Kegagalan saya memotret kedatangan CC204 16 beberapa hari yang lalu, memacu saya untuk membuat hunting loko baru yang berikutnya agar jauh lebih baik lagi. Bahkan kalau perlu, di tempat yang spektakuler. Apalagi lokomotif ini berikutnya punya nomor yang istimewa sekali: 17.
Setelah mempertimbangkan beberapa tempat, akhirnya saya memutuskan untuk hunting lokomotif ini di jembatan Cirahong saja. Tempat ini merupakan tempat hunting terjauh saya. Selain itu bentuk jembatannya yang unik pastinya membuat fotografi di sini menjadi istimewa. Dan juga karena KA Lodaya lewat tempat ini sekitar jam 3 membuat pencahayaan semestinya menjadi sempurna. Ditambah juga saat itu sedang musim kemarau.
Rencana disusun, dan tadinya saya berniat untuk mengundang beberapa kawan railfans, baik yang di Bandung maupun di luar Bandung, untuk ikut bareng saya. Hitung-hitung lumayan pergi jauh naik Zephyr yang ber-AC, daripada sepeda motoran panas-panasan. Apalagi saat itu lagi pertengahan bulan puasa. Selain itu, saya juga menyiapkan beberapa takjil untuk berbuka, seandainya kita masih di tengah perjalanan pada saat buka puasa.
Awalnya pak Tri serta kang Deden berniat untuk ikut dengan saya.
Nah, pada hari-H yang ditentukan, dan setelah mendapat konfirmasi dari orang GE dan INKA, saya menyiapkan segalanya. Sayapun menunggu kawan-kawan, apakah ada yang mau ikut? Saya juga mengontak kang Deden serta pak Tri. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba keduanya berhalangan.
Otomatis, akhirnya saya berangkat sendiri ke sana.
Sekitar pukul 10.50, saya langsung bertolak dari warung saya di Istana Plaza, Bandung, menuju ke jembatan Cirahong di Ciamis. Tetapi perjalanan saya tidak langsung ke sana, karena saya harus mentransfer uang di Bank untuk membayar tagihan.
Namun yang agak menjengkelkan, di perempatan jalan Padjadjaran-Pasirkaliki di depan IP, saya disemprit polisi! Lho? Padahal saya tidak melanggar apapaun! Sementara mobil di depan saya yang posisinya lebih mengganggu dibiarkan. Tetapi apakah saya menggubris si polisi? Tidak! Sayapun langsung tancap gas dan berhasil menghindari si polisi bermental pemeras itu.
Saya tak lama menyelesaikan urusan dengan Bank. Dan tepat jam 11 siang, saya langsung bertolak menuju ke Cirahong. Walaupun saya sempat mampir ke pompa bensin untuk memenuhi tangkinya Zephyr, perjalanan berlangsung cukup cepat.
Bahkan di tol antara Pasteur-Baros, Zephyr sempat melesat dengan kecepatan Supersonik, yaitu Mach 1,4 (huehehe..maksudnya sih 140 km/jam). Bisa dibilang, perjalanan berlangsung cukup lancar.
Tetapi yang sayang, di tol saya banyak menemui “pecundang”. Pecundang ini tak lain adalah truk kelebihan muatan yang berjalan dengan kecepatan sekitar 30-40 km/jam di jalan tol. Walaupun ada rambu yang menyatakan kecepatan minimal di tol adalah 60 km/jam, tetapi Jasa Marga tak pernah menindak pelanggar seperti ini karena mereka takut tak dapat pemasukan ekstra. Maklum, tarifnya truk adalah yang terbesar.
Sebenarnya, di luar “pecundang” itu, perjalanan saya relatif lancar. Bahkan bisa dibilang lebih lancar daripada biasanya. Bagaimana tidak? Di Cileunyi, Rancaekek, Kahatex, Cicalengka, dan Nagreg, saya tak menemui kemacetan, atau bahkan kepadatan sama sekali.
