya usahakan seobyektif mungkin.


Rating:

***** Bagus sekali.

**** Baik.

*** Cukup.

** Kurang.

* Jelek.


KECEPATAN:

Pesawat : *****

Kereta: **


KENYAMANAN:

Pesawat : **

Kereta : ****


AKOMODASI (Fitur kenyamanan kabin).

Pesawat: *

Kereta : ***


TIKET (Harga berbanding nilai).

Pesawat: **

Kereta : ****


DESAIN INTERIOR:

Pesawat: **

Kereta: ***


KEAMANAN (Termasuk keamanan barang):

Pesawat : ****

Kereta : ****


KETEPATAN WAKTU:

Pesawat: **

Kereta: ****


PEMANDANGAN (Penilaian saat siang hari):

Pesawat: ****

Kereta: *****


PRAMUGARI:

Pesawat: *

Kereta: ****


PELAYANAN (Pelayanan diatas):

Pesawat: **

Kereta: ***


MAKANAN:

Pesawat: **

Kereta: ****


Berdasarkan Penilaian diatas, maka penilaiannya adalah:


NILAI AKHIR:

Pesawat: **

Kereta: ****

1 komentar: