Awal tahun 1997 adalah masa yang cukup sibuk buat saya.
Tahun itu adalah tahun terakhir sekolah SMA. Walaupun ujian akhir EBTANAS sebentar lagi
datang, kami terkadang menggelar acara di sekolahan. Sebagian darinya untuk
memperingati acara tertentu (seperti Hari Kartini), sementara lainnya untuk
mengisi waktu luang.
Kegiatan pentas seni di SMA 4 Surabaya di awal tahun 1997.
Salah satu ruangan kelas di SMA 4 Surabaya, cowoknya dari kiri ke kanan: Muhammad Nasir, Heri Sudarmanto, dan Sanno Santosa. Kalau cewek-ceweknya saya tidak ingat namanya.
Konser band anak kelas 3 IPS 3 yang digawangi Anang sebagai vokalis, Ernanto B. Pamungkas di bass, Jhon Berty Pelenkahu di drum, dan Ekasano Tito pada gitar. Kalau tidak salah nama band ini adalah "RASTA" singkatan dari "Rakyat IPS Tiga".
Waktu itu saya belum memutuskan mau kuliah kemana setelah
lulus. Tadinya saya sangat berambisi menjadi pilot. Saya benar-benar fokus untuk
menjadi pilot sampai-sampai saya terobsesi dengan dunia penerbangan. Namun
sayangnya, semua itu kandas sewaktu saya tidak masuk jurusan IPA karena
matematika dan fisika saya tidak cukup bagus. Akibatnya saya harus masuk jurusan IPS untuk
tahun terakhir SMA saya. Waktu itu di Indonesia, semua sekolah penerbangan
hanya menerima pelajar SMA jurusan IPA. Jadi pintu saya untuk meraih cita-cita
menjadi penerbangan tertutup sudah.
Tahun terakhir sekolahan terasa cukup menegangkan untuk
saya, terutama 3 bulan terakhir. Kami cukup sibuk mempersiapkan EBTANAS
(sekarang UN Bersama). Lebih stress lagi ujiannya berlapis-lapis. Selain
EBTANAS, kita harus mempersiapkan EBTA (ujian kelulusan dari sekolah), dan juga
ujian masuk kuliah seperti UMPTN (sekarang SNMPTN) kalau mau masuk universitas
negeri atau ujian serupa kalau mau masuk kampus swasta.
Tapi ada yang mengurangi ketegangan saya, atau lebih pas
mengalihkan perhatian: orang tua saya menawarkan saya untuk kuliah di luar
negeri. Menurut saya ini menarik juga, karena sebelumnya pengalaman saya ke
luar negeri hanyalah berpergian dengan keluarga ke Singapore di tahun 1994 dan
1995 silam. Walaupun Singapore sudah sangat modern dan kebaratan, tempat itu
sebenarnya tak jauh beda dengan Indonesia dari segi budaya dan masyarakat.
Untuk program kuliah di luar neger ini, saya ditawari 2
tempat: Australia atau Amerika, yang keduanya kedengaran agak berat buat saya. Karena
saya saat itu saya selalu merasa tegang dan gugup kalau ketemu orang bule.
Rasanya seperti mahluk bumi yang ketemu alien dari luar angkasa setiap kali
ketemu orang bule (atau orang-orang yang bukan berasal dari Asia Tenggara). Tinggal lama di negaranya orang bule
kedengaran lumayan menakutkan buat saya waktu itu.
Karena orang tua saya tahu saya belum berani pergi jauh, saya ditawari untuk mengikuti program bahasa
ELICOS (English Language Intensive Courses for Overseas Students / Kursus
Intensif Bahasa Inggris untuk Mahasiswa Asing) di Australia, di kota yang
terdekat dengan Indonesia: Perth di Australia Barat.
Perth di tahun 1997.
Tempat belajar yang dipilih adalah St. Mark’s International
College, yang punya reputasi bagus dengan program bahasa Inggris mereka untuk
mahasiswa asing yang mau masuk universitas di Australia. Dibawah ini contoh brosur mereka edisi tahun 1995, yang juga pertama kali saya lihat.
Sebuah perusahaan konsultan juga berperan penting membantu
saya berangkat kesana. Namanya “Pirax Overseas Education Consultant”.
