Sabtu, 10 Oktober 2009

Kereta Api Pembunuh Massal : Peacekeeper Rail Garrison.

PEACEKEEPER RAIL GARRISON:

KERETA API PEMBUNUH MASSAL




Illustrasi KA Peacekeeper Rail Garrison yang baru keluar depo.


“Kereta api adalah mesin pembunuh baru.”


Begitulah komentar salah seorang pakar perkereta apian Indonesia yang pernah dimuat di sebuah media, mengomentari jatuhnya korban akibat rentetan kecelakaan kereta api yang terjadi beberapa tahun silam. (Walaupun kemudian beliau mengklaim bahwa tulisan tersebut hanyalah “blow up” media).

Namun baik beliau maupun sebagian besar dari kita tidak pernah tahu bahwa dulu pada puncak Perang Dingin di dekade 1980an silam, pemerintah Amerika pernah berniat untuk membuat sejenis kereta api yang bisa menghilangkan nyawa jutaan orang dalam sekali hantam. Bukan beberapa gelintir seperti yang selama ini kita ketahui.



Seperti bom Castle Romeo inilah mungkin efek hantaman KA ini.


AWALNYA DARI RUDAL

Cikal bakal dari kereta api maut ini berawal di tahun 1971, ketika AU AS berniat untuk mengganti rudal antar benua mereka, LGM-30 Minuteman dengan rudal yang lebih canggih, bejangkauan lebih jauh, serta lebih akurat.

Dan program ini kemudian digulirkan pada tanggal 4 April 1972, dengan kode M-X. Rudal ini merupakan peluru kendali antar benua tercanggih yang pernah diciptakan oleh Amerika Serikat. Dan bisa dibilang merupakan proyek peluru kendali antar benua besar terakhir yang digulirkan Amerika Serikat.

Tetapi, pada saat yang sama, terjadi perdebatan kontroversial mengenai penempatan cikal bakal rudal ini. Peningkatan akurasi serta jarak tembak rudal antara benua Soviet membuat penempatan rudal di silo bawah tanah menjadi rentan.

Penempatan dengan moda kendaraan darat dinilai tidak praktis, mahal, serta akurasi yang jelek. Pernah juga diusulkan fasilitas pelucur horisontal (yang bisa dinaikkan pada saat peluncuran). Tetapi inipun juga akhirnya ditolak kongres AS.

Di tengah perdebatan mengenai masa depan proyek ini, presiden AS yang baru di tahun 1981, Ronal Reagan, menginginkan agar rudal ini juga secepatnya operasional. Selain itu, beliau juga memberi nama rudal ini “Peacekeeper” atau Penjaga Perdamaian. Akhirnya 100 rudal dipesan, dan tiap rudal sanggup membawa 10 kepala nuklir yang masing-masing berdaya ledak 300 kiloton (20 kali bom Hiroshima).

Rudal ini kemudian diberi kode LGM-118, dan diuji coba untuk pertama kali tanggal 17 Juni 1983, menembak sasaran sejauh 6.704 kilometer. Produksinya kemudian dimulai pada tahun 1984.

Selagi proses produksi berjalan, bayang-bayang ancaman rudal Soviet terhadap silo peluncur rudal antar benua tetaplah tinggi. Akhirnya, pada tanggal 19 Desember 1986, presiden Reagan mengumumkan program “Peacekepeer Rail Garrison”.


Rudal LGM-118 Peacekeeper dalam sebuah uji peluncuran.



PEACEKEEPER RAIL GARRISON

Program ini terjemahannya adalah Garnisun Kereta Api Penjaga Perdamaian. Dimana kereta api digunakan untuk membawa rudal antar benua LGM-118 Peacekeeper ini.

Dalam rancangannya, kereta api ini terdiri dari lokomotif, dua gerbong pengawal, dua gerbong peluncur rudal, satu gerbong pengendali peluncuran, satu gerbong bahan bakar rudal, serta satu gerbong perawatan rudal.

Tidak seperti depo KA pada umumnya, dimana bangunannya adalah hanggar besi, depo KA peluncur rudal ini adalah bunker beton yang sanggup menahan ledakan nuklir.

Keunggulan sistem peluncur rudal antar benua lewat rel adalah mobilitasnya yang tinggi dan praktis. Selain itu kelebihan sistem peluncuran lewat rel KA adalah kemampuannya untuk menyamarkan diri di jaringan rel KA, sehingga tidak bisa dibedakan dengan KA reguler lainnya.

Awalnya direncakan bahwa akan ada 25 rangkaian KA ini, dimana masing-masing membawa 2 rudal.

Pada bulan Februari 1987, diumumkan bahwa Depo Induknya adalah di pangkalan udara Francis E Warren di negara bagian Wyoming. Enam pangkalan udara lainnya juga dipilih sebagai sub-depo KA maut ini, yaitu: Lanud Barksdale, di Louisiana; Lanud Little Rock di Arkansas; Lanud Grand Forks di North Dakota; Lanud Dyess di Texas; Lanud Wurtsmith di Michigan; dan Lanud Fairchild di Washington.

Di pada tahun yang sama, Kongres AS mengesahkan pengucuran dana sebesar $350 juta untuk pengembangan program KA ini. Diharapkan prototypenya akan selesai dan diuji pada tahun 1988, dan KA-KA ini diharapkan siap operasional pada tahun 1992.


DEBAT BERLANJUT

Unit pertama rudal Peacekeeper ini mulai diserahkan pada tahun 1986, dan pada bulan Desember 1988 ke-50 produksi pertama rudal Peacekeeper sudah operasional semua. Kesemuanya berbasis di lanud F.E. Warren.

Namun pada tahun 1989, setelah dikaji ulang oleh Kongress, diputuskan bahwa jumlah rudal LGM-118 Peacekeeper yang dibuat dikurangi menjadi 50 buah saja. Yang sudah ada menurut rencana akan dipindahkan dari silo bawah tanah di lanud F.E. Warren, menuju ke atas rel, begitu rangkaian KA Peacekeeper Rail Garrison ini jadi.

Tetapi pada periode ini, konsep Rail Garrison ini tetap saja menjadi perdebatan karena kompleksitas dan biayanya. Bahkan versi KRD dari KA ini sempat juga dipikirkan jika seandainya konsep awal gagal.

Namun, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin di tahun 1989, serta bubarnya Uni Soviet dua tahun kemudian, menganggap ancaman peluru kendali antar benua dari Soviet menjadi tidak serius. Maka pada tahun 1991 program Peacekeeper Rail Garrison ini kemudian dihentikan.



Model gerbong peluncur rudal, lengkap dengan illustrasi tahapan peluncuran.


EPILOGUE

Walaupun begitu, satu prototype gerbong peluncur rudal Peacekeeper ini sempat diproduksi. Gerbong bergandar 8, dan berbogi 4 ini memiliki panjang 26,6 meter, serta berat 236 ton. Gerbong ini dibuat bersama oleh Boeing, Westinghouse dan Rockwell. Setelah sempat lama terbengkalai, gerbong ini akhirnya dikirim ke Museum AU AS di lanud Wright-Patterson di Ohio pada tahun 1994.


Prototype gerbong Peacekeeper Rail Garrison di Museum Angkatan Udara AS, Dayton, Ohio.


Rudal-rudal LGM-118 Peacekeeper sendiri kini sudah tidak ada. Unit terakhir dipensiunkan pada tanggal 19 September 2005 dengan sebuah upacara kecil di lanud F.E. Warren. Kepala nuklirnya kemudian dialihkan untuk rudal type lain, atau dimusnahkan. Sedangkan roketnya kini dipakai sebagai wahana peluncur satelit.

Dan akhirya berakhirlah sebuah babak dramatis era Perang Dingin, yang nyaris menyeret perkereta apian menjadi mesin pembunuh kejam.


Foto-foto: dok AU AS.

Referensi:

-U.S.A.F. 1989 Yearbook.

-Wilkipedia.

TRAGEDI BINTARO: 20 TAHUN KEMUDIAN


Tanggal 19 Oktober 1987 akan selalu dikenang sebagai hari terburuk dalam perkereta apian Indonesian modern. Berikut ini artikel untuk mengenang kejadian tersebut.



Tidak terasa bahwa 20 tahun telah berlalu di Bintaro. Di salah satu daerah di pojok kota Jakarta ini masyarakat perlahan-lahan telah melupakan kejadian tragis yang terjadi pada tahun 1987 silam. Kenangan akan kecelakaan tersebut mungkin telah memudar dari ingatan masyarakat. Dan para korban yang selamat dari kejadian itu telah lama menapaki kehidupan yang baru.
Dan kejadian tersebut, walaupun bukan kecelakaan kereta api terburuk dalam sejarah perkereta apian nasional, tapi merupakan kejadian yang dalam satu sisi memalukan para pejabat PJKA (waktu itu), tapi di sisi lain bisa dilihat sebagai batu loncatan untuk membuat perkereta apian Indonesia menjadi lebih baik.



BB303 16 (kanan), beberapa bulan sebelum kecelakaan maut di Bintaro. (foto oleh M. Lutfi Tjahjadi).

LATAR BELAKANG
Pagi hari senin tanggal 19 Oktober 1987, ada dua kereta api ekonomi yang berjalan ke dua arah yang berbeda.
Kereta yang pertama adalah KA Cepat (KA 220) jurusan Tanahabang-Merak yang ditarik lok BB303 16. Sedangkan yang satunya adalah KA lokal (KA 225) jurusan Rangkasbitung-Tanahabang ditarik lok BB306 16.
Menurut jadwal, seharusnya keduanya akan bersilang di stasiun Sudimara, dimana kalau tepat waktu, KA 225 seharusnya datang pukul 06.40 dan menunggu KA 220 yang lewat pada pukul 06.49.
Tapi kenyataannya, KA 225 ini terlambat 5 menit ketika sampai di Sudimara. Dan di jalur 2 sudah ada KA barang yang menunggu. Karena stasiun Sudimara hanya punya 3 jalur, dan jalur 1 kondisinya agak rusak, maka KA 225 dimasukkan ke jalur 3.
Karena penuh, maka kegiatan persilangan jadi mustahil. Otomatis persilangan terpaksa dipindahkan ke stasiun Kebayoran. Namun karena hal inilah, kemudian terjadi rentetan kesalahan prosedur yang akhirnya menyebabkan 139 orang tewas.

RENTETAN KESALAHAN FATAL
Menurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta ijin dulu ke Kebayoran, dan setelah diijinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225.
Tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. PPKA malah membuat PTP dan memberikannya ke masinis, baru meminta ijin ke Kebayoran kemudian! Parahnya, oleh PPKA Kebayoran malah dijawab “Gampang, nanti diatur!”
Dan sesaat setelah itu, terjadi pergantian petugas PPKA Kebayoran. PPKA pengganti ini telah diberitahu pendahulunya bahwa di Sudimara ada 2 KA dari Sudimara yang belum masuk, termasuk KA 225. Pada saat itu, KA 220 sudah ada di Kebayoran dan siap berangkat.
Sementara itu di Sudimara, PPKA menyuruh juru langsir untuk melakukan tugasnya. Seharusnya pada saat itu, masinis harus memberikan laporan T-83 ke PPKA dan memberitahu rencana langsiran ke masinis.
Tapi entah kenapa, keretanya tiba-tiba langsung tancap gas dan melesat ke Kebayoran, tanpa ijin dari PPKA. Bahkan Kondekturnya juga tidak sempat naik!
Karena kewalahan, juru langsir langsung melapor ke PPKA. Mereka berdua lalu menggoyangkan sinyal secara bergantian untuk menghentikan KA 225. Namun inipun sia-sia. PPKA Sudimara pun tak patah arang, dia kejar KA tersebut sambil mengibarkan bendera merah. Tapi inipun juga gagal, dan sang PPKA akhirnya pingsan sekembalinya ke stasiun.
Pada saat yang sama, KA 220 berangkat dari Kebayoran menuju Sudimara...

PERJALANAN MENUJU MAUT
Jadi bisa dibayangkan, satu petak antar stasiun diisi dua kereta yang berjalan pada arah yang berlawanan, dengan kecepatan penuh!
Kebetulan di KM 17+252 terdapat tikungan zig-zag yang berjarak pendek, tapi dikelilingi pepohonan yang rimbun. Di sini sudut pandang cukup terbatas, dan kedua kereta bertemu secara tiba-tiba. Otomatis para masinisnya tidak sempat mengerem, dan apa yang bisa dilakukan hanyalah meloncat keluar!
Tabrakanpun tak bisa dielakkan, dan kedua kereta ini langsung bertubrukan muka. Impaknya demikian dashyatnya, hingga gerbong pertama di belakang lokomotif di kedua kereta langsung menyelimuti lokomotifnya. Efek teleskopik ini menewaskan banyak penumpang, dan mereka yang bernasib malang langsung “tergiling” oleh putaran kipas radiator lokomotif. Karena itu tidak heran bahwa semua korban tewas berada di gerbong pertama dan di lokomotif.
Sesaat setelah tabrakan, tempat itu dipenuhi oleh tangisan, erangan, serta bau darah dari dalam rongsokan kereta...



PENYELAMATAN
Jalur ini kemudian sempat ditutup selama dua hari untuk pembersihan. Masyarakat dan para petugas kemudian bekerja untuk menyelamatkan para korban.
Beberapa kereta pertolongan juga dikerahkan ke sini, termasuk krane uap peninggalan jaman Belanda, yang sering disebut “Si Bongkok”.
Operasi penyelamatan berlangsung cukup rumit, karena petugas harus memotong-motong rongsokan untuk mengevakuasi korban yang terjepit. Dan kegiatan ini berakhir, setelah petugas berhasil memisahkan kedua lokomotif malang tersebut.

IMPAK TRAGEDI INI
Kejadian ini sempat ramai diberitakan di berbagai media massa, dan sangat mengejutkan masyarakat. Walaupun kecelakaan kereta api sudah sering terjadi di dekade 1980an, tapi baru kali ini sampai separah ini.
PJKA tidak tinggal diam. Beberapa operasi penertiban segera dilaksanakan. Hal ini perlu, mengingat KA di jalur sekitar Tanahabang memang dari dulu terkenal karena ketidak tertibannya. Entah karena banyaknya penumpang di lokomotif maupun di atap, ataupun karena banyak penumpang yang tidak membayar dan suka menghajar kondektur. Dan pada saat kejadian, lokomotif KA 225 memang dipenuhi penumpang gelap, sebagian bergelantungan di luar.
Selain itu beberapa peningkatan prasarana juga dilakukan untuk pencegahan. Seperti pemasangan radio di lokomotif (pada wakktu kejadian, sedikit lokomotif di Indonesia yang punya radio). Selain itu di antara stasiun Kebayoran dan Sudimara kemudian dibangun stasiun baru (Pondok Ranji). Sistem persinyalan di jalur ini kemudian dirubah dari mekanik menjadi elektrik.
Namun, efek terbesar dari kejadian ini adalah pembangunan double track besar-besaran untuk mencegah tabrakan muka terjadi lagi. Ironisnya, program ini baru terlaksana hampir dua dekade kemudian dan akhirnya jalur ganda ini selesai pada tahun 2007.
Andai proyek jalur ganda ini selesai 20 tahun lebih awal...

MISTERI DI BALIK TRAGEDI BINTARO
Namun, kecelakaan ini juga menyisakan beberapa teka-teki hingga saat ini. Apa sesungguhnya yang menyebabkan masinis KA 225 berjalan tanpa ijin? Dan setelah kejadian itu, krane “Si Bongkok” yang dipakai untuk menolong, sempat mengalami anjlok dalam perjalanan kembali ke Manggarai.

Sisa blok radiator salah satu lokomotif eks Tragedi Bintaro di BY Pengok, Yogyakarta, tahun 2004.

Setelah kejadian, kedua lokomotif yang terlibat langsung dibawa ke Manggarai dan Pengok (Yogyakarta). Yang di Manggarai sempat dipajang selama beberapa waktu di sana sebelum akhirnya dirucat. Sedangkan yang di Pengok langsung dirucat. Tapi radiatornya sempat digeletakan selama beberapa tahun. Bahkan hingga tahun 2005, masih ada di sana. Konon, para tukang besinya tidak berani merucatnya karena ada banyak anggota tubuh yang tersisa di sana. Dan menurut kesaksian beberapa karyawan BY Yogya, setiap malam sisa radiator tersebut suka mengeluarkan suara misterius...
Apapun kebenarannya, kita hanya bisa berharap semoga kecelakaan seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Referensi Teknis:
“Laporan PJKA Tentang Musibah Bintaro : Dalam Rangka Dengar Pendapat DPR RI Komisi V Tanggal 2 Nopember 1987”

Sabtu, 03 Oktober 2009

Trip Report Hunting CC204 17 (8 September 2009)




Kegagalan saya memotret kedatangan CC204 16 beberapa hari yang lalu, memacu saya untuk membuat hunting loko baru yang berikutnya agar jauh lebih baik lagi. Bahkan kalau perlu, di tempat yang spektakuler. Apalagi lokomotif ini berikutnya punya nomor yang istimewa sekali: 17.

Setelah mempertimbangkan beberapa tempat, akhirnya saya memutuskan untuk hunting lokomotif ini di jembatan Cirahong saja. Tempat ini merupakan tempat hunting terjauh saya. Selain itu bentuk jembatannya yang unik pastinya membuat fotografi di sini menjadi istimewa. Dan juga karena KA Lodaya lewat tempat ini sekitar jam 3 membuat pencahayaan semestinya menjadi sempurna. Ditambah juga saat itu sedang musim kemarau.

Rencana disusun, dan tadinya saya berniat untuk mengundang beberapa kawan railfans, baik yang di Bandung maupun di luar Bandung, untuk ikut bareng saya. Hitung-hitung lumayan pergi jauh naik Zephyr yang ber-AC, daripada sepeda motoran panas-panasan. Apalagi saat itu lagi pertengahan bulan puasa. Selain itu, saya juga menyiapkan beberapa takjil untuk berbuka, seandainya kita masih di tengah perjalanan pada saat buka puasa.

Awalnya pak Tri serta kang Deden berniat untuk ikut dengan saya.

Nah, pada hari-H yang ditentukan, dan setelah mendapat konfirmasi dari orang GE dan INKA, saya menyiapkan segalanya. Sayapun menunggu kawan-kawan, apakah ada yang mau ikut? Saya juga mengontak kang Deden serta pak Tri. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba keduanya berhalangan.

Otomatis, akhirnya saya berangkat sendiri ke sana.

Sekitar pukul 10.50, saya langsung bertolak dari warung saya di Istana Plaza, Bandung, menuju ke jembatan Cirahong di Ciamis. Tetapi perjalanan saya tidak langsung ke sana, karena saya harus mentransfer uang di Bank untuk membayar tagihan.

Namun yang agak menjengkelkan, di perempatan jalan Padjadjaran-Pasirkaliki di depan IP, saya disemprit polisi! Lho? Padahal saya tidak melanggar apapaun! Sementara mobil di depan saya yang posisinya lebih mengganggu dibiarkan. Tetapi apakah saya menggubris si polisi? Tidak! Sayapun langsung tancap gas dan berhasil menghindari si polisi bermental pemeras itu.

Saya tak lama menyelesaikan urusan dengan Bank. Dan tepat jam 11 siang, saya langsung bertolak menuju ke Cirahong. Walaupun saya sempat mampir ke pompa bensin untuk memenuhi tangkinya Zephyr, perjalanan berlangsung cukup cepat.

Bahkan di tol antara Pasteur-Baros, Zephyr sempat melesat dengan kecepatan Supersonik, yaitu Mach 1,4 (huehehe..maksudnya sih 140 km/jam). Bisa dibilang, perjalanan berlangsung cukup lancar.

Tetapi yang sayang, di tol saya banyak menemui “pecundang”. Pecundang ini tak lain adalah truk kelebihan muatan yang berjalan dengan kecepatan sekitar 30-40 km/jam di jalan tol. Walaupun ada rambu yang menyatakan kecepatan minimal di tol adalah 60 km/jam, tetapi Jasa Marga tak pernah menindak pelanggar seperti ini karena mereka takut tak dapat pemasukan ekstra. Maklum, tarifnya truk adalah yang terbesar.