Saya bisa melancar dengan tenang sekali. Walaupun ada beberapa “bustard” dan “road f**kers / pecundang” yang menghalangi perjalanan saya (termasuk sebuah truk kelebihan muatan yang berjalan super pelan di Limbangan, serta sebuah mobil Mercy pengecut berplat-B yang ketakutan di jalan bertikungan), perjalanan berjalan normal.
Walaupun saya juga sempat merasa ketar-ketir karena melibas tikungan super pelan dengan kecepatan ekstra tinggi. Bahkan di salah satu tikungan, saya merasakan mobil saya terasa seperti mau terhempas dan terguling! Tetapi Alhamdulillah, saya selamat! Memang rupanya Zephyr memiliki kestabilan yang cukup bagus juga. Dan juga karena lindungan dari Allah SWT....
Setelah bergumul dengan beberapa ganguan, akhirnya saya sampai juga di stasiun Cipeundeuy, pukul 1 kurang. Saya sengaja berhenti di sini untuk beristirahat sebentar, serta untuk sholat Dzuhur. Seusai mengunci mobil, sayapun langsung masuk, dan melihat ada anak bongsor yang lagi enak tidur pulas di dipan.
Wah, rupanya itu si Bagus kecil. Sayapun iseng membangunkan dia. Dan rupanya dia tidak sendiri, di belakang saya ada kang Asep dan Dimas, yang cekikikan melihat saya.
Rupanya mereka sudah di situ lebih awal dari saya, yaitu sejak pukul 11. Bahkan mereka berangkat dari Bandung juga lebih awal lagi, yaitu pukul 8. Sambil mengerjar KA Lodaya pagi dari Bandung. Waduh..waduh... Saya cukup salut kepada mereka, bahwa di tengah cuaca panas dan puasa, mereka sanggup membela-bela waktu untuk melakukan hal seperti itu.
Saya menawati mereka, apakah mereka mau ikut dengan saya ke Cirahong. Awalnya mereka enggan, karena takut kehilangan momen. Apalagi menurut kang Asep, jalanan ke sana jauh dan macet.
Tetapi saya yakinkan juga bahwa terakhir saya lewat daerah itu (waktu hunting CC204 15) jalanan relatif lancar. Akhirnya mereka bertiga setuju untuk ikut saya hunting di Cirahong.
Setelah saya menyelesaikan sholat saya, kamipun langsung bertolak menuju ke jembatan Cirahong naik Zephyr. Perjalanan menuju ke Cirahong berjalan cukup lancar, bahkan lebih lancar daripada yang diharapkan, karena dalam waktu 40 menit, kami akhirnya tiba di jembatan Cirahong. Dan yang luar biasa, bensin mobil tetap penuh saja, walaupun sudah berjalan sejauh ini. (Bensin baru mulai berkurang pada saat berangkat kembali ke Bandung!)
Hanya saya merasa agak tegang sewaktu menyeberangi jembatan, karena baru kali ini saya menyeberangi jembatan dengan menggunakan mobil!
Begitu saya selesai memarkir Zephyr, kamipun langsung sibuk mencari spot yang bagus untuk memotret. Bagi kawan-kawan, ini adalah pertama kalinya mereka datang ke jembatan Cirahong ini. Jadi momen ini tersasa cukup istimewa.
Kontras dengan terakhir kali saya ke Cirahong (waktu hunting CC204 15), kali ini cuacanya cerah sekali. Begitu cerahnya, malah cenderung silau. Dan karena matahari sudah condong ke barat, maka otomatis kami harus berada di barat rel, kecuali kang Asep yang menemukan tempat lapang (bekas tempat foto saya waktu hunting CC204 15) di sisi timur. Sedangkan saya ke atas sebuah bukit di belakang warung. Dimas dan Bagus jr memotret dari pinggir jalan.
Hanya sayang, bukit tempat saya memotret jembatan ini di tahun 2007 silam, kini sudah tiada. Karena sudah dikepras untuk dijadikan sebuah restoran. Sayang....
Kami menunggu agak lama di sini. Terkadang ada saja suara kendaraan yang mirip suara kereta api yang lewat. Selama menunggu, kami juga menggunakan waktu untuk menset kamera, agar momen langka ini tidak lepas begitu saja.
