Senin, 25 Juni 2012

Komparasi Kereta Api dan Travel di jalur Bandung-Jakarta, di jaman pak Ignasius Jonan


Pendahuluan
Semenjak dibukanya jalan tol yang menghubungkan kota Jakarta dan Bandung, tiba-tiba saja KA Parahyangan dan Argo Gede berubah dari primadona menjadi pecundang.
Layanan KA yang tadinya ada setiap jam, tiba-tiba berkurang menjadi hanya beberapa gelintir sehari. Rangkaian KA yang tadinya bisa mencapai belasan gerbong, akhirnya berkurang menjadi hanya 5 gerbong saja.

Beberapa langkah untuk membuat KA populer lagi sempat dilakukan. Seperti mengurangi harga tiket KA bisnis menjadi Rp 30.000,-. Memang langkah tersebut membuat KA menjadi populer lagi, walaupun tidak dengan skala yang sama dengan jaman sebelum ada jalan tol. Tetapi rupanya langkah tersebut cukup membebani kondisi keuangan perusahaan. Dan penurunan harga tersebut tidak cukup membantu, karena kualitas pelayanan diatas KA tidak pernah membaik. Termasuk ketepatan waktu perjalanan masih tidak terjaga.

Kemudian datanglah pak Ingatius Jonan, yang mantan orang perbankan, menempati posisi Direktur Utama PT KA. Sebagai orang perbankan yang dituntut untuk membuat perusahaan menghasilkan keuntungan, beliau membuat banyak langkah radikal di PT KA. Pada prinsipnya langkahnya adalah mengurangi kerugian dan meningkatkan profit.

Akibatnya banyak KA yang tidak menguntungkan ditiadakan, dan layanan KA yang dianggap menguntungkan atau potensi ditekan agar performanya bagus. Hasil yang saya lihat KA makin bersih, ketepatan waktu makin terjamin, tetapi di sisi lain fasilitas KA jauh lebih restriktif, layanan KA tertentu cenderung berkurang frekuensinya, tiket yang dijual tidak sebanyak dulu (karena tiket berdiri dihapus total), tiket KA tidak ada yang murah, bahkan makanan tuslah diatas KA hilang.

Bahkan tiket murah diganti dengan tiket promo yang hanya bisa didapat kalau anda beruntung. Sementara armada gerbong kelas2/bisnis dikurangi. Sementara tarif KA eksekutif bisa menapai Rp 80.000,-!

Di sisi lain, layanan bis travel dari awal booming hingga sekarang tidak ada perubahan. Malah ada sedikit penurunan, yaitu ditiadakannya layanan “door to door” di mayoritas perusahaan travel tersebut. Jadi sekarang dalih layanan travel adalah layanan door to door itu sudah tidak benar lagi. Dan ini menempatkan layanan bis travel hampir menyerupai KA yang juga sama-sama bukan layanan door to door.

Lalu bagaimana jika layanan travel dan KA dibandingkan pada saat ini? Untuk jelasnya silahkan baca trip report saya.

Pra-Perjalanan
Tanggal 12 Juni 2012 saya mendapat panggilan dinas ke Jakarta. Awalnya pertemuan akan diadakan di bandara Cengkareng.
Secara logika, paling praktis dari Bandung menuju ke Cengkareng menggunakan bis travel, karena dari Bandung saya akan bisa langsung menuju ke bandara.
Tetapi setelah saya hitung, ternyata cukup mahal juga. Rata-rata tarif bus travel dari Bandung menuju Cengkareng adalah Rp 120.000,- hingga Rp 150.000,-. Termurah adalah Xtrans yang tarifnya Rp 100.000,-.

Namun itu masih lebih mahal daripada kombinasi tiket kereta api dan bis Damri yang kalau ditotal Rp 85.000,- (KA Rp 60.000,- eksekutif, dan bis Damri AC Rp 25.000,-).
Karena ingin berhemat, akhirnya saya memilih untuk naik kereta api saja, setelah lama tidak naik KA.
Dan rupanya pilihan saya untuk naik KA tepat, karena di tengah perjalanan tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa tempat pertemuan dirubah dari bandara Cengkareng menuju ke Mal Taman Anggrek.

Perjalanan Kereta Api
Setelah mandi dan bersiap-siap saya langsung bertolak menuju ke stasiun Bandung menggunakan angkot. Berhubung lokasi rumah yang agak jauh dari terminal angkot, saya terpaksa jalan kaki menuju ke terminal Gunung Batu.

Sesampainya di stasiun, saya membeli tiket dan langsung masuk menuju peron. Tidak seperti di jaman dulu, sekarang KA menerapkan sistem boarding, dimana penumpang baru boleh masuk ke peron kalau kereta sudah siap.

Selain itu pintu masuk dan keluar dipisah jauh.


Suasana pelataran stasiun Bandung yang sepi.

 
Saat akan masuk KA, tiba-tiba saya melihat ada gerbong wisata “Bali” yang tengah dilangsir. Siapa yang mencharternya ya?


 Ah...kereta saya. Lengkap dengan praminya yang “geulis”. Rupanya penampilan prami mulai diperhatikan kembali.


Suasana di dalam gerbong saya. Okupansi KA saat itu hanya sekitar 70% saja, karena ada satu gerbong yang sepi penumpang.


Tepat pukul 14.30, kereta api saya berangkat meninggalkan Bandung. Tak seperti perjalanan dulu, kali ini KA tidak berhenti di Cimahi.

Selama perjalanan, krew restorasi tak henti-hentinya menawarkan produk makanan yang dijual.


Yang saya suka dengan perjalanan KA dibandingkan dengan naik mobil lewat tol adalah, anda lebih dekat dengan alam. Tidak ada yang menghalangi pemandangan anda ke alam terbuka di pinggir rel.


 
Ruang kaki super lega. Di pesawat, anda tidak akan dapat space kaki selega ini.


Di daerah Cilame saya melihat pemandangan unik, dimana anda bisa melihat jalur KA yang memutari lembah. Dan anda bisa melihat jalur KA yang akan dan sudah dilewati.



Jembatan Cikubang. Jembatan kereta api yang kita lewati sebenarnya kelihatan lebih spektakuler daripada jembatan tol ini.


Saya juga menemui pemandangan mirip padang rumput di daerah Maswati, daerah selepas terowongan Sasaksaat kalau dari arah Bandung.


Salah satu highlight perjalanan ini adalah kereta melewati jembatan yang mungkin merupakan jembatan tertinggi di Indonesia: jembatan Cisomang. Jembatan ini memiliki tinggi dari dasar jurang hingga permukaan rel sekitar 100 meter.

Tampak pemandangan lembah sungai Cisomang dari atas KA.


Selepas Cisomang jalur kereta api mulai berada di daerah dataran. Tetapi pemandangan pegunungan masih mendominasi.



Selepas Cikampek, kereta api melewati daerah persawahan yang sangat luas di daerah Karawang.


Di jaman Belanda dan sebelumnya (jaman Fatahilah), Karawang adalah “Lumbung Padi Nasional” karena produksi padinya yang berlimpah dan areal pertaniannya yang sangat luas, didukung dengan kondisi tanahnya yang subur.

Tetapi semenjak pertengahan dekade 1980an, merasa sudah cukup dengan kesuksesan dunia pertanian Indonesia di tahun 1984, pemerintah mengijinkan pembangunan pabrik-pabrik dan industri yang tak ada sangkut pautnya dengan dunia pangan di Karawang.

Akibatnya semenjak itu reputasi Karawang sebagai lumbung padi nasional perlahan-lahan terkikis. Banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi areal industri, areal urban slum, dan perumahan kumuh.
Beberapa persawahan yang terletak dekat dengan daerah-daerah yang saya sebut diatas sudah sangat tercemar.

Tetapi sore itu saya masih melihat sedikit sisa-sisa kejayaan Karawang sebagai lumbung padi nasional.



 Kereta saya juga melewati Pelabuhan Darat Cikarang (Cikarang Dry Port) yang dibangun untuk menunjang angkutan industri di Karawang dengan menggunakan jalur KA.


Tetapi hingga saat ini saya tidak melihat ada kegiatan di sini.

Menjelang maghrib, kereta api saya mulai memasuki kota Jakarta.


 Jika saya perhatikan, kereta api kita berjalan cukup tepat waktu. Karena masih jam 5 lebih, kereta sudah masuk Jakarta (jadwalnya 5.30 sore).

Memang perbaikan ketepatan waktu dibawah manajemen yang baru sudah kelihatan. Dulu biasanya kereta dari Bandung selalu berjalan tepat waktu antara Bandung-Bekasi, tetapi antara Bekasi-Jakarta sering tertahan-tahan oleh KRL.
Sekarang sudah tidak ada lagi (dan KA tidak berhenti di Bekasi lagi). Apakah karena hal ini rute KRL dirubah?

Sesampainya di stasiun Gambir, saya langsung memotret suasan di peron stasiun Gambir yang ramai dengan penumpang tujuan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tampak jam di TV display menunjukkan jam 17.31.


Lokomotif CC204 24 siap menarik KA Gajayana tujuan Malang.


Ereksi terakhir Bung Karno, a.k.a Monumen Nasional.


Suasana KRL Komuter Line. Yang ini gerbong khusus wanita.


Suasana Gambir selepas KA Gajayanan berangkat.


Lokomotif KA saya tadi, tapi kali ini posisi lokomotifnya sudah ditukar.


Puas memotret peron, saya langsung berjalan keluar menuju ke bawah.

Di Jakarta
Begitu turun ke bawah, saya melihat bahwa sekarang di stasiun Gambir sudah mulai dipasangi barrier tiket.


Seingat saya tiket barrier tersebut sudah lama dipasang, tetapi hingga saat ini masih belum dipakai. Malah dipakai mainan oleh anak kecil.

Rencana awalnya saya dari stasiun Gambir berniat untuk pergi ke bandara Cengkareng. Tetapi karena tempat pertemuan dipindah ke hotel Mega Anggrek (dekat Mall Taman Anggrek).

Saya sayup-sayup teringat dengan nama hotel ini, karena 5 tahun silam pernah menginap di hotel ini.

Awalnya saya berniat pergi ke hotel ini menggunakan taxi seperti saran saya. Tetapi karena iseng, saya memilih naik busway.

Setelah tanya sana-sini saya akhirnya dapat busway yang bisa membawa saya ke Mall Taman Anggrek.

Tampak ekspresi seorang penumpang yang menunggu busway.


Bagi anda yang belum pernah ke Jakarta, saya cuman mengingatkan anda bahwa jika anda bertanya jalan di sana, jawaban satu orang dengan yang lainnya bisa berbeda jauh.

Setelah bergelut dengan kemacetan (walaupun digadang sebagai angkutan massal bebas macet, kenyataannya busway tetap kena macet), akhirnya saya sampai ke halte Mall Taman Anggrek.

Dari Mall Taman Anggrek ke hotel Mega Anggrek seingat saya tidaklah jauh. Tetapi karena saya lupa jalan, saya menyewa ojek seharga 15 ribu rupiah (belakangan saya merasa dirugikan karena taxi dari hotel ke mall Central Park di sebelahnya yang lebih jauh cuman 10 ribu!). Itupun termasuk kejadian dengkul saya menghantam pembatas jalan!


Balik ke Bandung
Acara pertemuan bisnis di hotel Mega Anggrek berlangsung lancar. Dan setelah acara selesai, saya akhirnya pulang kembali ke Bandung.

Karena waktu sudah menunjukkan 20.30, maka saya memutuskan untuk naik bus travel saja. Awalnya saya memesan travel Cipaganti. Tetapi rupanya sudah habis! Setelah menghubungi beberapa perusahaan travel, akhirnya dapat Cititrans yang berangkatnya dari mall Central Park yang terletak cukup dekat dengan hotel Mega Anggrek.

Dari hotel ke Central Park saya naik taxi Blue Bird yang ada di hotel tersebut. Taxi ini jelas lebih nyaman daripada ojek yang tadi saya naiki. Dan yang membuat saya cukup terkejut: lebih murah!

Saya didrop di lobby plaza ini, dimana halte travel terletak di depan tempat itu.

Tampak bus travel yang akan mengantar saya kembali ke Bandung.


Karena sudah malam, saya merasa bahwa saya tidak boleh makan berat. Oleh karena itu saya memilih beli roti di Carrefour di dekat situ.


Suasana lobby Central Park.




 Memang jika dibandingkan dengan KA, travel berangkat di tempat yang lebih mewah daripada stasiun Gambir. Tetapi perjalanannya tidak senyaman naik KA.

Menjelang pukul 10 malam, saya masuk ke dalam travel. Tampak space kaki di tempat duduk saya.


Tempat duduknya memang cukup nyaman, tetapi sayangnya saya tidak bisa bersandar lebih jauh karena tempat duduk saya paling belakang.

Keberangkatan bis travel terlambat hampir 20 menit, sehingga akhirnya travel kami berangkat pukul 22.19.


Dan kalau itu kurang, di tengah jalan (masih di Jakarta) dia berhenti agak lama di sebuah check point.


Saya tidak memotret sisa perjalanan karena sudah gelap dan saya sudah letih. Tidak seperti Cipaganti, travel ini berjalan non-stop dari Jakarta menuju Bandung tanpa berhenti di satupun rest area.

Walaupun sebelum berangkat saya minum agak banyak, herannya saya tidak merasa ingin kencing sepanjang perjalanan.
Saya berusaha tidur, tetapi susah sekali menutup mata sepanjang perjalanan.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan dari perjalanan ini, karena memang terasa seperti naik mobil biasa saja. Yang unik, walaupun kita berangkat terlambat dari Jakarta, tetapi sampai di Bandung tepat pukul 1 malam!

Seperti perjanjian saya dengan sopit sebelum berangkat, saya minta didrop di depan BTC, dan sayapun didrop di situ agar dari BTC saya bisa menaiki angkutan umum ke rumah.

Tetapi saya cukup terkejut karena sesampainya di BTC sudah tidak ada satupun angkot yang kelihatan. Bahkan BTC tampak gelap gulita.

Beruntung saya rupanya di dekat tempat saya berhenti ada taxi Blue Bird yang sedang mangkal. Sayapun naik taxi itu hingga ke rumah saya di Cimindi, dan akhirnya berakhirlah sudah perjalanan saya.


Perbandingan
Bagaimana saya membandingkan kedua moda transportasi yang merupakan rival di koridor Jakarta-Bandung ini? Mana yang lebih baik?

Pertama-tama saya mau mengatakan bahwa kelebihan moda transportasi bus travel yang mengatakan bahwa mereka mempunyai layanan antar jemput itu tidak sepenuhnya benar. Tidak semua layanan travel punya layanan itu, dan kebetulan yang saya naiki tidak punya.

Kalau sudah begini, travel berada pada posisi yang sama dengan KA, dimana penumpang harus menuju ke pool/stasiun mereka untuk naik.

Perkara ketepatan waktu, travel kalah tertib dengan KA. Dia berangkat terlambat, walaupun di jalan berusaha mengurangi keterlambatan dengan ngebut agar sampai tepat waktu di Bandung.
Tetapi saat itu kita cukup beruntung karena lalu lintas di Jakarta sedang longgar sehingga kita bisa cepat.
Sopir travel berkata bahwa terkadang jika jalanan di Jakarta macet, travel bisa terlambat hingga dua jam dari jadwal. Hal itu menunjukkan kelemahan moda transportasi darat.

Sekarang KA sudah mulai jauh lebih bersih daripada dulu. Praminya mulai cakep lagi. Dan yang cukup penting: ketepatan waktunya bisa dipegang.

Jadi bagaimana skoring mereka?

KECEPATAN:
KA : ***
Travel : ****

KENYAMANAN KABIN:
KA : *****
Travel : ***

PELAYANAN DIATAS:
KA: ****
Travel : (Tidak ada).

KETEPATAN WAKTU:
KA: *****
Travel: ***

AKSESIBILITAS:
KA: ***
Travel : ****

Kesimpulan
Menurut saya di perjalanan kali ini KA berhasil menghidupkan reputasinya sebagai angkutan yang cepat, nyaman, dan (lebih) murah.

Di sisi lain, angkutan travel terbukti sebagai angkutan yang cepat, bahkan terlalu cepat, dan bisa menjangkau titik-titik yang lebih dekat dengan tujuan.

 Tapi bagi saya highlight perjalanan kali ini adalah kembalinya prami "geulis" di KA yang berangkat dari Bandung :-)