Sebenarnya, di luar “pecundang” itu, perjalanan saya relatif lancar. Bahkan bisa dibilang lebih lancar daripada biasanya. Bagaimana tidak? Di Cileunyi, Rancaekek, Kahatex, Cicalengka, dan Nagreg, saya tak menemui kemacetan, atau bahkan kepadatan sama sekali.

Saya bisa melancar dengan tenang sekali. Walaupun ada beberapa “bustard” dan “road f**kers / pecundang” yang menghalangi perjalanan saya (termasuk sebuah truk kelebihan muatan yang berjalan super pelan di Limbangan, serta sebuah mobil Mercy pengecut berplat-B yang ketakutan di jalan bertikungan), perjalanan berjalan normal.

Walaupun saya juga sempat merasa ketar-ketir karena melibas tikungan super pelan dengan kecepatan ekstra tinggi. Bahkan di salah satu tikungan, saya merasakan mobil saya terasa seperti mau terhempas dan terguling! Tetapi Alhamdulillah, saya selamat! Memang rupanya Zephyr memiliki kestabilan yang cukup bagus juga. Dan juga karena lindungan dari Allah SWT....

Setelah bergumul dengan beberapa ganguan, akhirnya saya sampai juga di stasiun Cipeundeuy, pukul 1 kurang. Saya sengaja berhenti di sini untuk beristirahat sebentar, serta untuk sholat Dzuhur. Seusai mengunci mobil, sayapun langsung masuk, dan melihat ada anak bongsor yang lagi enak tidur pulas di dipan.

Wah, rupanya itu si Bagus kecil. Sayapun iseng membangunkan dia. Dan rupanya dia tidak sendiri, di belakang saya ada kang Asep dan Dimas, yang cekikikan melihat saya.

Rupanya mereka sudah di situ lebih awal dari saya, yaitu sejak pukul 11. Bahkan mereka berangkat dari Bandung juga lebih awal lagi, yaitu pukul 8. Sambil mengerjar KA Lodaya pagi dari Bandung. Waduh..waduh... Saya cukup salut kepada mereka, bahwa di tengah cuaca panas dan puasa, mereka sanggup membela-bela waktu untuk melakukan hal seperti itu.

Saya menawati mereka, apakah mereka mau ikut dengan saya ke Cirahong. Awalnya mereka enggan, karena takut kehilangan momen. Apalagi menurut kang Asep, jalanan ke sana jauh dan macet.

Tetapi saya yakinkan juga bahwa terakhir saya lewat daerah itu (waktu hunting CC204 15) jalanan relatif lancar. Akhirnya mereka bertiga setuju untuk ikut saya hunting di Cirahong.




Setelah saya menyelesaikan sholat saya, kamipun langsung bertolak menuju ke jembatan Cirahong naik Zephyr. Perjalanan menuju ke Cirahong berjalan cukup lancar, bahkan lebih lancar daripada yang diharapkan, karena dalam waktu 40 menit, kami akhirnya tiba di jembatan Cirahong. Dan yang luar biasa, bensin mobil tetap penuh saja, walaupun sudah berjalan sejauh ini. (Bensin baru mulai berkurang pada saat berangkat kembali ke Bandung!)

Hanya saya merasa agak tegang sewaktu menyeberangi jembatan, karena baru kali ini saya menyeberangi jembatan dengan menggunakan mobil!

Begitu saya selesai memarkir Zephyr, kamipun langsung sibuk mencari spot yang bagus untuk memotret. Bagi kawan-kawan, ini adalah pertama kalinya mereka datang ke jembatan Cirahong ini. Jadi momen ini tersasa cukup istimewa.


Kontras dengan terakhir kali saya ke Cirahong (waktu hunting CC204 15), kali ini cuacanya cerah sekali. Begitu cerahnya, malah cenderung silau. Dan karena matahari sudah condong ke barat, maka otomatis kami harus berada di barat rel, kecuali kang Asep yang menemukan tempat lapang (bekas tempat foto saya waktu hunting CC204 15) di sisi timur. Sedangkan saya ke atas sebuah bukit di belakang warung. Dimas dan Bagus jr memotret dari pinggir jalan.

Hanya sayang, bukit tempat saya memotret jembatan ini di tahun 2007 silam, kini sudah tiada. Karena sudah dikepras untuk dijadikan sebuah restoran. Sayang....

Kami menunggu agak lama di sini. Terkadang ada saja suara kendaraan yang mirip suara kereta api yang lewat. Selama menunggu, kami juga menggunakan waktu untuk menset kamera, agar momen langka ini tidak lepas begitu saja.

Kira-kira beberapa menit menjelang jam 3, terdengar suara gemuruh dari arah timur. Benar juga, ada kereta berwarna putih berjalan mendekati jembatan. Sayapun langsung berteriak “Kereta!” ke kawan-kawan. Mungkin karena bising, kawan-kawan tidak mendengar teriakan saya.

Akhirnya beberapa detik kemudian kereta itu lewat. Dan benar juga, di depannya adalah lokomotif CC204 17 yang baru itu, dengan lokomotif CC204 08 sebagai pembantu.


Sayangnya, sudah barang umum bahwa warna putih lokomotif sekarang ini sebenarnya kurang bersahabat untuk light meter kamera kita. Apalagi kalau pakai kamera digital, dijamin akan “over” pencahayaannya. Terlebih jika lokomotif tersebut masih baru dan mulus...


Seusai memotret, kamipun langsung berkemas dan cepat-cepat balik menuju ke Cipeundeuy, agar bisa memotret KA ini lagi.

Cuman dalam perjalanan pulang, kami benar-benar beruntung, karena ada konvoy pejabat yang lagi lewat. Secara reflek, saya langsung mengarahkan mobil saya masuk ke konvoy itu, dan menyalakan lampu hazard saya. Huahahaha....

Otomatis, kami bisa ngebut sepuasnya, karena banyak bis yang minggir dan mengalah untuk memberi jalan kepada konvoy ini (dan kita, he..he..he...).

Tetapi beberapa kilometer mejelang Rajapolah, tiba-tiba konvoy ini berhenti mendadak. Rupanya ini adalah konvoy Menteri yang sedang meninjau penanganan korban gempa Tasikmalaya. Wah, saya sempat ketar-ketir, jangan-jangan penyamaran kami ketahuan nih. Rupanya tidak, karena kami hanya disuruh lewat saja oleh polisi. Tetapi paling tidak konvoi ini membuat perjalanan kami 10 menit lebih cepat daripada yang seharusnya.

Walaupun begitu, karena tergesa-gesa, sayapun tetap saja tancap gas. Bagus jr dan Dimas yang duduk di belakang langsung sport jantung, karena kata mereka gaya nyetir saya mirip sopir bis Akas di Jawa Timur sana. Bahkan pada momen tertentu, kita sampai berada 5 menit di depan KA Lodaya. Bagus jr juga merasa perutnya geli setiap Zephyr melibas gundukan besar dengan kecepatan tinggi.

Namun, keunggulan kita di depan KA Lodaya sempat terhalang oleh kemacetan di daerah Ciawi. Dan di sini kita sempat disalip oleh KA Lodaya. Bahkan juga terhalang oleh KA Serayu dari arah barat.

Tetapi saya tak patah arang. Selepas perlintasan, saya langsung berjuang untuk mencapai Cipeundeuy secepatnya. Walaupun itu berarti menakut-nakuti mobil dan sepeda motor yang berjalan lawan arah, dan menyalip mobil dan angkot di Tasik yang lambat tetapi tak mau mengalah. Bahkan sekali saya “bertengkar” dengan sebuah angkot, alias tak memberi jalan sepeserpun ke angkot itu, biar dia sudah mengklakson-klaskon dan kernetnya memberi tanda mau menyalip.

Kang Asep berkata bahwa mungkin posisi kita beberapa menit di depan KA ini lagi, karena biasanya di Cirahayu, KA agak susah menanjak.

Setelah melalui pergumulan yang melelahkan, akhirnya kami sampai kembali ke stasiun Cipeundeuy. Dan yang luar biasa, pas kita datang, PPKA stasiun Cipeundeuy langsung memberi pengumuman bahwa sebentar lagi KA Lodaya akan datang. Kamipun langsung cepat-cepat mengambil posisi untuk memotret KA ini.

Benar juga, sekitar 10 menit kemudian, KA Lodaya datang. Rupanya Fastha dan Doni ikut naik KA ini dari Tasik, dan mereka kemudian turun di sini.

Di Cipeundeuy, kereta berhenti agak lama, karena teknisi berusaha menyambung kabel MU. Rupanya saya juga bertemu pak Rudi yang merupakan kepala pengawas pabrik GE di Madiun. Tapi saya tak sempat menyapa beliau karena sedang sibuk bersusah payah menyambung kabel MU yang banyak dan berat. Akibatnya kereta berhenti agak lama di situ.


Selagi berhenti, kang Asep dan Dimas langsung berangkat lagi dan tancap gas ke Nagreg untuk mengejar momen foto. Sementara saya dan Bagus jr memilih untuk tetap saja di Cipeundeuy sampai KA berangkat.

Karena saya memang target hanya untuk memotret di Cirahong dan Cipeundeuy saja. Sementara Bagus jr memang sudah capek dan kepanasan.


Begitu KA berangkat, akhirnya petualangan berakhir. Fastha dan Doni kembali ke Tasik menggunakan colt. Sementara saya dan Bagus langsung kembali ke Bandung.

Saya tidak tergesa-gesa kembali ke Bandung, karena sudah tidak ada target yang dikejar lagi. Jadi sayapun menyetir pelan-pelan saja, juga agar si Bagus jr bisa tidur.

Namun di Cicalengka, kami bertemu kang Asep dan Dimas, yang baru saja memotret KA Lodaya tadi di Cicalengka. Rupanya mereka menggeser tempat, karena stasiun Nagreg sudah terlampau sesak seperti pasar, karena banyak orang yang “ngabuburit” di situ.

Kami berpisah di Cileunyi, karena saya lewat tol. Dan begitu melewati Buah Batu, adzan Maghrib datang, dan kamipun berbuka puasa didalam mobil dengan takjil yang sudah saya bawa.

Begitu keluar gerbang tol, saya langsung menuju ke stasiun untuk mengantar Bagus jr, dan juga ingin lihat CC204 17 dari dekat.

Tetapi sesampainya di depo, saya agak terkejut, karena belum sempat saya dekati, tiba-tiba CC204 17 sudah berangkat lagi.

Rupanya dia langsung berangkat ke Jakarta menggunakan KA Argo Gede jam 19.00. Dan yang unik, dia digandeng dengan CC204 15, yang dulu juga saya buru di daerah yang sama dengan CC204 17.

Selain itu, kawan-kawan railfans ternyata sudah berkumpul di sana, termasuk kang Asep dan Dimas yang berhasil mendahului saya, biarpun mereka lewat jalan biasa. Beberapa diantara railfans yang datang bahkan belum pernah saya temui sebelumnya.

Seumur-umur, baru kali ini saya lihat lokomotif baru yang baru datang dari pabrik, langsung dipakai dinasan. Padahal biasanya lokomotif baru akan diparkir selama beberapa lama di depo, sebelum didinaskan, karena menunggu garansi dari GE. Bahkan yang unik, saya perhatikan di kabin loko radionya sudah terpasang. Kapan ya dipasangnya? Padahal biasanya radio dipasang begitu lokomotif tiba di depo. Dan waktu yang dibutuhkan untuk memasang radio cukup lama, bisa 1 jam.

Tepat pada pukul 19.00, kereta berangkat menuju ke Jakarta. Seusai itu, saya menyempatkan diri untuk beristirahat serta mengobrol dengan kawan-kawan baru saya. Cukup menarik juga. Walaupun saya agak kecewa juga melihat beberapa tingkah laku beberapa railfan junior yang makin tak sopan terhadap saya.

Seusai ngobrol dan makan malam, saya pamit dan pulang kembali ke rumah. Dan akhirnya berakhir sudah petualangan saya hari itu.

Oya, saya mau mengingatkan bahwa ini mungkin merupakan terakhir kalinya saya melakukan hunting lokomotif baru di lintas secara reguler. Karena acara hunting loko baru tidak terkesan terlalu istimewa lagi buat saya, plus jadwalnya yang tidak senyaman dulu, maka besok-besok kalau ada loko baru datang lagi, mungkin belum tentu akan saya hunting seperti ini.