Perusahaan ini didirikan oleh ibu Irawati Sandjaja yang pernah kuliah di Australia
dan punya hubungan baik dengan beberapa perguruan tinggi disana. Mereka juga
membantu saya beradaptasi dengan sifat orang Australia yang cenderung keras dan
tidak mengenal basa-basi.
Mereka sering menggelar “Pameran Pendidikan Australia” di
hotel Hyatt Surabaya (sekarang Bumi Hotel) dimana perwakilan dari beberapa
perguruan tinggi Australia datang dan memamerkan kampus mereka untuk menarik
calon mahasiswa agar mendaftar di tempat mereka. Waktu itu, program belajar ke
luar negeri sudah cukup populer bagi mahasiswa Indonesia dari kalangan menengah
keatas. Karena nilai Rupiah cukup kuat (waktu itu 1 AUD setara Rp
1.800,-!), biaya kuliah di Australia dari segi nilai value for money bisa lebih murah daripada
kuliah di dalam negeri.
Sebenarnya, sebelum ini saya sudah menghadiri kegiatan
program belajar bahasa Inggris di tempat kursus bahasa ILP yang waktu itu
merupakan terbaik di Indonesia. Guru-gurunya native speaker semua, mayoritas
berasal dari Inggris, sisanya ada yang dari Australia dan Amerika. Belajar di
ILP memberikan saya pandangan mengenai bagaimana berinteraksi dengan mereka,
dan beradaptasi dengan sistem pendidikan negara maju. Terkadang saya gagal
memenuhi standard ketat mereka, yang menyebabkan saya tidak bisa naik tingkat.
Melihat betapa beratnya belajar di ILP membuat saya menganggap tinggal dan belajar di negara mereka tak terpikirkan buat saya waktu itu. Apalagi di pertengahan 1996, saya harus mengakhiri kursus saya di ILP karena persiapan EBTANAS. Jadi ada jeda yang lumayan panjang dari terakhir kali saya belajar dengan guru native speaker saya dengan rencana waktu kedatangan saya ke Australia.
Melihat betapa beratnya belajar di ILP membuat saya menganggap tinggal dan belajar di negara mereka tak terpikirkan buat saya waktu itu. Apalagi di pertengahan 1996, saya harus mengakhiri kursus saya di ILP karena persiapan EBTANAS. Jadi ada jeda yang lumayan panjang dari terakhir kali saya belajar dengan guru native speaker saya dengan rencana waktu kedatangan saya ke Australia.
Tentunya ini bakal jadi berat karena selain mempersiapkan
untuk EBTANAS, saya juga harus mempersiapkan buat kuliah di Australia.
Kuliahnya kali ini akan focus pada pelajaran bahasa Inggris, kurang lebih sama
dengan yang saya pelajari di ILP, hanya tempatnya tepat di negaranya para
native speaker bahasa Inggris. Jadi nantinya saya bukan cuman belajar bahasa,
tapi juga beradaptasi dengan budaya dan tata tertib disana.
Beberapa staff dari St. Mark’s terkadang membuat ujian
singkat buat saya kalau datang presentasi di Surabaya. Ujiannya terasa
sulit sekali buat saya, terutama karena kegugupan saya kalau ketemu mereka.
Walapun kemudian saya menyadari bahwa kekhawatiran saya akan kegagalan tidak
terbukti sewaktu kuliah di Australia.
Hingga saat itu saya masih belum memutuskan jurusan apa yang
akan saya ambil buat kuliah. Penerbangan, walaupun masih belum dicoret, sudah
nggak begitu menarik buat saya. Minat saya untuk mengejar belajar di bidang
penerbangan memudar seiring berjalannya waktu. Bapak saya tidak mempermasalahkan
itu. Dia bilang saya fokus saja untuk belajar bahasa Inggris di Australia, dan
memutuskan selanjutnya nanti.
Karena saya memutuskan untuk tidak mendaftar di
kampus-kampus negeri elit di Surabaya atau Indonesia, saya tidak terbebani
untuk mengapatkan nilai tertinggi saat ujian nanti. Itu kontras dengan waktu
saya mau lulus SMP dimana saya sangat fokus untuk meraih nilai setinggi mungkin
agar bisa masuk SMA favorit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar