Kamis, 16 Februari 2012

Mengintip Kereta Api di Malaysia


Banyak kawan-kawan yang pakar perekereta apian mengatakan bahwa perkereta apian di Malaysia lebih baik dari Indonesia. Benarkah itu?


Jawaban saya ya dan tidak.


Lho kok begitu?

Kawan-kawan saya yang pakar perekereta apian hanya tinggal sebentar saja, dan disuguhi yang bagus-bagus saja selama di Malaysia sehingga mereka dengan mentah-mentah menjawab “lebih bagus”.

Saya yang pernah tinggal lama di Malaysia tentu saja akan langsung menyanggah pendapat mereka karena mereka tidak mempelajari lebih dalam.

Terus seperti apa kereta api di Malaysia?


Pengalaman di Tahun 2004.


Saya tinggal lama di tahun 2004 karena waktu itu saya bekerja di sana. Walaupun dari rumah ke tempat kerja saya tidak pernah menggunakan kereta api (karena tidak dilayani jalur KA jenis apapun), tapi saya tetap mencoba segala jenis kereta api yang ada di Kuala Lumpur.

Seperti monorail.

STAR LRT.

PUTRA LRT.

KTM Kommuter.

Bahkan Monorail di sebuah pusat perbelanjaan di Subang Jaya juga sempat saya icipi.

Walaupun sayangnya, saat itu saya tidak sempat merasakan naik KA antar kotanya karena tidak ada kawannya.

Tapi apa dengan moda transportasi rel itu terus membuat kereta api di Malaysia lebih baik daripada Indonesia?

Begini, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia adalah negara yang cukup sepi. Penduduknya tidak sampai seperempatnya jumlah penduduk Indonesia. Jadi otomatis cukup mudah untuk mengatur masyarakatnya.

Saya melihat bahwa orang Malaysia juga punya kecenderungan untuk berbuat melanggar ketertiban, seperti halnya orang-orang negara lain (termasuk Indonesia).

Tingkat disiplin orang-orang di Kuala Lumpur mengingatkan saya dengan tingkat disiplin orang Indonesia di tahun 1980an awal dimana pada saat itu tingkat disiplin lebih baik dari sekarang, walaupun ada juga pengacau yang suka berbuat tidak tertib.


Pengalaman Tahun 2011.


Di bulan November 2011 saya kembali lagi ke Malaysia, kali ini untuk kunjungan sebentar saja. Walaupun sebentar, tetapi kali ini saya bisa menaiki beberapa KA yang tidak sempat saya naiki di tahun 2004 silam.

Seperti ERL

Yang menghubungkan bandara KLIA Sepang dengan kota Kuala Lumpur.

Dan KA Antar kota.

Naik KA ERL itu bagi saya cukup unik karena pertama kali itu naik KA yang berjalan dengan kecepatan diatas 120 km/jam. ERL berjalan dengan kecepatan 160 km/jam, sehingga perjalanan dari bandara KLIA ke kota Kuala Lumpur yang menghabiskan waktu hampir 2 jam dengan mobil, bisa ditempuh dengan ERL dalam waktu kurang dari setengah jam!

Sementara naik kereta antar kota (waktu itu naik Sinaran Selatan dari Kuala Lumpur menuju Johor Bahru).

Perjalanan naik KA antar kota di Malaysia tidak terasa berbeda dengan naik KA antar kota di Indonesia.

Malah pemandangannya boleh dibilang kalah dengan di Indonesia, khususnya pulau Jawa.

Tapi ada satu plus point yang membuat KA di Malaysia terasa lebih baik dari KA di Indonesia, yaitu keberadaan KA tidur.

Walaupun perjalanannya di siang hari (idealnya malam hari) tapi saya tetap merasa sangat nyaman karena bisa tidur siang.


Lokomotif.


Sebenarnya ada banyak type lokomotif di Malaysia. Ada lebih dari 20 jenis lokomotif di Malaysia saat ini.

Tapi ada beberapa yang menarik perhatian saya. Yaitu:

Class 23.

Lokomotif buatan Hitachi ini menurut saya cukup unik karena bentuknya yang benar-benar kotak malah memberikan kesan seperti gubuk yang berjalan diatas rel!


Class 24.

Lokomotif ini menurut saya bentuknya cukup mengingatkan saya dengan lokomotif BB301 dan BB304 di Indonesia. Walaupun jangan dibandingkan dengan loko Jerman itu, karena ada beberapa perbedaan yang lumayan signifikan.

Pertama, lokomotif ini dibuat di Jepang oleh Toshiba-Kawasaki. Kedua lokomotif ini punya enam gandar penggerak. Ukurannya juga cukup besar, bahkan melebihi lokomotif terbesar di Indonesia: CC202.


Class 26.

Kalau yang ini adalah lokomotif favorit saya di Malaysia. Lokomotif ini merupakan anggota keluarga lokomotif “Blue Tiger” buatan Bombardier di Jerman. Walaupun buatan Jerman, tapi pada dasarnya lokomotif ini mempunyai komponen-komponen utama (seperti mesin, komputer, alat-alat kelistrikan, dll) buatan General Electric di Amerika Serikat.

Sebagai fans GE, saya cukup senang bisa menemui loko GE di negeri seberang yang katanya “satu rumpun” dengan negara saya.


Gerbong dan EMU.


Ada beberapa variasi gerbong di Malaysia yang rata-rata sama saja dengan yang ada di Indonesia.

Yang sempat saya lihat adalah:


AFC

Alias gerbong duduk EXA.


ADNS

Atau gerbong tidur kelas 2. Gerbong seperti inilah yang saya naiki di KA Sinaran Selatan.


EMU atau KRL yang sempat saya lihat ada 2 jenis. Maaf saya tidak tahu kodenya.


Yang ini kalau tidak salah Class 81.

Walaupun penampilannya “buruk rupa” karena mukanya datar, tetapi KRL ini dulu merupakan favorit saya karena interiornya menyerupai interior KA antar kota, sehingga cukup nyaman dipakai berjalan-jalan.


KRL cepat Rawang-Ipoh.

Sayangnya saya hanya naik sekejap dari stasiun Putra ke KL Sentral sewaktu mau berangkat naik KA Sinaran Selatan menuju Johor.

Padahal sewaktu diluncurkan, KA ini berhasil mematahkan rekor kecepatan yang dibuat oleh ERL KLIA Express, biarpun KRL ini beroperasi di rel 1 meter!


Saya juga turut memperhatikan beberapa rolling stock Rapid KL. Perusahaan ini waktu saya tinggal di KL tahun 2004 silam terdiri dari beberapa perusahaan terpisah, yaitu Star LRT, Putra LRT, KL Monorail, dan juga menggabungkan beberapa perusahaan otobus.

Saya tidak tahu kapan mereka diamalgamasikan, tetapi di tahun 2011 saya cukup terkejut melihat perusahaan ini sudah menjadi satu perusahaan, walaupun pada saat itu sistem tiketnya masih terpisah, dan masih dalam tahap integrasi sistem ticketing.


Eks Putra LRT.

Saya cukup suka dengan LRT ini karena tidak ada masinisnya.

Jadi kita bisa melihat segala sesuatu di depan.


Eks Star LRT.

Kalau yang ini konsepnya biasa saja, karena ada masinis di depannya. Tetapi yang unik adalah radius beloknya yang kecil, sehingga memungkinkan untuk “meliuk-liuk” diantara celah-celah sempit diantara gedung-gedung tinggi.


ERL.

Ini adalah jenis kereta api listrik yang menghubungkan kota Kuala Lumpur dengan bandara KLIA Sepang.

Kereta buatan Jerman ini sanggup menempuh kecepatan 160 km/jam. Dia berjalan di rel 1,435mm atau ukuran lebar standard internasional.

Sewaktu baru, dia adalah KA tercepat di Asia tenggara, rekor itu bertahan sekitar sepuluh tahun sebelum digusur oleh ETS KL-Ipoh.

Secara konsep dia tidak ubahnya seperti KA peluru mini, dimana dia bisa berjalana cepat, namun karena jaraknya yang pendek (serta pemberhentiannya yang agak banyak) membuat dia memiliki kecepatan maksimal dibawah 200 km/jam.

Indonesia seharusnya memiliki KA serupa untuk menghubungkan kota dengan bandara, seperti di bandara Cengkareng Jakarta dan Juanda Surabaya. Di Malaysia, dengan KA ini, jarak antara Kuala Lumpur menuju Sepang yang aslinya 40 kilometer lebih, dan bisa memakan waktu lebih dari satu jam dengan kendaraan jalan raya, bisa ditempuh kurang dari 30 menit dengan KA ini, walaupun dia berhenti-berhenti di tengah jalan!

Jika jaringan seperti ini ada di Jakarta (contohnya) anda tidak usah pusing memikirkan kemacetan yang biasanya ada di tol Cengkareng, karena anda langsung melesat dengan KA menuju ke bandara.

Juga saya tertarik untuk mengomentari KA rapid KL (yang merupakan hasil merger semua perusahaan KA di Kuala Lumpur, yaitu Star, Putra, dan KL Monorail). Tidak bisa dipungkiri KA ini mempunyai peran yang penting untuk penglaju/komuter di kota Kuala Lumpur.

Saya perhatikan, kota Kuala Lumpur (walaupun lebih sepi dari Jakarta) tetapi di jam-jam sibuk bisa macet parah seperti Jakarta. Tapi keberadaan jaringan KA Rapid KL inilah yang membuat Kuala Lumpur terlihat lebih baik dari Jakarta.

Dengan jaringan KA komuter ini, kemacetan parah di jalanan Kuala Lumpur itu tidak menjadi halangan untuk anda beraktivitas, karena dengan jaringan KA itu anda bisa menghindari kemacetan parah.

Urusan kebersihan dan ketertiban antara Kuala Lumpur dan kota besar di Indonesia memang bisa dibanding-bandingkan, tetapi maaf urusan transportasi massal KL menang telak.

Ada beberapa kawan saya yang mengatakan bahwa kondisi jalanan di Malaysia “teruk” (parah), dan mengatakan bahwa Indonesia lebih baik. Tapi begitu melihat Jakarta, mereka menarik pernyataan mereka tadi dan menganggap KL atau Malaysia lebih baik.....


Stasiun Kereta Api.


Jangan tertipu dengan kemegahan beberapa stasiun baru di kota-kota besar di Malaysia.

Semenjak tahun 2000, mereka mulai membuat bangunan stasiun KA yang megah dan besar, seperti stasiun KL Sentral yang kalau dilihat sekilas menyerupai Shopping Center atau Plaza. Tapi kalau dilihat lebih teliti, sebenarnya adalah sebuah stasiun terintegrasi yang mengakomodasi empat jenis layanan kereta api (bahkan stasiun ini adalah titik akhir perjalanan ERL dari bandara Sepang).

Tidak banyak yang tahu bahwa sebelumnya, tempat itu adalah sebuah pelataran langsiran yang cukup besar bernama Brickfield, dimana KA-KA barang dari luar kota membongkar barang disitu. Tempat itu dulunya juga merupakan depo tempat parkir KA penumpang di KL, sebelum mereka ditarik ke stasiun Kuala Lumpur (yang kini menjadi bangunan heritage).

Kalau itu kurang, belakangan beberapa stasiun utama di beberapa kota besar di Malaysia juga mulai diupgrade agar tampak lebih megah dan modern, atau malah dibongkar total dan diganti dengan bangunan baru.

Yang pertama adalah stasiun Ipoh yang direnovasi besar-besaran, untuk mengakomodasi layanan KRL cepat KL-Ipoh.

Tidak seperti stasiun KL Sentral yang merupakan bangunan baru, stasiun Ipoh memanfaatkan bangunan era kolonial Inggris yang dimodernisasi tanpa harus merobohkan bangunan utamanya yang bersejarah.

Yang berikutnya adalah stasiun JB Sentral di kota Johor Bahru. Seperti halnya stasiun KL Sentral, stasiun Johor Bahru dibangun di lahan kosong yang terletak di utara stasiun Johor yang lama (kini sedang diredevelop menjadi museum).

Sewaktu saya melihat stasiun JB Sentral, saya cukup terkagum-kagum dengan kemegahan interiornya yang menyerupai sebuah bandar udara. Sangat modern dan futuristik.






Saat saya kesana, ada satu lagi stasiun besar yang sedang dibangun di Butterworth, menggantikan stasiun yang lama.

Sementara stasiun Tanjong Pagar yang notabene stasiun KTM paling selatan tidak pernah di redevelop karena polemik diplomatik, yang tragisnya diselesaikan dengan penutupan jalur KA antara Woodlands-Tanjong Pagar tahun 2011 silam.

Seandainya tidak ada masalah diplomatik antara Malaysia-Singapore, mungkin stasiun inilah yang diredevelop menjadi modern, bukannya Johor Bahru.

Stasiun-stasiun besar itu tidak ubahnya seperti sebuah shopping center, lengkap dengan toko-toko barang branded serta outlet makanan waralaba internasional.


Lha terus bagaimana dengan stasiun-stasiun kecilnya?


Maaf, kalau menurut saya perbedaannya dengan stasiun-stasiun besar yang tadi saya jelaskan bagaikan bumi dan langit!

Saking terbelakangnya sampai-sampai kelihatan kalah maju daripada stasiun kecil di Indonesia.

Kenapa begitu? Karena rata-rata stasiun kecil di Malaysia terletak di desa kecil yang perputaran ekonominya terkesan agak lambat, sehingga terkesan seperti berada di tempat yang terisolit. Jadi jangan harap anda akan menemui toko-toko disana.

Bangunannya rata-rata terbuat dari kayu atau semen saja, dengan bentuk yang “utilitarian” tanpa nuansa artistik.

Kontras dengan bangunan stasiun KA kecil di pedesaan di Indonesia yang rata-rata terbuat dari beton dan berdesain art-deco.

Saya juga agak terkejut melihat stasiun Gemas yang notabene merupakan stasiun utama tempat percabangan jalur KA dari Singapore. Walaupun stasiun penting, tetapi kelihatan lebih kecil dan kalah megah daripada stasiun Cirebon.

Saya jadi teringat oleh nasihat kawan saya, alm mas Pekik, yang pernah berpergian menggunakan KA antar kota KTM dari Singapore menuju KL. Beliau menasehati saya agar membawa bekal (nasehat yang ironisnya saya langgar saat kunjungan di tahun 2011). Hal itu dikarenakan ketiadaan kios-kios makanan di stasiun-stasiun kecil disana.

Dan kalaupun ada letaknya diluar peron, yang jelas cukup merepotkan (ini saya temui di Seremban). Jadi kalau bisa selalu bawa bekal yang mencukupi.

Ini sebenarnya ironis, karena setiap naik KA jarak jauh di Indonesia saya selalu siap perbekalan, tapi sewaktu naik KA Sinaran Selatan, saya hampir tidak bawa perbekalan! Paling hanya membawa sebotol kecil minuman dan beberapa snack. Kontras dengan sewaktu saya naik KA jarak jauh di Indonesia yang selalu siap sedia satu botol air mineral 1,5 liter plus beberapa botol kecil minuman soft drink atau susu. Belum termasuk cemilan-cemilan, atau malah terkadang makanan besar!

Saya terkadang tidak habis pikir, kenapa saat itu saya tidak membawa bekal memadai? Padahal harga makanan di Malaysia itu tergolong murah dibanding Indonesia (contohnya harga paket Big Mac di MacDonald Malaysia sekitar 90-95% harga di Indonesia).


Bagusan mana?

Setelah anda membaca artikel singkat saya, menurut anda lebih bagus perkereta apian dimana? Indonesia atau Malaysia?

Kalau pendapat saya cenderung berimbang. Jadi menurut saya masing-masing negara memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tergantung bagaimana anda menyikapinya.

Senin, 06 Februari 2012

"What if...?"

Apa anda puas dengan hidup anda? Apakah anda berpikir pernah bagaimana seandainya anda bisa memutar waktu, dan mengubah apa yang anda lakukan di masa lalu?

Kalau saya, ada beberapa hal yang kalau saya pikir-pikir masuk kategori "What if"

1. Apa yang terjadi kalau saya masuk TK tahun 1982? (Saya masuk TK tahun 1983).

2. Apa yang terjadi kalau keinginan saya menjadi pilot dikabulkan orang tua?

3. Apa yang terjadi kalau Krisi Ekonomi tahun 1997 tidak pernah terjadi? (Tahun 1997 saya sempat mengambil kursus bahasa Inggris di Australia, dan sempat berencana melanjutkan hingga ke jenjang kuliah)

4. Apa yang terjadi kalau orang tua saya tidak memaksakan saya masuk UK Petra? (Di tahun 1998 saya sempat mendaftar ke berbagai universitas di Surabaya, dua diantaranya STTS dan UK Petra. Walaupun saya lebih senang masuk ke STTS, tetapi orang tua saya memaksa saya masuk ke UK Petra, walaupun saya membenci universitas tersebut. Karena saya tidak kerasan dengan kuliah di Petra, saya angkat kaki dari sana tahun 2000. Jika seandainya kuliah di tahun 1998 tidak berhenti, mungkin di tahun 2004 saya sudah lulus kuliah S1, dan tidak pernah ke Bandung atau Bahasa Inggris saya tidak pernah membaik).

5. Apa yang terjadi jika seandianya suasana kuliah saya di Australia sangat kondusif, dan kawan-kawannya dan dosen-dosennya baik-baik semua? (Di tahun 2000, saya akhirnya bisa berangkat kuliah ke Australia. Tetapi kombinasi dosen ekstra galak, bahkan menurut kacamata dosen jurusan lain, serta anak-anak di kelas yang suka menjatuhkan satu sama lain membuat saya tidak pernah bisa beradaptasi dengan suasana kuliah disana. Kuliah dihentikan di tahun 2002, seiring terjadinya tragedi Bom Bali tahun itu).

6. Apa yang terjadi jika saya tidak pernah bekerja di Singapore? (Saya mendaftar kuliah di Bandung tahun 2003. Dan sempat menjalani kerja praktek di dua tempat, yaitu Malaysia dan Singapore. Suasana kerja yang berat, hak-hak asasi yang dilanggar, serta keterlibatan di sebuah organisasi yang mengkorup pikiran saya membuat pandangan saya tentang kerja di dunia perhotelan menjadi negatif semua. Saya berpikir, jika seandainya saya tidak pernah bekerja di Singapore, saya mungkin sekarang tetap bekerja di perhotelan).

7. Apa yang terjadi jika rencana keberangkatan saya kuliah di Swiss di tahun 2007 tidak dibatalkan? (Seusai kuliah di Bandung, saya sempat mendaftar kuliah di Swiss. Namun karena tentangan dari kakak, akhirnya seluruh keluarga mendukung saya dan saya tidak jadi berangkat).

8. Apa yang terjadi jika kuliah saya di Swiss berhasil dan saya langsung bekerja setelah itu? (Skenario ini mungkin terkesan berat buat saya, mengingat saat itu ada tekanan batin yang membuat saya tidak mau bekerja di dunia perhotelan, akibat trauma selama di Singapore. Tapi hal ini dikaitkan dengan hubungan saya dengan pacar saya di tahun 2006-2007 yang memang cukup serius, tetapi kemudian kandas setelah dia memilih menikahi lelaki lain yang lebih mapan. Ironisnya orang tersebut umurnya 5 tahun dibawah saya).

9. Apa yang terjadi jika kawan-kawan kuliah saya di Unpad cukup bersahabat hingga seterusnya? (Di tahun 2008 saya memutuskan untuk kuliah di program ekstensi Unpad. Walaupun dua semester pertama berjalan cukup baik, tetapi di semester kedua "crack" sudah mulai kelihatan karena mereka sepertinya menjatuhkan saya karena saya dianggap beda. Akhirya semester ketiga berjalan hancur-hancuran, dan semester keempat belangsung hampir dua tahun!).

10 Apa yang terjadi jika Istana Plaza tidak pernah diambil alih Lippo Group? (Di tahun 2009, saya membuka usaha restoran di Istana Plaza. Pada semester pertama usaha berjalan lancar dan langgeng karena selain shopping center tersebut cukup ramai dan enak dikunjungi, pihak manajemen yang dipegang Istana Group cukup enak untuk diajak kerjasama, dan sangat helpful jika tenant terkena masalah. Tapi semenjak awal 2010, manajemen dipegang Lippo group yang galak dan suka memeras tenant. Karena tidak tahan, usaha saya ambruk pertengahan tahun 2011, dan saya menjadi pengangguran).

Inilah kisahku.... Apa kisahmu?