Kira-kira beberapa menit menjelang jam 3, terdengar suara gemuruh dari arah timur. Benar juga, ada kereta berwarna putih berjalan mendekati jembatan. Sayapun langsung berteriak “Kereta!” ke kawan-kawan. Mungkin karena bising, kawan-kawan tidak mendengar teriakan saya.
Akhirnya beberapa detik kemudian kereta itu lewat. Dan benar juga, di depannya adalah lokomotif CC204 17 yang baru itu, dengan lokomotif CC204 08 sebagai pembantu.
Sayangnya, sudah barang umum bahwa warna putih lokomotif sekarang ini sebenarnya kurang bersahabat untuk light meter kamera kita. Apalagi kalau pakai kamera digital, dijamin akan “over” pencahayaannya. Terlebih jika lokomotif tersebut masih baru dan mulus...
Seusai memotret, kamipun langsung berkemas dan cepat-cepat balik menuju ke Cipeundeuy, agar bisa memotret KA ini lagi.
Cuman dalam perjalanan pulang, kami benar-benar beruntung, karena ada konvoy pejabat yang lagi lewat. Secara reflek, saya langsung mengarahkan mobil saya masuk ke konvoy itu, dan menyalakan lampu hazard saya. Huahahaha....
Otomatis, kami bisa ngebut sepuasnya, karena banyak bis yang minggir dan mengalah untuk memberi jalan kepada konvoy ini (dan kita, he..he..he...).
Tetapi beberapa kilometer mejelang Rajapolah, tiba-tiba konvoy ini berhenti mendadak. Rupanya ini adalah konvoy Menteri yang sedang meninjau penanganan korban gempa Tasikmalaya. Wah, saya sempat ketar-ketir, jangan-jangan penyamaran kami ketahuan nih. Rupanya tidak, karena kami hanya disuruh lewat saja oleh polisi. Tetapi paling tidak konvoi ini membuat perjalanan kami 10 menit lebih cepat daripada yang seharusnya.
Walaupun begitu, karena tergesa-gesa, sayapun tetap saja tancap gas. Bagus jr dan Dimas yang duduk di belakang langsung sport jantung, karena kata mereka gaya nyetir saya mirip sopir bis Akas di Jawa Timur sana. Bahkan pada momen tertentu, kita sampai berada 5 menit di depan KA Lodaya. Bagus jr juga merasa perutnya geli setiap Zephyr melibas gundukan besar dengan kecepatan tinggi.
Namun, keunggulan kita di depan KA Lodaya sempat terhalang oleh kemacetan di daerah Ciawi. Dan di sini kita sempat disalip oleh KA Lodaya. Bahkan juga terhalang oleh KA Serayu dari arah barat.
Tetapi saya tak patah arang. Selepas perlintasan, saya langsung berjuang untuk mencapai Cipeundeuy secepatnya. Walaupun itu berarti menakut-nakuti mobil dan sepeda motor yang berjalan lawan arah, dan menyalip mobil dan angkot di Tasik yang lambat tetapi tak mau mengalah. Bahkan sekali saya “bertengkar” dengan sebuah angkot, alias tak memberi jalan sepeserpun ke angkot itu, biar dia sudah mengklakson-klaskon dan kernetnya memberi tanda mau menyalip.
Kang Asep berkata bahwa mungkin posisi kita beberapa menit di depan KA ini lagi, karena biasanya di Cirahayu, KA agak susah menanjak.
Setelah melalui pergumulan yang melelahkan, akhirnya kami sampai kembali ke stasiun Cipeundeuy. Dan yang luar biasa, pas kita datang, PPKA stasiun Cipeundeuy langsung memberi pengumuman bahwa sebentar lagi KA Lodaya akan datang. Kamipun langsung cepat-cepat mengambil posisi untuk memotret KA ini.
Benar juga, sekitar 10 menit kemudian, KA Lodaya datang. Rupanya Fastha dan Doni ikut naik KA ini dari Tasik, dan mereka kemudian turun di sini.
Di Cipeundeuy, kereta berhenti agak lama, karena teknisi berusaha menyambung kabel MU. Rupanya saya juga bertemu pak Rudi yang merupakan kepala pengawas pabrik GE di Madiun. Tapi saya tak sempat menyapa beliau karena sedang sibuk bersusah payah menyambung kabel MU yang banyak dan berat. Akibatnya kereta berhenti agak lama di situ.
Selagi berhenti, kang Asep dan Dimas langsung berangkat lagi dan tancap gas ke Nagreg untuk mengejar momen foto. Sementara saya dan Bagus jr memilih untuk tetap saja di Cipeundeuy sampai KA berangkat.
Karena saya memang target hanya untuk memotret di Cirahong dan Cipeundeuy saja. Sementara Bagus jr memang sudah capek dan kepanasan.
Begitu KA berangkat, akhirnya petualangan berakhir. Fastha dan Doni kembali ke Tasik menggunakan colt. Sementara saya dan Bagus langsung kembali ke Bandung.
Saya tidak tergesa-gesa kembali ke Bandung, karena sudah tidak ada target yang dikejar lagi. Jadi sayapun menyetir pelan-pelan saja, juga agar si Bagus jr bisa tidur.
Namun di Cicalengka, kami bertemu kang Asep dan Dimas, yang baru saja memotret KA Lodaya tadi di Cicalengka. Rupanya mereka menggeser tempat, karena stasiun Nagreg sudah terlampau sesak seperti pasar, karena banyak orang yang “ngabuburit” di situ.
Kami berpisah di Cileunyi, karena saya lewat tol. Dan begitu melewati Buah Batu, adzan Maghrib datang, dan kamipun berbuka puasa didalam mobil dengan takjil yang sudah saya bawa.
Begitu keluar gerbang tol, saya langsung menuju ke stasiun untuk mengantar Bagus jr, dan juga ingin lihat CC204 17 dari dekat.
Tetapi sesampainya di depo, saya agak terkejut, karena belum sempat saya dekati, tiba-tiba CC204 17 sudah berangkat lagi.
Rupanya dia langsung berangkat ke Jakarta menggunakan KA Argo Gede jam 19.00. Dan yang unik, dia digandeng dengan CC204 15, yang dulu juga saya buru di daerah yang sama dengan CC204 17.
Selain itu, kawan-kawan railfans ternyata sudah berkumpul di sana, termasuk kang Asep dan Dimas yang berhasil mendahului saya, biarpun mereka lewat jalan biasa. Beberapa diantara railfans yang datang bahkan belum pernah saya temui sebelumnya.
Seumur-umur, baru kali ini saya lihat lokomotif baru yang baru datang dari pabrik, langsung dipakai dinasan. Padahal biasanya lokomotif baru akan diparkir selama beberapa lama di depo, sebelum didinaskan, karena menunggu garansi dari GE. Bahkan yang unik, saya perhatikan di kabin loko radionya sudah terpasang. Kapan ya dipasangnya? Padahal biasanya radio dipasang begitu lokomotif tiba di depo. Dan waktu yang dibutuhkan untuk memasang radio cukup lama, bisa 1 jam.
Tepat pada pukul 19.00, kereta berangkat menuju ke Jakarta. Seusai itu, saya menyempatkan diri untuk beristirahat serta mengobrol dengan kawan-kawan baru saya. Cukup menarik juga. Walaupun saya agak kecewa juga melihat beberapa tingkah laku beberapa railfan junior yang makin tak sopan terhadap saya.
Seusai ngobrol dan makan malam, saya pamit dan pulang kembali ke rumah. Dan akhirnya berakhir sudah petualangan saya hari itu.
Oya, saya mau mengingatkan bahwa ini mungkin merupakan terakhir kalinya saya melakukan hunting lokomotif baru di lintas secara reguler. Karena acara hunting loko baru tidak terkesan terlalu istimewa lagi buat saya, plus jadwalnya yang tidak senyaman dulu, maka besok-besok kalau ada loko baru datang lagi, mungkin belum tentu akan saya hunting seperti ini.
blog opo kie... ra apik... uelekkk temen... ra nyeni... nyenine mung kakehan gathel thok isine
BalasHapusngenyek... asik yo ikii
Hapus